Pages

Labels

Jumat, 20 Juli 2012

Sepenggal Episode untuk Marwa


Suara kendaraan umum bersahut-sahutan seperti menyuarakan kegelisahan atas kemacetan di tikungan Darosah[1], polusi seakan memenuhi seluruh ruang nafasku, tetapi ku tak peduli. Kugenggam botol air putih yang isinya tinggal setengah, jilbabku hampir basah karena aku terlalu semangat ketika melepaskan dahaga. Sengaja aku luapkan kekesalanku pada botol yang kugenggam, sedangkan seorang gadis Mesir yang menemaniku duduk di gerbang kuliah masih asik mengomentari semua yang terlihat aneh di matanya, termasuk aku.

“Ya Halimah, kalau di Mesir nikah segampang kayak di Indonesia sudah dari jauh hari aku menikah dengan Muhammad, seharusnya kamu tuh cepat menikah,” ujar Marwa sambil tangannya bergerak seperti kebanyakan orang Mesir berbicara, mulut bergerak dan tangan pun ikut mengekspresikan ucapannya. Kubiarkan saja Marwa berceloteh, aku seperti mendengarkan khutbah Jum’at yang bertemakan ‘Segera Menikah’. Sudah beradaptasi rupanya kupingku dengan ceramah segera menikah yang bersumber dari Marwa, teman satu fakultasku.

Mungkin karena sulitnya menikah di Mesir, dan mudahnya nikah di Indonesia makanya Marwa geram melihat diriku yang masih single ini. Di Mesir, jika seorang lelaki ingin menikahi seorang gadis, dia harus mempunyai flat beserta isinya, dan juga mempunyai penghasilan tetap. Berbeda di Indonesia, dengan seperangkat alat sholat saja sudah bisa mendapatkan kata ‘sah’ dari seorang penghulu kalau ijab-qabul sudah terlaksana.

Sudah lama Marwa ingin melaksanakan sunnah Rasul, tapi apa daya, hanya karena adat Mesir yang aneh ini menjadikan para lelaki harus bekerja keras terlebih dahulu. Marwa mempunyai tunangan bernama Muhammad, sekarang dia bekerja di Negara Qatar menjadi polisi. Memang dalam dunia militer dan pertahanan, Mesir pasti jagoannya. Maka tak jarang Mesir mengirimkan anggota militernya ke Negara-negara tetangga. Sudah setahun lebih Muhammad kerja disana, dan belum mendapatkan penghasilan yang bisa memenuhi syarat adat Mesir ini.

Setelah menghabiskan minuman, kami berjalan menuju terminal bus Darosah. Akhirnya kami berpisah setelah aku mendapatkan bus jurusan Zahro[2]. Marwa bertempat tinggal di Abud, jauh dari tempat tinggalku, tetapi masih termasuk daerah Cairo.

Macet, beginilah resiko pulang kuliah sore hari, bus delapan puluh coret[3] terlihat sesak dengan penumpang. Di tengah-tengah perjalanan aku melihat ada seorang ibu berumur sekitar 40-an ke atas menuntun dua anak laki-laki masuk ke dalam bus. Pandangan pertama ketika melihat ibu itu biasa saja, tapi setelah melihat kedua anaknya aku merasa kasihan. Dua anaknya mengalami keterbelakangan mental, terlihat dari bentuk wajah mereka.

Tak heran lagi mendapati seorang ibu mempunyai anak keterbelakangan mental atau bisu dan tuli, itu semua karena faktor kebanyakan wanita Mesir yang hamil di atas umur 40 tahun. Pastinya karena keterlambatan usia menikah, maka kebanyakan dari mereka yang hamil di atas 40 tahun. Yang aku pernah dengar, kalau hamil di atas 40 tahun itu beresiko cacat terhadap anak. Semuanya tidak akan seperti ini kalau tidak ada adat Mesir yang aneh itu, sebenarnya yang seperti itu tidak ada dalam Syariat Islam, karena Syariat Islam terkenal dengan ‘Adamul Haraj, yaitu meniadakan kesusahan.

Ala ganbak ya asto![4],” ujarku kepada supir bus. Akhirnya tiba juga di depan apartemenku, ketika aku ingin menaiki tangga aku melihat anak dari seorang bapak yang membersihkan apartemenku, kuberikan dua batang coklat kepadanya. Langsung dia berlari ke dalam flat yang disediakan untuk orang yang membersihkan apartemen ini. Aku dan teman-teman satu flat sering memberikan makanan dan pakaian kepada mereka. Flat mereka hanya sebesar kamarku saja, dan itu pun diisi dengan sepasang suami istri dan tiga anak. Upah mereka tidak sebanding dengan kerja mereka.

Ternyata tidak ada orang di dalam flatku. Rata-rata penghuni flatku ini semuanya masih S1, jadi masih sibuk-sibuknya dengan organisasi, yang S2 hanyalah aku dan satu temanku, kita semua berjumlah lima orang. Kuhempaskan badanku ke atas kasur dan lama-lama semua terlihat gelap.
                                                                                                ***
Eh besok abis makan-makan di Assalam, kita diundang ke rumahnya Marwa, jangan kemana-mana loh!,” kataku kepada semua teman se-flatku. Besok adalah hari raya Idul Adha, biasanya kalau hari raya Idul Adha dan Idul Fitri semua orang Indonesia sholat  id berjamaah di Masjid Assalam salah satu masjid di daerah Hay ‘Asyir, Nasr City. Sholat berjamaah berlangsung pada jam 8 pagi sesudah orang-orang Mesir sholat id, jadi terasa benar-benar di Indonesia, karena yang menjadi Imamnya orang Indonesia dan khutbahnya pun berbahasa Indonesia. Sesudah sholat semua orang Indonesia boleh mengambil makanan di stand-stand yang sudah disediakan oleh masing-masing kekeluargaan tepatnya di halaman Masjid Assalam.

Usai makan-makan di Masjid Assalam, kami berlima langsung menuju rumah Marwa. Setelah di terminal akhir, kami masih harus berjalan, karena rumah Marwa masih jauh dari tempat kami turun dari bus. Berbeda dengan Nasr City, di  Abud apartemen-apartemen terlihat sangat berdekatan jadi terlihat sesak. Mungkin karena Nasr City pemukiman yang kebanyakan dari penghuninya adalah pelajar, berbeda dengan kediaman Marwa, terlihat kumuh dan banyak gundukan-gundukan sampah yang dihinggapi lalat-lalat.

Flat Marwa berada di lantai 3, sesampainya disana kami disambut hangat, seperti sebelum-sebelumnya kedatangan kami di rumahnya. Memang setiap hari raya kami serumah diundang untuk makan sepuasnya di rumah  keluarga Marwa. Kalau kami tidak berkunjung ke rumahnya, mereka akan marah, dan marahnya orang Mesir bisa melebihi Fir’aun. Lebih parahnya kalau kami tak menghabiskan makanan yang disediakan, mereka juga marah!. Bayangkan saja setiap orang harus menghabiskan separuh ayam utuh, semangkuk daging, mahsyi[5], mulukhiyah[6], belum lagi ada kue pencuci mulutnya, bayangkan!.

Flat keluarga Marwa lebih kecil dari flat yang aku tempati bersama teman-temanku. Marwa tinggal bersama ibunya, dan empat orang adiknya. Marwa anak pertama dari lima bersaudara, kedua adik perempuannya berturut-turut bernama Hinda dan Nadha, serta si kembar Ahmad dan Mustofa.

Semua adik-adiknya tak ada yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, kecuali Marwa. Bukan karena keluarga mereka tak mampu membiayai, tapi karena mereka ingin langsung bekerja dan malas belajar. Padahal mereka adalah anak-anak yang cerdas, Marwa saja yang tidak pernah belajar tapi selalu mendapatkan nilai yang baik. Dulu setelah lulus S1, Marwa sempat berencana tidak akan melanjutkan ke jenjang S2, setahun dia bekerja di outlet sebuah mall, tapi akhirnya setelah dibujuk oleh tunangannya akhirnya dia kembali melanjutkan S2nya di Universitas Al-Azhar lagi bersamaku. Aku sempat pulang ke Indonesia setahun, maka dari itu kami berdua kembali sekelas seperti S1 dulu.

Tentang ayahnya?, beliau di penjara tepatnya di kota Alexandria. Awalnya ayahnya bekerja di perminyakan di Negara Qatar, di Negara yang sama dengan tunangannya. Beliau terkena tuduhan menganiaya teman sepekerjaannya, mereka bertengkar karena masalah kecil, tetapi karena emosi orang Mesir yang susah dikendalikan akhirnya Ayah Marwa memukul kepala temannya itu dengan kayu sebesar tangannya. Ayah Marwa dipenjara ketika Marwa berumur 13 tahun, di saat itu Marwa harus mengurus adik-adiknya sebagai anak pertama. Ibunya menjadi single parent yang menghidupi anak-anaknya dengan bekerja menjadi seorang koki di rumah orang terkaya se-Cairo. Tak heran kalau masakan ibunya lebih enak daripada masakan yang ada di restaurant-restaurant seluruh Cairo.
                                                                                                ***
Ringtone handphoneku membangunkan tidur siangku, aduh Marwa menelponku!, setengah sadar aku menjawab telepon darinya. “Ya Halimah, buka pintu! Aku udah di depan flatmu!,” seru Marwa, Kebiasaan orang Mesir kalau satu orang bicara seperti sepuluh orang. Ketika kubuka pintu Marwa langsung memelukku, Marwa menangis!. Aku mengajaknya masuk ke dalam kamarku dan kubiarkan dia meluapkan kesedihannya, baru setelah itu kutanyakan masalahnya.

Marwa bercerita, kalau ibunya menyuruhnya untuk menyudahi hubungan dengan tunangannya. Aku kaget, tapi kubiarkan dia bercerita lebih lanjut. Ceritanya sebelum Marwa dan Muhammad menikah mereka menabung untuk membeli flat beserta isinya, dan uang mereka ditabung di sebuah Bank di Cairo. Tetapi tiba-tiba ibunya Muhammad meminta agar keluarganya saja yang memegang uang tersebut, jelas saja ibu Marwa tidak setuju dan marah. Ibu Marwa takut kalau Marwa ditipu, takut kalau uangnya dibawa kabur dan Marwa ditinggalkan.

Aku bingung, aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena masalah mereka berkaitan dengan uang. Sulit juga kalau sudah berkaitan dengan uang, semua orang juga akan sensitif kalau berhubungan dengan uang. “Udah Halimah, kamu jangan ikutan pusing, kamu dengerin aja udah cukup kok,” ujar Marwa sambil berusaha tersenyum walau matanya masih mengeluarkan air mata. “Ma’alisy[7] ya Marwa, aku enggak bisa bantu apa-apa, ya mudah-mudahan kalau memang jodoh enggak bakal kemana kok, pasti sama Allah dibukain jalannya,” kataku sambil memeluknya. Ya Allah, semoga urusan Marwa bisa selesai dan Marwa bisa cepat menikah dengan Muhammad, amin!.
                                                                                                ***
Meski musim dingin sudah usai, tetapi masih menyisakan kesejukan untuk hari ini. Udara serasa sejuk sekali, daun-daun melambai ke kiri dan kanan seperti menari atas kebahagiaan seseorang. Tepat di hadapanku seorang gadis Mesir mengenakan gaun putih, cantik sekali. Senyum kebahagiaan tergambar jelas di raut wajahnya. Aku pun turut bahagia, akhirnya Marwa bisa melangsungkan pernikahan dengan Muhammad. “Inti gamilah awi ya Marwah, inti amourah giddan giddan[8]!,” seruku tanpa mengedipkan mataku, takjub atas kecantikannya. “Syukron ya Halimah, wa inti kaman[9],” jawabnya sambil tersenyum tersipu.

Ketika Marwa sudah siap dibawa ke tempat resepsi, aku keluar untuk bersalaman dengan ibunya dan… kau tahu siapa? Ayahnya Marwa!. Ayah Marwa sudah bebas dari penjara seminggu sebelum pernikahan Marwa, terlihat Ibu Marwa merangkul suaminya dengan hangat. Aku teringat Ibu Marwa pernah bercerita bahwasannya selama suaminya di penjara, ia tidak pernah datang menjenguk suaminya, karena sudah cinta mati dengan suaminya, ia takut tidak bisa merelakannya.

Akhirnya aku bisa melihat Marwa bersanding dengan Muhammad di panggung pelaminan, memang jodoh tak akan kemana. Walaupun adat Mesir yang menghambat, kalau sudah jodoh Allah pun akan melimpahkan rizki bagi hamba-Nya. Lalu ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku, kapan giliranku?.





[1] Nama salah satu daerah di Cairo
[2] Nama salah satu pemukiman di Nasr City
[3] Nomer bus jurusan Darosah-Zahro
[4] Bahasa amiyah Mesir yang artinya, “Kiri bang!”
[5] Nama makanan Mesir berupa terong diambil isinya dan diganti dengan nasi yang sudah dibumbui, selain terong lapisan luarnya bisa berupa daun kola tau daun anggur.
[6] Nama jenis sayuran, dan cara penyuguhannya dihancurkan daun-daunnya lalu direbus dengan air kaldu, lalu disediakan dimangkuk atau di gelas yang biasa disebut masyrubah atau minuman mereka.
[7] Bahasa amiyah Mesir yang artinya “Maaf”.
[8] Bahasa amiyah Mesir yang artinya, “Kamu cantik sekali Marwa,anggun banget!”.
[9] “Terima kasih Halimah, kamu juga cantik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar