Suara kendaraan umum bersahut-sahutan seperti
menyuarakan kegelisahan atas kemacetan di tikungan Darosah[1],
polusi seakan memenuhi seluruh ruang nafasku, tetapi ku tak peduli. Kugenggam botol air putih yang isinya tinggal setengah,
jilbabku hampir basah karena aku terlalu semangat ketika melepaskan dahaga. Sengaja
aku luapkan kekesalanku pada botol yang kugenggam, sedangkan seorang gadis
Mesir yang menemaniku duduk di gerbang kuliah masih asik mengomentari semua
yang terlihat aneh di matanya, termasuk aku.
“Ya Halimah, kalau di Mesir nikah segampang
kayak di Indonesia sudah dari jauh hari aku menikah dengan Muhammad, seharusnya
kamu tuh cepat menikah,” ujar Marwa sambil tangannya bergerak seperti
kebanyakan orang Mesir berbicara, mulut bergerak dan tangan pun ikut mengekspresikan
ucapannya. Kubiarkan saja Marwa berceloteh, aku seperti mendengarkan khutbah Jum’at
yang bertemakan ‘Segera Menikah’. Sudah beradaptasi rupanya kupingku dengan
ceramah segera menikah yang bersumber dari Marwa, teman satu fakultasku.
Mungkin karena sulitnya menikah di Mesir, dan
mudahnya nikah di Indonesia makanya Marwa geram melihat diriku yang masih single
ini. Di Mesir, jika seorang lelaki ingin menikahi seorang gadis, dia harus
mempunyai flat beserta isinya, dan juga mempunyai penghasilan tetap.
Berbeda di Indonesia, dengan seperangkat alat sholat saja sudah bisa
mendapatkan kata ‘sah’ dari seorang penghulu kalau ijab-qabul sudah
terlaksana.
Sudah lama Marwa ingin melaksanakan sunnah
Rasul, tapi apa daya, hanya karena adat Mesir yang aneh ini menjadikan para
lelaki harus bekerja keras terlebih dahulu. Marwa mempunyai tunangan bernama
Muhammad, sekarang dia bekerja di Negara Qatar menjadi polisi. Memang dalam
dunia militer dan pertahanan, Mesir pasti jagoannya. Maka tak jarang Mesir
mengirimkan anggota militernya ke Negara-negara tetangga. Sudah setahun lebih
Muhammad kerja disana, dan belum mendapatkan penghasilan yang bisa memenuhi
syarat adat Mesir ini.
Setelah menghabiskan minuman, kami berjalan
menuju terminal bus Darosah. Akhirnya kami berpisah setelah aku mendapatkan bus
jurusan Zahro[2]. Marwa
bertempat tinggal di Abud, jauh dari tempat tinggalku, tetapi masih termasuk
daerah Cairo.
Macet, beginilah resiko pulang kuliah sore
hari, bus delapan puluh coret[3]
terlihat sesak dengan penumpang. Di tengah-tengah perjalanan aku melihat ada
seorang ibu berumur sekitar 40-an ke atas menuntun dua anak laki-laki masuk ke
dalam bus. Pandangan pertama ketika melihat ibu itu biasa saja, tapi setelah
melihat kedua anaknya aku merasa kasihan. Dua anaknya mengalami keterbelakangan
mental, terlihat dari bentuk wajah mereka.
Tak heran lagi mendapati seorang ibu mempunyai
anak keterbelakangan mental atau bisu dan tuli, itu semua karena faktor
kebanyakan wanita Mesir yang hamil di atas umur 40 tahun. Pastinya karena
keterlambatan usia menikah, maka kebanyakan dari mereka yang hamil di atas 40
tahun. Yang aku pernah dengar, kalau hamil di atas 40 tahun itu beresiko cacat
terhadap anak. Semuanya tidak akan seperti ini kalau tidak ada adat Mesir yang
aneh itu, sebenarnya yang seperti itu tidak ada dalam Syariat Islam, karena
Syariat Islam terkenal dengan ‘Adamul Haraj, yaitu meniadakan kesusahan.
“Ala ganbak ya asto![4],”
ujarku kepada supir bus. Akhirnya tiba juga di depan apartemenku, ketika
aku ingin menaiki tangga aku melihat anak dari seorang bapak yang membersihkan
apartemenku, kuberikan dua batang coklat kepadanya. Langsung dia berlari ke
dalam flat yang disediakan untuk orang yang membersihkan apartemen ini.
Aku dan teman-teman satu flat sering memberikan makanan dan pakaian
kepada mereka. Flat mereka hanya sebesar kamarku saja, dan itu pun diisi
dengan sepasang suami istri dan tiga anak. Upah mereka tidak sebanding dengan
kerja mereka.
Ternyata tidak ada orang di dalam flatku.
Rata-rata penghuni flatku ini semuanya masih S1, jadi masih
sibuk-sibuknya dengan organisasi, yang S2 hanyalah aku dan satu temanku, kita
semua berjumlah lima orang. Kuhempaskan badanku ke atas kasur dan lama-lama
semua terlihat gelap.
***
“Eh besok abis makan-makan di
Assalam, kita diundang ke rumahnya Marwa, jangan kemana-mana loh!,” kataku
kepada semua teman se-flatku. Besok adalah hari raya Idul Adha, biasanya
kalau hari raya Idul Adha dan Idul Fitri semua orang Indonesia sholat id berjamaah di Masjid Assalam salah satu
masjid di daerah Hay ‘Asyir, Nasr City. Sholat berjamaah berlangsung pada jam 8
pagi sesudah orang-orang Mesir sholat id, jadi terasa benar-benar di Indonesia,
karena yang menjadi Imamnya orang Indonesia dan khutbahnya pun berbahasa
Indonesia. Sesudah sholat semua orang Indonesia boleh mengambil makanan di stand-stand
yang sudah disediakan oleh masing-masing kekeluargaan tepatnya di halaman Masjid
Assalam.
Usai makan-makan di Masjid Assalam, kami
berlima langsung menuju rumah Marwa. Setelah di terminal akhir, kami masih
harus berjalan, karena rumah Marwa masih jauh dari tempat kami turun dari bus.
Berbeda dengan Nasr City, di Abud
apartemen-apartemen terlihat sangat berdekatan jadi terlihat sesak. Mungkin
karena Nasr City pemukiman yang kebanyakan dari penghuninya adalah pelajar,
berbeda dengan kediaman Marwa, terlihat kumuh dan banyak gundukan-gundukan
sampah yang dihinggapi lalat-lalat.
Flat Marwa berada di lantai 3, sesampainya disana kami disambut hangat,
seperti sebelum-sebelumnya kedatangan kami di rumahnya. Memang setiap hari raya
kami serumah diundang untuk makan sepuasnya di rumah keluarga Marwa. Kalau kami tidak berkunjung
ke rumahnya, mereka akan marah, dan marahnya orang Mesir bisa melebihi Fir’aun.
Lebih parahnya kalau kami tak menghabiskan makanan yang disediakan, mereka juga
marah!. Bayangkan saja setiap orang harus menghabiskan separuh ayam utuh,
semangkuk daging, mahsyi[5],
mulukhiyah[6],
belum lagi ada kue pencuci mulutnya, bayangkan!.
Flat keluarga Marwa lebih kecil dari flat yang aku tempati bersama
teman-temanku. Marwa tinggal bersama ibunya, dan empat orang adiknya. Marwa
anak pertama dari lima bersaudara, kedua adik perempuannya berturut-turut
bernama Hinda dan Nadha, serta si
kembar Ahmad dan Mustofa.
Semua adik-adiknya tak ada yang melanjutkan pendidikan
ke jenjang perguruan tinggi, kecuali Marwa. Bukan karena keluarga mereka tak
mampu membiayai, tapi karena mereka ingin langsung bekerja dan malas belajar.
Padahal mereka adalah anak-anak yang cerdas, Marwa saja yang tidak pernah
belajar tapi selalu mendapatkan nilai yang baik. Dulu setelah lulus S1, Marwa
sempat berencana tidak akan melanjutkan ke jenjang S2, setahun dia bekerja di outlet
sebuah mall, tapi akhirnya setelah dibujuk oleh tunangannya akhirnya dia
kembali melanjutkan S2nya di Universitas Al-Azhar lagi bersamaku. Aku sempat
pulang ke Indonesia setahun, maka dari itu kami berdua kembali sekelas seperti
S1 dulu.
Tentang ayahnya?, beliau di penjara tepatnya di
kota Alexandria. Awalnya ayahnya bekerja di perminyakan di Negara Qatar, di
Negara yang sama dengan tunangannya. Beliau terkena tuduhan menganiaya teman
sepekerjaannya, mereka bertengkar karena masalah kecil, tetapi karena emosi
orang Mesir yang susah dikendalikan akhirnya Ayah Marwa memukul kepala temannya
itu dengan kayu sebesar tangannya. Ayah Marwa dipenjara ketika Marwa berumur 13
tahun, di saat itu Marwa harus mengurus adik-adiknya sebagai anak pertama.
Ibunya menjadi single parent yang menghidupi anak-anaknya dengan bekerja
menjadi seorang koki di rumah orang terkaya se-Cairo. Tak heran kalau masakan ibunya
lebih enak daripada masakan yang ada di restaurant-restaurant seluruh Cairo.
***
Ringtone handphoneku membangunkan tidur siangku, aduh Marwa
menelponku!, setengah sadar aku menjawab telepon darinya. “Ya Halimah, buka
pintu! Aku udah di depan flatmu!,” seru Marwa, Kebiasaan orang
Mesir kalau satu orang bicara seperti sepuluh orang. Ketika kubuka pintu Marwa
langsung memelukku, Marwa menangis!. Aku mengajaknya masuk ke dalam kamarku dan
kubiarkan dia meluapkan kesedihannya, baru setelah itu kutanyakan masalahnya.
Marwa bercerita, kalau ibunya menyuruhnya untuk
menyudahi hubungan dengan tunangannya. Aku kaget, tapi kubiarkan dia bercerita
lebih lanjut. Ceritanya sebelum Marwa dan Muhammad menikah mereka menabung
untuk membeli flat beserta isinya, dan uang mereka ditabung di sebuah
Bank di Cairo. Tetapi tiba-tiba ibunya Muhammad meminta agar keluarganya saja
yang memegang uang tersebut, jelas saja ibu Marwa tidak setuju dan marah. Ibu
Marwa takut kalau Marwa ditipu, takut kalau uangnya dibawa kabur dan Marwa
ditinggalkan.
Aku bingung, aku tidak bisa berbuat apa-apa,
karena masalah mereka berkaitan dengan uang. Sulit juga kalau sudah berkaitan
dengan uang, semua orang juga akan sensitif kalau berhubungan dengan uang. “Udah
Halimah, kamu jangan ikutan pusing, kamu dengerin aja udah cukup kok,”
ujar Marwa sambil berusaha tersenyum walau matanya masih mengeluarkan air mata.
“Ma’alisy[7]
ya Marwa, aku enggak bisa bantu apa-apa, ya mudah-mudahan kalau memang
jodoh enggak bakal kemana kok, pasti sama Allah dibukain jalannya,”
kataku sambil memeluknya. Ya Allah, semoga urusan Marwa bisa selesai dan
Marwa bisa cepat menikah dengan Muhammad, amin!.
***
Meski musim dingin sudah usai, tetapi masih
menyisakan kesejukan untuk hari ini. Udara serasa sejuk sekali, daun-daun
melambai ke kiri dan kanan seperti menari atas kebahagiaan seseorang. Tepat di
hadapanku seorang gadis Mesir mengenakan gaun putih, cantik sekali. Senyum kebahagiaan
tergambar jelas di raut wajahnya. Aku pun turut bahagia, akhirnya Marwa bisa
melangsungkan pernikahan dengan Muhammad. “Inti gamilah awi ya Marwah, inti
amourah giddan giddan[8]!,”
seruku tanpa mengedipkan mataku, takjub atas kecantikannya. “Syukron ya
Halimah, wa inti kaman[9],”
jawabnya sambil tersenyum tersipu.
Ketika Marwa sudah siap dibawa ke tempat resepsi,
aku keluar untuk bersalaman dengan ibunya dan… kau tahu siapa? Ayahnya Marwa!.
Ayah Marwa sudah bebas dari penjara seminggu sebelum pernikahan Marwa, terlihat
Ibu Marwa merangkul suaminya dengan hangat. Aku teringat Ibu Marwa pernah
bercerita bahwasannya selama suaminya di penjara, ia tidak pernah datang
menjenguk suaminya, karena sudah cinta mati dengan suaminya, ia takut tidak
bisa merelakannya.
Akhirnya aku bisa melihat Marwa bersanding
dengan Muhammad di panggung pelaminan, memang jodoh tak akan kemana. Walaupun
adat Mesir yang menghambat, kalau sudah jodoh Allah pun akan melimpahkan rizki
bagi hamba-Nya. Lalu ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku, kapan
giliranku?.
[5] Nama
makanan Mesir berupa terong diambil isinya dan diganti dengan nasi yang sudah
dibumbui, selain terong lapisan luarnya bisa berupa daun kola tau daun anggur.
[6] Nama
jenis sayuran, dan cara penyuguhannya dihancurkan daun-daunnya lalu direbus
dengan air kaldu, lalu disediakan dimangkuk atau di gelas yang biasa disebut masyrubah
atau minuman mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar