Aku mempunyai masalah dengan sorotan mataku. Sebenarnya aku sendiri tidak mempermasalahkan, tetapi para lelaki selalu meributkan akan hal itu. Menurutku terlalu berlebihan. Aku memang sesosok gadis yang pendiam, memang sorot mataku tajam jika melihat orang apalagi jika sudah memperhatikan yang lain. Mungkin karena aku tidak suka banyak bicara, apalagi bertanya tentang hal sepele. Aku lebih suka membaca karakter seseorang, arah pikirannya, membaca suasana ketimbang banyak bicara. Biasanya jika di suatu perkumpulan aku selalu memperhatikan apa yang dibicarakan orang lain, pendapat yang dikemukakannya, jadi aku bisa menangkap arah pikirannya.
Para lelaki selalu salah sangka dengan tatapan mataku ini. Mereka
menyangka jika aku tertarik dengan mereka. Aku pikir hanya wanita yang
mempunyai hobi menarik kesimpulan terlalu cepat, tenyata para lelaki juga
berpikir pendek. Walaupun tidak secara langsung mendengar dari yang bersangkutan,
tetapi gosipnya sudah menyebar. Biasanya mereka yang kepedean cerita
kepada orang-orang bahwa aku menyukainya.
“Ya wajarlah Mel, kamu itu cantik. Itu cuma alasan mereka menuduh kamu
yang naksir, padahal sebenarnya mereka yang tergila-gila sama kamu,” ujar Lani.
“Tetapi mereka seperti itu gara-gara sorotan mataku Lan, itu yang bikin
mereka salah paham!,” seruku.
“Melatiii… udah aku bilang itu cuma alasan mereka, mungkin mereka kesal
karena semua cinta mereka kamu tolak. Siapa sih cowo yang nggak grogi diliatin
sama kamu? Apalagi dengan sorot matamu”.
Aku terdiam. Ada benarnya apa yang dikatakan Viona. Aku saja yang bodoh
terlalu memakan mentah-mentah apa yang dikatakan pria-pria hidung belang itu.
***
“Sini aku mau bicara!” seru Sekar sambil menarik lenganku dengan kasar.
Aku menarik lenganku kembali dengan kencang, sambil menatapnya sinis.
“Semua orang tau kalau kamu itu cewek tercantik di kampus ini, tetapi
bukan berarti bisa seenaknya mendekati pacar orang,” ujarnya sinis.
“Maksudnya?” tanyaku tak paham.
“Nggak usah berlaga bodoh deh, sok-sokan ngajarin si Bima akutansi,
bilang aja biar makin deket. Kamu udah lama kan suka sama Bima? Kata
orang-orang juga kamu sering merhatiin dia”.
Aku menghela napas. Kupandangi lekat-lekat gadis bermuka merah padam di
hadapanku. Seorang gadis posesif, pengatur, manja. Kerjaannya bersolek,
terlihat dari make up nya yang tebal, skripsi pun tidak kelar-kelar.
Pantas saja pacarnya tidak betah.
“Abis berapa jam dandan? Mending waktunya buat belajar biar skripsinya
nggak berjamur, supaya bisa ngajarin pacarnya juga terus nggak nanya-nanya
akutansi ke saya lagi,” kataku sambil berlalu meninggalkannya.
***
Kulirik jam di pergelangan tanganku, menunjukkan pukul satu siang. Masih
tersisa banyak waktu untuk kuhabiskan di perpustakaan. Langsung ku menuju
perpustakaan langgananku, tidak jauh dari kampus.
“Eh, neng Melati, gimana kabarnya? Udah lama nggak kesini,” sapa Mas
Aryo, penjaga perpustakaan tersebut.
“Iya Mas Aryo, lagi banyak tugas kuliah nih mas,” jawabku dibarengin
dengan senyum simpulku.
“Kemaren ada mas-mas ganteng yang nanyain neng Melati”.
“Siapa mas?”
“Kurang tahu, namanya Gading, kenal?”
“Nggak mas, emang dia nanyain apa?”
“Nanyain kok eneng udah jarang kesini. Kirain saya itu temen si eneng”.
“Saya nggak kenal mas, ya sudah saya liat-liat ke dalam dulu ya mas”.
Aku tidak terlalu memperdulikan lelaki yang diceritakan oleh Mas Aryo.
Paling-paling lelaki hidung belang seperti yang ada di kampus. Di salah satu
rak buku berdiri seorang lelaki, dia menghalangi jalanku. Mataku
mengisyaratkannya untuk memberiku jalan, tetapi dia acuhkan.
“Eheemm,” suaraku cukup membuatnya menatapku lama.
“Oh, mau lewat? Bilang dari tadi, orang mana paham pake isyarat mata,
kecuali peramal,” ujarnya santai.
Aku hanya menatapnya sinis.
“Nyari buku serial detektif lagi? Karangan Agatha Christie atau Sir
Arthur Conan Doyle?” tanyanya sambil matanya tetap menuju buku bacaannya.
“Tapi memang cocok orang yang memiliki mata yang tajam sepertimu membaca
serial detektif, karena orang sepertimu lebih suka memperhatikan seseorang dan
berpikir ketimbang banyak bertanya, berbicara yang tidak penting,” ujarnya
lagi.
Aku berusaha menghindarinya, tetapi apa boleh buat, novel yang kucari
berada di deretan tempat ia berdiri. Ia pun berbicara panjang lebar tentang
novel serial detektif. Ternyata dia juga penggemar serial detektif. Dari situ
aku mulai simpati dengannya dan menimpali pembicaraannya tentang apa yang
kubaca. Kuperhatikan dia berbeda dengan para lelaki hidung belang. Terlihat
dari gaya bicaranya, ia seorang pemikir yang cerdas.
Mungkin dia salah satu pengunjung tetap perpustakaan ini. Aku baru ingat,
setiap datang ke tempat rak novel kesukaanku selalu ada lelaki yang berdiri di
sudut tak jauh dari situ. Baru kali ini dia berada diantara sekat-sekat rak
buku.
“Loh, ini Mas Gading kan? Ternyata saling kenal toh?” Tanya Mas Aryo
ketika kami berpamitan dengannya.
“Enggak mas, malah kita udah ngobrol-ngobrol panjang dari tadi belum
kenalan,” ujar Gading.
Setelah keluar dari perpustakaan, kami berpisah, tertapi sebelumnya
Gading berkata sesuatu.
“Berinteraksi dengan orang lain tidak hanya dengan mata, tetapi dengan
semua panca indera, terutama dengan hati. Gunakan mata untuk mengenalinya,
mulut untuk menyapa, telinga untuk mendengarkan ceritanya, hidung untuk
kepekaan dan hati untuk merasakan”.
Aku baru menyadari mengapa terjadi banyak kesalah pahaman selama ini.
Itu karena aku tidak menggunakan semua panca inderaku seperti apa yang
dikatakan oleh Gading, terutama hati.