“Toloooong!” teriak Farah
“Ada apa neng? Kok kayak abis ngeliat setan gitu?” Tanyaku
“Ii..ii..tu kak…Mpok Lilis…,”
“Kenapa Mpok Lilis? Sakit? Kepeleset?”
“Bukaann…tapi gantung diri!”
“Haaaaaa??!!”
***
“Tit..tit..,” handphoneku berbunyi tanda sms masuk.
Kak Silvi, jangan lupa bawain
dompet pink yang udah kakak beliin itu, makasiiih
Masih ingat saja anak itu, kalau soal beginian saja dia tidak pernah lupa.
Farah adalah sepupuku, dia sengaja menitipkan pesanannya karena hari ini aku
berkunjung ke rumah nenekku yang berkediaman di daerah Kemang, Jakarta Selatan.
Rumahku di daerah Kalideres, Jakarta Barat, jadi tidak jauh dari rumah nenek.
Kebetulan aku sedang liburan ke tanah air, baru seminggu aku di Jakarta
semenjak kepulanganku dari studiku di Mesir. Hari ini aku janji ingin menemani
nenek, karena baru saja nenek ditinggal kakek. Aku pergi diantar abangku, Bang Ivan.
“Ya udah abang pulang dulu, mau langsung jemput mama dari
pengajian, salam buat nenek,”
“Iya bang, ati-ati, jagain mama kan papa pulang dinasnya baru
besok,”
Bang Ivan langsung menggas motornya menjemput mama. Baru saja aku masuk
pagar rumah nenek dari kejauhan Farah memanggilku dan langsung menagih
pesanannya. Ku lihat sepupu-sepupuku yang masih kecil bermain-main di halaman
rumah nenek. Mereka berteriak-teriak memanggilku, dan aku langsung mencubit
pipi mereka yang menggemaskan.
“Bang Arif masih suka maen kemari rah?” tanyaku
“Kaga, udah dua hari ini dia lagi ikut syekhnya ke luar
kota, katanya mengikuti perjalanan suci,” ujar Farah sambil mencibir
“Lah itu Bang Arif masih ikut tarekat yang nggak bener itu? Terus
itu istri sama tiga anaknya ditinggal gitu?”
“Katanya biar Allah yang jaga, rejeki kan datangnya dari Allah,”
“Ya tapi kan itu kewajiban mutlak seorang suami menafkahi istri sama
anak-anaknya, kalau nggak mahu ngurusin ngapain punya istri sama anak
banyak,”
“Itulah kak, ini aja Mpok Lilis mau punya anak lagi, kata Bang Arif banyak
anak, banyak rejeki,”
Ada-ada saja pamanku yang satu ini. Bang Arif adalah adik kandung
mamaku, Mpok Lilis adalah istrinya. Sudah hampir 2 tahun Bang Arif mengikuti
tarekat yang entah apa namanya. Semenjak dia di-phk dari perusahaan yang
mempekerjakannya, dia diajak oleh salah satu temannya untuk mengikuti tarekat
tersebut. Dia mengikutinya sebelum menikah dengan Mpok Lilis. Dia mempunyai
anak tiga yang jaraknya hanya setahun-setahun, menurut syekhnya, banyak anak
banyak rejeki.
Farah sering bercerita banyak tentang Bang Arif, ketika aku menelponnya
pasti yang dia bicarakan pertama kali adalah Bang Arif.
“Farah suka diajak debat sama Bang Arif, masa Bang Arif bilang kan salat
itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, kalau kita udah melakukan
itu ya nggak usah salat lagi,”
“Masa Bang Arif bilang gitu?”
“Iya kak, terus yang Farah heranin waktu debat sama dia tuh, aku kayak
dihipnotis jadi sependapat sama dia, pokoknya Bang Arif pinter banget biar aku
tuh iya-iya aja sama omongannya,”
“Emang orang-orang kayak gitu pinter ngomong, tapi kok Bang
Arif nggak pernah ajak Silvi debat ya?”
“Yaiyalah jelas, dia takut sama Kak Silvi, secara Kak Silvi kuliah di
Al-azhar Mesir, pasti lebih tahu soal agama”
Dulu Bang Arif termasuk salah satu anak nenek yang sukses, belum menikah
tetapi penghasilan lebih dari cukup. Banyak wanita yang mengejar-ngejarnya,
disamping parasnya yang tampan, dia ramah kepada setiap orang. Setiap hari
raya, dia selalu memberikan uang paling banyak kepada keponakan-keponakannya. Dia
juga yang mengurusiku ketika kecil, mengajakku jalan-jalan setiap sore, sayang
sekali kepadaku.
Tetapi semuanya berubah semenjak dia di-phk oleh perusahaan tempat dia
bekerja. Semenjak itulah, kerjaannya hanya melamun di rumah sampai dia masuk
tarekat yang menyesatkan itu. Setelah itu dia menikah dengan Mpok Lilis yang
kebetulan lebih tua darinya. Wanita-wanita yang mengicarnya semuanya tidak
rela, karena paras Mpok Lilis biasa-biasa saja.
Teringat percakapan Farah dengan Lina, sepupuku juga, ketika Bang Arif
memutuskan menikah dengan Mpok Lilis.
“Kok bisa ya Bang Arif nggak milih cewek-cewek yang lain?
Padahal yang ngejar-ngejar dia kan cakep-cakep,” ujar Lina
“Ya bisa lah, Bang Arif kan nyari yang mau nurut sama dia, lihat deh,
belum apa-apa Mpok Lilis udah disuruh make cadar,” tambah Farah.
“Huss..kalian nggak boleh ngomong sembarangan! Bang Arif kan
paman kita sendiri,” tegurku.
Sekarang Bang Arif berjualan gorengan di kantin sekolah dekat rumahnya,
jadi setiap pagi Mpok Lilis menggorengnya dan menyisakan sepiring untuk dibawa
ke rumah nenek. Rumahnya tak jauh dari rumah nenek, hanya berjarak lima rumah.
Setiap sebulan, tarekatnya mengadakan perjalanan suci selama seminggu. Dalam
perjalanan suci tersebut, mereka hanya fokus beribadah dan meninggalkan semua
hal-hal duniawi termasuk istri dan anak. Seperti yang dikatakan Farah, istri
dan anaknya akan dijaga oleh Allah, begitulah perkataan syekhnya.
Anak-anaknya lucu-lucu sekali, tetapi sayangnya tidak terurus, padahal
dulu Bang Arif telaten sekali mengurusiku ketika kecil. Mpok Lilis juga
terlihat kerepotan menjaga anak-anaknya dan harus menggantikan suaminya
berjualan di kantin sekolah. Mpok Lilis tidak pernah mengeluh, sabar sekali
orangnya. Kalau aku bermain kesana, ramah sekali, disuguhi gorengan buatannya
yang lezat sekali. Kasihan Mpok Lilis, dia tidak boleh keluar rumah oleh
suaminya,dia hanya boleh keluar rumah untuk berjualan, belanja, dan
mengantarkan gorengan ke rumah nenek.
“Kak..kak.. masa Mpok Lilis setiap sebelum tidur dibacain
nasehat-nasehat gitu kak, isinya tentang nasehat suami buat istri, dan itu
salah satu rukun di tarekatnya Bang Arif,” seru Farah
“Ya bagus kalau gitu, emangnya apanya yang salah?”
“Maksudnya si suami itu wajib bacain ke istrinya, mau istrinya denger kek
mau kaga yang penting udeh dilaksanain. Kalau udah dibacain
berarti tugas suami udah kelar, jadi kalau istrinya buat salah ya itu
bukan tanggung jawabnya lagi,"
“Kok bisa sih gitu, kalau gitu bakalan banyak suami yang
seenaknya lepas tanggung jawab dong”.
***
Kami terkejut melihat leher Mpok Lilis terjerat oleh tali yang
digantungkannya di pintu kamar. Mulutnya berbusa, matanya melotot hampir
keluar. Farah yang kebetulan sedang mampir ke rumahnya, menemukannya sudah
tergantung di pintu kamar. Segera saudara-saudaraku membawanya ke rumah sakit,
tetapi sudah tak tertolong. Papaku berusaha menghubungi Bang Arif, dan ternyata
dia tidak membawa handphonenya selama perjalanan sucinya.
Keesokkan harinya, Bang Arif datang dan langsung dikejutkan oleh berita
meninggalnya Mpok Lilis. Apalagi ketika tahu bahwa Mpok Lilis meninggal karena
gantung diri. Anak-anaknya yang masih kecil menangis-nangis menanyakan dimana
ibu mereka. Bang Arif langsung berlari menuju pemakaman dimana istrinya
dikuburkan. Ternyata selama ini dibalik kesabaran Mpok Lilis, senyumnya yang
ramah, dia menyimpan derita. Mana pernah Bang Arif menanyakan kabar istrinya, hanya
disuruh-suruh saja, membiarkan istrinya mengurusi anak-anaknya sendirian.
Beberapa menit kemudian,
“Si Arif bunuh diri!” teriak seorang tetangga di depan pintu rumah nenek
dengan wajah pucat
“Sepertinya dia loncat dari rumah susun samping pemakaman, dari lantai
tujuh”.