Pages

Labels

Jumat, 19 Oktober 2012

Dunia atau Akhirat?






“Toloooong!” teriak Farah

“Ada apa neng? Kok kayak abis ngeliat setan gitu?” Tanyaku

“Ii..ii..tu kak…Mpok Lilis…,”

“Kenapa Mpok Lilis? Sakit? Kepeleset?”

“Bukaann…tapi gantung diri!”

“Haaaaaa??!!”

                                                                        ***
“Tit..tit..,” handphoneku berbunyi tanda sms masuk.

 Kak Silvi, jangan lupa bawain dompet pink yang udah kakak beliin itu, makasiiih

Masih ingat saja anak itu, kalau soal beginian saja dia tidak pernah lupa. Farah adalah sepupuku, dia sengaja menitipkan pesanannya karena hari ini aku berkunjung ke rumah nenekku yang berkediaman di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Rumahku di daerah Kalideres, Jakarta Barat, jadi tidak jauh dari rumah nenek. Kebetulan aku sedang liburan ke tanah air, baru seminggu aku di Jakarta semenjak kepulanganku dari studiku di Mesir. Hari ini aku janji ingin menemani nenek, karena baru saja nenek ditinggal kakek. Aku pergi diantar abangku, Bang Ivan.

“Ya udah abang pulang dulu, mau langsung jemput mama dari pengajian, salam buat nenek,”

“Iya bang, ati-ati, jagain mama kan papa pulang dinasnya baru besok,”

Bang Ivan langsung menggas motornya menjemput mama. Baru saja aku masuk pagar rumah nenek dari kejauhan Farah memanggilku dan langsung menagih pesanannya. Ku lihat sepupu-sepupuku yang masih kecil bermain-main di halaman rumah nenek. Mereka berteriak-teriak memanggilku, dan aku langsung mencubit pipi mereka yang menggemaskan.

“Bang Arif masih suka maen kemari rah?” tanyaku

Kaga, udah dua hari ini dia lagi ikut syekhnya ke luar kota, katanya mengikuti perjalanan suci,” ujar Farah sambil mencibir

“Lah itu Bang Arif masih ikut tarekat yang nggak bener itu? Terus itu istri sama tiga anaknya ditinggal gitu?”

“Katanya biar Allah yang jaga, rejeki kan datangnya dari Allah,”

“Ya tapi kan itu kewajiban mutlak seorang suami menafkahi istri sama anak-anaknya, kalau nggak mahu ngurusin ngapain punya istri sama anak banyak,”

“Itulah kak, ini aja Mpok Lilis mau punya anak lagi, kata Bang Arif banyak anak, banyak rejeki,”

Ada-ada saja pamanku yang satu ini. Bang Arif adalah adik kandung mamaku, Mpok Lilis adalah istrinya. Sudah hampir 2 tahun Bang Arif mengikuti tarekat yang entah apa namanya. Semenjak dia di-phk dari perusahaan yang mempekerjakannya, dia diajak oleh salah satu temannya untuk mengikuti tarekat tersebut. Dia mengikutinya sebelum menikah dengan Mpok Lilis. Dia mempunyai anak tiga yang jaraknya hanya setahun-setahun, menurut syekhnya, banyak anak banyak rejeki.

Farah sering bercerita banyak tentang Bang Arif, ketika aku menelponnya pasti yang dia bicarakan pertama kali adalah Bang Arif.

“Farah suka diajak debat sama Bang Arif, masa Bang Arif bilang kan salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, kalau kita udah melakukan itu ya nggak usah salat lagi,”

“Masa Bang Arif bilang gitu?”

“Iya kak, terus yang Farah heranin waktu debat sama dia tuh, aku kayak dihipnotis jadi sependapat sama dia, pokoknya Bang Arif pinter banget biar aku tuh iya-iya aja sama omongannya,”

Emang orang-orang kayak gitu pinter ngomong, tapi kok Bang Arif nggak pernah ajak Silvi debat ya?”

“Yaiyalah jelas, dia takut sama Kak Silvi, secara Kak Silvi kuliah di Al-azhar Mesir, pasti lebih tahu soal agama”


Dulu Bang Arif termasuk salah satu anak nenek yang sukses, belum menikah tetapi penghasilan lebih dari cukup. Banyak wanita yang mengejar-ngejarnya, disamping parasnya yang tampan, dia ramah kepada setiap orang. Setiap hari raya, dia selalu memberikan uang paling banyak kepada keponakan-keponakannya. Dia juga yang mengurusiku ketika kecil, mengajakku jalan-jalan setiap sore, sayang sekali kepadaku.

Tetapi semuanya berubah semenjak dia di-phk oleh perusahaan tempat dia bekerja. Semenjak itulah, kerjaannya hanya melamun di rumah sampai dia masuk tarekat yang menyesatkan itu. Setelah itu dia menikah dengan Mpok Lilis yang kebetulan lebih tua darinya. Wanita-wanita yang mengicarnya semuanya tidak rela, karena paras Mpok Lilis biasa-biasa saja.

Teringat percakapan Farah dengan Lina, sepupuku juga, ketika Bang Arif memutuskan menikah dengan Mpok Lilis.
Kok bisa ya Bang Arif nggak milih cewek-cewek yang lain? Padahal yang ngejar-ngejar dia kan cakep-cakep,” ujar Lina
“Ya bisa lah, Bang Arif kan nyari yang mau nurut sama dia, lihat deh, belum apa-apa Mpok Lilis udah disuruh make cadar,” tambah Farah.
“Huss..kalian nggak boleh ngomong sembarangan! Bang Arif kan paman kita sendiri,” tegurku.

Sekarang Bang Arif berjualan gorengan di kantin sekolah dekat rumahnya, jadi setiap pagi Mpok Lilis menggorengnya dan menyisakan sepiring untuk dibawa ke rumah nenek. Rumahnya tak jauh dari rumah nenek, hanya berjarak lima rumah. Setiap sebulan, tarekatnya mengadakan perjalanan suci selama seminggu. Dalam perjalanan suci tersebut, mereka hanya fokus beribadah dan meninggalkan semua hal-hal duniawi termasuk istri dan anak. Seperti yang dikatakan Farah, istri dan anaknya akan dijaga oleh Allah, begitulah perkataan syekhnya.

Anak-anaknya lucu-lucu sekali, tetapi sayangnya tidak terurus, padahal dulu Bang Arif telaten sekali mengurusiku ketika kecil. Mpok Lilis juga terlihat kerepotan menjaga anak-anaknya dan harus menggantikan suaminya berjualan di kantin sekolah. Mpok Lilis tidak pernah mengeluh, sabar sekali orangnya. Kalau aku bermain kesana, ramah sekali, disuguhi gorengan buatannya yang lezat sekali. Kasihan Mpok Lilis, dia tidak boleh keluar rumah oleh suaminya,dia hanya boleh keluar rumah untuk berjualan, belanja, dan mengantarkan gorengan ke rumah nenek.

“Kak..kak.. masa Mpok Lilis setiap sebelum tidur dibacain nasehat-nasehat gitu kak, isinya tentang nasehat suami buat istri, dan itu salah satu rukun di tarekatnya Bang Arif,” seru Farah

“Ya bagus kalau gitu, emangnya apanya yang salah?” 

“Maksudnya si suami itu wajib bacain ke istrinya, mau istrinya denger kek mau kaga yang penting udeh dilaksanain. Kalau udah dibacain berarti tugas suami udah kelar, jadi kalau istrinya buat salah ya itu bukan tanggung jawabnya lagi,"
 
Kok bisa sih gitu, kalau gitu bakalan banyak suami yang seenaknya lepas tanggung jawab dong”.

                                                                        ***
Kami terkejut melihat leher Mpok Lilis terjerat oleh tali yang digantungkannya di pintu kamar. Mulutnya berbusa, matanya melotot hampir keluar. Farah yang kebetulan sedang mampir ke rumahnya, menemukannya sudah tergantung di pintu kamar. Segera saudara-saudaraku membawanya ke rumah sakit, tetapi sudah tak tertolong. Papaku berusaha menghubungi Bang Arif, dan ternyata dia tidak membawa handphonenya selama perjalanan sucinya.

Keesokkan harinya, Bang Arif datang dan langsung dikejutkan oleh berita meninggalnya Mpok Lilis. Apalagi ketika tahu bahwa Mpok Lilis meninggal karena gantung diri. Anak-anaknya yang masih kecil menangis-nangis menanyakan dimana ibu mereka. Bang Arif langsung berlari menuju pemakaman dimana istrinya dikuburkan. Ternyata selama ini dibalik kesabaran Mpok Lilis, senyumnya yang ramah, dia menyimpan derita. Mana pernah Bang Arif menanyakan kabar istrinya, hanya disuruh-suruh saja, membiarkan istrinya mengurusi anak-anaknya sendirian. 

Beberapa menit kemudian,

“Si Arif bunuh diri!” teriak seorang tetangga di depan pintu rumah nenek dengan wajah pucat

“Sepertinya dia loncat dari rumah susun samping pemakaman, dari lantai tujuh”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar