Ketika itu sedang terjadi kerusuhan di Mesir,
yaitu revolusi Mesir pada 25 Januari 2011, jadinya pada hari-hari kerusuhan
semua jaringan telepon dan internet dimatikan. Aku dan temanku pada saat itu
ragu untuk kumpul di sekretariat IKPM (Ikatan Keluarga Pesantren Modern).
"Ya sudahlah, kita berangkat aja, takutnya yang lain pada kumpul",
ujar temanku. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk berangkat menuju daerah Bawabah
di bilangan Hay Asyir. Sampailah kami di tempat pemberhentian bus seberang
apartemen kami dan ternyata tak ada satu pun bus maupun tremco[1] yang
berlalu-lalang, keraguan pun mulai menjalar di pikiranku lagi, tetapi akhirnya
kami memutuskan untuk berangkat dengan taksi.
Setelah sidang redaksi usai, kami pun singgah
di rumah makan bang Bobi yang kebetulan dekat dengan sekretariat. Sepi sekali
tidak ada satu pun Masisir yang mengunjungi tempat tersebut. Sambil menunggu
pesanan, kami melihat di televisi bahwa pada hari itu ada kerusuhan lagi di
Maidan Tahrir, ah kan yang demo di Tahrir bukan disini, pikirku. Setelah
dari Bang Bobi kami menunggu teman kami di depan swalayan "Khoiru
zaman", karena telah terlanjur membuat janji kepada teman kami bahwa akan
berbelanja disana tepat pada pukul enam sore.
Jalan raya pun makin sepi, sepi, dan makin
sepi, bodohnya kami berdua tidak menyadarinya dikarenakan asik bergosip
ria. Memang dasar wanita, ketika sedang asik bergosip mereka lupa dengan
sekitarnya. Akhirnya kami pun menyadari bahwa sudah satu jam kami menunggu, dan
jalanan pun makin terasa sepi. Sedikit orang-orang tersisa, mereka berlari-lari
mengejar tremco yang lewat karena mereka takut tidak mendapatkan kendaraan
pulang.
Setelah beberapa menit kemudian, Khoiru Zaman
TUTUP! Dan ternyata bukan Khoiru Zaman saja yang tutup, tapi toko-toko yang
lain pun turut mengakhiri jam kerja mereka. Akhirnya kami memutuskan untuk
pulang, dan setelah menunggu setengah jam tidak ada satu pun bus ataupun tremco
yang lewat, adapun yang lewat tapi penuh dengan penumpang. Orang-orang Mesir
kebanyakan menaiki truk yang kebetulan lewat dan menawarkan tumpangan, karena
semua bus sudah penuh ketika melewati Hay Asyir dan mustahil bagi kami untuk
menaiki truk yang penuh sesak oleh pria-pria Mesir.
Lama sekali kami menunggu, dengan keputusan
yang sedikit gila kami pun memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki menuju daerah
Zahro yang jauh sekali letaknya dengan daerah Bawabah ini. Jalan, jalan, dan
jalan yang kami lakukan dan ketika sampai di daerah Gami' kami mencoba lagi
menunggu bus ataupun tremco. Tapi hasilnya Nihil! dan ketika itu kami melihat
seorang ibu-ibu Rusia yang tengah menggendong anaknya, aku merasa kasihan
melihatnya, tetapi apa daya jangankan untuk menolongnya untuk pulang ke rumahku
saja aku tak tahu harus bagaimana. Taksi pun penuh dengan penumpang, tetapi
akhirnya ibu-ibu Rusia itu ditolong oleh seorang lelaki Rusia. Waaah senangnya,
coba ada orang Indonesia yang lewat lalu menolong kami berdua, tapi itu suatu
hal yang tidak mungkin.
Kami pun meneruskan perjalanan dengan berjalan
kaki, ketika sampai di daerah Madrasah ada bus 81 jurusan Zahro menurunkan
penumpang. Ketika kami ingin menaiki bus tersebut seorang lelaki Mesir
berteriak, "La!Mashri bas!"[2],
yassalaaam!
Kata-kata berupa cacian pun keluar begitu saja
dari mulutku, dan ada kejadian yang menegangkan lagi ketika kami sampai di daerah
Suq Madrasah, kami melihat ada kobaran api yang sangat besar berasal dari terminal
bus Hay Asyir. Kami bingung harus kemana, ketika itu ada 2 orang lelaki
Indonesia yang lewat dan aku hendak meminta pertolongan, tapi mereka hanya
melihat dengan tatapan tidak peduli. Temanku langsung berkata, "Udahlah,
kita juga bisa sendiri kok!", aku tahu dia berkata seperti itu hanya untuk
menghibur dirinya.
Tak ada jalan lain, aku pun menarik tangan temanku
menuju gang-gang kecil di sekitar Suq Madrasah yang sangat gelap dan sunyi,
karena pintu-pintu dan jendela-jendela rumah terkunci dengan rapat. Parahnya
aku tidak terlalu hafal jalan di daerah sini, ya Rabb!. Ah tapi kan jalan di
Mesir hanya kotak-kotak saja, pikirku. Aku pun berjalan super cepat
disertai dengan otakku yang berjalan menentukan arah-arah yang akan kita tempuh
dan dengan merangkul tangan temanku. Tangan temanku berkeringat dingin dan
gemetar, dia memegang tanganku kuat sekali. Dia ketakutan sekali dan hampir
menangis, jika aku menangis juga maka itu sama saja membuang waktu. Dengan
keberanian yang dipaksakan aku berjalan menuju jalan-jalan sempit yang diapit
oleh apartemen.
Akhirnya kami tiba di tempat pengisian bensin,
dan terlihat jelas ternyata kobaran api tersebut berasal dari tempat polisi
yang berada di terminal bus Hay Asyir yang memang sengaja dibakar oleh
masyarakat setempat. Akhirnya kami tiba diperbatasan Hay Asyir dan Zahro.
Disana banyak tentara-tentara yang membawa senapan sedang memeriksa mobil-mobil
pribadi yang lewat sana, setelah kuperhatikan tidak ada satu pun perempuan yang
lewat sana. Memang inilah pengalaman kami yang bodoh dan gila. Sampailah kami
di rumah, kami pun disambut oleh penjaga apartemen kami. Memang pada hari itu
KBRI sudah mengumumkan bahwa tidak boleh keluar rumah setelah jam 4 sore, tetapi
kabar itu tidak sampai rumah kami.
Ternyata, ketika kami pergi dari rumah, ada
kerusuhan di depan apartemen kami dan sampai merusak pemberhentian bus di
seberang. Salah satu teman kami mencoba mengambil gambar dengan kamera,
tiba-tiba tetangga atas flat kami meludahinya dan melempar bantal, karena
mereka melihat cahaya kamera dari jendela flat kami. Memang ketika di zaman
kepemimpinan Husni Mubarok semua kejadian kriminal tidak pernah dipublikasikan,
baik dalam negri maupun luar.
Setelah beberapa hari, akhirnya ada berita
bahwa orang Indonesia di Mesir akan dievakuasikan ke tanah air. Meski hanya
beberapa minggu di Indonesia, tetapi akhirnya aku bisa pulang ke tanah air dengan
gratis. Ternyata dari jalan setapak yang mengerikan berakhir dengan manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar