Pages

Labels

Rabu, 10 April 2013

Kerikil Kehidupan



Kairo, 20 Maret 2013 
 
Orang yang lalu lalang di taman kota dapat tontonan gratis. Hari itu, di bangku taman, ada seorang gadis manis. Semua yang lewat mencuri pandang. Beberapa pemuda pura-pura mengucek-ucek mata, tapi mata yang satu lagi jelalatan. Ada yang pura-pura memunggut sampah, padahal cuma sehelai daun.

Tapi serta merta para pencuri pandang mengernyitkan dahi, bingung. Kelopak mata wanita itu sembab. Kerudung biru langit yang dikenakannya menggelap, basah. Senguknya lamat-lamat terdengar. Yang sudah-sudah, bangku taman itu sering diduduki orang gila. Barangkali wanita cantik itu salah satunya, pikir mereka
, tetapi gadis jelita itu Ghaida, dan ia tak gila.

“Iya neng Ghaida, Syakila sekarang sakit nginep di rumah Tante Lia, panasnya nggak turun-turun dari semalem, Zidan juga nggak pulang dari kemarin,” ujar Bik Asih, pembantu rumahnya ketika Ghaida menelpon ke rumahnya. Tidak ada orang di rumah kecuali Bik Asih.

Ucapan Bik Asih masih terngiang-ngiang di telinganya, bagai sengatan lebah. Dia masih tak paham, kenapa orang dewasa suka berbuat semau dirinya, egois. Umurnya saja lebih tua, tetapi terkadang pemikirannya seperti anak kecil. Namun ia langsung beristighfar, walau bagaimana pun orang dewasa tersebut adalah ibunya sendiri. 

“Ibumu menikah lagi, sama lelaki yang pernah ke rumahmu dulu itu, menikahnya dua hari yang lalu, maafin tante ya baru bisa bilang ke kamu sekarang,” ujar Tante Lia, setelah basa-basi panjang lebar.

“Sama Om Arif? Yang pernah diusir sama Syakila itu kan?” Tanya Ghaida berusaha setenang mungkin.

“Iya Ghaida sayang”.

Ghaida teringat, dulu Om Arif pernah main ke rumahnya. Syakila sudah mencium gelagat pria berumur hampir 60-an itu, ia tertarik dengan ibu. Ketika itu mereka hendak salat ashar berjamaah di ruang tamu dan ibu masih di kamar mandi. Om Arif melihat foto keluarga berukuran besar, dia tersenyum seraya berkata kepada Syakila, “Itu yang namanya Ghaida ya? Cantik,” ujarnya. Mendengar komentar Om Arif barusan, Syakila langsung naik darah, “Pokoknya om keluar dari rumah ini sekarang juga!” bentaknya. Ibu langsung panik melihat kejadian tersebut, apalagi ia tidak sempat meminta maaf kepada Om Arif karena sudah meninggalkan rumahnya. Ketika itu juga ibu memarahi Syakila dan  ia pun kabur ke rumah Tante Lia.

Syakila memang tipe temperamen, dia marah karena tidak seharusnya Om Arif mengomentari kecantikan Ghaida secara gamblang. Juga ketika itu ibu khilaf ketika memarahinya, mungkin perasaannya ketika itu sedang campur aduk dan terkejut. 

“Kalau begitu kenapa ibu bisa menikah dengannya? Padahal jelas-jelas semenjak kejadian itu Syakila enggak setuju, kalo Syakila udah enggak setuju pasti Zidan juga enggak,” ujar Ghaida terheran-heran.

“Ibu menikah tanpa persetujuan Syakila sama Zidan, juga sama kamu, karena mungkin dia tahu pasti kalian bertiga tidak setuju”.

Rahang Ghaida mengeras, menahan semua perasaan yang kacau balau. Masalah ini lebih rumit ketimbang ketika ibu memutuskan untuk bercerai dengan ayah. Kejadian tersebut 6 tahun yang lalu, ketika Ghaida duduk di kelas 1 Aliyah. Ketika ia sudah di Mesir pun banyak masalah keluarga apalagi pada saat-saat ujian, tetapi memang Allah maha adil, Ghaida diberikan otak yang cerdas jadi dia lulus naik tingkat dengan nilai yang baik.

Ibu menikah tanpa persetujuan anak-anaknya? Ghaida pun tak habis pikir, kenapa ibunya tega berbuat seperti itu. Ibu memang masih cantik, meskipun umurnya sudah mendekati angka 50, tetapi kecantikannya masih terpancar darinya, mungkin itulah sebab Syakila terlalu selektif dalam menerima calon ayah baru. 

Ghaida pun beranjak dari tempat duduknya, dia harus pulang karena azan magrib sudah berkumandang. Lalu ia membersihkan mukanya yang putih bersih dari sisa-sisa air mata yang tertinggal. Ketika sampai di rumah, teman-teman langsung menghamburinya, karena seharian telepon genggamnya tidak aktif. Akan tetapi seperti biasa, Ghaida pintar menyembunyikan perasaannya, namun jika ada orang yang menyadarinya kedua bola matanya tidak pernah berbohong.

Ia menghempaskan tubuh mungilnya ke atas kasur, lalu sejenak menoleh ke arah jadwal kuliah, lupa! Besok tugas bahst dikumpulin lagi, belum ngerjain apa-apa, ujarnya dalam hati. Beruntungnya ia terbiasa memaksakan konsentrasi ketika saat-saat sulit seperti ini, tugasnya pun bisa dalam semalam ia kerjakan, lagi-lagi Allah maha adil.

                                                                     ***
Kairo, 23 Maret 2013

“Tante, Syakila udah sembuh? Zidan udah pulang ke rumah?” tanyaku ketika menelpon ke rumah Tante Lia.

“Alhamdulillah panasnya udah turun, cuma masih anget-anget dikit, Zidan belum pulang juga, tadi siang ayahmu lagi berusaha nyari Zidan, doain aja ya sayang”.

“Komentar ayah gimana?”

“Ya kamu tahu lah ayahmu itu, semenjak mamamu minta bercerai dia udah enggak pernah berkomentar tentang ibumu, cuma dia masih peduli sama anak-anaknya”.

“Komentar keluarga ibu yang lain gimana?”

“Kalau komentar secara langsung ya enggak ada, tetapi enggak tahu gimana di belakang, mungkin mereka udah paham sama watak ibumu, cuma yang bikin Syakila tambah stress komentar-komentar enggak enak dari orang lain,” ujar Tante Lia dengan nada suara semakin memberat.

“Enggak enak gimana tante?” tanyaku penasaran.

“Banyak yang bilang kalau ibumu nikah sama Arif karena harta, ya kamu tahu kalau lelaki itu pengusaha kaya, jadinya mereka beranggapan kalau ibumu mengejar harta sampai lupa sama anak-anaknya”.

Ia pun terdiam, beruntung posisinya sedang terduduk, kalau tidak sudah jatuh tersungkur. Suasana hening, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Ghaida sayang? Kamu baik-baik aja kan?” Tanya tante khawatir.

Mulutnya masih terbungkam.

“Kamu jangan ikut-ikutan stress, justru kamu harus bisa menguatkan adik-adikmu. Doain semuanya baik-baik aja, semoga Zidan cepet pulang, Syakila sembuh, dan ibumu tidak seperti apa yang diomongin sama orang-orang. Enggak usah mikirin yang di Indonesia, kamu belajar yang rajin, baik-baik di Negri orang ya sayang,” nasehat tante.

                                                                 ***
Jakarta, 18 Juli 2013

Ibu mau bicara sama kamu, tunggu ibu di taman kota jam 4 sore.

Pesan singkat dikirim pagi tadi. Sudah 3 hari gadis cantik ini di Jakarta dan belum menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Sebenarnya tahun ini Ghaida tidak ingin pulang, tetapi ibu memaksanya untuk pulang ke Jakarta, sepertinya untuk membicarakan masalah ini. Berkali-kali ia berzikir untuk menenangkan hati dan meredam emosi, ia harus tenang, tekadnya. Tidak beberapa lama, siluet tubuh yang tidak asing datang menghampirinya.

Setelah beberapa menit basa-basi yang agak kaku berlangsung, ibu mulai berbicara serius.

“Maafkan ibu, mungkin kamu sudah mendengar semuanya dari Lia. Maafkan semua yang terjadi terhadap Syakila, Zidan, juga sering mengganggu konsentrasi belajarmu,” ujar ibu lembut.

Ia hanya bisa diam sambil mengedarkan pemandangan.

“Sebenarnya ibu tidak cinta sama Arif, ibu merasa dengan menikahinya kebutuhan kalian bisa tercukupi, ibu tidak punya pilihan lain”.

Kali ini ia benar-benar tidak bisa berkata apa-apa.

“Kamu tahu kan semenjak perceraian dengan ayahmu, ibu ikut bisnis dimana-mana karena gaji dari rumah sakit tidak cukup buat membiayai semuanya. Alasan ibu tidak meminta persetujuan kamu, Syakila, dan Zidan ya karena kalian tentunya tidak setuju”.

“Terserah kamu mau percaya ibu atau orang lain, yang penting ibu sudah menjelaskan. Cuma kamu yang bisa ibu ajak bicara, kamu tahu kedua adikmu itu keras kepala, maafkan ibu ya”.

Tanpa keluar sepatah kata, ia langsung memeluk ibu. Menangis sepuas-puasnya dipelukannya.

                                                                ***
Kairo, 10 Januari 2014

“Syakila, kok kabur ke rumah Tante Lia lagi, berantem lagi sama ibu?” Tanya Ghaida ketika menelpon ke rumah Tante Lia.

“Ibu cerai sama Om Arif!” teriak Syakila.

Pandanganku mengabur.

Sketsa Pelangi untuk Dira (Episode 5)



*Chapter 5

Cerita Sebelumnya:
“Neng, coba ditelpon Andi-nya, kok udah jam segini belum dating-dateng?,” suruh mama.
“Iya ma, ini lagi mau ditelpon”.
Berkali-kali ku telpon, tapi tidak diangkat. Ah, mungkin lagi di jalan, lagi sibuk siap-siap, batinku menghibur.
“Gimana neng, udah diangkat telponnya?” Tanya mama.
“Belum ma, mungkin masih di jalan, nggak kedengeran kali. Nanti dua menit lagi Dira telpon”.
Belum dua menit ringtone handphoneku berteriak. Tertera di layar nomor yang tidak dikenal.
“Halo…”.

Cerita Selanjutnya:
Tiba-tiba kepalaku berkunang-kunang, kaki ini sepertinya tidak menapak lagi di bumi, gagang telepon pun jatuh sehingga membuat mama dan yang lainnya tersentak. Semuanya pada bertanya kepadaku, yang keluar hanyalah isak tangis dariku. Akhirnya mama membawaku ke kamar, supaya aku tenang dan baru bercerita. 

“Tadi emangnya telepon dari siapa?” Tanya mama setelah tangisku mereda.

Aku masih membisu, mama mengambilkan air putih untukku.

“Andi…andi…ngebatalin semuanya ma…” ujarku mulai membuka mulut meski tersendat-sendat.

Mama langsung paham dan memelukku seketika. Aku terisak kembali. Aku tak menyangka akan berakhir seperti ini. Siapa yang menyangka kalau Andi akan membatalkan acara khitbah yang sudah direncanakan secara matang. Orang yang sudah berbela-bela diri untuk menghadap orang tuaku, yang meyakinkanku, lalu membatalkan semuanya tanpa alasan yang jelas? Aku masih tidak percaya. 

Semua sanak saudaraku membereskan ruang tamu tempat acara khitbah yang direncanakan. Semuanya membisu, tidak ada yang berani bertanya, semuanya paham dengan apa yang terjadi. Sebagian makanan dibagikan ke tetangga-tetangga. Babeh berusaha menenangkan diri, supaya yang lain juga tenang.

                                                          ***
Tyas dan Cicit memelukku erat ketika sampai di Bandara Internasional Kairo, mereka menyambut kedatanganku dari Indonesia. Mereka sangat tahu apa yang baru aku alami dan perasaanku. 

“Kita udah siapin menu kesukaanmu, abis ini kita makan-makan, ketawa-ketawa bareng lagi,” ujar Tyas.

“Kita juga udah download  film kartun kesukaanmu, nanti abis makan kita nonton bareng, okeh saying,” kali ini Cicit yang menghiburku.

Tiba-tiba air mata menyeruak dari kedua sudut mataku, aku terharu. Aku teringat mama menangis ketika melepaskanku berangkat ke Mesir, takut aku frustasi dan segala macam kekhawatiran muncul dibenaknya. Akan tetapi, babeh berusaha meyakinkan mama.
“Pokoknya jangan terlalu dipikirin ya neng, kalau udah waktunya mah pasti entar dateng jodohnya, kaga usah khawatir, pasti nanti ada gantinya, udeh ada yang ngatur sama yang di atas,” nasehat babeh panjang lebar sebelum melepasku.

                                                          ***
Tak terasa pengumuman ujian akhir tahun sudah dipajang di etalase, aku bersama kedua temanku menyeruak kerumunan.

“Kita lulus! Tyas, Cicit, lulus kitaaaa! Alhamdulillaaaahhh!” seruku sambil berjingkrak-jingkarakan.

“Wah, keren kamu Dir, mumtaz! Gila banget! Sumpah, pokoknya abis ini wajib traktir kita berdua!” teriak Tyas.

“Ayo Yas, kita tarik dia langsung ke math’am, nggak afdhol ada orang mumtaz diem aje,” ujar Cicit.

“Iya, iya, emang mahu ditraktir dimana sih?” tanyaku sok-sokan.

Spontan mereka berdua menarikku langsung menuju tempat traktiran. Hatiku tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur kepada Allah, mungkin ini rahasia di balik semua ini, semua kejadian-kejadian yang ku alami. Allah mempunyai kejutan yang lebih indah, lebih indah dari apa pun.

Ketika aku mengabari hasil kelulusanku kepada orang tua, mereka langsung berteriak mengucapkan syukur.

“Alhamdulillah neng, anak mama sama babeh calon ulama yang ditunggu-tunggu sama penduduk Ujung Menteng,” kata mama.

“Tuh kan babeh bilang apa, pasti ada gantinya, babeh salut sama eneng, udeh dewasa dan tidak berlarut-larut dalam masalah, kan jadi bermanfaat,” ujar babeh.

“Iya ma, beh, Alhamdulillah banget akhirnya bisa ngebahagiain orang tua, akhirnya keturutan jadi lulusan azhar yang mabrurah hehe,” ujarku.

“Dira pulangnya abis lebaran kira-kira, soalnya sekalian nunggu ijazah biar kaga bolak-balik, terus juga pengen ngikut acara wisuda disini”.

                                                          ***
Sudah seminggu lebih aku sibuk berbelanja oleh-oleh untuk keluargaku di Indonesia, aku berencana pulang besok lusa. Walhasil, hari kedua sebelum kepulanganku ke tanah air, aku terbaring lemas, badanku panas. 

“Apa lagi sih yang mahu dibeli? Udah nggak usah keluyuran lagi, nanti kalau kamu pingsan pas transit gimana?” ujar Tyas mengkhawatirkanku.

“Kamu sih disuruh pulangnya barengan aku nggak mahu, kan jadi iseng pulang sendirian,” prostesku.

“Ya aku kan masih mahu jalan-jalan dulu mumpung disini, kamu kan udah semuanya dijabanin”.

Lusanya, aku berangkat meninggalkan Negara Seribu Menara ini, tidak terasa sudah lima tahun terlewati. Banyak peristiwa, kenangan yang ku lewati, dari yang manis, pahit, semuanya ada. Berawal dari aku dan Tyas dipekerjakan, lalu tinggal kelas, aku bertemu dengan Andi dan ditinggalkan, namun semuanya berakhir dengan manis. Kado terindah dari Negara Para Nabi.

Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, babeh, mama, Mpok Hani, menjemputku. Akhirnya aku bisa berkumpul kembali dengan keluarga tercinta. Saudara-saudaraku pasti sudah banyak yang menunggu di rumah. Seperti biasa, kalau ada saudara yang datang dari merantau biasanya ada acara keluarga. Kumpul keluarga sering diadakan, karena tetangga-tetangga sekeliling rumah itulah saudara kami.

“Eh, ada tamu  special yang nungguin kamu di rumah,” kata Mpok Hani.

“Siapa Mpok? Si Neli temen SD Dira? Apa anak kampung sebelah?” tanyaku penasaran, takut Mpok Hani mengelabuiku.

“Ih, si Hani kaga seru, malah dibilangin,” ujar mama.

Sepanjang perjalanan aku diliputi dengan rasa penasaran. Ah, palingan dikerjain sama Mpok Hani, batinku. Sesampainya di depan rumah terlihat banyak sandal di depan teras, pastinya semua saudaraku sudah berkumpul. Benar saja, sepupu-sepupuku yang masih kecil keluar rumah dan langsung manodongku oleh-oleh.

“Iya, iya, nanti ya oleh-olehnya, biar Mpok Dira nya masuk dulu, makan-makan dulu,” kata mama.

Ah, benar-benar suasana yang merindukan, semua keluarga berkumpul, banyak kue-kue kering di ruang tamu, dan sudah ada makanan besar di meja makan. Persis kayak lebaran haji, dan anak-anak kecil ini menodongku oleh-oleh seperti meminta uang temple lebaran. Akan tetapi, pandanganku menuju ke salah satu pemandangan, pemandangan yang tidak asing. Satu sosok orang yang sangat-sangat aku kenal.

“Ustad Faishal…?”

Selesai.
                            

Sketsa Pelangi untuk Dira (Episode 4)



*Chapter 4

Cerita sebelumnya:
 “Neng, kemaren tuh ada yang dateng ke rumah, ustad yang ngajar eneng di pondok ntuh,”
“Hah? Siapa ma? Ngapain?,”
“Ustad Faishal namanya, intinya sih minta si eneng. Mama juga bingung, katanya lusa mau kemari lagi,”
Tiba-tiba kepalaku berkunang-kunang…

Cerita selanjutnya:
Hatiku berbunga-bunga. Jantungku, jangan ditanya lagi, yang pastinya seperti mahu jatuh. Hari ini aku akan pulang ke tanah air, setidaknya penghilang dukaku dikarenakan nilaiku di tingkat dua ini menurun, dari Jayid Jidan menjadi Jayid dan itu saja karena beberapa nilaiku dinaikkan. Masalah-masalah hati yang membuat nilaiku turun. Akan tetapi kesedihanku hilang sementara ini, setelah aku mendapatkan izin dari orang tuaku.

“Dira!” seru seorang lelaki yang sudah tak asing lagi.

“Hati-hati di jalan, insyaallah nanti saya nyusul kamu,” pesannya.

Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum kepadanya.

                                                                   ***
Benar saja, lusanya Ustad Faishal datang kembali ke rumahku. Mama langsung menyuruhku menentukan pilihan. Kalau urusan jodoh, Mama dan Babeh menyerahkannya kepadaku, mereka yakin bahwa anak gadisnya bisa menentukan pilihan yang terbaik. Untuk masalah perasaan, hatiku lebih memihak kepada Andi.

 “Yas, aku nggak konsen nih sama ujian, aku bingung nentuin pilihan”.

“Udah, nggak usah dipikirin dulu Dir, kata mama sama babeh kan suruh mikirin ujian dulu, Ustad Faishal juga pasti ngertiin”.

“Tapi aku nggak bisa bisa Yas, aku kepikiran mulu”.

“Daripada bawel terus daritadi, mendingan kamu salat istikharah, nanyanya sama Allah, jangan sama aku”.

Benar juga apa yang dikatakan Tyas, kenapa aku bisa lupa melaksanakan salat istikharah?. Malah yang terjadi, aku uring-uring dan tidak lekas menghafal diktat kuliah yang menumpuk. Ujian hanya berjarak 3 minggu lagi dan persiapanku belum matang.

Setelah, melaksanakan salat istikharah di beberapa malam dan memantapkan hati, akhirnya aku memutuskan untuk tidak memilih Ustad Faishal dan memilih Andi. Entah mengapa hatiku malah memihak kepada Andi bukan Ustad Faishal, apa jangan-jangan karena aku lebih sering bertemu dengannya? Padahal dulu, aku tergila-gila dengan Ustad Faishal, memang terkadang hati itu sering berubah-ubah.

Keesokkan harinya, aku langsung menelpon mama dan babeh bahwa aku tidak menerima lamaran Ustad Faishal. Aku juga mengirim email kepadanya, agar tidak menyakiti perasaannya, makanya aku mengirim permintaan maaf. Aku juga menceritakan perihal ini kepada Andi, karena sudah lama dia menunggu keputusanku.

3 hari kemudian, aku mendapat balasan email dari Ustad Faishal, yang berisi seperti ini:

Wa’alakummussalam wr.wb.
Alhamdulillah saya sehat wal’afiat Dir. Kamu nggak usah khawatir, soal penerimaan lamaran itu kan memang hakmu. Jangan dibebani, mungkin Dira memang bukan jodoh saya. Saya hanya berusaha saja, kalau memang tidak diterima ya nggak apa-apa, toh itu resiko saya sebagai laki-laki. Semoga Dira mendapatkan yang lebih baik, maaf sudah mengganggu ketenangan Dira.
Faishal

“Tuh kan, apa aku bilang, kamu nggak usah ngerasa nggak enak. Kecuali kalau Ustad Faishal udah mengkhitbah kamu terus tiba-tiba kamu cancel gara-gara kamu suka sama Andi, itu baru nggak boleh,” ujar Tyas setelah membaca email dari Ustad Faishal.

                                                ***
Aku menyempatkan menoleh ke belakang, sosok Andi terlihat tersenyum kepadaku, seperti isyarat yang berkata, aku akan segera menyusul. Ketika di pesawat, aku teringat bagaimana perjuangannya, agar kami bisa menikah sedangkan aku masih di tingkat tiga. Awalnya babeh tidak setuju, bagaimana pun kuliahku harus selesai baru dibolehkan menikah.

“Tanya sama mama mu, dulu mama itu masih kuliah sambil ngurusin kamu, kalau udah berumah tangga itu susah neng mau belajar itu, apalagi neng kan cewe,” babeh menasehatiku.

“Iya beh, tapi Andi tetep mau ngomong lagi sama babeh”.

Setelah berulang kali berdebat dengan babeh dan setelah Andi berbicara berkali-kali, babeh mengijinkan Andi untuk mengkhitbahku, tetapi menikah setelah aku lulus. Andi pun setuju, walaupun sebenarnya dia menginginkan untuk segera menikah bukan hanya mengkhitbah saja. Karena kebetulan tahun ini jatahku untuk pulang ke tanah air, maka acara pengkhitbahan dilaksanakan di rumahku, di Indonesia.

                                                          ***
“Si eneng makin cantik aja, apalagi mau dikhitbah,” ujar Bibiku.

Baru saja kemarin aku datang ke rumah, keesokkannya saudara-saudaraku langsung mengunjungiku. Jelas saja, tetangga-tetangga di sekitar rumahku itu saudaraku semuanya. Aku kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaannya, bagaimana kehidupan di Mesir, kuliahku disana, ditambah aku yang sedang ingin dikhitbah. Yang paling membingungkan, sepupu-sepupuku yang rewel meminta oleh-oleh khas Mesir, untung saja oleh-olehnya mencukupi setelah aku bolak-balik berbelanja berhari-hari.

“Ini Dira beliin peci buat babeh, abisnya pecinya babeh udah bulukan. Dipake ya beh”.

“Kaga bakal dipake neng si babeh mah, katanya kalau barang lama itu banyak sejarahnya”.

“Ya beh, emang prasasti banyak sejarahnye, pan ini mah peci”.

Begitulah suasana keluargaku yang unik, kerinduanku selama tiga tahun terobati. Semuanya belum berubah, cuma beberapa tanah kosong saja yang sudah disulap menjadi mini market atau toko-toko lainnya. Jakarta semakin padat penduduknya juga semakin padat bangunan-bangunannya. 

                                                          ***
Rencananya hari ini Andi dan keluarganya datang ke rumah, baru kemarin lusa dia datang dari Kairo. Rumahku ramai dengan persiapan acara pengkhitbahan, padahal aku ingin acaranya sederhana saja, tetapi ini sudah menjadi tradisi di keluargaku. Mama sibuk di dapur sedari pagi, bersama bibi-bibiku. Sepupuku sibuk menyiapkan baju untukku, make-up, dan sebagainya. 

“Neng, coba ditelpon Andi-nya, kok udah jam segini belum dating-dateng?,” suruh mama.

“Iya ma, ini lagi mau ditelpon”.

Berkali-kali ku telpon, tapi tidak diangkat. Ah, mungkin lagi di jalan, lagi sibuk siap-siap, batinku menghibur. 

“Gimana neng, udah diangkat telponnya?” Tanya mama.

“Belum ma, mungkin masih di jalan, nggak kedengeran kali. Nanti dua menit lagi Dira telpon”.

Belum dua menit ringtone handphoneku berteriak. Tertera di layar nomor yang tidak dikenal.

“Halo…”.

Bersambung.