Kairo, 20 Maret 2013
Orang yang lalu lalang di taman kota dapat
tontonan gratis. Hari itu, di bangku taman, ada seorang gadis manis. Semua yang
lewat mencuri pandang. Beberapa pemuda pura-pura mengucek-ucek mata, tapi mata
yang satu lagi jelalatan. Ada yang pura-pura memunggut sampah, padahal cuma
sehelai daun.
Tapi serta merta para pencuri pandang mengernyitkan dahi, bingung. Kelopak mata wanita itu sembab. Kerudung biru langit yang dikenakannya menggelap, basah. Senguknya lamat-lamat terdengar. Yang sudah-sudah, bangku taman itu sering diduduki orang gila. Barangkali wanita cantik itu salah satunya, pikir mereka, tetapi gadis jelita itu Ghaida, dan ia tak gila.
“Iya neng Ghaida,
Syakila sekarang sakit nginep di rumah Tante Lia, panasnya nggak turun-turun
dari semalem, Zidan juga nggak pulang dari kemarin,” ujar Bik Asih, pembantu
rumahnya ketika Ghaida menelpon ke rumahnya. Tidak ada orang di rumah kecuali
Bik Asih.
Ucapan Bik Asih masih
terngiang-ngiang di telinganya, bagai sengatan lebah. Dia masih tak paham,
kenapa orang dewasa suka berbuat semau dirinya, egois. Umurnya saja lebih tua,
tetapi terkadang pemikirannya seperti anak kecil. Namun ia langsung
beristighfar, walau bagaimana pun orang dewasa tersebut adalah ibunya sendiri.
“Ibumu menikah lagi,
sama lelaki yang pernah ke rumahmu dulu itu, menikahnya dua hari yang lalu,
maafin tante ya baru bisa bilang ke kamu sekarang,” ujar Tante Lia, setelah
basa-basi panjang lebar.
“Sama Om Arif? Yang
pernah diusir sama Syakila itu kan?” Tanya Ghaida berusaha setenang mungkin.
“Iya Ghaida sayang”.
Ghaida teringat, dulu
Om Arif pernah main ke rumahnya. Syakila sudah mencium gelagat pria berumur
hampir 60-an itu, ia tertarik dengan ibu. Ketika itu mereka hendak salat ashar
berjamaah di ruang tamu dan ibu masih di kamar mandi. Om Arif melihat foto
keluarga berukuran besar, dia tersenyum seraya berkata kepada Syakila, “Itu
yang namanya Ghaida ya? Cantik,” ujarnya. Mendengar komentar Om Arif barusan,
Syakila langsung naik darah, “Pokoknya om keluar dari rumah ini sekarang juga!”
bentaknya. Ibu langsung panik melihat kejadian tersebut, apalagi ia tidak
sempat meminta maaf kepada Om Arif karena sudah meninggalkan rumahnya. Ketika
itu juga ibu memarahi Syakila dan ia pun
kabur ke rumah Tante Lia.
Syakila memang tipe
temperamen, dia marah karena tidak seharusnya Om Arif mengomentari kecantikan
Ghaida secara gamblang. Juga ketika itu ibu khilaf ketika memarahinya, mungkin
perasaannya ketika itu sedang campur aduk dan terkejut.
“Kalau begitu kenapa
ibu bisa menikah dengannya? Padahal jelas-jelas semenjak kejadian itu Syakila
enggak setuju, kalo Syakila udah enggak setuju pasti Zidan juga enggak,” ujar
Ghaida terheran-heran.
“Ibu menikah tanpa
persetujuan Syakila sama Zidan, juga sama kamu, karena mungkin dia tahu pasti
kalian bertiga tidak setuju”.
Rahang Ghaida
mengeras, menahan semua perasaan yang kacau balau. Masalah ini lebih rumit
ketimbang ketika ibu memutuskan untuk bercerai dengan ayah. Kejadian tersebut 6
tahun yang lalu, ketika Ghaida duduk di kelas 1 Aliyah. Ketika ia sudah di
Mesir pun banyak masalah keluarga apalagi pada saat-saat ujian, tetapi memang
Allah maha adil, Ghaida diberikan otak yang cerdas jadi dia lulus naik tingkat
dengan nilai yang baik.
Ibu menikah tanpa
persetujuan anak-anaknya? Ghaida pun tak habis pikir, kenapa ibunya tega
berbuat seperti itu. Ibu memang masih cantik, meskipun umurnya sudah mendekati
angka 50, tetapi kecantikannya masih terpancar darinya, mungkin itulah sebab
Syakila terlalu selektif dalam menerima calon ayah baru.
Ghaida pun beranjak
dari tempat duduknya, dia harus pulang karena azan magrib sudah berkumandang.
Lalu ia membersihkan mukanya yang putih bersih dari sisa-sisa air mata yang
tertinggal. Ketika sampai di rumah, teman-teman langsung menghamburinya, karena
seharian telepon genggamnya tidak aktif. Akan tetapi seperti biasa, Ghaida
pintar menyembunyikan perasaannya, namun jika ada orang yang menyadarinya kedua
bola matanya tidak pernah berbohong.
Ia menghempaskan tubuh
mungilnya ke atas kasur, lalu sejenak menoleh ke arah jadwal kuliah, lupa!
Besok tugas bahst dikumpulin lagi, belum ngerjain apa-apa, ujarnya dalam
hati. Beruntungnya ia terbiasa memaksakan konsentrasi ketika saat-saat sulit
seperti ini, tugasnya pun bisa dalam semalam ia kerjakan, lagi-lagi Allah maha
adil.
***
Kairo, 23 Maret 2013
“Tante, Syakila udah
sembuh? Zidan udah pulang ke rumah?” tanyaku ketika menelpon ke rumah Tante
Lia.
“Alhamdulillah
panasnya udah turun, cuma masih anget-anget dikit, Zidan belum pulang juga,
tadi siang ayahmu lagi berusaha nyari Zidan, doain aja ya sayang”.
“Komentar ayah
gimana?”
“Ya kamu tahu lah
ayahmu itu, semenjak mamamu minta bercerai dia udah enggak pernah berkomentar
tentang ibumu, cuma dia masih peduli sama anak-anaknya”.
“Komentar keluarga ibu
yang lain gimana?”
“Kalau komentar secara
langsung ya enggak ada, tetapi enggak tahu gimana di belakang, mungkin mereka
udah paham sama watak ibumu, cuma yang bikin Syakila tambah stress
komentar-komentar enggak enak dari orang lain,” ujar Tante Lia dengan nada
suara semakin memberat.
“Enggak enak gimana
tante?” tanyaku penasaran.
“Banyak yang bilang
kalau ibumu nikah sama Arif karena harta, ya kamu tahu kalau lelaki itu
pengusaha kaya, jadinya mereka beranggapan kalau ibumu mengejar harta sampai
lupa sama anak-anaknya”.
Ia pun terdiam,
beruntung posisinya sedang terduduk, kalau tidak sudah jatuh tersungkur. Suasana
hening, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Ghaida sayang? Kamu
baik-baik aja kan?” Tanya tante khawatir.
Mulutnya masih
terbungkam.
“Kamu jangan ikut-ikutan
stress, justru kamu harus bisa menguatkan adik-adikmu. Doain semuanya baik-baik
aja, semoga Zidan cepet pulang, Syakila sembuh, dan ibumu tidak seperti apa
yang diomongin sama orang-orang. Enggak usah mikirin yang di Indonesia, kamu
belajar yang rajin, baik-baik di Negri orang ya sayang,” nasehat tante.
***
Jakarta, 18 Juli 2013
Ibu mau bicara sama
kamu, tunggu ibu di taman kota jam 4 sore.
Pesan singkat dikirim
pagi tadi. Sudah 3 hari gadis cantik ini di Jakarta dan belum menginjakkan kaki
di rumahnya sendiri. Sebenarnya tahun ini Ghaida tidak ingin pulang, tetapi ibu
memaksanya untuk pulang ke Jakarta, sepertinya untuk membicarakan masalah ini.
Berkali-kali ia berzikir untuk menenangkan hati dan meredam emosi, ia harus
tenang, tekadnya. Tidak beberapa lama, siluet tubuh yang tidak asing datang
menghampirinya.
Setelah beberapa menit basa-basi yang agak kaku berlangsung,
ibu mulai berbicara serius.
“Maafkan ibu, mungkin
kamu sudah mendengar semuanya dari Lia. Maafkan semua yang terjadi terhadap
Syakila, Zidan, juga sering mengganggu konsentrasi belajarmu,” ujar ibu lembut.
Ia hanya bisa diam
sambil mengedarkan pemandangan.
“Sebenarnya ibu tidak
cinta sama Arif, ibu merasa dengan menikahinya kebutuhan kalian bisa tercukupi,
ibu tidak punya pilihan lain”.
Kali ini ia
benar-benar tidak bisa berkata apa-apa.
“Kamu tahu kan
semenjak perceraian dengan ayahmu, ibu ikut bisnis dimana-mana karena gaji dari
rumah sakit tidak cukup buat membiayai semuanya. Alasan ibu tidak meminta
persetujuan kamu, Syakila, dan Zidan ya karena kalian tentunya tidak setuju”.
“Terserah kamu mau
percaya ibu atau orang lain, yang penting ibu sudah menjelaskan. Cuma kamu yang
bisa ibu ajak bicara, kamu tahu kedua adikmu itu keras kepala, maafkan ibu ya”.
Tanpa keluar sepatah
kata, ia langsung memeluk ibu. Menangis sepuas-puasnya dipelukannya.
***
Kairo, 10 Januari 2014
“Syakila, kok kabur ke
rumah Tante Lia lagi, berantem lagi sama ibu?” Tanya Ghaida ketika menelpon ke
rumah Tante Lia.
“Ibu cerai sama Om
Arif!” teriak Syakila.
Pandanganku mengabur.