Pages

Labels

Rabu, 10 April 2013

Sketsa Pelangi untuk Dira (Episode 2)



*Chapter 2
Episode sebelumnya:
“Halo assalmualaikum Dira, ini mpok.” Seru mpok Hani di seberang, yang merupakan kakak kandungku yang pertama.
 “Oh, mpok Hani. Gimana kabarnya mpok? kok nomernya mpok ganti sih?” tanyaku dengan menggebu-gebu.
 “Diirr…gini..babeh…babeh….,” suara mpok Hani terbata-bata dan tidak jelas.
 “Babeh kenape mpok? Kenapa? Baek-baek aja kan mpok?” Seruku dengan berusaha menenangkan diri.
 “Babeh…..”

Cerita selanjutnya:
“Babeh kumat darah tingginya dir, ini mpok lagi di rumah sakit,” ucap Mpok Hani dengan suara yang hampir tidak terdengar
Kok bisa mpok? Kapan dibawa rumah sakitnya mpok?,” tanyaku bertubi-tubi, belum sempat Mpok Hani menjawab tiba-tiba ada suara ribut terdengar dari seberang sana.
“Dir…dir…babeh…babeh..,” suara Mpok Hani terputus-putus
“Kenape lagi mpok? Yang jelas nape mpok?,” ujarku kesal
“Babeh…udah nggak ada lagi dir,” jawab Mpok Hani, tiba-tiba koneksi terputus. Secara spontan tubuhku gemetar hebat, semua pandanganku buram, dan lama-lama limbung ke lantai.
“Dir…dira! Woy! Kok malah bengong sih?,” teriak Tyas sambil mengibas-ngibaskan tangannya di hadapanku.

Aku kaget. Aku mengamati ke sekitarku, semua terlihat normal, lalu aku meraba kantung di tasku mencari handphone dan tidak ada panggilan masuk pada jam-jam ini. Langsung ku menepuk jidatku, semua hanya halusinasi!.
“Sini, ikut aku!,” kata Tyas sambil menarik tanganku menuju jalan ke luar gedung kuliah. Lalu kami duduk di bangku-bangku samping gedung. “Dir, kita nggak lulus,” ucap Tyas pelan, dia terdiam sambil menghembuskan nafasnya. “Mendingan kita jalan-jalan aja ke Nil, gimana?, ” tanyaku mengalihkan pembicaraan, karena aku melihat wajahnya yang memerah hampir menangis dan dia pun menganggukan kepalanya.
                                                          ***
Sudah sejam aku dan Tyas berdiam-diaman, tidak bergeming sedikit pun. Seperti kehilangan akal. Kita sedang memifikirkan bagaimana caranya mengatakan kepada Pak Burhan tentang natijah kita. Sekarang Pak Burhan sedang ke luar kota, besok beliau pulang ke Cairo. Kalau Pak Burhan tahu, pasti orangtua kita tahu, dan juga pastinya Pak Burhan kecewa dengan kita.
Nggak apa-apa Dir, kita bilang aja sejujurnya kalau kita itu rashib….,” belum selesai Tyas berbicara aku memotongnya, “Kamu mahu bilang kalau si ibu kompeni yang bikin kita nggak lulus? Nggak mungkin Tyas!,” kataku sedikit emosi. “Bentar dong, aku kan belum selesai ngomongya udah kamu potong. Maksudku gini, kita bilang aja kalau kita rashib dan alasannya kita sering telat ke kuliah gara-gara jauh dari sini dan juga pas ujian kita sering telat” , “Tapi kan kalau cuma telat sebenernya nggak ngaruh sama nilai kita, lagipula kuliah kita kan nggak pake absen”, “Ya ampun Dir, Pak Burhan kan nggak tahu sistem kuliah di Azhar, apalagi beliau sibuk, mana sempet dia mencari tahu yang kayak begituan”. Akhirnya tidak sia-sia kita berfikir selama bermenit-menit.
                                                          ***
“Diraaaa…Tyaaass….pokoknya semua makanan di meja harus siap sebelum bapak datang!,” teriak ibu kompeni alias Bu Fatimah. “Nanti ku adukan sama suamimu baru tahu rasa kau,” ujarku pelan, Tyas tertawa kecil mendengar keluhanku. “Udah-udah biar Bik Asih yang naruh makanannya di piring, kalian yang siap-siapin di meja, biar cepet,” kata Bik Asih yang langsung ketakutan mendengar jeritan si ibu kompeni.
Ketika semuanya sudah siap, beberapa menit kemudian Pak Burhan datang. Sisil dan Indra berebutan memeluknya, dan Bu Fatimah membawakan jas dan tasnya, aku dan Tyas tiba-tiba langsung berkeringat dingin sambil mengintip di jendela flat. Pak Burhan tidak menanyakan sedikit pun tentang natijah ketika kami menyambutnya.
Di sela-sela makan bersama tiba-tiba Pak Burhan menanyakan sesuatu,
“Gimana nilai ujian kalian, Dira, Tyas?,” tanyanya sambil mengambil minum yang sudah diambilkan oleh istrinya, aku pun langsung tersedak dan spontan mengambil air puith yang berada disampingku.
“Kita nggak lulus pak,” jawab Tyas pelan dan itu pun setelah kita terdiam lama, Pak Burhan terdiam,
“Nanti sehabis makan, kita bicarakan lagi”.
Kami berdua duduk di sofa berhadapan dengan Pak Burhan sambil menundukkan kepala, takut mendengar apa yang akan dibicarakannya nanti. “Kesulitan apa yang membebani kalian? Mungkin bapak bisa bantu, jangan diam saja kalau butuh apa-apa, bilang aja ke bapak,” katanya sambil tersenyum. Kita tidak menyangka kalau beliau akan menawarkan kebaikan yang lain, bukan yang seperti kami pikirkan.
Akhirnya Tyas yang membuka mulut, dan membeberkan apa yang sudah kita rencanakan kemarin. Pak Burhan terdiam setelah mendengar keputusan kita untuk pindah dari rumahnya. Ternyata lagi-lagi beliau menawarkan transportasi untuk ke kuliah dan menyarakan untuk tidak pindah dari rumah ini. Aku dan Tyas pun semakin bingung, kalau begini sama saja bohong, Bu Fatimah tidak akan membiarkan kita memakai mobilnya, lagi pula Pak Burhan jarang di rumah, jadi istrinya bisa berbuat semaunya.
“Tapi kita juga pengen ikut organisasi sama orang indo yang lain pak, terus juga kita bisa belajar bareng kalau ada pelajaran yang nggak ngerti, kita miskin informasi kalau disini,” ujarku yang tiba-tiba mempunyai ide cemerlang. Benar saja, Pak Burhan langsung membolehkan kita pindah ke Nasr City. “Okeh lah kalau itu memang alasannya, jadi kan bapak nggak bingung kalau ditanya sama orang tua kalian”, “Tapi bapak jangan bilang ke orang tua kita kalau kita nggak lulus ya pak”, ujarku dan Tyas memohon, dia pun menganggukkan kepalanya.
Di kamar kita melonjak-lonjak kegirangan, “Kamu memang seperti kancil Dir, banyak idenya,” ujar Tyas sambil tersenyum meledek, “Masa aku disamain kayak kancil sih,” protesku sambil cemberut, “Hahaha, nggak sayaaang, kamu kancil yang manis kok”, “Sama aja!”. Kita langsung mengepak-ngepakan barang kita, karena besok pagi Pak Burhan akan menemani kita mencari flat di Nasr City mumpung beliau sedang libur.
                                                          ***
Sudah seminggu aku dan Tyas menempati rumah baru, kami berdua tinggal dengan mahasiswi Al-Azhar juga. Masih terekam di ingatanku bagaimana aku meninggalkan rumah pak Burhan, kami melambaikan tangan kepada mereka sambil tersenyum penuh kemenangan kepada Bu Fatimah. Kau tidak akan bisa memperbudakku lagi!, teriakku dalam hati pada saat itu.
Aku dan Tyas akhirnya aktif di organisasi kekeluargaan, dan sekarang kami sudah mempunyai banyak kenalan. Kami pun sekarang tidak hanya berdua, kami mempunyai teman baru namanya Cicit dan dia kebetulan juga teman serumah kami. Jadinya, kemana-mana kami selalu bertiga, tidak berdua lagi.
Aku melirik jam tangan yang ada di pergelangan tanganku, sudah jam 9 malam dan aku harus pulang. Gara-gara menunggu Cicit ke kamar mandi jadinya aku melamun tidak jelas. Aku dan Cicit baru saja kumpul panitia di KPJ. “Dir, aku mahu mampir dulu, nggak langsung pulang ke rumah, terus aku juga masih mahu bikin surat undangan disini, kamu nggak apa-apa kan pulang duluan?,” kata Cicit, huh sebal! Tahu gitu aku udah pulang dari tadi, batinku. “Ya udah aku pulang dulu,” ujarku kesal. “Eh biar dianterin sama si Andi”, “Nggak usah!”, aku berteriak sambil berjalan keluar membawa sepatuku.
Sebenarnya aku takut jalan sendiri, karena di lapangan Suq Sayarat selain banyak orang Mesir yang jahat juga banyak anjing. Aku berjalan cepat sekali. Sesekali aku menengok ke belakang, takut ada yang mengikutiku. Benar saja, beberapa detik kemudian seperti ada yang mengikutiku. Dia berjalan cepat untuk mengejarku karena aku berjalan sangat cepat. Aku tak berani menengok ke belakang. 
Tiba-tiba dompetku jatuh gara-gara aku berjalan dengan tergesa-gesa. Aduh, mati aku!, jeritku dalam hati. Kalau dompetnya tidak diambil bisa gawat, karena di dalamnya ada duit panitia, tapi kalau diambil aku bisa ditodong sama orang itu. Langsung kuambil keputusan kalau aku harus mengambilnya . Ketika aku ingin menengok ke belakang, aku melihat tangannya meraih dompetku. Spontan aku berbalik ke arahnya sebelum dia mengambil dompetku, dan ternyata…
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar