Pages

Labels

Minggu, 08 Desember 2013

Wanita Aneh


“Hai, cewek aneh!” sapanya.

“Kamu lagi,” jawabku dengan tatapan tetap lurus kepada novel yang sedang kubaca.

“Haha, memang benar-benar cewek aneh. Seharusnya sebagai cewek normal kamu merasa berterima kasih sudah ditemani oleh pria tampan selain saya.”

“Kalau kamu memang ingin bersantai di cafe ini, saya saranin kamu cari tempat duduk lain.”

Dia tertawa kembali. Aku sedikit risih dengan kehadirannya, apalagi mendengar rayuannya. Dia memerhatikan sekeliling cafe, lalu menatapku kembali.

“Kamu sadar tidak bahwa hanya kamu yang tidak berpasangan di cafe ini? Itu salah satu alasan kamu harus berterima kasih sudah saya temani.”

Spontan aku berdiri dari tempat dudukku, semua mata tertuju pada kami.

“Iya, iya, saya janji akan diam. Tetapi bolehkan saya tetap duduk disini?”

Aku hanya terdiam. Lalu melanjutkan bacaan yang sempat tertunda oleh ulahnya beberapa menit tadi.
Namanya Ega, seorang lelaki berpostur tinggi, tegap, wajahnya memang lumayan bisa membuat wanita jatuh cinta pada pandangan pertama. Apalagi dia jago merayu, sudah biasa aku bertemu dengan tipe lelaki seperti dia.

“Oh iya, nama saya Ega, namamu siapa?” tanyanya pada pertemuan pertama.

Aku terdiam.

“Saya janji tidak akan menggangumu,” ujarnya lagi.

“Rey,” jawabku singkat.

Setelah itu memang dia tidak menggangguku, karena sibuk merijek panggilan masuk yang akhirnya ia terima. Ternyata dari kekasihnya, ia hanya menjawab dingin. Terdengar sayup-sayup suara tangisan manja dari handphone miliknya, ternyata mereka sedang bertengkar. Hari ini mungkin ia sedang bertengkar kembali dengan kekasihnya, lalu mencari wanita lain untuk menghiburnya.

“Rey, bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanyanya setelah lima menit kami saling terdiam.

“Kamu memang benar-benar tidak bisa menepati janji,” ujarku.

“Haha, ada wanita cantik di hadapan saya dan saya rasa sayang untuk didiamkan.”

“Tadi kamu ingin bertanya apa?”

“Kenapa kamu lebih suka menyendiri membaca novel di cafe? Setahu saya, wanita lebih suka pergi ke mall bersama teman-temannya. Ya intinya wanita itu kemana-mana selalu bersama-sama, tetapi kenapa saya menemukan seorang wanita yang berbeda?”

“Berbeda? Haha, ternyata itu yang membuatmu menjuluki saya aneh. Ya itulah wanita, selalu bersama-sama, cenderung tidak percaya diri jika berjalan sendirian. Menurut mereka berjalan sendirian atau menyendiri adalah orang yang tidak mempunyai teman.”

“Berarti kamu tidak mempunyai teman?”

“Haha, punyalah, tetapi bukan lantas tidak boleh menyendiri kan? Mereka saja yang manja, kemana-mana harus ditemani, gengsi berjalan sendirian. Jika kita berpikir lebih panjang lagi, masih banyak yang harus dilakukan selain menghabiskan waktu bersama teman. Contohnya, jika saya mengajak teman, novel yang saya baca tidak akan selesai, padahal harus dibalikkan ke perpustakaan lusa. Pasti kami akan berbicara panjang lebar.”

“Ternyata ini alasanmu menyendiri selama berhari-hari.”

“Bukan juga sih, saya pikir bersenang-senang bersama teman itu waktu zaman-zaman sekolah. Kalau sudah masuk kuliah banyak yang harus dipikirkan untuk ke depan, ya bolehlah sesekali bersenang-senang.”

Akhirnya dengan pertanyaannya tadi, kami pun berbincang panjang lebar. Tidak kusangka ia mempunyai pikiran yang sama denganku. Aku pikir ia sama seperti lelaki tampan lainnya yang suka merayu wanita dengan gombalan murahan.

“Saya pikir kamu aneh, ternyata kamu harus dipancing terlebih dahulu baru menemukan sosokmu sesungguhnya,” ujarnya.

“Kalau kata ibu saya, Ibaratnya Rey itu tidak akan bersuara jika tidak disenggol,” kataku sambil tertawa.

“Nah, gini dong dari tadi, diam saja kamu cantik apalagi kalau tertawa, aduhai.”

“Jika kamu katakan itu sekali lagi, lebih baik kamu pindah ke tempat lain”.

“Kamu itu aneh, dipuji malah marah-marah.”

Setelah percakapan hari itu kami sering bertemu di cafe, ia sudah putus dengan kekasihnya. Menurutnya aku berbeda dengan wanita kebanyakan, termasuk mantan kekasihnya yang sangat manja. Hari ini aku ingin memberinya sebuah novel bagus, cocok sekali untuknya. Ia mengatakan bahwa akan pergi ke cafe sore hari, tetapi aku merahasiakan kejutan ini.

Sudah satu jam aku menunggu, ia tidak kunjung datang. Hampir aku menamatkan bacaan, masih belum muncul batang hidungnya. Kuputuskan untuk pulang dengan kecewa. Ketika keluar pintu cafe, aku menemukan sosoknya sedang menelpon seseorang.

“Iya bidadariku, aku cuma sebentar kok, ketemu sama temen abis itu langsung pulang lagi. Nanti sepulang dari cafe aku janji bawain kue dan bungan kesukaanmu, okeh cinta?” 

Mendengar itu semua langsung aku keluar dari cafe, ia tidak menyadari sosokku. Di hatiku ada sesuatu yang menyayat, perih. Dulu aku berjanji tidak akan percaya kepada lelaki sembarangan. Aku merasa bodoh bisa percaya dengan lelaki yang baru kukenal selama 3 minggu. Mungkin benar apa yang dikatakannya, aku wanita yang berbeda, aneh. Semua lelaki memilih wanita yang normal, seperti kekasihnya yang ternyata masih dicintainya.

Sampai di perempatan menuju halte bis, ada yang menarik tanganku.

“Bisa tidak sih bertanya terlebih dahulu sebelum menyimpulkan sesuatu?” seru Ega.

“Adikku masuk rumah sakit, jadinya hanya bisa sebentar menemuimu.”

*For you...