“Ibu, aku sedang jatuh
cinta!” teriakku pada telepon genggam. Ibu terkaget-kaget. Tidak biasanya
ketika menelpon ibu anak bontotnya ini bercerita tentang cinta, karena memang
ini pertama kalinya. Hampir ibu tidak percaya, ternyata gadis tomboy yang hobi
nonton kartun sepertiku bisa jatuh cinta kepada seorang lelaki.
“Ibu udah liat poto
yang Vita kirim ke email?” tanyaku.
“Udah, barusan aja,”
jawabnya.
“Gimana bu, gimana?”
tanyaku semakin antusias.
“Ibu kaget. Kok bisa
orang seganteng dia mau sama kamu,” ulasnya sambil tergelak.
“Ya walaupun aku nggak
feminim, tapi kan aku juga nggak kalah cantik sama ibu kan?”.
“Iya sayangku”.
Namanya Airlangga,
biasa dipanggil Angga. Tingginya sekitar 170 cm lebih, kulitnya kecoklatan,
kurusnya sama denganku cuma aku terlihat lebih ringkih, mungkin karena badanku
terlalu mungil. Satu yang aku suka darinya, senyumnya. Manis sekali, lesung
pipinya yang membuat senyumnya khas. Aku mengenalnya semenjak kami bekerja
bersama dalam satu organisasi.
Tentunya banyak yang
tidak suka kabar ‘jadian’ku dengan Angga, jelas saja dia cukup populer di
kalangan Mahasiswi. Ditambah aku yang urakan dan mempunyai sifat yang super
jutek. Juga banyak yang memendam kekesalan diantara para lelaki, bilang tidak
cocok lah, berbeda dunia, memangnya aku berasal dari dunia ghaib.
Ya mungkin karena dia
orang yang sangat realitas, tidak terlalu terkontaminasi oleh khayalan-khayalan
konyol. Tidak sepertiku yang hidup dibayang-bayangi oleh imajinasi buatanku
sendiri, tak jarang banyak yang menjulukiku aneh karena melihat tingkahku yang
tidak masuk akal. Akan tetapi bukannya aku gila, hanya saja aku mempunyai dunia
sendiri.
Jelas saja, dari
tulisannya dia lebih menyukai menulis artikel-artikel yang kritis, sedangkan
aku menyukai cerita-cerita fiksi. Akan tetapi bukan berarti kami tidak saling
mengerti, justru kami berkomunikasi dengan cara yang berbeda. Dia mendekatiku
justru dengan ejekan-ejekannya yang terkadang terasa pedas, tetapi karena aku
mempunyai kepribadian cuek jadinya tidak terlalu ambil hati.
“Vit, mau dianterin
nggak pulangnya?” tanyanya dengan gayanya yang menyebalkan seusai acara di
organisasi.
Aku tersenyum sinis
sambil berkata dalam hati, menurut lo?.
“Ih si Angga nih,
kalau mau nganterin cewek pulang ya langsung diajak bukannya ditawarin,” ujar
Rifa temanku.
“Sengaja kok biar
ditolak,” jawabnya sambil tertawa yang sangat menyebalkan.
Langsung ku ambil
tasku dan berjalan menuju pemberhentian bus dengan kesal. Sampai sekarang pun
dia tetap menyebalkan. Di hadapan teman-temannya dia berlagak mempersilahkan
orang lain untuk mengantarkanku pulang. Biasanya aku sebal, lalu berjalan cepat
berharap seperti di film-film romantis, si cowok mengejarku. Ah, mana
mungkin, pikirku. Beberapa detik kemudian handphoneku berdering, dia
menelpon dan menyuruhku menunggunya di pemberhentian bus. Ya walaupun berbeda
skenario dengan film yang biasa ku tonton, tetapi dia tidak kalah romantisnya.
“Gimana kabarmu dengan
Angga?” Tanya Rafi.
“Baik,” jawabku
sekenanya.
“Bahagia ya dirimu?
Jelas lah, jadian dengan orang populer,” ujarnya sinis.
“Setidaknya aku berani
memilih, tidak sepertimu,” sindirku sambil meninggalkannya.
Kenapa lelaki suka
sekali menyalahkan perempuan? Seharusnya mereka tahu, bahwa perempuan tidak
butuh janji-janji manis. Tidak butuh kepada lelaki yang tidak berani memilih,
yang hanya berani menyanjung wanita. Setidaknya Angga sudah berani menyatakan
perasaannya, berani untuk memilih. Meski nanti jika cinta kami kandas di tengah
jalan, setidaknya kami sudah berusaha untuk bertahan. Juga tidak berakhir
seperti cerita-cerita cinta tak tersampaikan.
Ibu pernah
menasehatiku, mencari calon suami itu tidak harus satu pikiran dengan kita,
tidak melulu sama atau serba sama, tetapi justru dengan perbedaan itu yang bisa
melengkapi satu sama lain. Dia yang membawaku kepada dunia realitas yang tidak
melulu hidup dalam imajinasi atau khayalan-khayalan konyol. Juga dengan
kedewasaannya sabar menghadapiku yang kekanak-kanakan, walaupun terkadang dia
juga seperti itu.
Dia yang selalu
mengajarkanku bahwa dalam cinta bukan hanya belajar bagaimana mencintai
seseorang, tetapi juga belajar bagaimana rasanya kehilangan seseorang. Dia juga
mengingatkan bahwa kita tidak boleh buta terhadap cinta, bisa jadi dia sekarang
bersamaku, keesokan harinya bisa berbeda cerita. Supaya suatu saat kita tegar
pada waktu kehilangan seseorang yang amat dicintai. Tidak meronta-ronta bahkan
meratapinya bertahun-tahun, tetapi dijadikannya sebagai pelajaran.
***
Tidak sadar sudah
setengah jam aku melamun, make upku sudah selesai ternyata.
Bertahun-tahun mukaku polos tanpa polesan baru kali ini aku melihat wajahku
tampil berbeda sekali, bisa dikatakan lumayan cantik. Hari ini aku harus sabar
memakai kebaya yang sangat feminim berjam-jam. Ibu sudah memanggilku untuk dibawa
keluar, susah payah aku berjalan.
Di luar sana, ruangan
sudah dipenuhi oleh para tamu. Mataku tertumbuk oleh seorang pria yang tidak
asing bagiku dan dia tersenyum manis sekali kepadaku, Angga.