Pages

Labels

Sabtu, 20 Juli 2013

Imajinasi 10 Menit



Keringat dingin mulai mengucur membasahi dahiku, sesekali aku mengelapnya dengan tisu. Meski wajahku berusaha tenang, tetapi keringat terus mengucur, tanganku bergetar. Dasar bodoh! Seandainya saja aku tadi menerima tawaran Ghana mengantarkanku pulang, pasti tidak berakhir seperti ini, kutukku dalam hati. Pemuda Mesir yang duduk bersebrangan denganku menatapku dengan tatapan aneh sedari tadi, membuatku takut. Aku masih berusaha tenang, karena masih ada seorang ibu duduk di depanku. 

’Ala ganbak ya astho![1] teriak ibu tadi. Mati aku! Aku ingin berteriak, supaya ibu itu menemaniku sebentar di tremco[2], tetapi itu hal yang bodoh. Masih ada tiga lelaki, yang satu duduk di belakangku, satu lagi duduk di dekat sopir, dan yang terakhir adalah pemuda yang menatapku aneh sedari tadi. Pemuda tersebut berhenti menatapku, aku menghela napas lega. Ternyata dugaanku salah, dia tiba-tiba pindah tempat duduk tepat di sampingku. Seketika jantungku berdegup kencang.

“Lusi, biar aku antar, udah malam,” ujar Ghana, setelah selesai berkumpul dengan panitia.

“Nggak usah Ghan, aku pulang sendiri aja,” tolakku.

“Yah, si Lusi pake malu-malu segala, sama kita mah santai aja kali,” ledek salah satu temanku.

Tanpa memperdulikan Ghana yang sedari tadi menungguku, aku langsung berjalan pulang. Dia berusaha mengejarku, tetapi aku mempercepat langkahku. Sayup-sayup masih kudengar celotehan teman-temanku sebelum aku beranjak pulang tadi. Selalu begini, mereka senang sekali membuat aku keki. Akan tetapi aku merasa menang karena apa yang terjadi tidak sesuai yang mereka harapkan, yaitu aku menolak ajakan Ghana.

Ternyata aku menyesali rasa kemenanganku tadi, serta merta mengutuk kegengsianku. Makan tuh gengsi! Rutukku. Seandainya saja aku bisa tahan sebentar dengan ejekan teman-teman dan menerima tawaran Ghana tidak akan begini jadinya. Aku takut Ghana semakin menaruh harapan padaku jika aku menerima ajakannya tadi, itu yang ada di pikiranku tadi. Seandainya saja aku bisa menghilangkan pikiran negatifku tadi, tidak akan berakhir seperti. Seharusnya aku harus berpikir cerdas, apalagi keadaan Mesir saat ini sedang genting semenjak kejadian dikudetanya Presiden Mursi, banyak orang jahat berkeliaran.

Sekarang isi kepalaku dipenuhi oleh penyesalan atas tindakan bodoh, yang mengedapankan kegengsian daripada keselamatanku. Aku memperhatikan jalan dari jendela, hei bukankah ini arah menuju tempat lain, bukan ke daerah Hay Asyir? Langsung ku bertanya kepada supir, tetapi sang supir malah diam dan terus menggas tremco menuju arah yang sangat asing bagiku.

Haaty mobile![3]pinta pemuda di sampingku.

Mafisy mobile![4]teriakku.

Aku menolehkan pandanganku kepada pemuda yang duduk di belakangku, ternyata dia bersekongkol dengan pemuda ini. Pemuda yang di samping sopir berkata kepada si sopir, “Tancap terus gasnya,” dengan memakai bahasa arab amiyah. Aku mendekap erat tasku, supaya tidak ada celah bagi dua pemuda beringas ini mengambilnya.

Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi, seketika wajahku pucat, sepertinya itu telepon dari teman serumahku yang khawatir sudah jam segini aku belum pulang. “Inti kazibah![5],” teriak pemuda di sampingku, dia semakin mendekatiku. Ya jelaslah aku berbohong, dimana-mana kalau ada yang mau dicuri barangnya pasti bilang tidak ada, dasar pencuri bodoh! Aku berpikir keras, bagaimana aku bisa keluar dari kepungan dua pemuda beringas ini. Aku injak kaki pemuda di sampingku, lalu ku dorong kepala pemuda di belakangku, aku melompat menuju kursi depan. Ketika aku siap-siap membuka pintu tremco, si sopir semakin menancap gasnya.

                                                                   ***

Sekarang aku berada di dalam dua pilihan, tetap di dalam tremco dengan empat pemuda yang entah akan membawaku kemana, yang mungkin saja bukan hanya mengincar hartaku tetapi juga diriku sendiri yang terancam. Pilihan kedua aku meloncat dari tremco, dan pasti akan terjadi luka-luka yang cukup bisa aku dilarikan ke rumah sakit. Tetapi bagaimana jika aku melompat, mereka turun lalu membawaku lagi ke dalam tremco, sedangkan aku terluka berat? Aduh, ternyata pilihannya mematikan.

Sudahlah lebih baik aku melompat dari tremco daripada aku harus ternodai dengan pemuda-pemuda ini. Tanganku sudah menggapai gagang pintu, akan tetapi memang sepertinya hari ini aku sedang tidak beruntung, tangan pemuda di belakangku menarik lenganku. Aku mengaduh kesakitan, tanganku satu lagi berhasil diraihnya lagi, lengkap, sekarang aku tidak berdaya. Sekuat mungkin aku berusaha berontak, kugigit salah satu tangannya sampai biru dan akhirnya terlepas.

Kakiku menendang dadanya, dia terjengkang ke belakang. Pemuda satu lagi berusaha meraihku, aku melemparkan besi kecil yang berada di bawah jok kursi, tepat mengenai pelipisnya. Spontan tanganku meraih gagang pintu, berhasil terbuka. Tiba-tiba nyaliku menciut, aku sempat terdiam, dan pemuda yang duduk samping sopir mencekal tanganku. Menyesal, mengapa aku tidak langsung meloncat tadi. 

Aku berusaha melepas tangan tersebut, akan tetapi tangan tersebut lebih kuat sampai tanganku hampir putus. Lalu ku putuskan untuk melompat saja, mungkin nanti tangan pemuda itu akan terlepas. Ku tahan nafasku, sambil ku pejam mataku, lalu berhitung, satu..dua..tiga.. aku melompat dari tremco, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.Aku heran, mengapa badanku tidak terhempas ke aspal? Padahal jaraknya dekat, aneh. Memangnya aku sedang melompat dari lantai lima, ini kan jaraknya dekat sekali. Tepukkan di pundakku semakin keras. 

“Ya bint.. kamu turun dimana? Ini sudah di pemberhentian terakhir,” ujar pemuda di sampingku.

Mataku terbuka, aku terkejut, sudah di Mahattah Hay Asyir. Di dalam tremco hanya aku dan pemuda di sampingku yang sedari tadi berusaha membangunkanku. Lalu yang terjadi tadi? Ternyata semua hanya imajinasiku, ya imajinasi yang berlangsung 10 menit tadi cukup menegangkan. Ku cubit pipiku dengan keras, terasa sakit, ternyata benar semua hanya imajinasiku saja.

Aku berjalan menuju arah Madrasah, seharusnya aku turun di mahattah sebelumnya, untung saja tidak jauh sekali dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Akan tetapi banyak yang bisa diambil dari imajinasi 10 menit tadi, bahwa keselamatan lebih dari apa pun. Hilangkan kegengsian, pikiran negatif, apalagi saat-saat seperti ini, Negara Mesir sudah tidak aman.


[1] Kiri bang!
[2] Nama sebuah tranportasi di Mesir, ukurannya sebesar angkutan umum bias
[3] Serahkan telepon genggammu kepadaku!
[4] Aku tidak punya!
[5] Kamu berbohong!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar