Keringat dingin mulai mengucur membasahi dahiku, sesekali
aku mengelapnya dengan tisu. Meski wajahku berusaha tenang, tetapi keringat
terus mengucur, tanganku bergetar. Dasar bodoh! Seandainya saja aku tadi
menerima tawaran Ghana mengantarkanku pulang, pasti tidak berakhir seperti ini,
kutukku dalam hati. Pemuda Mesir yang duduk bersebrangan denganku menatapku
dengan tatapan aneh sedari tadi, membuatku takut. Aku masih berusaha tenang,
karena masih ada seorang ibu duduk di depanku.
“’Ala ganbak ya astho![1]”
teriak ibu tadi. Mati aku! Aku ingin berteriak, supaya ibu itu
menemaniku sebentar di tremco[2],
tetapi itu hal yang bodoh. Masih ada tiga lelaki, yang satu duduk di
belakangku, satu lagi duduk di dekat sopir, dan yang terakhir adalah pemuda yang
menatapku aneh sedari tadi. Pemuda tersebut berhenti menatapku, aku menghela
napas lega. Ternyata dugaanku salah, dia tiba-tiba pindah tempat duduk tepat di
sampingku. Seketika jantungku berdegup kencang.
“Lusi, biar aku antar, udah
malam,” ujar Ghana, setelah selesai berkumpul dengan panitia.
“Nggak usah Ghan, aku pulang
sendiri aja,” tolakku.
“Yah, si Lusi pake malu-malu
segala, sama kita mah santai aja kali,” ledek salah satu temanku.
Tanpa memperdulikan Ghana yang
sedari tadi menungguku, aku langsung berjalan pulang. Dia berusaha mengejarku,
tetapi aku mempercepat langkahku. Sayup-sayup masih kudengar celotehan
teman-temanku sebelum aku beranjak pulang tadi. Selalu begini, mereka senang
sekali membuat aku keki. Akan tetapi aku merasa menang karena apa yang terjadi
tidak sesuai yang mereka harapkan, yaitu aku menolak ajakan Ghana.
Ternyata aku menyesali rasa
kemenanganku tadi, serta merta mengutuk kegengsianku. Makan tuh gengsi!
Rutukku. Seandainya saja aku bisa tahan sebentar dengan ejekan teman-teman dan
menerima tawaran Ghana tidak akan begini jadinya. Aku takut Ghana semakin
menaruh harapan padaku jika aku menerima ajakannya tadi, itu yang ada di
pikiranku tadi. Seandainya saja aku bisa menghilangkan pikiran negatifku tadi,
tidak akan berakhir seperti. Seharusnya aku harus berpikir cerdas, apalagi
keadaan Mesir saat ini sedang genting semenjak kejadian dikudetanya Presiden
Mursi, banyak orang jahat berkeliaran.
Sekarang isi kepalaku dipenuhi
oleh penyesalan atas tindakan bodoh, yang mengedapankan kegengsian daripada
keselamatanku. Aku memperhatikan jalan dari jendela, hei bukankah ini arah
menuju tempat lain, bukan ke daerah Hay Asyir? Langsung ku bertanya kepada
supir, tetapi sang supir malah diam dan terus menggas tremco menuju arah yang sangat
asing bagiku.
“Haaty mobile![3]”
pinta pemuda di sampingku.
“Mafisy mobile![4]”
teriakku.
Aku menolehkan pandanganku kepada
pemuda yang duduk di belakangku, ternyata dia bersekongkol dengan pemuda ini.
Pemuda yang di samping sopir berkata kepada si sopir, “Tancap terus gasnya,”
dengan memakai bahasa arab amiyah. Aku mendekap erat tasku, supaya tidak ada
celah bagi dua pemuda beringas ini mengambilnya.
Tiba-tiba telepon genggamku
berbunyi, seketika wajahku pucat, sepertinya itu telepon dari teman serumahku
yang khawatir sudah jam segini aku belum pulang. “Inti kazibah![5],”
teriak pemuda di sampingku, dia semakin mendekatiku. Ya jelaslah aku
berbohong, dimana-mana kalau ada yang mau dicuri barangnya pasti bilang tidak
ada, dasar pencuri bodoh! Aku berpikir keras, bagaimana aku bisa keluar dari
kepungan dua pemuda beringas ini. Aku injak kaki pemuda di sampingku, lalu ku
dorong kepala pemuda di belakangku, aku melompat menuju kursi depan. Ketika aku
siap-siap membuka pintu tremco, si sopir semakin menancap gasnya.
***
Sekarang aku berada di dalam dua
pilihan, tetap di dalam tremco dengan empat pemuda yang entah akan membawaku
kemana, yang mungkin saja bukan hanya mengincar hartaku tetapi juga diriku
sendiri yang terancam. Pilihan kedua aku meloncat dari tremco, dan pasti akan
terjadi luka-luka yang cukup bisa aku dilarikan ke rumah sakit. Tetapi
bagaimana jika aku melompat, mereka turun lalu membawaku lagi ke dalam tremco,
sedangkan aku terluka berat? Aduh, ternyata pilihannya mematikan.
Sudahlah lebih baik aku melompat
dari tremco daripada aku harus ternodai dengan pemuda-pemuda ini. Tanganku
sudah menggapai gagang pintu, akan tetapi memang sepertinya hari ini aku sedang
tidak beruntung, tangan pemuda di belakangku menarik lenganku. Aku mengaduh
kesakitan, tanganku satu lagi berhasil diraihnya lagi, lengkap, sekarang aku
tidak berdaya. Sekuat mungkin aku berusaha berontak, kugigit salah satu
tangannya sampai biru dan akhirnya terlepas.
Kakiku menendang dadanya, dia
terjengkang ke belakang. Pemuda satu lagi berusaha meraihku, aku melemparkan
besi kecil yang berada di bawah jok kursi, tepat mengenai pelipisnya. Spontan
tanganku meraih gagang pintu, berhasil terbuka. Tiba-tiba nyaliku menciut, aku
sempat terdiam, dan pemuda yang duduk samping sopir mencekal tanganku.
Menyesal, mengapa aku tidak langsung meloncat tadi.
Aku berusaha melepas tangan
tersebut, akan tetapi tangan tersebut lebih kuat sampai tanganku hampir putus.
Lalu ku putuskan untuk melompat saja, mungkin nanti tangan pemuda itu akan
terlepas. Ku tahan nafasku, sambil ku pejam mataku, lalu berhitung,
satu..dua..tiga.. aku melompat dari tremco, tiba-tiba ada yang menepuk
pundakku.Aku heran, mengapa badanku tidak terhempas ke aspal? Padahal jaraknya
dekat, aneh. Memangnya aku sedang melompat dari lantai lima, ini kan jaraknya
dekat sekali. Tepukkan di pundakku semakin keras.
“Ya bint.. kamu turun dimana? Ini
sudah di pemberhentian terakhir,” ujar pemuda di sampingku.
Mataku terbuka, aku terkejut,
sudah di Mahattah Hay Asyir. Di dalam tremco hanya aku dan pemuda di sampingku
yang sedari tadi berusaha membangunkanku. Lalu yang terjadi tadi? Ternyata
semua hanya imajinasiku, ya imajinasi yang berlangsung 10 menit tadi cukup
menegangkan. Ku cubit pipiku dengan keras, terasa sakit, ternyata benar semua
hanya imajinasiku saja.
Aku berjalan menuju arah
Madrasah, seharusnya aku turun di mahattah sebelumnya, untung saja tidak jauh
sekali dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Akan tetapi banyak yang bisa
diambil dari imajinasi 10 menit tadi, bahwa keselamatan lebih dari apa pun.
Hilangkan kegengsian, pikiran negatif, apalagi saat-saat seperti ini, Negara
Mesir sudah tidak aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar