Pages

Labels

Senin, 30 September 2013

Tipu Muslihat Peri Hutan



“Cepat selesaikan pekerjaanmu, dipenjara sama ratu baru tahu rasa kamu,” ujar Lena.

“Berisik kau! Aku malas bekerja keras buat si ratu tamak,” jawabku sinis.

“Hati-hati kau berbicara Bella!”

Kulemparkan baju putih bersih setengah jadi ke atas bangku kayu. Segera kuambil kembali, karena baju tersebut terbuat dari kain sutra yang sangat sensitif dengan benda kasar. Ujung-ujungnya hanya kupelototi saja baju yang hampir jadi di hadapanku. Baru kali ini aku membuat baju sutra lebih dari sehari, bahkan sudah hampir seminggu pesanan ratu kuanggurkan. Aku benar-benar tak sudi bekerja keras demi ratu tamak itu. 

Padahal aku terkenal sebagai pembuat baju sutra terbagus di kalangan peri-peri hutan. Maka tak jarang aku sering mendapat pesanan dari ratu kerajaan peri. Selain bagus kualitasnya, pesanan juga cepat jadi, hanya butuh sehari aku menyelesaikan satu baju. Bahkan pernah aku membuat 100 baju sutra dalam sebulan untuk pesta ulang tahun ratu dan semua selesai dengan kedua tanganku. 

Mulai aku berumur 14 tahun, aku sudah mahir menenun kain-kain sutra, lalu dijadikan sehelai baju yang indahnya bukan main. Aku belajar dari ibuku, karena beliau sudah tua, maka aku yang meneruskan pekerjaannya dan ternyata aku menuruni kepandaiannya dalam hal ini. 

Akhir-akhir ini kerjaku payah sekali, sudah hampir seminggu satu baju pun tidak ada yang kuselesaikan. Semua peri hutan pembuat baju sutra terheran-heran, termasuk sahabatku, Lena. Ada yang menyangkaku sakit, atau terkena flu yang virusnya berasal dari ulat sutra. Semua dugaan salah. Aku normal, malas pun tidak sebenarnya, aku hanya tak sudi bekerja dengan seseorang yang kubenci.

Semenjak kematian Ratu Venice, kedudukan Ratu peri hutan digantikan oleh sosok yang sangat tamak dan kejam, yaitu Ratu Elly. Dia selalu menjejali rakyatnya dengan pekerjaan berat. Bayangkan, dalam seminggu setiap peri pembuat baju disuruh membuat 30 baju sutra. Ulat-ulat sutra sampai pucat karena kelelahan memproduksi sutra. Kerjaannya menimbun harta, termasuk baju-baju sutra yang dibuat oleh peri-peri hutan. Jika tidak menyetor 30 baju sutra, peri tersebut akan diancam masuk penjara atau diambil secara paksa semua hartanya, kejam!

Dulu, setiap Ratu Venice memintaku membuat baju sutra, setelahnya pasti aku diberikan hadiah sebagai tanda terima kasih. Dia sangat menghargai jerih payah rakyatnya, maka tak jarang banyak peri-peri hutan yang menawarkan dirinya dibuatkan baju sutra. Namun, beberapa minggu lalu, ada seseorang menyusup kerajaan, lalu membunuh Ratu Venice. Ada yang menduga bahwa yang membunuh adalah suruhan Ratu Elly.

Sekarang aku harus bekerja dengan pembunuh ratu kesayanganku, si tamak nan kejam. Makanya, dengan sengaja aku mengulur-ulur pekerjaanku, berbagai nasihat kudapatkan. Aku sudah tahu resiko yang kudapatkan, dipenjara kah? Atau semua harta keluargaku dirampas? Atau yang lebih kejam, dipotong kedua tanganku? Aku bergidik.

“Bu, aku ingin jadi kumbang saja, lalu menjadi prajurit kerajaan, pada malam hari kuculik Ratu Elly dan kubuang ke Negri seberang,” ujarku penuh emosi.

“Bella, tidak boleh seperti itu. Kita sama-sama tahu bahwa Ratu Elly sering berbuat semena-mena kepada rakyatnya, tetapi bukan lantas dibalas dengan keburukan juga,” nasehat Ibu.

“Terus dengan apa?”

“Dengan kebaikan yang membuatnya jera untuk berbuat kejahatan”.

Semalaman aku berpikir keras apa yang dikatakan ibu tadi siang. Kira-kira apa ya kebaikan yang membuat si pelaku jera? Berhari-hari aku berpikir kata-kata ibu itu. Sudah hampir dua minggu pekerjaan kuanggurkan, demi menyelesaikan teka-teki perkataan ibu.

Akhirnya aku mendapatkan ide untuk membuatnya jera, bukan dengan kebaikan tetapi dengan mengelabuinya. Kubuat satu baju terbuat dari kain biasa bukan sutra. Lalu keesokan harinya aku pergi menghadap Ratu Elly. 

“Mana baju buatanmu? Sudah hampir dua minggu kamu tidak memberi baju sutra,” perintah Ratu Elly.

“Ini bajunya ratu,” jawabku sambil menyerahkan baju sederhana ke hadapannya.

“Baju apa ini? Jelek sekali, hanya satu pula, kamu mau main-main denganku?”

“Tenang dulu ratu, ini baju terbuat dari benang yang lebih indah dari sutra. Dua minggu lalu aku menemukan ulat yang menghasilkan benang yang super indah ini. Benangnya sangat tipis dan mudah rusak, harus ekstra hati-hati menenunnya, maka dari itu menghabiskan waktu yang lama”.

“Tetapi mengapa kain ini begitu kusam?”

“Baju ini akan terlihat indah hanya dengan orang yang suci hatinya, dipenuhi oleh kebaikan, begitu yang dikatakan ulat penghasil benang ini. Sengaja kubawakan satu untuk ratu sebagai contoh”.

Ratu Elly terdiam mendengar penjelasanku.

“Coba buktikan perkataanmu tadi”.

Dipanggilkan seluruh pelayan kerajaan, termasuk prajurit-prajurit. Semua memuji baju yang kubuat. Mereka memang sudah bersekongkol denganku. Kebetulan aku mempunyai teman yang bekerja di istana dan ternyata semua penghuni istana membenci Ratu Elly. Ratu Elly pun semakin penasaran, lalu dia berkata, “Baiklah, baju ini akan kusimpan. Mungkin hari ini aku sedang tidak enak badan jadi penglihatanku sedikit mengabur”. Dia berkilah.

Setelah itu Ratu Elly rutin memesan baju tersebut kepadaku. Semakin hari, dia berubah menjadi lebih bersahaja, karena aku bilang kepadanya bahwa semakin kita berbuat kebaikan maka baju ini akan terlihat semakin indah. Dalam sebulan Ratu Elly menjelma seperti Ratu Venice yang baik hati. Maka dari itu setelah ini aku berniat akan membuatkan baju sutra asli yang indah untuknya sebagai bukti perkataanku dan penghargaan dariku untuk kebaikannya.

Sebenarnya caraku membuat jera salah, yaitu dengan mengelabuinya. Itu semua dikarenakan sampai saat ini aku belum memecahkan teka-teki perkataan ibu. Apakah kebaikan yang membuat jera pelaku kejahatan?

Jumat, 20 September 2013

Kekasihku

Setiap hari aku berdansa dengan rindu
Bernyanyi lagu pilu
Ah cinta, mengapa kau selalu membuatku sendu?

Pohon kenari meliukkan dahannya di hadapanku
Seolah mengejekku
Aku berteriak parau
Dia tak mengerti arti cinta bagiku

Pasir-pasir berbisik kepadaku
Cepatlah datang ke danau
Mereka menjanjikanku sesuatu

Kuberlari menuju tempat itu
Bahagianya diriku
Seseorang menungguku
Dia kekasihku

Stay Gorgeous, Smart, Humble and Always Loving Allah


Stay gorgeous, smart, humble and always loving Allah

Kata-kata di atas yang selama ini menjadi prinsip hidup saya. Bukan prinsip sebenarnya, motivasi lebih tepatnya. Sebagai wanita, kata-kata di atas cukup mewakili apa yang seharusnya sikap seorang wanita.

Dimulai dari yang pertama, stay gorgeous, tetaplah menjadi cantik. Kecantikan dibutuhkan oleh wanita, akan tetapi bukan lantas kita merubah apa yang telah diberikan oleh-Nya. Yang seharusnya kita lakukan adalah menjaga apa yang diberikan-Nya. Seperti menutup aurat, tidak memakai pakaian yang ketat, sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. dalam kita sucinya, yaitu Alquran. Lalu bagaimana dengan make up? Memakai menurut saya cukup dengan balutan bedak tipis atau pelembap untuk melembabkan wajah supaya tidak kering dan juga melindungi dari teriknya matahari. Itu saja sudah cukup, jika ingin terlihat lebih cantik, hiasilah dengan senyuman manis dan ikhlas.

Tidak harus memakai blush on, air liner, lipstik tebal. Mungkin jika bibir terasa kering, cukup memakai lip balm  yang kayak akan gliserin, hanya melembabkan dan tidak mewarnai bibir. Sebenarnya jika tubuh kita tidak bau, mungkin cukup tidak memakai wangi-wangian, atau memakai wewangian tanpa alkohol, tetapi cukup di bagian pergelangan dan leher, sedikit saja. Dengan semua itu saya rasa cukup untuk menjadi cantik, dengan merawat apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Oh ya, untuk wajah agar senantiasa segar dan teduh, sehabis berwudlu jangan dibersihkan air yang masih menempel di wajah, Insya Allah dengan itu kamu akan terlihat semakin menawan tetapi meneduhkan jiwa.

Yang kedua adalah stay smart, tetaplah menjadi cerdas, atau bahkan lebih. Jika kita sudah cantik dan menawan, tetapi otak kita kosong, layaknya sebuah plastik yang ditiup angin. Kenapa kita butuh menjadi cerdas? Karena kita adalah sekolah pertama bagi anak-anak kita kelak. Kita harus tahu bagaimana mendidik anak, jangan kira ketika menjadi ibu rumah tangga hanya sibuk dengan urusan dapur saja. Tugas menjadi ibu rumah tangga itu lebih rumit dibandingkan dengan wanita karir yang mempunyai bergudang-gudang pekerjaan. Juga pahalanya amat sangat besar, sampai-sampai surga diletakkan di kaki ibu.

Menjadi ibu rumah tangga sudah merangkap beberapa pekerjaan. Menjadi koki yang handal, guru yang cerdas, motivator yang bijak, dan masih banyak lagi. Penting bagi wanita untuk bisa memasak, karena masakan seorang ibu akan dibanggakan sepanjang masa, akan dikenang oleh sejarah. Apalagi jika memasaknya dengan penuh kasih sayang, pasti rasanya tidak akan terlupakan.

Yang ketiga adalah stay humble, tetaplah menjadi bijaksana. Lebih bijak menghadapi hidup, menghadapi kemelutnya persoalan rumah tangga. Yang ketiga ini lebih menuju kepada akhlak. Seorang anak pasti akan mencontoh apa yang dilakukan seorang ibu, seperti sifatnya dan sebagainya. Menjadi bijaksana, sabar, tidak kasar terhadap anak-anak, karena didikan kasar membuat anak akan semakin brutal. Akan tetapi juga bukan terlalu memanjakan, cukup dengan ketegasan untuk mengingatkan mereka jika salah.

Juga karena wanita selalu mengedepankan perasaan, mudah terhanyut dan terbawa. Maka sifat bijaksana inilah yang membuatnya tegar dalam menghadapi persoalan, tidak terpuruk dan melakukan yang tidak-tidak.

Yang terakhir adalah always loving Allah, selalu mencintai Allah. Sebenarnya poin ini lebih penting dari poin-poin di atas dan lebih penting  dari segala-galanya. Allah lah yang harus kita cintai, selalu mengingatnya. Kita harus selalu mengisi cinta kepada-Nya, jangan sampai filter cinta habis. Dengan salat, dzikir, shalawat, berdoa dan sebagainya. Insya Allah dengan yang terakhir ini hidup kita akan menjadi lengkap dan bahagia. Agar kita senantiasa menjadi wanita shalehah, ibu yang baik yang didambakan suami dan anak-anak. Supaya kita selalu merindukan harumnya bau surga Allah Swt..

Sabtu, 14 September 2013

Origami


Lengkap 100! Ah, lelah sekali selama dua hari penuh aku melipat origami berbentuk burung. Sekarang tinggal diikat dengan benang dan kutempel di langit-langit kamar. Ternyata tidak cukup langit-langit kamarku menampung 100 origami, kugantung di jendela kamar, bukan hanya disitu saja tetapi di dahan pohon yang menjulur dekat jendela. Di musim semi pasti banyak angin sejuk yang meniupkan seluruh penjuru kota London, tentunya burung-burung origamiku akan bergerak-gerak tertiup angin seakan-akan seperti hidup.

Aku gemar membaca komik-komik Jepang, pamanku yang bekerja di Negeri Sakura itu sering membawakanku ketika ia pulang ke London. Ada yang versi Inggris ada juga yang Jepang, aku juga suka belajar huruf kanji Jepang yang rumit melaluinya. Dari komik itulah aku mengenal origami, jadi disana menceritakan seorang gadis yang suka melipat origami berbentuk burung. Konon, barang siapa yang berhasil membuat 100 origami burung, menaruhnya di langit-langit kamar, lalu berdoa maka harapannya akan dikabulkan.

Sebenarnya banyak mitos-mitos Jepang yang kudapatkan dari cerita-cerita komik, tetapi menurutku mitos origami yang paling menarik. Lalu aku terobsesi membuat origami sejumlah seratus. Pada hari ini, di umurku yang ke 13 tahun, aku berhasil menyelesaikannya. Setelah selesai kugantung semua origami, kurebahkan tubuh mungilku di atas lantai kamarku yang terbuat dari kayu. Sebenarnya tujuanku membuat 100 origami bukan untuk harapanku dikabulkan, akan tetapi aku ingin seratus burung-burung origami ini membawa tubuhku pergi dari rumah ini.

“Mom, lihat Anne! Sudah kubilang dia aneh, dua hari mengurung diri hanya untuk menyampah kamarnya sendiri,” teriak Mary, kakakku. Bukan, dia terlihat lebih seperti penyihir.

“Anne, kertas-kertas itu kalau ditaruh di atap kamar bisa jadi sarang serangga, cepat bersihkan,” pinta Mommy dengan lembut.

Andai daddy masih hidup, pasti dia akan membelaku, memahamiku. Tidak hanya sekali ini saja, dulu ketika musim panas aku menaruh bola-bola kertas dilapisi dengan kain putih ditaruh di sekeliling jendela, Mary merusaknya. Tidak bisakah mereka toleransi dengan imajinasiku? aku hanya anak kecil yang ingin mempunyai dunia yang berbeda. Tidak ada yang bisa mengerti, aku hanya ingin mereka menghargai duniaku.

Maka dari itu, aku berharap pada malam hari nanti burung-burung ini akan hidup dan membawa tubuhku pergi dari rumah ini. Aku ingin pergi ke rumah nenekku di desa sana, kuharap mereka akan membawaku kesana. Sering kali aku merengek ingin mengunjungi nenek kepada mommy, tetapi ia tidak mengijinkan. Aku tahu mengapa mereka tidak mengijinkan aku kesana, karena dulu sewaktu aku berumur 3 tahun sempat tinggal bersamanya selama dua tahun. Ketika itu mommy dan Mary pergi ke Wina, daddy kecelakaan dan meninggal disana. Aku mengetahuinya ketika berumur 10 tahun, itu pun aku mengetahuinya dari pamanku.

Nenek selalu mendongengkanku setiap sebelum tidur, dari kisah Cinderella, Thumbelina, dan sebagainya. Sampai ketika mommy menjemputku pulang, aku menolaknya, aku ingin pergi ke kastil para peri. Kata nenek letaknya tidak jauh dari rumahnya, mommy memarahiku dan mengatakan bahwa itu semua hanya khayalan. Akan tetapi aku tetap bersikeras ingin pergi kesana, sampai-sampai mommy memarahi nenek, gara-gara semua cerita khayalannya aku sering meminta sesuatu yang konyol. Semenjak saat itu, aku tidak pernah dibolehkan mengunjungi nenek, pasti dia sedih sekali.

Tepat jam 9 malam aku sudah siap di atas ranjangku, bersiap-siap menutupi tubuhku dengan selimut. Lalu mematikan lampu kamar sebelum mommy datang melihatku masih bermain-main dengan origami. Bisa-bisa mommy menyuruh Mary merubuhkan semua origami yang kugantung di langit-langit kamar. Sebelum memejamkan mataku, kuberkata lirih, “Bawa aku pergi dari rumah ini”.

Belum sempat memejamkan mata, terdengar suara gaduh jendela tertiup angin, aku lupa menutupnya. Ternyata bukan angin yang membuat jendela bergerak, tetapi origami-origamiku. Sedikit demi sedikit burung-burung origami itu mengepakkan sayap mereka. Lama kelamaan semua burung yang ada di kamarku dan di dahan pepohonan ikut mengepakkan sayap mereka.

Semua burung yang ada di langit-langit kamar keluar serempak melalui jendela, yang di jendela dan di dahan pepohonan pun semua berkumpul menjadi satu. Seratus burung origami berkumpul menyusun diri mereka menjadi bentuk burung besar. Jadilah origami burung yang sangat besar di hadapanku.

“Ikut aku menuju kastil peri,” ajaknya.

Aku terkejut dia bisa berbicara, kuanggukan kepalaku menanggapi ajakannya. Kupanjat jendela, lalu jatuh terhempas di atas origami burung besar ini. Dia membawaku jauh menuju peri kastil, yang letaknya berada di desa tempat tinggal nenekku. Mommy berbohong, peri kastil benar-benar ada, lihat saja akan kubuktikan kepadanya dan tentunya juga si Penyihir Mary. Pasti mereka tidak akan lagi mengusikku.

Tidak sampai satu jam di hadapanku sudah terhampar pemandangan kastil yang indah. Di tembok-teboknya banyak ditumbuhi tumbuhan dan bunga-bunga. Walaupun tidak terlalu besar, tetapi cahaya lampu yang menyoroti kastil dari bawah membuatnya terlihat megah. Burung itu tidak membawaku menuju kastil, tetapi menuju kebun apel tepat di belakang bangunan kastil.

“Hei, aku ingin turun di kastil peri bukan di kebun apel,” teriakku.

“Aku akan menunjukkan kamu sesuatu,” ujarnya.

Disana sudah ada tiga perempuan, yang satu seorang gadis, lalu di sampingnya seorang ibu, satunya lagi seorang nenek tua. Hei, mereka adalah mommy, Mary dan nenek! Aku terkejut bukan main, kenapa mereka semua berada disini? Disitu mommy dan Mary melihat sinis kepada nenek.

“Seharusnya kami yang lebih berhak atas tanah ini, tapi entah kenapa suamiku yang bodoh memberikannya kepadamu, padahal umurmu sudah tidak lama lagi, lebih baik untuk kami saja,” kata mommy dengan berapi-api. Di sampingnya Mary menganggukkan kepala tanda setuju.

Nenek hanya terdiam mendengar semua cercaan mommy.

“Kamu sengaja mengajak Anne ke kastil ini yang kau namai kastil peri supaya dia menganggapnya ini semuanya milik peri-peri bukan tanah rampasanmu!”

“Aku tidak pernah merampas darimu Lily…” belum selesai nenek berbicara, mommy memotongnya.

“Tak akan kubiarkan kau menyentuh Anne, apalagi membiarkan dia mengunjungimu, ingat itu!”

“Kamu sangat jahat! Aku tidak habis pikir kenapa anakku mau menikahimu, seharusnya kamu tahu Anne itu cucu kesayanganku, aku ingin sekali ditemaninya di sisa umurku, aku….”

Tiba-tiba tubuh nenek limbung ke tanah, jantung nenek kumat. Aku berteriak dan berlari ke arah nenek, anehnya aku tidak bisa menyentuhnya. Tidak satu pun dari mereka yang mendengar teriakanku. Aku berlari ke arah origami burung ingin bertanya apa sebenarnya yang terjadi, dia menghilang! Oh tidak, ku harap ini semua hanya mimpi.

Benar saja, ketika aku sadar dan membuka kedua bola mataku, aku masih berada di atas ranjang. Ternyata hanya mimpi, aku menghela napas lega. Mengambil tisu, membersihkan keringat dingin yang bercucuran. Kutatap di sekeliling langit kamar, semua origami masih tetap pada tempatnya. Lalu samar-samar kudengar kegaduhan di lantai bawah. Langsung ku menuju lantai bawah menuruni tangga. Kulihat mommy terisak menangis, Mary merangkulnya sambil menangis lebih kencang.

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

“Nenek meninggal,” jawab Mary.

Tiba-tiba aku menjadi sangat benci kepada mommy.

Jumat, 13 September 2013

Karcis Bioskop


Selama beberapa menit aku terpaku di ambang pintu sambil sesekali menyeka keringat dingin di pelipis. Sebuah amplop berisi satu helai karcis bioskop yang tadinya tergeletak misterius di depan pintu rumahku sekarang berada di dalam genggamanku. Suara bel melengking beberapa menit yang lalu, melayangkan satu helai karcis bioskop. Pikiranku melayang-layang serta merta menerka-nerka, siapa gerangan orang yang meletakan amplop ini? Orang iseng kah? Atau bagi-bagi hadiah? Aku tidak bisa menebaknya.

Apa jangan-jangan yang mengirim seorang pencuri, lalu sengaja mengirimkan karcis bioskop sehingga dia bisa mencuri barang-barang di rumahku. Keringat dinginku mengucur deras, jangan-jangan benar. Mustahil! Jika dia niat mencuri, pasti dia mengirim 4 tiket untuk seluruh keluargaku dan rumah kosong memudahkannya untuk menyegerakan aksinya. Juga bagaimana pencuri itu tahu kalau aku sedang ingin sekali menonton film ini.

Kutengok kanan kiri, tidak ada siapa-siapa sedari tadi. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri kuis tebak-tebakan, kututup pintu rumah.

Di seberang sana, di balik semak-semak ada seorang lelaki seumuran gadis yang menerima amplop tadi. Keringat dingin bercucuran membasahi kemejanya. Lidahnya kelu, tangannya gemetar, apalagi dia menyaksikan dari kejauhan ketika gadis tersebut mengambil amplop. Ya, lelaki inilah pemilik amplop itu.

                                                                              ***
“Woy, nanti malem jalan kek, bete gue,” ajakku.

“Yah, gue ada acara Lin,” jawab Joe sambil tetap fokus ke mie ayamnya.

“Tau deh yang punya gebetan, ah nasib jadi jomblo”.

“Ih, sok tau! Eh, Linda, kalau lu bete ada yang mau ngajak lu jalan tuh”.

“Siapa Joe?”

“Tuh, si Indra daritadi merhatiin lu mulu, suka kayaknya sama lu”.

“Lu mah suka asal bunyi”.

“Yeee, dibilangin, dia tuh merhatiin lu kayak gini nggak sekali aja”.

Kulirik pandanganku ke arah Indra, benar saja dia sedang asik memperhatikanku. Bola mata kita beradu, dia malu karena tertangkap basah serta menundukkan pandangan. Lalu dia meninggalkan tempatnya menuju kasir. Gila si Joe, masak aku harus menghampiri Indra, lalu bilang, “Lu suka kan sama gue? Jalan yuk”. Temanku satu ini memang setengah waras, selalu saja menganggap cowo yang memperhatikanku itu suka kepadaku. Akan tetapi aku suka cara dia memberi tahu para lelaki yang naksir kepadaku, tandanya dia sangat peduli dengan temannya satu ini.

Joe itu temanku sedari SMP, kami akrab sekali, tidak jarang yang menyangka kami pacaran. Padahal kami hanya berteman, bahkan Joe sekarang sudah punya pacar, walaupun sering tidak mengaku. Akan tetapi kerap kali kupergoki dia berjalan dengan pacarnya itu. Setiap malam minggu aku mengajakinya jalan, dia pasti punya acara, siapa lagi kalau bukan dengan pacarnya.

“Eh Lin, kenapa sih lu nggak jadian aja sama Indra? Kurang apa coba? Ganteng iya, kaya iya, baik iya,” goda Joe.

“Sejak kapan lu jadi mak comblang?” jawabku sinis.

Setelah ku pikir-pikir benar kata Joe, kurang apa coba si Indra. Malah akhir-akhir ini Indra makin berani mendekatiku langsung. Terkadang jika aku sendirian di kantin menunggu Joe yang tidak datang-datang, dia menghampiriku. Beberapa menit kemudian Joe datang, lalu duduk di sampingku menyantap mie ayam kesukaannya tanpa mempedulikan kami berdua. Tadinya aku mengira dia tidak suka kedekatanku dengan Indra, tetapi aku salah, malah terkadang dia memberi masukan kepadaku bagaimana harus menghadapi cowo yang sedang pedekate. Mungkin gayanya saja yang cuek.

Lama-lama aku bosan dengan Indra. Tidak ada perkembangan dalam hubungan kami, jangan-jangan dia hanya sekedar simpati kepadaku, atau dia malu? Bisa jadi. Sampai ketika sebuah film favoritku akan tayang seminggu lagi di bioskop, berkali-kali aku memancingnya supaya dia paham jika aku ingin menonton bersamanya. Nihil semua usahaku, sampai detik ini dia sama sekali tidak ada tanda-tanda mengajakku. Padahal besok film itu akan ditayangkan di bioskop. Lagi-lagi pilihan terakhirku adalah membujuk Joe supaya mau menemaniku menonton.

Aku sebal dengan ulah Joe beberapa minggu ini, dia suka menolak jika kuajak pergi. Dia berubah semenjak jadian dengan pacarnya, akibatnya aku sering bete. Jelas saja, Joe temanku satu-satunya, aku tidak mempunyai teman perempuan satu pun. Bukan karena aku tidak mencoba berteman dengan mereka, tetapi mereka tidak terima cowo sekeren dan seganteng Joe dekat sekali denganku. Mungkin ini salah satu alasan Joe selalu menolak ajakanku, dia tak ingin membuat pacarnya cemburu. Inilah bukti kekejaman dunia.

                                                                         ***
“Joe, tahu nggak?” tanyaku dengan setengah berteriak.

“Nggak tahu,” jawab Joe cuek.

“Ih, nggak seru lu! Tadi malem ada yang naruh amplop isinya karcis film yang gue maudi depan pintu, liat deh,” seruku bersemangat sambil menyodorkan amplop berwarna pink.

“Paling si Indra yang ngasih. Akhirnya gue selamat dari terror ajakan lu”.

Aku tidak peduli dengan omongan Joe, kupandangi berkali-kali karcis tersebut, akhirnya aku bisa malam mingguan juga. Kali ini jika Joe mengajakku pergi, aku akan menolaknya mentah-mentah, balas dendam dengan apa yang dilakukannya. Aku tersenyum menang ke arahnya.

Dari sore hari aku sibuk berdandan, abangku sampai heran, baru kali ini aku heboh dalam berias. Biasanya aku hanya memakai kaos oblong dan celana jeans dengan rambut dikuncir kuda seadanya. Katanya pantas saja aku tidak mempunyai teman perempuan, melihat gaya berpakaianku saja sudah malas mendekati. Jam enam tepat aku sudah siap, memakai atasan lengan pendek dipadu dengan blazer, memakai rok selutut, ah aku terlihat feminism sekali.

Jam setengah tujuh aku menunggu di depan bioskop, hampir seperempat jam Indra tidak datang-datang. Akhirnya datang seorang lelaki memakai topi, aku hampir tidak mengenalinya karena mukanya tertutup topi dan tangannya. Dari cara berjalannya tidak asing lagi, Joe. Mau apa dia kesini? Jangan-jangan dia menunggu pacarnya. Jangan bilang dia menolak ajakanku karena sudah terlebih dahulu janji dengan pacarnya, oh God!

“Ngapain lu kesini?” tanyaku sinis.

“Lah, lu juga ngapain disini? Ya jelas semua yang kesini mau nonton,” ujarnya santai.

“Udah boleh masuk tuh, masuk yuk”.

“Nggak ah, gue lagi nunggu si Indra nggak datang-datang nih, mana ya dia”.

“Dia nggak bakal datang, ayo masuk,” ujarnya sambil mengambil tanganku.

“Bukannya lu datang sama pacar lu?”

“Pacar yang mana sih Linda, lu aja yang selalu beranggapan gue jadian sama si Silvi”.

“Jadi amplop itu punya..”

Joe mengedipkan sebelah matanya ke arahku.


Selasa, 03 September 2013

Seekor Burung dengan Kesetiaannya



Mungkin jarang sekali orang-orang di zaman modern ini berbicara tentang kesetiaan, karena dimana-mana pengkhiatan menyebar luas yang mengakibatkan perpecahan dimana-mana. Di zaman dahulu saja pengkhianatan sering muncul di tengah-tengah kesetiaan. Padahal orang zaman dahulu terkenal dengan kesetiaannya yang kuat, itu menurut bangsaku. Beda dengan bangsa manusia, sudah terkenal dengan persenan kesetiaan yang paling kecil.
 
Sebenarnya mau zaman modern atau tidak tidak ada pengaruhnya dengan bangsaku. Toh, di zaman modern seperti sekarang ini kami masih bergerombol terbang ke arah timur ketika pagi hari dan pulang ke barat ketika matahari terbenam. Ya, seperti matahari, kami memang mengikuti jejaknya lebih tepat kesetiaanya. Matahari selalu setia menyinari bumi ini walaupun manusia sering mengeluh kepanasan. Sebenarnya itu ulah mereka yang sering membangun gedung-gedung berkaca atau apa saja yang bisa mengurangi lapisan yang melindungi bumi dari sengatan langsung matahari.

Kami pun melihat angin yang selalu setia meniupkan angin segarnya ketika musim semi atau musim gugur. Akan tetapi akhir-akhir ini manusia sering mengeluh dan mengaku bahwa angin semakin tidak bersahabat, itu karena ulah mereka yang membuat polusi di udara semakin menjadi-jadi.
Tadinya aku selalu sinis kepada manusia, mereka tidak pernah menghargai sebuah kesetiaan. Tidak ada satu pun yang mengamalkan kesetiaan, sudah ku jelajahi bumi ini, tidak ada satu pun yang tidak melakukan pengkhianatan. Aku miris, beruntung aku hanya seekor burung, seandainya boleh memilih aku tidak ingin diciptakan menjadi seorang manusia. Manusia itu perusak, pengkhianat, itu pendapatku sementara ini.

Setelah beberapa lama aku menjelajahi bumi, pada suatu hari aku singgah di pedesaan yang sangat hijau. Sepertinya polusi tidak pernah menjamahi tempat ini, bau anginnya sejuk sekali. Terdapat sungai-sungai mengalir, di dalam ikan berloncat-loncatan menyambutku, mereka berkata bahwa aku beruntung bisa singgah di desa ini. Nyanyian bangsaku semakin terdengar, baru kali ini aku mendengarnya secara jelas. Aku dan teman-temanku juga kerap kali bernyanyi, tetapi suara kami tertutup oleh klakson mobil, atau mesin-mesin buatan manusia.

Aku menjadi penasaran dengan desa ini, sepertinya tidak ada manusia yang bermukim di desa ini. Mungkin saja rumah-rumah mungil itu kosong tidak berpenghuni. Jelas saja, jika manusia ada pastinya desa ini sudah kotor, tidak ada ikan berenang, nyanyian burung, angin sejuk dan sebagainya. Akan tetapi aku salah, ternyata rumah-rumah tersebut berpenghuni. Kulihat para penduduknya berseri-seri, kerap kali kutemukan menyapa ikan-ikan di sungai atau ikut bernyanyi bersama bangsaku.

Masih tidak percaya, mungkin ini mimpi. Akan tetapi ini sama sekali bukan mimpi, semuanya terlihat jelas. Lalu diam-diam aku mendekati seorang gadis, kutaksir dia sekitar belasan tahun. Kubertanya mengapa desa ini tentram baik manusia ataupun makhluk lainnya. Dia menjawab bahwa mereka semua mengamalkan sebuah kesetiaan. Setia kepada sesama manusia, kepada makhluk lainnya, setia kepada kebaikan, kepada tuhan hingga diberkahi kehidupan yang sejahtera.

Menurut gadis tersebut kesetiaan adalah bekal hidup. Dalam hidup ini kita dituntut untuk setia, setia kepada yang disebutkan yang tadi. Oh iya, juga setia menebarkan cinta kepada sesama makhluk hidup. Memang aku merasakan cinta tersebar di denyut nadi setiap penghuni desa ini, aku yang bukan penghuni asli pun turut merasa bahagia.

Ternyata, dulu desa ini adalah sebuah padang rumput yang gersang, semuanya kering, air di sungai pun kering. Lalu, datanglah seorang kakek bersama cucu-cucunya yang berjumlah lima orang ke tempat ini. Mereka membangun rumah, bercocok tanam, menggali tanah sungai sehingga air memancar kembali. 

Disitulah sebuah kesetiaan dibangun, mereka setia merawat padang rumput yang hampir mati, mengolahnya menjadi desa yang asri. Setia menunggu kapan datangnya hujan untuk menyirami tanaman mereka juga rumput-rumput ketika kekeringan. Mereka tidak pernah meninggalkan tempat ini, sampai akhirnya berhasil menjadi sebuah desa yang indah. Semua orang datang kesini langsung jatuh cinta, akhirnya banyaklah yang bermukim di desa ini.

Semua penduduk disini belajar dari kesetiaan kakek dan cucu-cucunya. Semenjak itu semua penduduk disini mengamalkan kesetiaan dan menjadikan bekal hidup. Hidup tanpa kesetiaan akan hampa, selalu merasa kehilangan, ketidakpuasan, tetapi dengan setia kita akan merasa hidup kita bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Lihat saja kepada orang-orang yang sering berkhianat, mereka selalu pulang dan pergi lalu bertemu untuk berperang karena merasa saling dikhianati. 

Setelah mendengar kisah desa ini, aku mengajukan permintaan, bolehkah aku menetap disini? Dia menyambutnya dengan suka cita, apalagi mendengar alasanku bahwa aku ingin memperdalami makna sebuah kesetiaan. Lalu dia berlari-lari kecil berteriak kepada penghuni desa ini bahwa mereka kedatangan penghuni baru, mereka menyambutku dengan hangat.

Ternyata persepsiku selama ini salah, ada juga kesetiaan di muka bumi ini. Tidak semua manusia itu perusak atau pengkhianat. Bahkan menurutku penghuni desa ini lebih setia ketimbang matahari dan angin seperti yang kuceritakan, karena keduanya hanya setia kepada pekerjaan yang diberikan tuhan oleh mereka berdua. Akhirnya aku bisa menemukan tempat dimana kesetiaan itu merupakan bekal hidup, seperti yang dikatakan gadis tersebut bahwa hidup tanpa kesetiaan hampa seperti musim semi tanpa angin sejuk. Terima kasih bagi pencinta kesetiaan!