Pages

Labels

Jumat, 13 September 2013

Karcis Bioskop


Selama beberapa menit aku terpaku di ambang pintu sambil sesekali menyeka keringat dingin di pelipis. Sebuah amplop berisi satu helai karcis bioskop yang tadinya tergeletak misterius di depan pintu rumahku sekarang berada di dalam genggamanku. Suara bel melengking beberapa menit yang lalu, melayangkan satu helai karcis bioskop. Pikiranku melayang-layang serta merta menerka-nerka, siapa gerangan orang yang meletakan amplop ini? Orang iseng kah? Atau bagi-bagi hadiah? Aku tidak bisa menebaknya.

Apa jangan-jangan yang mengirim seorang pencuri, lalu sengaja mengirimkan karcis bioskop sehingga dia bisa mencuri barang-barang di rumahku. Keringat dinginku mengucur deras, jangan-jangan benar. Mustahil! Jika dia niat mencuri, pasti dia mengirim 4 tiket untuk seluruh keluargaku dan rumah kosong memudahkannya untuk menyegerakan aksinya. Juga bagaimana pencuri itu tahu kalau aku sedang ingin sekali menonton film ini.

Kutengok kanan kiri, tidak ada siapa-siapa sedari tadi. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri kuis tebak-tebakan, kututup pintu rumah.

Di seberang sana, di balik semak-semak ada seorang lelaki seumuran gadis yang menerima amplop tadi. Keringat dingin bercucuran membasahi kemejanya. Lidahnya kelu, tangannya gemetar, apalagi dia menyaksikan dari kejauhan ketika gadis tersebut mengambil amplop. Ya, lelaki inilah pemilik amplop itu.

                                                                              ***
“Woy, nanti malem jalan kek, bete gue,” ajakku.

“Yah, gue ada acara Lin,” jawab Joe sambil tetap fokus ke mie ayamnya.

“Tau deh yang punya gebetan, ah nasib jadi jomblo”.

“Ih, sok tau! Eh, Linda, kalau lu bete ada yang mau ngajak lu jalan tuh”.

“Siapa Joe?”

“Tuh, si Indra daritadi merhatiin lu mulu, suka kayaknya sama lu”.

“Lu mah suka asal bunyi”.

“Yeee, dibilangin, dia tuh merhatiin lu kayak gini nggak sekali aja”.

Kulirik pandanganku ke arah Indra, benar saja dia sedang asik memperhatikanku. Bola mata kita beradu, dia malu karena tertangkap basah serta menundukkan pandangan. Lalu dia meninggalkan tempatnya menuju kasir. Gila si Joe, masak aku harus menghampiri Indra, lalu bilang, “Lu suka kan sama gue? Jalan yuk”. Temanku satu ini memang setengah waras, selalu saja menganggap cowo yang memperhatikanku itu suka kepadaku. Akan tetapi aku suka cara dia memberi tahu para lelaki yang naksir kepadaku, tandanya dia sangat peduli dengan temannya satu ini.

Joe itu temanku sedari SMP, kami akrab sekali, tidak jarang yang menyangka kami pacaran. Padahal kami hanya berteman, bahkan Joe sekarang sudah punya pacar, walaupun sering tidak mengaku. Akan tetapi kerap kali kupergoki dia berjalan dengan pacarnya itu. Setiap malam minggu aku mengajakinya jalan, dia pasti punya acara, siapa lagi kalau bukan dengan pacarnya.

“Eh Lin, kenapa sih lu nggak jadian aja sama Indra? Kurang apa coba? Ganteng iya, kaya iya, baik iya,” goda Joe.

“Sejak kapan lu jadi mak comblang?” jawabku sinis.

Setelah ku pikir-pikir benar kata Joe, kurang apa coba si Indra. Malah akhir-akhir ini Indra makin berani mendekatiku langsung. Terkadang jika aku sendirian di kantin menunggu Joe yang tidak datang-datang, dia menghampiriku. Beberapa menit kemudian Joe datang, lalu duduk di sampingku menyantap mie ayam kesukaannya tanpa mempedulikan kami berdua. Tadinya aku mengira dia tidak suka kedekatanku dengan Indra, tetapi aku salah, malah terkadang dia memberi masukan kepadaku bagaimana harus menghadapi cowo yang sedang pedekate. Mungkin gayanya saja yang cuek.

Lama-lama aku bosan dengan Indra. Tidak ada perkembangan dalam hubungan kami, jangan-jangan dia hanya sekedar simpati kepadaku, atau dia malu? Bisa jadi. Sampai ketika sebuah film favoritku akan tayang seminggu lagi di bioskop, berkali-kali aku memancingnya supaya dia paham jika aku ingin menonton bersamanya. Nihil semua usahaku, sampai detik ini dia sama sekali tidak ada tanda-tanda mengajakku. Padahal besok film itu akan ditayangkan di bioskop. Lagi-lagi pilihan terakhirku adalah membujuk Joe supaya mau menemaniku menonton.

Aku sebal dengan ulah Joe beberapa minggu ini, dia suka menolak jika kuajak pergi. Dia berubah semenjak jadian dengan pacarnya, akibatnya aku sering bete. Jelas saja, Joe temanku satu-satunya, aku tidak mempunyai teman perempuan satu pun. Bukan karena aku tidak mencoba berteman dengan mereka, tetapi mereka tidak terima cowo sekeren dan seganteng Joe dekat sekali denganku. Mungkin ini salah satu alasan Joe selalu menolak ajakanku, dia tak ingin membuat pacarnya cemburu. Inilah bukti kekejaman dunia.

                                                                         ***
“Joe, tahu nggak?” tanyaku dengan setengah berteriak.

“Nggak tahu,” jawab Joe cuek.

“Ih, nggak seru lu! Tadi malem ada yang naruh amplop isinya karcis film yang gue maudi depan pintu, liat deh,” seruku bersemangat sambil menyodorkan amplop berwarna pink.

“Paling si Indra yang ngasih. Akhirnya gue selamat dari terror ajakan lu”.

Aku tidak peduli dengan omongan Joe, kupandangi berkali-kali karcis tersebut, akhirnya aku bisa malam mingguan juga. Kali ini jika Joe mengajakku pergi, aku akan menolaknya mentah-mentah, balas dendam dengan apa yang dilakukannya. Aku tersenyum menang ke arahnya.

Dari sore hari aku sibuk berdandan, abangku sampai heran, baru kali ini aku heboh dalam berias. Biasanya aku hanya memakai kaos oblong dan celana jeans dengan rambut dikuncir kuda seadanya. Katanya pantas saja aku tidak mempunyai teman perempuan, melihat gaya berpakaianku saja sudah malas mendekati. Jam enam tepat aku sudah siap, memakai atasan lengan pendek dipadu dengan blazer, memakai rok selutut, ah aku terlihat feminism sekali.

Jam setengah tujuh aku menunggu di depan bioskop, hampir seperempat jam Indra tidak datang-datang. Akhirnya datang seorang lelaki memakai topi, aku hampir tidak mengenalinya karena mukanya tertutup topi dan tangannya. Dari cara berjalannya tidak asing lagi, Joe. Mau apa dia kesini? Jangan-jangan dia menunggu pacarnya. Jangan bilang dia menolak ajakanku karena sudah terlebih dahulu janji dengan pacarnya, oh God!

“Ngapain lu kesini?” tanyaku sinis.

“Lah, lu juga ngapain disini? Ya jelas semua yang kesini mau nonton,” ujarnya santai.

“Udah boleh masuk tuh, masuk yuk”.

“Nggak ah, gue lagi nunggu si Indra nggak datang-datang nih, mana ya dia”.

“Dia nggak bakal datang, ayo masuk,” ujarnya sambil mengambil tanganku.

“Bukannya lu datang sama pacar lu?”

“Pacar yang mana sih Linda, lu aja yang selalu beranggapan gue jadian sama si Silvi”.

“Jadi amplop itu punya..”

Joe mengedipkan sebelah matanya ke arahku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar