Selama beberapa menit
aku terpaku di ambang pintu sambil sesekali menyeka keringat dingin di pelipis.
Sebuah amplop berisi satu helai karcis bioskop yang tadinya tergeletak
misterius di depan pintu rumahku sekarang berada di dalam genggamanku. Suara
bel melengking beberapa menit yang lalu, melayangkan satu helai karcis bioskop.
Pikiranku melayang-layang serta merta menerka-nerka, siapa gerangan orang yang
meletakan amplop ini? Orang iseng kah? Atau bagi-bagi hadiah? Aku tidak bisa menebaknya.
Apa jangan-jangan yang
mengirim seorang pencuri, lalu sengaja mengirimkan karcis bioskop sehingga dia
bisa mencuri barang-barang di rumahku. Keringat dinginku mengucur deras,
jangan-jangan benar. Mustahil! Jika dia niat mencuri, pasti dia mengirim 4
tiket untuk seluruh keluargaku dan rumah kosong memudahkannya untuk
menyegerakan aksinya. Juga bagaimana pencuri itu tahu kalau aku sedang ingin
sekali menonton film ini.
Kutengok kanan kiri,
tidak ada siapa-siapa sedari tadi. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri kuis
tebak-tebakan, kututup pintu rumah.
Di seberang sana, di
balik semak-semak ada seorang lelaki seumuran gadis yang menerima amplop tadi.
Keringat dingin bercucuran membasahi kemejanya. Lidahnya kelu, tangannya
gemetar, apalagi dia menyaksikan dari kejauhan ketika gadis tersebut mengambil
amplop. Ya, lelaki inilah pemilik amplop itu.
***
“Woy, nanti malem
jalan kek, bete gue,” ajakku.
“Yah, gue ada acara
Lin,” jawab Joe sambil tetap fokus ke mie ayamnya.
“Tau deh yang punya
gebetan, ah nasib jadi jomblo”.
“Ih, sok tau! Eh,
Linda, kalau lu bete ada yang mau ngajak lu jalan tuh”.
“Siapa Joe?”
“Tuh, si Indra
daritadi merhatiin lu mulu, suka kayaknya sama lu”.
“Lu mah suka asal
bunyi”.
“Yeee, dibilangin, dia
tuh merhatiin lu kayak gini nggak sekali aja”.
Kulirik pandanganku ke
arah Indra, benar saja dia sedang asik memperhatikanku. Bola mata kita beradu,
dia malu karena tertangkap basah serta menundukkan pandangan. Lalu dia
meninggalkan tempatnya menuju kasir. Gila si Joe, masak aku harus menghampiri
Indra, lalu bilang, “Lu suka kan sama gue? Jalan yuk”. Temanku satu ini memang
setengah waras, selalu saja menganggap cowo yang memperhatikanku itu suka
kepadaku. Akan tetapi aku suka cara dia memberi tahu para lelaki yang naksir
kepadaku, tandanya dia sangat peduli dengan temannya satu ini.
Joe itu temanku sedari
SMP, kami akrab sekali, tidak jarang yang menyangka kami pacaran. Padahal kami
hanya berteman, bahkan Joe sekarang sudah punya pacar, walaupun sering tidak
mengaku. Akan tetapi kerap kali kupergoki dia berjalan dengan pacarnya itu.
Setiap malam minggu aku mengajakinya jalan, dia pasti punya acara, siapa lagi
kalau bukan dengan pacarnya.
“Eh Lin, kenapa sih lu
nggak jadian aja sama Indra? Kurang apa coba? Ganteng iya, kaya iya, baik iya,”
goda Joe.
“Sejak kapan lu jadi
mak comblang?” jawabku sinis.
Setelah ku pikir-pikir
benar kata Joe, kurang apa coba si Indra. Malah akhir-akhir ini Indra makin
berani mendekatiku langsung. Terkadang jika aku sendirian di kantin menunggu
Joe yang tidak datang-datang, dia menghampiriku. Beberapa menit kemudian Joe
datang, lalu duduk di sampingku menyantap mie ayam kesukaannya tanpa
mempedulikan kami berdua. Tadinya aku mengira dia tidak suka kedekatanku dengan
Indra, tetapi aku salah, malah terkadang dia memberi masukan kepadaku bagaimana
harus menghadapi cowo yang sedang pedekate. Mungkin gayanya saja yang cuek.
Lama-lama aku bosan
dengan Indra. Tidak ada perkembangan dalam hubungan kami, jangan-jangan dia
hanya sekedar simpati kepadaku, atau dia malu? Bisa jadi. Sampai ketika sebuah
film favoritku akan tayang seminggu lagi di bioskop, berkali-kali aku
memancingnya supaya dia paham jika aku ingin menonton bersamanya. Nihil semua
usahaku, sampai detik ini dia sama sekali tidak ada tanda-tanda mengajakku. Padahal
besok film itu akan ditayangkan di bioskop. Lagi-lagi pilihan terakhirku adalah
membujuk Joe supaya mau menemaniku menonton.
Aku sebal dengan ulah
Joe beberapa minggu ini, dia suka menolak jika kuajak pergi. Dia berubah
semenjak jadian dengan pacarnya, akibatnya aku sering bete. Jelas saja, Joe
temanku satu-satunya, aku tidak mempunyai teman perempuan satu pun. Bukan
karena aku tidak mencoba berteman dengan mereka, tetapi mereka tidak terima
cowo sekeren dan seganteng Joe dekat sekali denganku. Mungkin ini salah satu
alasan Joe selalu menolak ajakanku, dia tak ingin membuat pacarnya cemburu.
Inilah bukti kekejaman dunia.
***
“Joe, tahu nggak?”
tanyaku dengan setengah berteriak.
“Nggak tahu,” jawab
Joe cuek.
“Ih, nggak seru lu!
Tadi malem ada yang naruh amplop isinya karcis film yang gue maudi depan pintu,
liat deh,” seruku bersemangat sambil menyodorkan amplop berwarna pink.
“Paling si Indra yang
ngasih. Akhirnya gue selamat dari terror ajakan lu”.
Aku tidak peduli
dengan omongan Joe, kupandangi berkali-kali karcis tersebut, akhirnya aku bisa
malam mingguan juga. Kali ini jika Joe mengajakku pergi, aku akan menolaknya
mentah-mentah, balas dendam dengan apa yang dilakukannya. Aku tersenyum menang
ke arahnya.
Dari sore hari aku
sibuk berdandan, abangku sampai heran, baru kali ini aku heboh dalam berias.
Biasanya aku hanya memakai kaos oblong dan celana jeans dengan rambut dikuncir
kuda seadanya. Katanya pantas saja aku tidak mempunyai teman perempuan, melihat
gaya berpakaianku saja sudah malas mendekati. Jam enam tepat aku sudah siap,
memakai atasan lengan pendek dipadu dengan blazer, memakai rok selutut, ah aku
terlihat feminism sekali.
Jam setengah tujuh aku
menunggu di depan bioskop, hampir seperempat jam Indra tidak datang-datang.
Akhirnya datang seorang lelaki memakai topi, aku hampir tidak mengenalinya
karena mukanya tertutup topi dan tangannya. Dari cara berjalannya tidak asing
lagi, Joe. Mau apa dia kesini? Jangan-jangan dia menunggu pacarnya. Jangan
bilang dia menolak ajakanku karena sudah terlebih dahulu janji dengan pacarnya,
oh God!
“Ngapain lu kesini?”
tanyaku sinis.
“Lah, lu juga ngapain
disini? Ya jelas semua yang kesini mau nonton,” ujarnya santai.
“Udah boleh masuk tuh,
masuk yuk”.
“Nggak ah, gue lagi
nunggu si Indra nggak datang-datang nih, mana ya dia”.
“Dia nggak bakal
datang, ayo masuk,” ujarnya sambil mengambil tanganku.
“Bukannya lu datang
sama pacar lu?”
“Pacar yang mana sih
Linda, lu aja yang selalu beranggapan gue jadian sama si Silvi”.
“Jadi amplop itu
punya..”
Joe mengedipkan
sebelah matanya ke arahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar