Jika ada yang menanyakan, momen apa yang paling kau sukai? Pasti ku menjawab, momen di saat berkumpul bersama orang-orang masa lalu. Tepatnya, orang-orang yang pernah mengukir kenangan bersama di masa lalu. Ya, mungkin karena aku selalu membingkai kenangan-kenangan manis di album ingatan milikku. Tentu saja bukan kenangan pahit, karena aku bukan tipe orang yang meratapi masa lalu, cukup semua itu dijadikan pelajaran.
Tepat hari ini pada pukul satu siang, teman-temanku akan
mengunjungi kediamanku di Jakarta. Dulu kami bersatu dalam perkumpulan sastra
di kampus yang dinamakan ‘Bilik Bambu’, unik bukan? Tentu saja untuk melepas
rindu, bertukar pengalaman, kenapa aku selalu bersemangat dalam momen-momen
seperti ini. Seperti yang kubilang tadi, ini adalah momen kesukaanku.
“Ya ampun, Aliiiiish, gue pengen teriak kalau gue kangen
banget sama elo!” seru Karin dengan suara khasnya yang cempreng. Karin memang
selalu paling heboh diantara kami berenam, tetapi jika tak ada dia, tidak ada
yang menghibur di sela-sela perkumpulan.
“Plis deh Karin, kelebayan lu masih nggak berkurang dari
dulu,” ujarku sambil terkekeh.
“Kamu tambah cantik setelah menikah, Alish,” puji Jessie.
Paling manis, sopan dan anggun, pastinya Jessie. Ramah terhadap siapa pun, tetapi
dia memiliki tingkat kegengsian paling tinggi.
“Kamu emang paling bisa Jes, yang jelas kamu tetap yang
termanis dan teranggun.”
“Eh, anak kecil udah nikah aje, nggak sopan lu ngeduluin
gue,” ledek Alex. Dia yang paling gokil diantara kita, juga sering bikin rusuh
karena kerap kali memancing emosiku dan berakhir dengan pertengkaran.
“Hai cantik, lama kita tidak berjumpa,” sapa Indra dengan
mengedipkan sebelah matanya. Indra kita
juluki sebagai playboy cap jengkol. Akan tetapi jika sudah membuat syair,
siapa pun pasti akan terlena olehnya.
“Woy, istri orang jengkol! Ingett istri di rumah!” seru
Alex. Semua serentak menertawakan mereka berdua.
“Hei, sehat?” tanya Gilang. Dia yang paling irit dalam
berbicara, tentu saja paling cool. Kata-kata yang barusan saja ia
ucapkan merupakan kalimat tanya tetap, yang akan ditanyakan kepada semua teman
dekatnya. Sampai-sampai Karin sering berkomentar, “Plis deh Gilang, bosen
lu nanya gue sehat terus”. Akan tetapi jangan salah, dia dijuluki Sang Prince
di kampus.
Belum apa-apa mereka langsung menanyakan dimana posisi meja
makan, niatku akan menyuguhkan cemilan terlebih dahulu sambil
berbincang-bincang di ruang tamu lalu setelah itu makan bersama. Akan tetapi
aku lupa, hampir semuanya memelihara naga di perut mereka.
“Kalau soal masakan pasti Alish nomer satu diantara kita,
apalagi semur ayamnya,” ujar Jessie.
“Menurut gue sih nggak penting siapa yang masak, yang
penting gue makan,” seru Alex dengan mulut penuh dengan ayam.
“Aleexx, lu jorok banget sih, dikunyah dulu baru ngomong!”
teriak Karin.
“Woy, inget-inget kalian tuh udah berumur seperempat abad,
masih aja kayak bocah SD,” ujarku.
“Justru ini yang langka Lis, di museum kaga bakal ada
spesies kayak gini. Eh, si Gilang daritadi diem aja, jangan dia udah ngabisin
tiga ayam,” kata Indra.
Spontan semua tertawa, yang ditertawakan hanya tersenyum
simpul sambil melanjutkan makan.
Setelah makan, masih saja meminta cemilan. Aku baru ingat
bahwa naga di dalam perut berkembang seiring bertambahnya usia. Tiga diantara
kami sudah menikah, yaitu aku, Karin dan Indra. Akulah pelopornya, menikah di
usia 22 tahun. Sedangkan Jessie, Gilang dan Alex belum menikah. Jessie dan
Gilang sama-sama terlalu selektif dalam memilih pasangan. Bahkan menurut
prediksi kami mereka saling suka, tetapi karena Jessie mempunyai gengsi yang
tinggi dan Gilang yang dingin jadinya tidak ada yang menyatakan. Kalau Alex?
“Mana ada yang mau sama orang gila kayak dia,” komentar Karin.
“Eh inget nggak dulu pas kita punya proyek bikin kumpulan
puisi cinta, ada yang nangis-nangis belom selesei sampai hampir sebulan?” ujar
Alex.
“Ih, mulai deh, itu mulu yang diungkit. Kan udah dibilangin
kalau gue nggak puitis masih aja disuruh bikin,” kataku sambil mencibir.
“Lagian anak kecil yang nggak tahu cinta, eh malah yang
paling duluan nikah.”
“Daripada lu nggak laku-laku.”
“Eh, si Alish tuh sebenernya bisa bikin puisi cinta atau
cerita cinta, cuma kalau dia bikin nanti ketahuan dia lagi galau,lagi suka sama
seseorang,” kata Karin.
“Memang Alish itu jika membuat suatu karya tidak berdasarkan
emosi yang sedang ia alami, tetapi dia menciptakan suatu tokoh baru, emosi yang
cocok dengan si tokoh dan mendalaminya. Bisa juga diambil dari kejadian nyata.
Jadi bisa saja jika dia sedang patah hati, dia menceritakan seseorang mendapatkan
doorprize misalkan,” jelas Gilang.
“Oh, jadinya selama ini curhatnya ke Gilang ya, awas nanti
ada yang cemburu,” seru Indra sambil melirik Jessie. Sedangkan yang dilirik
pura-pura sibuk memainkan handphone.
“Eh, gue tuh curhat sama Gilang karena dia orangnya nggak
ember kayak lu,” jawabku.
Lalu mereka menanyakan, bagaimana bisa aku menikah dengan
suamiku yang sekarang. Wajar mereka mengajukan pertanyaan seperti itu, karena
faktanya aku sedang digosipkan dengan pria lain. Alur percintaan mereka saja
yang mudah ditebak, lihat saja tulisan di blog, pasti semuanya juga bisa
menyimpulkan sesuatu.
Aku memang pintar menyembunyikan perasaan dan juga seperti
yang dikatakan Gilang tadi. Akan tetapi bukan berarti aku tidak pernah
mencurahkan isi hatiku ke dalam tulisan. Sering sekali, tetapi tidak dipublish
di Media Sosial, karena menurutku soal perasaan adalah suatu yang privasi.
Hanya aku dan Allah yang mengetahuinya. Atau cukup kepada seseorang yang kita
percaya untuk menyimpan rahasia, bukan kepada semua orang.
“Eh, tapi walaupun gue nyembunyiin perasaan gue, gue jujur
tentang perasaan gue sama orang yang dituju, ya tentunya setelah orang itu
menyatakan maksudnya ke gue. Ya intinya, harus jujur sama perasaan milik kita,
jangan terlalu selektif, juga jangan mudah menerima. Karena dalam berumah tangga
harus memakai logika juga bukan hanya perasaan,” ujarku panjang lebar.
Kata-kataku cukup membuat Jessie dan Gilang merenung. Semoga
mereka bisa jujur dengan perasaan masing-masing. Mudah-mudahan di perkumpulan
selanjutnya Jessie, Gilang dan Alex sudah mempunyai pasangan masing-masing.
“Eh, gue punya ide, gimana kalau tahun depan kita reuninya
bawa pasangan masing-masing, seru kayaknya!” seru Karin.
“Ih, ogah gue! Kalau gue belom punya pasangan gimana?”
protes Alex.
“Makanya biar elu, Gilang dan Jessie termotivasi untuk
segera menikah,” ujarku.
Alex mencibir mendengar itu semua dan kami tertawa
melihatnya.