Pages

Labels

Selasa, 21 Januari 2014

Momen ‘Bilik Bambu’



Jika ada yang menanyakan, momen apa yang paling kau sukai? Pasti ku menjawab, momen di saat berkumpul bersama orang-orang masa lalu. Tepatnya, orang-orang yang pernah mengukir kenangan bersama di masa lalu. Ya, mungkin karena aku selalu membingkai kenangan-kenangan manis di album ingatan milikku. Tentu saja bukan kenangan pahit, karena aku bukan tipe orang yang meratapi masa lalu, cukup semua itu dijadikan pelajaran.

Tepat hari ini pada pukul satu siang, teman-temanku akan mengunjungi kediamanku di Jakarta. Dulu kami bersatu dalam perkumpulan sastra di kampus yang dinamakan ‘Bilik Bambu’, unik bukan? Tentu saja untuk melepas rindu, bertukar pengalaman, kenapa aku selalu bersemangat dalam momen-momen seperti ini. Seperti yang kubilang tadi, ini adalah momen kesukaanku.

“Ya ampun, Aliiiiish, gue pengen teriak kalau gue kangen banget sama elo!” seru Karin dengan suara khasnya yang cempreng. Karin memang selalu paling heboh diantara kami berenam, tetapi jika tak ada dia, tidak ada yang menghibur di sela-sela perkumpulan.

“Plis deh Karin, kelebayan lu masih nggak berkurang dari dulu,” ujarku sambil terkekeh.

“Kamu tambah cantik setelah menikah, Alish,” puji Jessie. Paling manis, sopan dan anggun, pastinya Jessie. Ramah terhadap siapa pun, tetapi dia memiliki tingkat kegengsian paling tinggi.

“Kamu emang paling bisa Jes, yang jelas kamu tetap yang termanis dan teranggun.”

“Eh, anak kecil udah nikah aje, nggak sopan lu ngeduluin gue,” ledek Alex. Dia yang paling gokil diantara kita, juga sering bikin rusuh karena kerap kali memancing emosiku dan berakhir dengan pertengkaran.

“Hai cantik, lama kita tidak berjumpa,” sapa Indra dengan mengedipkan sebelah matanya. Indra  kita juluki sebagai playboy cap jengkol. Akan tetapi jika sudah membuat syair, siapa pun pasti akan terlena olehnya.

“Woy, istri orang jengkol! Ingett istri di rumah!” seru Alex. Semua serentak menertawakan mereka berdua.

“Hei, sehat?” tanya Gilang. Dia yang paling irit dalam berbicara, tentu saja paling cool. Kata-kata yang barusan saja ia ucapkan merupakan kalimat tanya tetap, yang akan ditanyakan kepada semua teman dekatnya. Sampai-sampai Karin sering berkomentar, “Plis deh Gilang, bosen lu nanya gue sehat terus”. Akan tetapi jangan salah, dia dijuluki Sang Prince di kampus.

Belum apa-apa mereka langsung menanyakan dimana posisi meja makan, niatku akan menyuguhkan cemilan terlebih dahulu sambil berbincang-bincang di ruang tamu lalu setelah itu makan bersama. Akan tetapi aku lupa, hampir semuanya memelihara naga di perut mereka. 

“Kalau soal masakan pasti Alish nomer satu diantara kita, apalagi semur ayamnya,” ujar Jessie.

“Menurut gue sih nggak penting siapa yang masak, yang penting gue makan,” seru Alex dengan mulut penuh dengan ayam.

“Aleexx, lu jorok banget sih, dikunyah dulu baru ngomong!” teriak Karin.

“Woy, inget-inget kalian tuh udah berumur seperempat abad, masih aja kayak bocah SD,” ujarku.

“Justru ini yang langka Lis, di museum kaga bakal ada spesies kayak gini. Eh, si Gilang daritadi diem aja, jangan dia udah ngabisin tiga ayam,” kata Indra.

Spontan semua tertawa, yang ditertawakan hanya tersenyum simpul sambil melanjutkan makan.

Setelah makan, masih saja meminta cemilan. Aku baru ingat bahwa naga di dalam perut berkembang seiring bertambahnya usia. Tiga diantara kami sudah menikah, yaitu aku, Karin dan Indra. Akulah pelopornya, menikah di usia 22 tahun. Sedangkan Jessie, Gilang dan Alex belum menikah. Jessie dan Gilang sama-sama terlalu selektif dalam memilih pasangan. Bahkan menurut prediksi kami mereka saling suka, tetapi karena Jessie mempunyai gengsi yang tinggi dan Gilang yang dingin jadinya tidak ada yang menyatakan. Kalau Alex? “Mana ada yang mau sama orang gila kayak dia,” komentar Karin.

“Eh inget nggak dulu pas kita punya proyek bikin kumpulan puisi cinta, ada yang nangis-nangis belom selesei sampai hampir sebulan?” ujar Alex.

“Ih, mulai deh, itu mulu yang diungkit. Kan udah dibilangin kalau gue nggak puitis masih aja disuruh bikin,” kataku sambil mencibir.

“Lagian anak kecil yang nggak tahu cinta, eh malah yang paling duluan nikah.”

“Daripada lu nggak laku-laku.”

“Eh, si Alish tuh sebenernya bisa bikin puisi cinta atau cerita cinta, cuma kalau dia bikin nanti ketahuan dia lagi galau,lagi suka sama seseorang,” kata Karin.

“Memang Alish itu jika membuat suatu karya tidak berdasarkan emosi yang sedang ia alami, tetapi dia menciptakan suatu tokoh baru, emosi yang cocok dengan si tokoh dan mendalaminya. Bisa juga diambil dari kejadian nyata. Jadi bisa saja jika dia sedang patah hati, dia menceritakan seseorang mendapatkan doorprize misalkan,” jelas Gilang.

“Oh, jadinya selama ini curhatnya ke Gilang ya, awas nanti ada yang cemburu,” seru Indra sambil melirik Jessie. Sedangkan yang dilirik pura-pura sibuk memainkan handphone.

“Eh, gue tuh curhat sama Gilang karena dia orangnya nggak ember kayak lu,” jawabku.

Lalu mereka menanyakan, bagaimana bisa aku menikah dengan suamiku yang sekarang. Wajar mereka mengajukan pertanyaan seperti itu, karena faktanya aku sedang digosipkan dengan pria lain. Alur percintaan mereka saja yang mudah ditebak, lihat saja tulisan di blog, pasti semuanya juga bisa menyimpulkan sesuatu.

Aku memang pintar menyembunyikan perasaan dan juga seperti yang dikatakan Gilang tadi. Akan tetapi bukan berarti aku tidak pernah mencurahkan isi hatiku ke dalam tulisan. Sering sekali, tetapi tidak dipublish di Media Sosial, karena menurutku soal perasaan adalah suatu yang privasi. Hanya aku dan Allah yang mengetahuinya. Atau cukup kepada seseorang yang kita percaya untuk menyimpan rahasia, bukan kepada semua orang.

“Eh, tapi walaupun gue nyembunyiin perasaan gue, gue jujur tentang perasaan gue sama orang yang dituju, ya tentunya setelah orang itu menyatakan maksudnya ke gue. Ya intinya, harus jujur sama perasaan milik kita, jangan terlalu selektif, juga jangan mudah menerima. Karena dalam berumah tangga harus memakai logika juga bukan hanya perasaan,” ujarku panjang lebar.

Kata-kataku cukup membuat Jessie dan Gilang merenung. Semoga mereka bisa jujur dengan perasaan masing-masing. Mudah-mudahan di perkumpulan selanjutnya Jessie, Gilang dan Alex sudah mempunyai pasangan masing-masing.

“Eh, gue punya ide, gimana kalau tahun depan kita reuninya bawa pasangan masing-masing, seru kayaknya!” seru Karin.

“Ih, ogah gue! Kalau gue belom punya pasangan gimana?” protes Alex.

“Makanya biar elu, Gilang dan Jessie termotivasi untuk segera menikah,” ujarku.

Alex mencibir mendengar itu semua dan kami tertawa melihatnya.