Entah mengapa aku sering stress akan hal-hal yang tidak penting. Hanya menyebabkan ketegangan otot di kepala ku semakin bertambah, padahal sudah disarankan dokter untuk merilekskan otak. Tidak bisa ku jelaskan apa yang terjadi dengan diriku, yang jelas nafsu makanku berkurang setiap hari yang mengakibatkan luka di lambungku. Badanku tinggal tulang dan sisa-sisa lemak yang kian menipis.
Selain kepala dan tubuhku yang meradang, ada organ lain yang merupakan sumber kekacauan dari semuanya, yaitu hati. Hatiku sering berkecamuk yang mengakibatkan stress berkepanjangan, mungkin karna aku sedang jauh dari Allah. Mungkin di umur-umur seperti ini aku mempunyai masalah hati, mungkin jika aku pengendali hati yang handal tidak mungkin akan terpuruk seperti ini.
Setiap manusia pasti mempunyai masalah, jadi aku tidak perlu merasa sok paling menderita di dunia ini. Masalah tidak akan berubah dengan air mata, mungkin karna kebanyakan masalah makanya hatiku lama-kelamaan menjadi bebal. Sebutan 'cuek' atau 'nggak peka' pun akhirnya menempel di diriku. Asal kalian tahu, aku sudah bosan menjadi wanita sensitif, jangan kira aku terlahir sebagai wanita berhati baja. Dulu aku lebih sensitif dari kulit bayi, sehari tidak menangis merupakan prestasi bagiku. Sekarang, dalam seminggu sekali saja aku mengeluarkan air mata merupakan prestasi untukku.
Aku sudah berlatih hidup mandiri, melatih hatiku untuk kuat menghadapi segala sesuatu sendirian. Jadi, ketika aku ditinggalkan oleh saudara-saudaraku atau sahabat-sahabatku bahkan orang tuaku, setidaknya aku mempunyai sedikit persiapan.
Sayangnya aku tidak bisa menjelaskan apa masalah yang terjadi padaku saat ini disini, lebih baik ku tuliskan di hati, tempat yang paling aman. Ku simpan rapi sehingga hanya aku dan Allah yang tahu, syukur kalau aku melupakannya. Setidaknya jangan sampai aku lupa bahwa Allah maha penolong, berdoa kepada-Nya salah satu obat yang mujarab di saat sendu sedan ini.
"Ya latiif... ultuf bina fii ma nazal, innaka latiifu lam tazal, ultuf bina wa muslimin..."
Selasa, 22 Januari 2013
Senin, 14 Januari 2013
Tempat Favorit
Aku jadi teringat, dulu ketika masih kecil aku mempunyai tempat-tempat favorit, bahkan sampai aku dewasa. Pertama, atap rumah tetangga, karena rumahnya tidak bertingkat jadinya aku bisa naik kesana melewati tembok di lantai 2 rumahku yang membatasi antara rumahku dengan sebelah. Terkadang aku mengajak kakakku atau saudaraku yang ketika itu sedang menginap di rumah kesana. Soalnya jika di malam hari kami dapat melihat lampu Indosiar dari atap yang paling atas dekat antenna rumah tetangga itu. Bercanda riang, tertawa-tawa, malah terkadang sambil bernyanyi.
Tempat kedua adalah
genteng rumah sendiri, terletak di lantai dua. Harus melewati pagar yang
membatasi antara teras lantai dua dan genteng tersebut. Karena tempatnya kecil
maka tempat ini khusus untuk diriku sendiri. Sepulang sekolah jika tidak ada
jadwal les atau mengaji, aku akan duduk disana sambil membawa buku tulis,
menulis cerita sambil berkhayal kesana-kemari. Tempatnya teduh, karena
terhalang oleh pohon jambu air punya ayah yang lebat.
Terkadang aku bernyanyi-nyanyi sambil
memukul-mukul kaleng biskuit, sampa-sampai tetangga ada yang meneriakiku karena
kebisingan yang ku perbuat. Malah ketika ada segerombolan ibu-ibu menggosip di
depan rumah dan terdengar lagi menggosipi ibuku yang sedang mengajar, aku akan
memukul kaleng dengan kencang dan kumpulan arisan itu bubar.
Tempat ketiga adalah
sungai kecil dekat sawah di rumah nenekku di Karawang. Di sungai tersebut ada
air terjun buatan, dan batu-batu sungai dekat aliran sana. Pertama-tama kami
bermain air di sungai, selepas itu kami makan manga apel hasil kebun kami dan
menangkap ikan hasil ternakkan kakek untuk makan siang. Karena aku
sakit-sakitan dan tidak boleh bermain air, jadinya setiap sore aku dan
sepupu-sepupuku main ke sungai tanpa sepengetahuan ibuku. Kami bermain air,
setelah itu kami bermain perosotan di turunan dekat sungai menggunakan kardus
lalu mendarat di tumpukan jerami yang sudah kami susun.
Setelah itu kami
bermail mobil-mobilan di kotak terbuat dari kayu untuk buang air besar di
empang dekat sana. Salah satu sepupuku yang laki-laki berteriak-teriak sebagai
kernek mobil. Pada suatu hari aku tertangkap basah oleh ibuku, karena melihat
pakaian kotorku yang basah sebelum kucuci diam-diam. Akhirnya aku dimarahi
apalagi setelah itu aku terkena flu dan demam.
Waktu kecil aku sering
sakit-sakitan, makanya aku tidak boleh main sembarangan, bermain air, pokoknya hanya
dibolehkan bermain semacam Barbie, boneka, rumah-rumahan. Padahal aku lebih
senang bermain petak umpet panas-panasan, bermain bulu tangkis, bola kasti,
perang-perangan. Pernah suatu ketika aku sedang flu dan waktu itu memang jadwal
kami berenang di komplek dekat sekolah ibu mengajar. Setiap minggu aku,
kakakku, dan dua orang anak teman ibu di sekolah berangkat kesana. Karena
sedang flu, maka aku tidak dibolehkan berenang dan sengaja tidak dibawakan baju
renang. Lama-lama aku bosan dan akhirnya aku menyeburkan diri ke kolam dengan
pakaian yang kukenakan. Sampai di sekolah ibu, aku dimarahi abis-abisan dan
flunya bertambah parah.
Tempat ke empat,
jemuran di pesantren, setiap sore aku sering kesana, bersama teman atau
sendirian. Menikmati angin di sore hari dan melihat anak-anak bermain layangan
di belakang pesantren. Terkadang sambil berkhayal atau bernyanyi tidak jelas.
Atau aku dan temanku membuat ayunan disana, bergantian ada yang duduk di ayunan
dan ada yang mendorong.
Tempat ke lima adalah
tempat duduk bus di samping jendela, ketika aku di Kairo. Apalagi kalau sedang
perjalanan di pagi hari atau sore. Aku suka menghirup angin sore, ada unsur-unsur
yang membuat ketenangan di hati. Terkadang menurutku, tak penting tujuan yang
penting adalah perjalanan, karena aku lebih suka menikmati suasana di perjalanan
ketimbang sampai tujuan.
Pasti setiap orang
mempunyai tempat-tempat favorit tersendiri. Meski sederhana, asal nyaman dan
enak di hati, tempat tersebut akan menjadi tempat favorit kita. Apalagi untuk
orang yang suka mencari imajinasi atau berkhayal, pasti mempunyai tempat
favorit dan ciri khas tersendiri.
Minggu, 13 Januari 2013
Kisah Petualang si Bocah Pena
Jika diingat, kapan aku mulai menyukai menulis cerita, tepatnya semenjak ibuku membelikan majalah BOBO untuk diriku sewaktu masih sekolah dasar dulu. Aku mulai menyukai membaca majalah anak-anak, komik, mulai dari aku baru bisa membaca. Dulu waktu semasih di TK (Taman Kanak-kanak) setiap ingin pergi terapi penyakit asmaku, aku selalu dijanjikan akan dibelikan komik di tempat jualan buku-buku loakan di Pasar Senen dekat rumah sakit Sumber Waras tempat aku terapi. Setiap pergi ke rumah saudara menggunakan kereta api, ataupun bus, aku pasti merengek minta dibelikan majalah anak-anak.
Aku paling senang
rubrik di majalah BOBO, cerpen dan dongeng, apalagi ada cerita misteri, aku
paling suka. Dari dulu aku sering ingin mengirim cerpen untuk majalah BOBO,
tetapi karena kantor pos jauh dari rumahku dan ayah sibuk mengajar, jadinya cerpen-cerpenku
ditumpuk di kamar. Ketika kelas 5 SD pada pelajaran Bahasa Indonesia diadakan
lomba menulis drama di kelas, aku dapat juara lima, dan buat lima pemenang
dramanya akan dimainkan di depan kelas. Aku menulis drama judulnya “Gadis si Penjual
Korek Api”, akhirnya aku memilih pemainnya dari teman-teman kelasku sendiri.
Drama tersebut, aku adaptasi dari dongengku yang sudah kutulis lama sebelum itu.
Karena ayahku baru
membeli komputer dan printer untuk menulis tesisnya, aku berinisiatif untuk
mengetikkan semua cerpen yang kusimpan, lalu aku print dan dibagi-bagikan ke
teman sekelas. Jika mereka selesai membaca, kertas-kertasnya dikembalikan lagi
kepadaku. Jadinya aku selalu membawa map isinya print-an cerpen-cerpenku.
Sampai kelas-kelas yang lain turut membaca dan selalu menanyakan ada cerita
terbaru atau tidak.
Ketika kelas 6 SD, aku
terkadang menyumbangkan cerpenku di majalah dinding di gedung kelas 6. Jadi
setiap gedung mempunyai majalah dinding masing-masing, ada yang terurus dan ada
yang tidak, nah mading punya kelas 6 lumayan banyak yang antusias untuk
menulis. Di kelas 6 ini aku kedapatan teman sebangku yang kebetulan temanku
semenjak kelas 3 SD, kami berdua mempunyai hobi yang sama, suka mengkhayal dan
nonton kartun.
Aku dan temanku
mempunyai dua buku tulis wajib, yang satu untuk menulis cerita dan satunya lagi
untuk menggambar tokoh kartun yang terbaru atau yang sudah lama. Jika selesai
menggambar kami saling memamerkan, apalagi kalau salah satu dari kami belum
bisa menaklukan untuk menggambar tokoh kartun terbaru, pasti yang sudah bisa
akan bersorai-sorai penuh kemenangan. Kalau untuk menulis cerita, jika sudah
selesai kami akan bertukar dan memberikan pendapat masing-masing.
Sampai aku masuk
pesantren, aku masih mempunyai buku tulis wajib, tetapi untuk menulis cerita
saja, karena di pesantren jarang menonton kartun jadinya tidak pernah
menggambar lagi. Jika lagi malas mendengarkan pelajaran, aku selalu menulis
cerita, bahkan pernah aku menulis satu buku tulis penuh seperti menulis novel
menggunakan tulisan tangan. Setiap selesai membuat satu bab cerita,
teman-temanku membaca, lalu memintaku melanjutkan ceritanya.
Pernah suatu ketika
teman sekelasku mencoba-coba menulis cerita sepertiku, jadinya dia sering
melihatkan ceritanya kepadaku. Aku pernah bercerita kepadanya tentang ide
cerita yang ingin kutulis, belum selesai aku menulis, dia menulis cerita sama
persis dengan yang ku omongkan kepadanya. Orang-orang banyak yang tertarik,
karena aku kesal akhirnya aku tak pernah lagi menulis cerita. Jadinya, temanku
yang populer menulis cerita pada saat itu.
Ketika aku kelas 4 di
pondok, aku jadi pengurus majalah dinding, disitulah aku mulai berkarya kembali.
Sampai kelas 5 aku masih menjadi pengurus mading, baik di pramuka atau OSWAH
(Organisasi Santriwati Al-Mawaddah). Pada awal kelas 5 ada tes masuk buletin
punya santriwati. Aku sudah menyiapkan cerita untuk kutuliskan ketika tes
nanti, tetapi aku tidak diterima, yang diterima kebanyakan yang dekat dengan
kakak kelas. Begitulah sistematis di pesantren, menjadi cantik atau
mengandalkan supel dan dekat dengan kakak kelas, pasti bakal dipilih
dimana-mana. Sampai ketika aku kelas 6 di pesantren, hanya segelintir orang
yang dipanggil khusus untuk di tes masuk buletin, hanya orang-orang yang
dikenal dengan krunya saja.
Setelah lulus dari
pesantren, lama sekali aku tidak menulis sampai akhirnya aku masuk buletin La
Tansa milik IKPM, aku baru menawarkan diri untuk menulis cerpen. Setelah itu
aku masuk ke buletin Informatika. Dari sana aku mengembangkan dunia tulis-menulisku,
hingga kini. Semoga kelak aku bisa menjadi penulis hebat seperti Asma Nadia,
Helvy Tiana Rosa, dan sebagainya. Selamat menulis!
Musuh Terbesar Hati
Ada sesuatu yang
menggerakkan hatiku untuk pergi ke pasar, bukan karena bahan-bahan makanan di
kulkas sudah menipis, bukan juga anakku yang masih kecil merengek minta
dibelikan sesuatu, pasti ada yang lain. Aku tidak tahu, tepatnya bingung.
Sudahlah, mungkin sudah seharusnya aku me-refresh otakku yang baru saja
lembur selama seminggu lebih untuk menggarap novel keduaku yang lusa akan
dikirim ke penerbit. Setelah melepas kepergian suamiku mengajar dan mengecek
anakku yang masih tertidur, aku pergi.
Seperti biasa, angin
di kota Bandung memang selalu sejuk, terlebih pagi-pagi seperti ini. Sudah tiga
tahun aku menetap di Bandung bersama suamiku, kami pindah kesini karena suamiku
kedapatan kerja di kota ini. Ketika tiba di pasar, aku yang kebingungan mau
beli apa, ah beli cemilan buat anakku saja. Selesai ku membayar, aku menangkap
sesosok yang tidak asing dalam ingatanku, aku hafal betul siluet tubuhnya,
tidak sampai 10 detik aku berusaha mengingat sosok tersebut.
Dia berjalan menuju
arah dimana aku berjalan menujunya, ketika ingin membalikkan badan tak sengaja
bola mata kita beradu, aku tertangkap basah! Aku gegalagapan, ingin kabur tetapi
terlanjur semuanya begini, aku lupa kalau sedang berada di kota kelahirannya.
Tunggu, berarti tiga tahun aku berada di kota yang sama dengannya, sia-sia
bertahun-tahun aku berusaha menghindarinya. Dia juga nampak terkejut, terlihat
dari air mukanya.
“Hai,” sapanya.
“Hai juga, kamu apa
kabar?” tanyaku seringan mungkin.
“Tidak baik, kamu?”
Jawabannya membuat
hatiku tersentil, “Aku baik, kamu tinggal dekat sini?”
“Tinggal naik angkutan
sekali, bagaimana kabar suamimu?” tanyanya canggung.
“Baik, aku duluan ya,
sam…,” belum selesai ku berbicara, “Bisa minta waktunya sebentar?”
Akhirnya kami berjalan
menuju café minuman di sekitar sini. Aku mengamati tubuhnya yang kurus, seperti
biasa karena terlalu banyak mengkonsumsi rokok, penampilannya yang masih
berantakan, tunggu, jangan-jangan…
“Kamu mau pesan apa?”
tanyanya.
“Orange jus”.
“Mas, pesan satu kopi
hitam dan satu orange jus”.
Minuman pesanannya pun
tak berubah, masih sama, semua masih sama sejak pertama aku pertama kali
mengenalnya. Dia tersenyum kepadaku, mendadak kepalaku pusing melihat senyuman
itu.
“Lama ya kita nggak
ketemu,” ujarnya.
Aku pun hanya tersenyum.
“Kamu masih seperti
yang dulu, malah tambah cantik, beruntung suamimu”.
Pernyataan yang
menohok hatiku, lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum.
“Suamimu kerja apa?”.
“Dosen di UNPAD, kamu
sendiri lagi sibuk apa?” tanyaku mulai membuka mulut.
“Aku sekarang jadi
penulis di salah satu surat kabar disini, terus sekarang lagi mau nyoba ke
penerbit buat novelku yang baru selesai, ya biasa lah namanya jadi bujangan
jadi nyari duitnya sesuka hati, nggak perlu nyari yang gajinya banyak”.
Kata-kata terakhirnya berhasil menusuk hatiku sampai menembus dada, air ludahku
terasa pahit. Benar dugaanku, dia belum menikah sampai saat ini.
“Oh ya selamat ya,
akhirnya kamu berhasil jadi penulis, seperti biasa, cerita-ceritamu membuat
saya selalu terkesan,” katanya lagi.
Aku tidak sanggup
berkata-kata, sedikit saja mulutku berbicara air mata akan tumpah, pandanganku
mulai mengabur. Seketika keheningan menyergap kami berdua, semuanya sibuk
dengan hati masing-masing yang berkecamuk. Sibuk menata hati masing-masing,
sibuk dengan kenangan-kenangan masa lalu.
“Maafkan aku Gilang,”
kataku lirih, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Saya disini bukan
untuk mendengar kata maaf darimu, Putri, kata-kata itu sudah tidak berguna,
tidak akan menyembuhkan luka saya”.
“Aku cuma bisa minta
maaf, aku nggak tahu harus berbuat apa-apa, semua terjadi begitu saja”.
“Begitu saja? Iya
begitu saja kamu meninggalkanku dan memilih orang yang lebih mapan,” ujarnya
dengan suara yang mulai meninggi.
“Aku capek Gilang,
kamu selalu menghilang, aku selalu mencari kamu, kamu nggak pernah nyadar! Kamu
baru sadar ketika aku sudah diambil orang lain. Aku lelah harus menangisimu
setiap hari, mengikuti kehidupanmu yang tak berarah, sering membuat janji tapi
dilupakan begitu saja, aku sudah lelah menunggumu, Gilang,” ujarku
menggebu-gebu. Akhirnya, keluar juga apa yang sudah kusimpan selama lima tahun
lebih.
“Aku butuh waktu untuk
menyatakan perasaanku kepadamu, seharusnya kamu bilang kalau kamu butuh aku,
ingatkan aku terhadap janji-janji itu”.
“Kapan aku nggak
ngingetin kamu? Sudah berapa kali aku SMS kamu, jika kamu menghilang aku yang
panik, nanya sama temen-temen kamu, memang kamu pernah peduli kalau aku yang
menghilang. Baru ketika ada lelaki lain mendekatiku, kamu menunjukkan bahwa aku
itu milikmu. Sampai kapan aku menunggu kejelasan darimu? Lima tahun lagi?
Sepuluh? Aku keburu tua”.
Keadaan semakin
memburuk, masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya. Minuman yang kami pesan
tidak ada yang menyentuh, semua utuh. Udara di sekitar semakin terasa tidak enak.
“Tetapi kamu menikahi
Andre karena dia lebih mapan kan? Sedangkan aku hanya penulis yang mempunyai
gaji kecil, aku tahu bahwa pekerjaan penulis terutama untuk lelaki susah
diterima oleh mertua. Ya inilah realitas, realitas memang selalu bermusuhan
dengan hati, dia hanya bersekongkol dengan logika bukan perasaan”.
“Kamu salah! Aku
mencintai Andre, bukan mencintai hartanya. Dia yang mengisi kekosonganku di
saat kamu pergi menghilang, dia tidak pernah membuat janji, tetapi dia
membuatku yakin bahwa aku akan bahagia bersamanya”.
“Ya Andre memang
sempurna. Mapan, masa depan jelas, hidupnya teratur, tidak perokok! Ternyata
bertahun-tahun kamu mengenalku, kamu belum bisa menerima aku apa adanya,”
ujarnya ketus.
“Kamu yang tidak
mengenalku! Seharusnya kamu mengerti, aku mempunyai masalah dengan pernafasan,
kalau kamu mencintaiku pasti kamu meninggalkan rokok. Aku bukan tidak menerima
profesimu sebagai penulis, aku paham betul Gilang, aku juga seorang penulis,
tetapi kamu selalu menggantungkan aku,” balasku dengan sinis.
Dari dulu aku
selalu tahu bahwa kamu mencintai aku Gilang. Puisi-puisi yang dibuat olehmu aku
pun tahu itu untuk diriku, tidak ada yang tak ku ketahui tentangmu, batinku. Terlihat emosi yang berlebihan dari
dirinya, dia meremas kertas menu yang ada disampingnya.
“Cepatlah kamu mencari
perempuan untuk menemani hidupmu, tidak baik terlalu lama membujang,” ujarku
setelah menenangkan diri.
“Sosokmu terlalu sulit
untuk digantikan”.
“Jangan terlalu naif,
semua sudah digariskan, jangan melawan takdir tuhan”.
“Aku tidak melawan
takdir, aku hanya sulit melupakanmu”.
“Aku saja bisa, kenapa
kamu tidak bisa?.
“Itulah bedanya aku
denganmu,” ucapnya sinis.
“Karena kamu selalu
tidak mau berusaha, jangan seperti anak kecil, ini hidup Gilang. Jangan seperti
orang-orang yang tidak menikah karena sulit melupakan cinta pertamanya, mereka
yang lebih mencintai makhluk ciptaan-Nya ketimbang penciptanya sendiri. Kamu
jangan sampai lupa diri, jangan sampai hati yang mengendalikanmu, akan tetapi
kamu yang mengendalikannya”.
Gilang pun terdiam
mendengar kata-kata terakhirku, semoga cukup menyadarkan dia. Akhirnya kami
berpisah, dalam perjalanan menuju tempat menunggu angkutan, kami membisu, sibuk
dengan perasaan masing-masing. Sampai di rumah anakku, Salsa memelukku.
“Bunda, abis darimana
aja, aku takut sendirian,” ujarnya merajuk.
“Bunda beli makanan
sebentar ke pasar buat kamu, maaf ya sayang, kita makan yuk”.
***
Sebulan kemudian…
“Ting tong!” bel rumah
berbunyi, pak pos mengantarkan sebuah surat undangan berwarna merah jambu
berukuran sedang, disana tertulis untukku dan Andre. Tertera di sudut surat ada
dua buah nama yang satunya tidak asing. Ya, sebuah nama yang pemiliknya aku
temui sebulan yang lalu.
Langganan:
Postingan (Atom)