Pages

Labels

Minggu, 13 Januari 2013

Musuh Terbesar Hati



 Ada sesuatu yang menggerakkan hatiku untuk pergi ke pasar, bukan karena bahan-bahan makanan di kulkas sudah menipis, bukan juga anakku yang masih kecil merengek minta dibelikan sesuatu, pasti ada yang lain. Aku tidak tahu, tepatnya bingung. Sudahlah, mungkin sudah seharusnya aku me-refresh otakku yang baru saja lembur selama seminggu lebih untuk menggarap novel keduaku yang lusa akan dikirim ke penerbit. Setelah melepas kepergian suamiku mengajar dan mengecek anakku yang masih tertidur, aku pergi.
 
Seperti biasa, angin di kota Bandung memang selalu sejuk, terlebih pagi-pagi seperti ini. Sudah tiga tahun aku menetap di Bandung bersama suamiku, kami pindah kesini karena suamiku kedapatan kerja di kota ini. Ketika tiba di pasar, aku yang kebingungan mau beli apa, ah beli cemilan buat anakku saja. Selesai ku membayar, aku menangkap sesosok yang tidak asing dalam ingatanku, aku hafal betul siluet tubuhnya, tidak sampai 10 detik aku berusaha mengingat sosok tersebut. 

Dia berjalan menuju arah dimana aku berjalan menujunya, ketika ingin membalikkan badan tak sengaja bola mata kita beradu, aku tertangkap basah! Aku gegalagapan, ingin kabur tetapi terlanjur semuanya begini, aku lupa kalau sedang berada di kota kelahirannya. Tunggu, berarti tiga tahun aku berada di kota yang sama dengannya, sia-sia bertahun-tahun aku berusaha menghindarinya. Dia juga nampak terkejut, terlihat dari air mukanya.

“Hai,” sapanya.

“Hai juga, kamu apa kabar?” tanyaku seringan mungkin.

“Tidak baik, kamu?”

Jawabannya membuat hatiku tersentil, “Aku baik, kamu tinggal dekat sini?”

“Tinggal naik angkutan sekali, bagaimana kabar suamimu?” tanyanya canggung.

“Baik, aku duluan ya, sam…,” belum selesai ku berbicara, “Bisa minta waktunya sebentar?”

Akhirnya kami berjalan menuju café minuman di sekitar sini. Aku mengamati tubuhnya yang kurus, seperti biasa karena terlalu banyak mengkonsumsi rokok, penampilannya yang masih berantakan, tunggu, jangan-jangan…

“Kamu mau pesan apa?” tanyanya.

“Orange jus”.
 
“Mas, pesan satu kopi hitam dan satu orange jus”.

Minuman pesanannya pun tak berubah, masih sama, semua masih sama sejak pertama aku pertama kali mengenalnya. Dia tersenyum kepadaku, mendadak kepalaku pusing melihat senyuman itu. 

“Lama ya kita nggak ketemu,” ujarnya.

Aku pun hanya tersenyum.

“Kamu masih seperti yang dulu, malah tambah cantik, beruntung suamimu”.

Pernyataan yang menohok hatiku, lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum.

“Suamimu kerja apa?”.

“Dosen di UNPAD, kamu sendiri lagi sibuk apa?” tanyaku mulai membuka mulut.

“Aku sekarang jadi penulis di salah satu surat kabar disini, terus sekarang lagi mau nyoba ke penerbit buat novelku yang baru selesai, ya biasa lah namanya jadi bujangan jadi nyari duitnya sesuka hati, nggak perlu nyari yang gajinya banyak”. Kata-kata terakhirnya berhasil menusuk hatiku sampai menembus dada, air ludahku terasa pahit. Benar dugaanku, dia belum menikah sampai saat ini.

“Oh ya selamat ya, akhirnya kamu berhasil jadi penulis, seperti biasa, cerita-ceritamu membuat saya selalu terkesan,” katanya lagi.

Aku tidak sanggup berkata-kata, sedikit saja mulutku berbicara air mata akan tumpah, pandanganku mulai mengabur. Seketika keheningan menyergap kami berdua, semuanya sibuk dengan hati masing-masing yang berkecamuk. Sibuk menata hati masing-masing, sibuk dengan kenangan-kenangan masa lalu. 

“Maafkan aku Gilang,” kataku lirih, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

“Saya disini bukan untuk mendengar kata maaf darimu, Putri, kata-kata itu sudah tidak berguna, tidak akan menyembuhkan luka saya”.
 
“Aku cuma bisa minta maaf, aku nggak tahu harus berbuat apa-apa, semua terjadi begitu saja”.

“Begitu saja? Iya begitu saja kamu meninggalkanku dan memilih orang yang lebih mapan,” ujarnya dengan suara yang mulai meninggi.

“Aku capek Gilang, kamu selalu menghilang, aku selalu mencari kamu, kamu nggak pernah nyadar! Kamu baru sadar ketika aku sudah diambil orang lain. Aku lelah harus menangisimu setiap hari, mengikuti kehidupanmu yang tak berarah, sering membuat janji tapi dilupakan begitu saja, aku sudah lelah menunggumu, Gilang,” ujarku menggebu-gebu. Akhirnya, keluar juga apa yang sudah kusimpan selama lima tahun lebih.

“Aku butuh waktu untuk menyatakan perasaanku kepadamu, seharusnya kamu bilang kalau kamu butuh aku, ingatkan aku terhadap janji-janji itu”.

“Kapan aku nggak ngingetin kamu? Sudah berapa kali aku SMS kamu, jika kamu menghilang aku yang panik, nanya sama temen-temen kamu, memang kamu pernah peduli kalau aku yang menghilang. Baru ketika ada lelaki lain mendekatiku, kamu menunjukkan bahwa aku itu milikmu. Sampai kapan aku menunggu kejelasan darimu? Lima tahun lagi? Sepuluh? Aku keburu tua”.

Keadaan semakin memburuk, masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya. Minuman yang kami pesan tidak ada yang menyentuh, semua utuh. Udara di sekitar semakin terasa tidak enak.

“Tetapi kamu menikahi Andre karena dia lebih mapan kan? Sedangkan aku hanya penulis yang mempunyai gaji kecil, aku tahu bahwa pekerjaan penulis terutama untuk lelaki susah diterima oleh mertua. Ya inilah realitas, realitas memang selalu bermusuhan dengan hati, dia hanya bersekongkol dengan logika bukan perasaan”.

“Kamu salah! Aku mencintai Andre, bukan mencintai hartanya. Dia yang mengisi kekosonganku di saat kamu pergi menghilang, dia tidak pernah membuat janji, tetapi dia membuatku yakin bahwa aku akan bahagia bersamanya”.

“Ya Andre memang sempurna. Mapan, masa depan jelas, hidupnya teratur, tidak perokok! Ternyata bertahun-tahun kamu mengenalku, kamu belum bisa menerima aku apa adanya,” ujarnya ketus.

“Kamu yang tidak mengenalku! Seharusnya kamu mengerti, aku mempunyai masalah dengan pernafasan, kalau kamu mencintaiku pasti kamu meninggalkan rokok. Aku bukan tidak menerima profesimu sebagai penulis, aku paham betul Gilang, aku juga seorang penulis, tetapi kamu selalu menggantungkan aku,” balasku dengan sinis.

Dari dulu aku selalu tahu bahwa kamu mencintai aku Gilang. Puisi-puisi yang dibuat olehmu aku pun tahu itu untuk diriku, tidak ada yang tak ku ketahui tentangmu, batinku. Terlihat emosi yang berlebihan dari dirinya, dia meremas kertas menu yang ada disampingnya.

“Cepatlah kamu mencari perempuan untuk menemani hidupmu, tidak baik terlalu lama membujang,” ujarku setelah menenangkan diri.

“Sosokmu terlalu sulit untuk digantikan”.

“Jangan terlalu naif, semua sudah digariskan, jangan melawan takdir tuhan”.

“Aku tidak melawan takdir, aku hanya sulit melupakanmu”.

“Aku saja bisa, kenapa kamu tidak bisa?.

“Itulah bedanya aku denganmu,” ucapnya sinis.

“Karena kamu selalu tidak mau berusaha, jangan seperti anak kecil, ini hidup Gilang. Jangan seperti orang-orang yang tidak menikah karena sulit melupakan cinta pertamanya, mereka yang lebih mencintai makhluk ciptaan-Nya ketimbang penciptanya sendiri. Kamu jangan sampai lupa diri, jangan sampai hati yang mengendalikanmu, akan tetapi kamu yang mengendalikannya”.

Gilang pun terdiam mendengar kata-kata terakhirku, semoga cukup menyadarkan dia. Akhirnya kami berpisah, dalam perjalanan menuju tempat menunggu angkutan, kami membisu, sibuk dengan perasaan masing-masing. Sampai di rumah anakku, Salsa memelukku.

“Bunda, abis darimana aja, aku takut sendirian,” ujarnya merajuk.

“Bunda beli makanan sebentar ke pasar buat kamu, maaf ya sayang, kita makan yuk”.

                                                                       ***

Sebulan kemudian…

“Ting tong!” bel rumah berbunyi, pak pos mengantarkan sebuah surat undangan berwarna merah jambu berukuran sedang, disana tertulis untukku dan Andre. Tertera di sudut surat ada dua buah nama yang satunya tidak asing. Ya, sebuah nama yang pemiliknya aku temui sebulan yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar