Ada sesuatu yang
menggerakkan hatiku untuk pergi ke pasar, bukan karena bahan-bahan makanan di
kulkas sudah menipis, bukan juga anakku yang masih kecil merengek minta
dibelikan sesuatu, pasti ada yang lain. Aku tidak tahu, tepatnya bingung.
Sudahlah, mungkin sudah seharusnya aku me-refresh otakku yang baru saja
lembur selama seminggu lebih untuk menggarap novel keduaku yang lusa akan
dikirim ke penerbit. Setelah melepas kepergian suamiku mengajar dan mengecek
anakku yang masih tertidur, aku pergi.
Seperti biasa, angin
di kota Bandung memang selalu sejuk, terlebih pagi-pagi seperti ini. Sudah tiga
tahun aku menetap di Bandung bersama suamiku, kami pindah kesini karena suamiku
kedapatan kerja di kota ini. Ketika tiba di pasar, aku yang kebingungan mau
beli apa, ah beli cemilan buat anakku saja. Selesai ku membayar, aku menangkap
sesosok yang tidak asing dalam ingatanku, aku hafal betul siluet tubuhnya,
tidak sampai 10 detik aku berusaha mengingat sosok tersebut.
Dia berjalan menuju
arah dimana aku berjalan menujunya, ketika ingin membalikkan badan tak sengaja
bola mata kita beradu, aku tertangkap basah! Aku gegalagapan, ingin kabur tetapi
terlanjur semuanya begini, aku lupa kalau sedang berada di kota kelahirannya.
Tunggu, berarti tiga tahun aku berada di kota yang sama dengannya, sia-sia
bertahun-tahun aku berusaha menghindarinya. Dia juga nampak terkejut, terlihat
dari air mukanya.
“Hai,” sapanya.
“Hai juga, kamu apa
kabar?” tanyaku seringan mungkin.
“Tidak baik, kamu?”
Jawabannya membuat
hatiku tersentil, “Aku baik, kamu tinggal dekat sini?”
“Tinggal naik angkutan
sekali, bagaimana kabar suamimu?” tanyanya canggung.
“Baik, aku duluan ya,
sam…,” belum selesai ku berbicara, “Bisa minta waktunya sebentar?”
Akhirnya kami berjalan
menuju café minuman di sekitar sini. Aku mengamati tubuhnya yang kurus, seperti
biasa karena terlalu banyak mengkonsumsi rokok, penampilannya yang masih
berantakan, tunggu, jangan-jangan…
“Kamu mau pesan apa?”
tanyanya.
“Orange jus”.
“Mas, pesan satu kopi
hitam dan satu orange jus”.
Minuman pesanannya pun
tak berubah, masih sama, semua masih sama sejak pertama aku pertama kali
mengenalnya. Dia tersenyum kepadaku, mendadak kepalaku pusing melihat senyuman
itu.
“Lama ya kita nggak
ketemu,” ujarnya.
Aku pun hanya tersenyum.
“Kamu masih seperti
yang dulu, malah tambah cantik, beruntung suamimu”.
Pernyataan yang
menohok hatiku, lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum.
“Suamimu kerja apa?”.
“Dosen di UNPAD, kamu
sendiri lagi sibuk apa?” tanyaku mulai membuka mulut.
“Aku sekarang jadi
penulis di salah satu surat kabar disini, terus sekarang lagi mau nyoba ke
penerbit buat novelku yang baru selesai, ya biasa lah namanya jadi bujangan
jadi nyari duitnya sesuka hati, nggak perlu nyari yang gajinya banyak”.
Kata-kata terakhirnya berhasil menusuk hatiku sampai menembus dada, air ludahku
terasa pahit. Benar dugaanku, dia belum menikah sampai saat ini.
“Oh ya selamat ya,
akhirnya kamu berhasil jadi penulis, seperti biasa, cerita-ceritamu membuat
saya selalu terkesan,” katanya lagi.
Aku tidak sanggup
berkata-kata, sedikit saja mulutku berbicara air mata akan tumpah, pandanganku
mulai mengabur. Seketika keheningan menyergap kami berdua, semuanya sibuk
dengan hati masing-masing yang berkecamuk. Sibuk menata hati masing-masing,
sibuk dengan kenangan-kenangan masa lalu.
“Maafkan aku Gilang,”
kataku lirih, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Saya disini bukan
untuk mendengar kata maaf darimu, Putri, kata-kata itu sudah tidak berguna,
tidak akan menyembuhkan luka saya”.
“Aku cuma bisa minta
maaf, aku nggak tahu harus berbuat apa-apa, semua terjadi begitu saja”.
“Begitu saja? Iya
begitu saja kamu meninggalkanku dan memilih orang yang lebih mapan,” ujarnya
dengan suara yang mulai meninggi.
“Aku capek Gilang,
kamu selalu menghilang, aku selalu mencari kamu, kamu nggak pernah nyadar! Kamu
baru sadar ketika aku sudah diambil orang lain. Aku lelah harus menangisimu
setiap hari, mengikuti kehidupanmu yang tak berarah, sering membuat janji tapi
dilupakan begitu saja, aku sudah lelah menunggumu, Gilang,” ujarku
menggebu-gebu. Akhirnya, keluar juga apa yang sudah kusimpan selama lima tahun
lebih.
“Aku butuh waktu untuk
menyatakan perasaanku kepadamu, seharusnya kamu bilang kalau kamu butuh aku,
ingatkan aku terhadap janji-janji itu”.
“Kapan aku nggak
ngingetin kamu? Sudah berapa kali aku SMS kamu, jika kamu menghilang aku yang
panik, nanya sama temen-temen kamu, memang kamu pernah peduli kalau aku yang
menghilang. Baru ketika ada lelaki lain mendekatiku, kamu menunjukkan bahwa aku
itu milikmu. Sampai kapan aku menunggu kejelasan darimu? Lima tahun lagi?
Sepuluh? Aku keburu tua”.
Keadaan semakin
memburuk, masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya. Minuman yang kami pesan
tidak ada yang menyentuh, semua utuh. Udara di sekitar semakin terasa tidak enak.
“Tetapi kamu menikahi
Andre karena dia lebih mapan kan? Sedangkan aku hanya penulis yang mempunyai
gaji kecil, aku tahu bahwa pekerjaan penulis terutama untuk lelaki susah
diterima oleh mertua. Ya inilah realitas, realitas memang selalu bermusuhan
dengan hati, dia hanya bersekongkol dengan logika bukan perasaan”.
“Kamu salah! Aku
mencintai Andre, bukan mencintai hartanya. Dia yang mengisi kekosonganku di
saat kamu pergi menghilang, dia tidak pernah membuat janji, tetapi dia
membuatku yakin bahwa aku akan bahagia bersamanya”.
“Ya Andre memang
sempurna. Mapan, masa depan jelas, hidupnya teratur, tidak perokok! Ternyata
bertahun-tahun kamu mengenalku, kamu belum bisa menerima aku apa adanya,”
ujarnya ketus.
“Kamu yang tidak
mengenalku! Seharusnya kamu mengerti, aku mempunyai masalah dengan pernafasan,
kalau kamu mencintaiku pasti kamu meninggalkan rokok. Aku bukan tidak menerima
profesimu sebagai penulis, aku paham betul Gilang, aku juga seorang penulis,
tetapi kamu selalu menggantungkan aku,” balasku dengan sinis.
Dari dulu aku
selalu tahu bahwa kamu mencintai aku Gilang. Puisi-puisi yang dibuat olehmu aku
pun tahu itu untuk diriku, tidak ada yang tak ku ketahui tentangmu, batinku. Terlihat emosi yang berlebihan dari
dirinya, dia meremas kertas menu yang ada disampingnya.
“Cepatlah kamu mencari
perempuan untuk menemani hidupmu, tidak baik terlalu lama membujang,” ujarku
setelah menenangkan diri.
“Sosokmu terlalu sulit
untuk digantikan”.
“Jangan terlalu naif,
semua sudah digariskan, jangan melawan takdir tuhan”.
“Aku tidak melawan
takdir, aku hanya sulit melupakanmu”.
“Aku saja bisa, kenapa
kamu tidak bisa?.
“Itulah bedanya aku
denganmu,” ucapnya sinis.
“Karena kamu selalu
tidak mau berusaha, jangan seperti anak kecil, ini hidup Gilang. Jangan seperti
orang-orang yang tidak menikah karena sulit melupakan cinta pertamanya, mereka
yang lebih mencintai makhluk ciptaan-Nya ketimbang penciptanya sendiri. Kamu
jangan sampai lupa diri, jangan sampai hati yang mengendalikanmu, akan tetapi
kamu yang mengendalikannya”.
Gilang pun terdiam
mendengar kata-kata terakhirku, semoga cukup menyadarkan dia. Akhirnya kami
berpisah, dalam perjalanan menuju tempat menunggu angkutan, kami membisu, sibuk
dengan perasaan masing-masing. Sampai di rumah anakku, Salsa memelukku.
“Bunda, abis darimana
aja, aku takut sendirian,” ujarnya merajuk.
“Bunda beli makanan
sebentar ke pasar buat kamu, maaf ya sayang, kita makan yuk”.
***
Sebulan kemudian…
“Ting tong!” bel rumah
berbunyi, pak pos mengantarkan sebuah surat undangan berwarna merah jambu
berukuran sedang, disana tertulis untukku dan Andre. Tertera di sudut surat ada
dua buah nama yang satunya tidak asing. Ya, sebuah nama yang pemiliknya aku
temui sebulan yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar