Sebulan yang lalu,
baru saja masyarakat Indonesia merayakan hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada
tanggal 28 Oktober. Sumpah Pemuda adalah bukti otentik dilahirkannya bangsa
Indonesia, maka sudah seharusnya sebagai bangsa Indonesia merayakan momentum
yang berharga ini. Cobalah sejenak kita mengingat apa saja tiga point di dalam
teks sumpah pemuda.
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Saya membayangkan
bagaimana Sugondo Djojopuspito ketika itu melafalkannya, pasti dengan suara
lantang, ditambah sorot mata yang menggambarkan masa depan yang cerah. Para pemuda ketika itu bertekad akan
mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dari kolonialisme. Sekarang
perhatikan sejenak pada tulisan teks sumpah pemuda yang dituliskan oleh
Moehammad Yamin. Semua kalimatnya dituliskan dengan bahasa Indonesia yang
sesuai dengan EYD (ejaan yang sudah dibenarkan), jelas, tentunya bisa dibaca
dengan mudah.
Coba bayangkan,
bagaimana teks sumpah pemuda ditulis dengan bahasa gaul masa kini atau sering
disebut ‘Bahasa Alay’, yang pasti akan sulit dibaca. Selain itu, merusak
penjiwaan kita terhadap sejarah sumpah pemuda. Ketika para pemuda membacakan
teks sumpah pemuda dengan lantang artinya mereka bangga dengan bangsanya dan
juga bahasanya, yaitu bahasa Indonesia. Tentu saja bahasa alay merusak bahasa
Indonesia yang merupakan salah satu kekayaan bangsa ini.
Maraknya bahasa alay
merupakan salah satu fenomena yang terjadi di kalangan anak muda saat ini.
Bahasa alay digunakan mulai dari SMS, chatting, facebook, twitter,
blackberry messenger, dan sebagainya. Contohnya seperti, ciyusan,
miapah, atau hurufnya yang gede-kecil. Misalkan untuk huruf A saja bisa
diubah menjadi @ atau angka 4, jadi terlihat seperti sandi, tetapi kalau sandi
atau kode ada nilai sejarahnya, lain lagi dengan
bahasa alay sama sekali tidak
ada sejarahnya.
Saya pernah bertanya
kepada salah satu teman, bagaimana bisa mereka bisa menulis huruf gede-kecil
ditambah dengan huruf yang diganti dengan angka dalam setiap status facebook
atau SMS. Jawabannya cukup mengejutkan, karena ada handphone yang
memang sudah disetting untuk bahasa alay, tinggal pilih mahu hurufnya
gedel-kecil berurutan atau selang-seling. Saya saja pernah mencoba mengetikkan
bahasa alay pada handphone dan memakan waktu yang sangat lama, wajar
saja saya heran kenapa mereka bisa menggunakan bahasa alay dalam status facebook
berkali-kali dalam sehari.
Bahasa Indonesia ada
karena melalui peradaban yang memakan jangka waktu panjang, tidak punah karena
dia kuat. Lain lagi dengan bahasa alay, semakin hari maka semakin ada yang ter-update,
yang sudah lewat hilang begitu saja diganti yang baru, karena dia tidak kuat
atau dia tidak melewati suatu peradaban. Bahasa Indonesia juga disebut salah
satu kekayaan budaya bangsa kita, jika salah satu kebudayaan kita dirusak, mahu
jadi apa bangsa ini?
Negara yang maju
terlihat dari para pemuda bangsa tersebut, jika para pemudanya berkualitas maka
negara tersebut akan mengalami kejayaan, karena merekalah yang akan membangun
negaranya. Akan tetapi, bisa dibayangkan jika para pemudanya saja sibuk update
status facebook, atau twitter apalagi dibudayakannya bahasa
alay, bagaimana bangsa ini ingin maju?. Takut dibilang temannya tidak gaul
kalau tidak memakai bahasa alay, memangnya negara akan maju jika penduduknya
gaul? Apakah gaul itu membuat dirinya menjadi sukses?
Saya pernah membaca
bahwa tulisan seseorang mencerminkan kepribadian dirinya, jika tulisannya saja
menggunakan bahasa alay, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kepribadian
orang tersebut. Jika semua generasi muda menggunakan bahasa alay, saya takut
dengan musnahnya penulis-penulis muda, karena tidak mungkin misalnya mereka
menulis novel dengan bahasa alay. Pastinya, tidak ada satu pun penerbit yang
akan menerbitkan novel tersebut, lagi pula siapa yang rela mengedit naskah
dengan bahasa alay?
Generasi muda saat ini
semakin dirasuki oleh budaya luar, rela menabung demi menonton konser boyband
asal korea, karaokean, dan sebagainya. Selalu mengejar-ngejar apa update-an
terbaru, seperti bahasa ciyusan, miapah yang sedang booming kali
ini, saya sering menemukan di facebook atau twitter,
sampai-sampai iklan di salah satu stasiun televisi turut berciyusan dan miapah.
Saya yakin bahasa
seperti itu akan musnah seiring berjalannya waktu, pasti ada saja update-an
terbaru. Seperti yang saya katakan, karena bahasa ciyusan miapah tidak
kuat, tidak memiliki nilai sejarah dan melewati suatu peradaban. Saya heran,
kenapa mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia secara benar, saya kira tidak
sulit untuk menuliskan dengan bahasa yang benar, tidak memakan waktu yang
banyak. Lagi pula sebagai pelajar pasti setiap harinya menulis dengan bahasa
yang benar, tidak mungkin kita menulis pelajaran dengan bahasa alay.
Ingin saya bertanya,
apa maksud mereka menggunakan bahasa ciyusan, miapah, mungkin ingin
dibilang imut atau manja. Seperti kata Darwis Tere-Liye, kalau hanya sekedar
menjadi imut atau unyu-unyu boneka juga punya sifat otentik seperti itu.
Saya paling risih jika ada nama user facebook menggunakan bahasa alay,
biasanya jika ada permintaan pertemanan oleh orang-orang bernama alay, tidak
saya confirm.
Sebagai generasi muda,
banggalah dengan Negara kita, bangsa kita, terutama bahasa kita. Jangan sampai
bahasa kita terjajah, sudah cukup bahasa kita terjajah oleh para kolonial
terdahulu. Jadilah kepribadian yang bagus, dewasa, dengan menggunakan tulisan
yang benar. Pesan saya, bahwa menulis dengan bahasa yang benar itu tidak susah,
tidak membuat anda merugi.