Pages

Labels

Minggu, 18 November 2012

Bahasa Nusantara Terjajah



Sebulan yang lalu, baru saja masyarakat Indonesia merayakan hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober. Sumpah Pemuda adalah bukti otentik dilahirkannya bangsa Indonesia, maka sudah seharusnya sebagai bangsa Indonesia merayakan momentum yang berharga ini. Cobalah sejenak kita mengingat apa saja tiga point di dalam teks sumpah pemuda.

Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Saya membayangkan bagaimana Sugondo Djojopuspito ketika itu melafalkannya, pasti dengan suara lantang, ditambah sorot mata yang menggambarkan masa depan yang cerah.  Para pemuda ketika itu bertekad akan mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dari kolonialisme. Sekarang perhatikan sejenak pada tulisan teks sumpah pemuda yang dituliskan oleh Moehammad Yamin. Semua kalimatnya dituliskan dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD (ejaan yang sudah dibenarkan), jelas, tentunya bisa dibaca dengan mudah.

Coba bayangkan, bagaimana teks sumpah pemuda ditulis dengan bahasa gaul masa kini atau sering disebut ‘Bahasa Alay’, yang pasti akan sulit dibaca. Selain itu, merusak penjiwaan kita terhadap sejarah sumpah pemuda. Ketika para pemuda membacakan teks sumpah pemuda dengan lantang artinya mereka bangga dengan bangsanya dan juga bahasanya, yaitu bahasa Indonesia. Tentu saja bahasa alay merusak bahasa Indonesia yang merupakan salah satu kekayaan bangsa ini.

Maraknya bahasa alay merupakan salah satu fenomena yang terjadi di kalangan anak muda saat ini. Bahasa alay digunakan mulai dari SMS, chatting, facebook, twitter, blackberry messenger, dan sebagainya. Contohnya seperti, ciyusan, miapah, atau hurufnya yang gede-kecil. Misalkan untuk huruf A saja bisa diubah menjadi @ atau angka 4, jadi terlihat seperti sandi, tetapi kalau sandi atau kode ada nilai sejarahnya, lain lagi dengan 
bahasa alay sama sekali tidak ada sejarahnya.

Saya pernah bertanya kepada salah satu teman, bagaimana bisa mereka bisa menulis huruf gede-kecil ditambah dengan huruf yang diganti dengan angka dalam setiap status facebook atau SMS. Jawabannya cukup mengejutkan, karena ada handphone yang memang sudah disetting untuk bahasa alay, tinggal pilih mahu hurufnya gedel-kecil berurutan atau selang-seling. Saya saja pernah mencoba mengetikkan bahasa alay pada handphone dan memakan waktu yang sangat lama, wajar saja saya heran kenapa mereka bisa menggunakan bahasa alay dalam status facebook berkali-kali dalam sehari.

Bahasa Indonesia ada karena melalui peradaban yang memakan jangka waktu panjang, tidak punah karena dia kuat. Lain lagi dengan bahasa alay, semakin hari maka semakin ada yang ter-update, yang sudah lewat hilang begitu saja diganti yang baru, karena dia tidak kuat atau dia tidak melewati suatu peradaban. Bahasa Indonesia juga disebut salah satu kekayaan budaya bangsa kita, jika salah satu kebudayaan kita dirusak, mahu jadi apa bangsa ini?

Negara yang maju terlihat dari para pemuda bangsa tersebut, jika para pemudanya berkualitas maka negara tersebut akan mengalami kejayaan, karena merekalah yang akan membangun negaranya. Akan tetapi, bisa dibayangkan jika para pemudanya saja sibuk update status facebook, atau twitter apalagi dibudayakannya bahasa alay, bagaimana bangsa ini ingin maju?. Takut dibilang temannya tidak gaul kalau tidak memakai bahasa alay, memangnya negara akan maju jika penduduknya gaul? Apakah gaul itu membuat dirinya menjadi sukses?

Saya pernah membaca bahwa tulisan seseorang mencerminkan kepribadian dirinya, jika tulisannya saja menggunakan bahasa alay, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kepribadian orang tersebut. Jika semua generasi muda menggunakan bahasa alay, saya takut dengan musnahnya penulis-penulis muda, karena tidak mungkin misalnya mereka menulis novel dengan bahasa alay. Pastinya, tidak ada satu pun penerbit yang akan menerbitkan novel tersebut, lagi pula siapa yang rela mengedit naskah dengan bahasa alay?

Generasi muda saat ini semakin dirasuki oleh budaya luar, rela menabung demi menonton konser boyband asal korea, karaokean, dan sebagainya. Selalu mengejar-ngejar apa update-an terbaru, seperti bahasa ciyusan, miapah yang sedang booming kali ini, saya sering menemukan di facebook atau twitter, sampai-sampai iklan di salah satu stasiun televisi turut berciyusan dan miapah.

Saya yakin bahasa seperti itu akan musnah seiring berjalannya waktu, pasti ada saja update-an terbaru. Seperti yang saya katakan, karena bahasa ciyusan miapah tidak kuat, tidak memiliki nilai sejarah dan melewati suatu peradaban. Saya heran, kenapa mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia secara benar, saya kira tidak sulit untuk menuliskan dengan bahasa yang benar, tidak memakan waktu yang banyak. Lagi pula sebagai pelajar pasti setiap harinya menulis dengan bahasa yang benar, tidak mungkin kita menulis pelajaran dengan bahasa alay.

Ingin saya bertanya, apa maksud mereka menggunakan bahasa ciyusan, miapah, mungkin ingin dibilang imut atau manja. Seperti kata Darwis Tere-Liye, kalau hanya sekedar menjadi imut atau unyu-unyu boneka juga punya sifat otentik seperti itu. Saya paling risih jika ada nama user facebook menggunakan bahasa alay, biasanya jika ada permintaan pertemanan oleh orang-orang bernama alay, tidak saya confirm.

Sebagai generasi muda, banggalah dengan Negara kita, bangsa kita, terutama bahasa kita. Jangan sampai bahasa kita terjajah, sudah cukup bahasa kita terjajah oleh para kolonial terdahulu. Jadilah kepribadian yang bagus, dewasa, dengan menggunakan tulisan yang benar. Pesan saya, bahwa menulis dengan bahasa yang benar itu tidak susah, tidak membuat anda merugi.



Jumat, 19 Oktober 2012

Dunia atau Akhirat?






“Toloooong!” teriak Farah

“Ada apa neng? Kok kayak abis ngeliat setan gitu?” Tanyaku

“Ii..ii..tu kak…Mpok Lilis…,”

“Kenapa Mpok Lilis? Sakit? Kepeleset?”

“Bukaann…tapi gantung diri!”

“Haaaaaa??!!”

                                                                        ***
“Tit..tit..,” handphoneku berbunyi tanda sms masuk.

 Kak Silvi, jangan lupa bawain dompet pink yang udah kakak beliin itu, makasiiih

Masih ingat saja anak itu, kalau soal beginian saja dia tidak pernah lupa. Farah adalah sepupuku, dia sengaja menitipkan pesanannya karena hari ini aku berkunjung ke rumah nenekku yang berkediaman di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Rumahku di daerah Kalideres, Jakarta Barat, jadi tidak jauh dari rumah nenek. Kebetulan aku sedang liburan ke tanah air, baru seminggu aku di Jakarta semenjak kepulanganku dari studiku di Mesir. Hari ini aku janji ingin menemani nenek, karena baru saja nenek ditinggal kakek. Aku pergi diantar abangku, Bang Ivan.

“Ya udah abang pulang dulu, mau langsung jemput mama dari pengajian, salam buat nenek,”

“Iya bang, ati-ati, jagain mama kan papa pulang dinasnya baru besok,”

Bang Ivan langsung menggas motornya menjemput mama. Baru saja aku masuk pagar rumah nenek dari kejauhan Farah memanggilku dan langsung menagih pesanannya. Ku lihat sepupu-sepupuku yang masih kecil bermain-main di halaman rumah nenek. Mereka berteriak-teriak memanggilku, dan aku langsung mencubit pipi mereka yang menggemaskan.

“Bang Arif masih suka maen kemari rah?” tanyaku

Kaga, udah dua hari ini dia lagi ikut syekhnya ke luar kota, katanya mengikuti perjalanan suci,” ujar Farah sambil mencibir

“Lah itu Bang Arif masih ikut tarekat yang nggak bener itu? Terus itu istri sama tiga anaknya ditinggal gitu?”

“Katanya biar Allah yang jaga, rejeki kan datangnya dari Allah,”

“Ya tapi kan itu kewajiban mutlak seorang suami menafkahi istri sama anak-anaknya, kalau nggak mahu ngurusin ngapain punya istri sama anak banyak,”

“Itulah kak, ini aja Mpok Lilis mau punya anak lagi, kata Bang Arif banyak anak, banyak rejeki,”

Ada-ada saja pamanku yang satu ini. Bang Arif adalah adik kandung mamaku, Mpok Lilis adalah istrinya. Sudah hampir 2 tahun Bang Arif mengikuti tarekat yang entah apa namanya. Semenjak dia di-phk dari perusahaan yang mempekerjakannya, dia diajak oleh salah satu temannya untuk mengikuti tarekat tersebut. Dia mengikutinya sebelum menikah dengan Mpok Lilis. Dia mempunyai anak tiga yang jaraknya hanya setahun-setahun, menurut syekhnya, banyak anak banyak rejeki.

Farah sering bercerita banyak tentang Bang Arif, ketika aku menelponnya pasti yang dia bicarakan pertama kali adalah Bang Arif.

“Farah suka diajak debat sama Bang Arif, masa Bang Arif bilang kan salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, kalau kita udah melakukan itu ya nggak usah salat lagi,”

“Masa Bang Arif bilang gitu?”

“Iya kak, terus yang Farah heranin waktu debat sama dia tuh, aku kayak dihipnotis jadi sependapat sama dia, pokoknya Bang Arif pinter banget biar aku tuh iya-iya aja sama omongannya,”

Emang orang-orang kayak gitu pinter ngomong, tapi kok Bang Arif nggak pernah ajak Silvi debat ya?”

“Yaiyalah jelas, dia takut sama Kak Silvi, secara Kak Silvi kuliah di Al-azhar Mesir, pasti lebih tahu soal agama”


Dulu Bang Arif termasuk salah satu anak nenek yang sukses, belum menikah tetapi penghasilan lebih dari cukup. Banyak wanita yang mengejar-ngejarnya, disamping parasnya yang tampan, dia ramah kepada setiap orang. Setiap hari raya, dia selalu memberikan uang paling banyak kepada keponakan-keponakannya. Dia juga yang mengurusiku ketika kecil, mengajakku jalan-jalan setiap sore, sayang sekali kepadaku.

Tetapi semuanya berubah semenjak dia di-phk oleh perusahaan tempat dia bekerja. Semenjak itulah, kerjaannya hanya melamun di rumah sampai dia masuk tarekat yang menyesatkan itu. Setelah itu dia menikah dengan Mpok Lilis yang kebetulan lebih tua darinya. Wanita-wanita yang mengicarnya semuanya tidak rela, karena paras Mpok Lilis biasa-biasa saja.

Teringat percakapan Farah dengan Lina, sepupuku juga, ketika Bang Arif memutuskan menikah dengan Mpok Lilis.
Kok bisa ya Bang Arif nggak milih cewek-cewek yang lain? Padahal yang ngejar-ngejar dia kan cakep-cakep,” ujar Lina
“Ya bisa lah, Bang Arif kan nyari yang mau nurut sama dia, lihat deh, belum apa-apa Mpok Lilis udah disuruh make cadar,” tambah Farah.
“Huss..kalian nggak boleh ngomong sembarangan! Bang Arif kan paman kita sendiri,” tegurku.

Sekarang Bang Arif berjualan gorengan di kantin sekolah dekat rumahnya, jadi setiap pagi Mpok Lilis menggorengnya dan menyisakan sepiring untuk dibawa ke rumah nenek. Rumahnya tak jauh dari rumah nenek, hanya berjarak lima rumah. Setiap sebulan, tarekatnya mengadakan perjalanan suci selama seminggu. Dalam perjalanan suci tersebut, mereka hanya fokus beribadah dan meninggalkan semua hal-hal duniawi termasuk istri dan anak. Seperti yang dikatakan Farah, istri dan anaknya akan dijaga oleh Allah, begitulah perkataan syekhnya.

Anak-anaknya lucu-lucu sekali, tetapi sayangnya tidak terurus, padahal dulu Bang Arif telaten sekali mengurusiku ketika kecil. Mpok Lilis juga terlihat kerepotan menjaga anak-anaknya dan harus menggantikan suaminya berjualan di kantin sekolah. Mpok Lilis tidak pernah mengeluh, sabar sekali orangnya. Kalau aku bermain kesana, ramah sekali, disuguhi gorengan buatannya yang lezat sekali. Kasihan Mpok Lilis, dia tidak boleh keluar rumah oleh suaminya,dia hanya boleh keluar rumah untuk berjualan, belanja, dan mengantarkan gorengan ke rumah nenek.

“Kak..kak.. masa Mpok Lilis setiap sebelum tidur dibacain nasehat-nasehat gitu kak, isinya tentang nasehat suami buat istri, dan itu salah satu rukun di tarekatnya Bang Arif,” seru Farah

“Ya bagus kalau gitu, emangnya apanya yang salah?” 

“Maksudnya si suami itu wajib bacain ke istrinya, mau istrinya denger kek mau kaga yang penting udeh dilaksanain. Kalau udah dibacain berarti tugas suami udah kelar, jadi kalau istrinya buat salah ya itu bukan tanggung jawabnya lagi,"
 
Kok bisa sih gitu, kalau gitu bakalan banyak suami yang seenaknya lepas tanggung jawab dong”.

                                                                        ***
Kami terkejut melihat leher Mpok Lilis terjerat oleh tali yang digantungkannya di pintu kamar. Mulutnya berbusa, matanya melotot hampir keluar. Farah yang kebetulan sedang mampir ke rumahnya, menemukannya sudah tergantung di pintu kamar. Segera saudara-saudaraku membawanya ke rumah sakit, tetapi sudah tak tertolong. Papaku berusaha menghubungi Bang Arif, dan ternyata dia tidak membawa handphonenya selama perjalanan sucinya.

Keesokkan harinya, Bang Arif datang dan langsung dikejutkan oleh berita meninggalnya Mpok Lilis. Apalagi ketika tahu bahwa Mpok Lilis meninggal karena gantung diri. Anak-anaknya yang masih kecil menangis-nangis menanyakan dimana ibu mereka. Bang Arif langsung berlari menuju pemakaman dimana istrinya dikuburkan. Ternyata selama ini dibalik kesabaran Mpok Lilis, senyumnya yang ramah, dia menyimpan derita. Mana pernah Bang Arif menanyakan kabar istrinya, hanya disuruh-suruh saja, membiarkan istrinya mengurusi anak-anaknya sendirian. 

Beberapa menit kemudian,

“Si Arif bunuh diri!” teriak seorang tetangga di depan pintu rumah nenek dengan wajah pucat

“Sepertinya dia loncat dari rumah susun samping pemakaman, dari lantai tujuh”.




Senin, 15 Oktober 2012

Jalan Setapak yang Mengerikan



Ketika itu sedang terjadi kerusuhan di Mesir, yaitu revolusi Mesir pada 25 Januari 2011, jadinya pada hari-hari kerusuhan semua jaringan telepon dan internet dimatikan. Aku dan temanku pada saat itu ragu untuk kumpul di sekretariat IKPM (Ikatan Keluarga Pesantren Modern). "Ya sudahlah, kita berangkat aja, takutnya yang lain pada kumpul", ujar temanku. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk berangkat menuju daerah Bawabah di bilangan Hay Asyir. Sampailah kami di tempat pemberhentian bus seberang apartemen kami dan ternyata tak ada satu pun bus maupun tremco[1] yang berlalu-lalang, keraguan pun mulai menjalar di pikiranku lagi, tetapi akhirnya kami memutuskan untuk berangkat dengan taksi.

Setelah sidang redaksi usai, kami pun singgah di rumah makan bang Bobi yang kebetulan dekat dengan sekretariat. Sepi sekali tidak ada satu pun Masisir yang mengunjungi tempat tersebut. Sambil menunggu pesanan, kami melihat di televisi bahwa pada hari itu ada kerusuhan lagi di Maidan Tahrir, ah kan yang demo di Tahrir bukan disini, pikirku. Setelah dari Bang Bobi kami menunggu teman kami di depan swalayan "Khoiru zaman", karena telah terlanjur membuat janji kepada teman kami bahwa akan berbelanja disana tepat pada pukul enam sore.

Jalan raya pun makin sepi, sepi, dan makin sepi, bodohnya kami berdua tidak menyadarinya dikarenakan asik bergosip ria. Memang dasar wanita, ketika sedang asik bergosip mereka lupa dengan sekitarnya. Akhirnya kami pun menyadari bahwa sudah satu jam kami menunggu, dan jalanan pun makin terasa sepi. Sedikit orang-orang tersisa, mereka berlari-lari mengejar tremco yang lewat karena mereka takut tidak mendapatkan kendaraan pulang.

Setelah beberapa menit kemudian, Khoiru Zaman TUTUP! Dan ternyata bukan Khoiru Zaman saja yang tutup, tapi toko-toko yang lain pun turut mengakhiri jam kerja mereka. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang, dan setelah menunggu setengah jam tidak ada satu pun bus ataupun tremco yang lewat, adapun yang lewat tapi penuh dengan penumpang. Orang-orang Mesir kebanyakan menaiki truk yang kebetulan lewat dan menawarkan tumpangan, karena semua bus sudah penuh ketika melewati Hay Asyir dan mustahil bagi kami untuk menaiki truk yang penuh sesak oleh pria-pria Mesir.

Lama sekali kami menunggu, dengan keputusan yang sedikit gila kami pun memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki menuju daerah Zahro yang jauh sekali letaknya dengan daerah Bawabah ini. Jalan, jalan, dan jalan yang kami lakukan dan ketika sampai di daerah Gami' kami mencoba lagi menunggu bus ataupun tremco. Tapi hasilnya Nihil! dan ketika itu kami melihat seorang ibu-ibu Rusia yang tengah menggendong anaknya, aku merasa kasihan melihatnya, tetapi apa daya jangankan untuk menolongnya untuk pulang ke rumahku saja aku tak tahu harus bagaimana. Taksi pun penuh dengan penumpang, tetapi akhirnya ibu-ibu Rusia itu ditolong oleh seorang lelaki Rusia. Waaah senangnya, coba ada orang Indonesia yang lewat lalu menolong kami berdua, tapi itu suatu hal yang tidak mungkin.

Kami pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki, ketika sampai di daerah Madrasah ada bus 81 jurusan Zahro menurunkan penumpang. Ketika kami ingin menaiki bus tersebut seorang lelaki Mesir berteriak, "La!Mashri bas!"[2], yassalaaam!

Kata-kata berupa cacian pun keluar begitu saja dari mulutku, dan ada kejadian yang menegangkan lagi ketika kami sampai di daerah Suq Madrasah, kami melihat ada kobaran api yang sangat besar berasal dari terminal bus Hay Asyir. Kami bingung harus kemana, ketika itu ada 2 orang lelaki Indonesia yang lewat dan aku hendak meminta pertolongan, tapi mereka hanya melihat dengan tatapan tidak peduli. Temanku langsung berkata, "Udahlah, kita juga bisa sendiri kok!", aku tahu dia berkata seperti itu hanya untuk menghibur dirinya.

Tak ada jalan lain, aku pun menarik tangan temanku menuju gang-gang kecil di sekitar Suq Madrasah yang sangat gelap dan sunyi, karena pintu-pintu dan jendela-jendela rumah terkunci dengan rapat. Parahnya aku tidak terlalu hafal jalan di daerah sini, ya Rabb!. Ah tapi kan jalan di Mesir hanya kotak-kotak saja, pikirku. Aku pun berjalan super cepat disertai dengan otakku yang berjalan menentukan arah-arah yang akan kita tempuh dan dengan merangkul tangan temanku. Tangan temanku berkeringat dingin dan gemetar, dia memegang tanganku kuat sekali. Dia ketakutan sekali dan hampir menangis, jika aku menangis juga maka itu sama saja membuang waktu. Dengan keberanian yang dipaksakan aku berjalan menuju jalan-jalan sempit yang diapit oleh apartemen.

Akhirnya kami tiba di tempat pengisian bensin, dan terlihat jelas ternyata kobaran api tersebut berasal dari tempat polisi yang berada di terminal bus Hay Asyir yang memang sengaja dibakar oleh masyarakat setempat. Akhirnya kami tiba diperbatasan Hay Asyir dan Zahro. Disana banyak tentara-tentara yang membawa senapan sedang memeriksa mobil-mobil pribadi yang lewat sana, setelah kuperhatikan tidak ada satu pun perempuan yang lewat sana. Memang inilah pengalaman kami yang bodoh dan gila. Sampailah kami di rumah, kami pun disambut oleh penjaga apartemen kami. Memang pada hari itu KBRI sudah mengumumkan bahwa tidak boleh keluar rumah setelah jam 4 sore, tetapi kabar itu tidak sampai rumah kami.

Ternyata, ketika kami pergi dari rumah, ada kerusuhan di depan apartemen kami dan sampai merusak pemberhentian bus di seberang. Salah satu teman kami mencoba mengambil gambar dengan kamera, tiba-tiba tetangga atas flat kami meludahinya dan melempar bantal, karena mereka melihat cahaya kamera dari jendela flat kami. Memang ketika di zaman kepemimpinan Husni Mubarok semua kejadian kriminal tidak pernah dipublikasikan, baik dalam negri maupun luar.

Setelah beberapa hari, akhirnya ada berita bahwa orang Indonesia di Mesir akan dievakuasikan ke tanah air. Meski hanya beberapa minggu di Indonesia, tetapi akhirnya aku bisa pulang ke tanah air dengan gratis. Ternyata dari jalan setapak yang mengerikan berakhir dengan manis.




[1] Nama alat transportasi di Mesir, kalau di Indonesia sering disebut dengan angkutan umum
[2] Artinya: Nggak boleh, ini khusus orang Mesir saja

Selasa, 09 Oktober 2012

Peradaban hebat dan Warung Mang Jali



“Awas, awas!” ujar lelaki paruh baya kepadaku. Aku terkejut. Ternyata aku hampir tertabrak oleh sepeda motor yang ditumpanginya. Pikiranku hanya tertuju pada sebuah warung kecil yang hanya berjarak lima langkah dari tempatku berdiri.

 “Assalamualaikum Mang Jali, sehat mang?,” sapaku

“Waalaikumsalam, hamdulillah sehat, duduk Sim! Mau minum apa kamu?,” ujarnya sambil mengaduk kopi pesanan pelanggan.
 “Apa aja mang”. 

Tepat di sebelah kananku ada anak lelaki, kutaksir umurnya baru enam belasan tahun karena dia mengenakan seragam SMA yang masih terlihat baru. Gayanya persis anak-anak muda jaman sekarang, rambut model artis korea, kacamata besar yang lagi-lagi meniru artis korea, jam tangan besar, matanya tidak tertuju kemana-mana kecuali fokus terhadap Blackberry-nya.

Setiap hari Kamis, aku selalu menyempatkan bersinggah di warung kecilnya Mang Jali. Kebetulan di hari itu tidak ada jam kuliah sampai sore dan tidak ada kegiatan kampus lainnya. Hanya berbicara santai saja sebenarnya sambil menikmati udara sejuk sore hari di Kota Bogor ini. Kami seperti mengadakan kelas mendongeng, Mang Jali pendongengnya dan aku murid setianya. Berbicara banyak hal, kami paling senang membicarakan masa depan.

Hari ini Mang Jali berjanji akan menceritakan sebuah cerita yang menakjubkan, sebuah peradaban paling hebat yang dimiliki oleh Negara ini. “Kamu pasti pernah mendengar isu-isu tentang Benua Atlantis yang hilang itu adalah Indonesia. Cerita tentang Benua Atlantis dipopulerkan oleh Plato, dari kesekian ilmuwan yang menyebutkan ciri-ciri Benua Atlantis dan semua kriterianya yang cocok itu cuma Indonesia saja”. Aku semakin antusias mendengarnya.

Jadi menurut ceritanya, dulu ada yang meneliti Indonesia dan terbukti bahwa Negara ini adalah Benua Atlantis yang hilang, yang dimana benua tersebut adalah pusat peradaban manusia. Dulu, pulau Jawa dan Sumatra itu satu pulau dan begitu juga pulau-pulau lainnya, tapi karena kejadian melelehnya es-es yang berada di kutub dan meletusnya induk Krakatau jadinya banyak pulau-pulau yang terpisah.

Sambil menyeruput kopi hangat miliknya, dia melanjutkan ceritanya. Konon, salah satu gunung yang berada di Garut itu adalah Piramid. Biasanya sebuah gunung itu strukturnya menyatu dengan tanah dan terlihat ketika dideteksi, tapi ketika dideteksi oleh alat khusus ternyata gunung tersebut adalah batu-batu yang disusun dan terlihat seperti Piramid. Ternyata bukan hanya di Garut saja, di Pulau Sumatra juga terdapat banyak Piramid yang baru ditemukan. Piramid yang berada di Garut setelah diteliti, ia lebih tua dibandingkan Piramid yang berada di Mesir.

Sayangnya semua ini tidak dipublikasikan, karena semuanya hanya akan merusak sejarah. Ya, karena sejarah yang sudah dikenal adalah Mesir, dimana di sanalah termasuk pusat peradaban tertua di dunia. Sebenarnya sudah ditemukan oleh Belanda Piramid-piramid tersebut, tetapi mereka sengaja menimbunnya dengan tanah biar bangsa ini tidak tahu bahwa negaranya memiliki peradaban yang hebat. 

“Konon juga Nabi Sulaiman dulu hidup di Negara kita ini, karena kalau nggak salah di Pulau Kalimantan ditemukan bekas pemindahan istana Nabi Sulaiman,” ujarnya dengan gayanya yang khas. Kalau benar Benua Atlantis adalah Indonesia artinya peradaban bangsa ini lebih tua daripada Mesir, Yunani, dan lainnya, karena Benua Atlantis adalah pusat peradaban manusia. Terbukti di salah satu buku yang ditulis oleh ilmuwan Eropa bahwa banyak istilah-istilah di Eropa yang mengambil dari peradaban Mesir, dan Mesir mengambilnya dari Indonesia.

“Salah satu bukti tuanya peradaban bangsa kita. Di Indonesia ini ada berapa bahasa? Coba kamu hitung,” ujarnya.

“Banyak banget mang, nggak tau berapa”

 “Nah, banyak banget kan? Coba deh kamu cari, Negara mana yang punya bahasa sebanyak Indonesia”. Aku pun menggeleng.

Nggak ada Sim, nggak ada! Bahasa Sunda contohnya, kata mencuci dalam Bahasa Sunda aja ada dua kata. Kalau nyuci baju namanya nyeuseuh, kalau nyuci piring berarti dikumbah. Dan proses  untuk menjadi bahasa butuh jangka waktu yang lama. Kebayang kan segimana lamanya peradaban bangsa ini untuk membentuk bahasa yang banyak sekali jumlahnya”.

Dia memberi contoh lain, yaitu makanan. “Makanan Indonesia banyak sekali jenisnya, padahal cuma misalnya yang namanya sayur lodeh itu lengkoasnya dikit, kalau banyak jadi beda nama, yaitu sayur asem. Dan itu butuh waktu yang lama buat mempopulerkan makanan-makanan tersebut. Belum tentu kalau kamu bikin Keripik Hasim misalnya, itu bakal semua orang nyebut keripik itu adalah Keripik Hasim, ya mungkin di daerah kamu saja, tapi di tempat yang lain kan nggak”. Aku hanya tertawa mendengar istilah Keripik Hasim, lucu saja kalau namaku dijadikan nama keripik.

Bapak tua yang ada di sampingku membayar kopi pesanannya, sedangkan bocah SMA yang ada di sebelahku masih betah dengan gadget-nya itu. Aku heran, padahal aku dan Mang Jali hampir setengah jam bercerita-cerita dan dia masih dalam posisi yang sama ketika aku datang ke warung ini. Sepertinya dia sedang ada masalah dengan kekasihnya, soalnya aku sempat mendengar dia menggerutu sambil menyebut-nyebut nama seorang gadis.

“Bodohnya, bangsa ini tidak menyadari bahwa negaranya punya peradaban yang hebat ini. Sayang sekali, Negara yang kaya ini dihuni oleh orang-orang bodoh, seperti para koruptur, pecandu narkoba, dan masih banyak lagi. Kamu lihat saja gimana generasi mudanya, hidupnya sudah dikendalikan oleh teknologi modern, terlalu meniru gaya hidupnya barat, benar kalau meniru etos kerja dan belajarnya”. Bocah SMA disampingku hanya melirik, baguslah kalau dia menyadarinya. Akan tetapi aku salah, dia malah melanjutkan kegiatannya dengan gadget kesayangannya.

“Orang yang udah megang handphone, naon eta[1] namanya? Blackberry itu udah lupa sama sampingnya. Mau kita teriakin, mau ada maling, nya sabodo teuing lah, nu penting update weh[2],” ujar Mang Jali dengan logat sundanya yang khas. Bocah SMA di sampingku mulai merasa tersindir oleh ocehannya Mang Jali. Dia langsung memasukkan telepon genggam miliknya ke dalam saku, dan langsung mengambil headset mendengarkan lagu dari MP3-nya. Mang Jali tersenyum meledek ke arahnya, dan aku hanya meringis.

Beberapa menit kemudian, lima orang gadis yang seragamnya sama dengan bocah SMA di sampingku datang ke warungnya Mang Jali. Sepertinya orang yang di sampingku bolos di beberapa jam pelajaran terakhir. Gadis-gadis tersebut sebagian menanyakan harga kepada Mang Jali, sebagiannya lagi fokus dengan aktivitas yang sama dengan orang di sampingku. Suara centil gadis-gadis SMA memecahkan suasanaku yang sedang terhanyut dengan indahnya cerita bangsaku. Pandanganku sama sekali tidak tertuju kepada mereka, aku hanya terdiam dan membaca buku yang sempat kubaca di perjalanan menuju kesini.

“Eh, si ujang! Maneh teh ngabolos nya hari ini? Eta babaturan maneh baru pada pulang sakolah[3],” ujar Mang Jali kepada bocah di sampingku. Bocah itu pura-pura tidak mendengar, aku langsung kesal karena teguran Mang Jali tidak digubrisnya. Mang Jali memberi isyarat kepadaku agar diriku tenang.
Kunaon maneh teh ngabolos?[4],” Tanya Mang Jali dengan suara lebih lembut

“Abisnya urang meni kesel ku si bapa, urang hayang dipeserkeun sapeda motor, meuni pelit pisan. Kabogoh urang minta diantar jemput make sapeda motor mang[5],” ucapnya panjang lebar

“Oh, kitu nya, maneh teh putrana[6] Mang Asep kan? Bapa maneh banting tulang biayain kamu narik becak sana-sini. Untung-untung si ujang teh masih bisa beli Blackberry, juga ibu kamu jualan kue buat uang jajan kamu, jangan malah pacaran, belajar yang rajin biar pengorbanan orang tuamu nggak sia-sia,” ujar Mang Jali menasehatinya.

Sok atuh uwih ka bumi, bade dicarekanan ku si bapa. Jadi anak teh yang berbakti, rajin belajar, nih contoh si Hasim, udah kasep, pinter, rajin pisan[7],”

Aku tersipu mendengar pujian yag dilontarkan Mang Jali, bocah itu pun akhirnya pulang setelah bersalaman dan meminta maaf padaku dan Mang Jali. Aku semakin salut sama Mang Jali. Pertama kali bertemu ketika aku sedang mencari kos-an yang dekat dengan kampusku. Kebetulan aku singgah di warungnya dan bertanya-tanya kepadanya, dan dia yang mencarikan kos-an ku. Dia yang mengajariku bahasa sunda, karena aku berasal dari Jawa Timur, Lamongan, dan kebetulan aku diterima menjadi mahasiswa di ITB. Setelah itu kami pun akrab, dan sering bertukar cerita.

“Oh iya, gimana kabarnya gadis yang kamu taksir itu? Yang satu fakultas denganmu itu”, Tanya Mang Jali, aku langsung tersadar dari lamunanku

“Oh itu mang, saya belum membuat tindakan sama sekali. Nanti saja kalau saya sudah siap buat segalanya baru saya datangin dia dan orang tuanya. Kalau sekarang-sekarang nanti malah buat pikirannya terganggu,” 

“Kamu ini ganteng Sim, pintar, banyak gadis-gadis tetangga kosan mu nanyain kamu sama mamang, karena kamu sering kesini,” ujarnya menggodaku, aku hanya tersenyum.

Mang Jali menepuk pundakku. “Orang tuamu pasti orang yang hebat, terbukti mempunyai anak yang hebat sepertimu. Pasti gadis yang kamu taksir juga wanita yang hebat, dia beruntung disukai oleh pemuda sepertimu”. 

Setelah membayar semuanya, aku berpamitan dengannya. Sebenarnya Mang Jali lebih hebat dari orang-orang yang ku kenal. Benar apa yang dikatakan Mang Jali, Negara ini kaya tapi dihuni oleh orang-orang bodoh. Buktinya, mereka menyia-nyiakan orang sehebat Mang Jali, seorang Sarjana Hukum yang hanya bisa berdagang di warung kecil lantaran tidak ada satu pun perusahaan yang memberikannya pekerjaan.

Adzan maghrib terdengar sayup-sayup, mengiringiku menuju rumah kos-an ku. Di pikiranku sudah tersusun rapi rencana-rencana masa depan, berkat sebuah cerita tentang peradaban hebat bangsa ini. Berkat cerita itu juga, satu generasi muda terselamatkan oleh nafsu-nafsu keremajaannya. Warung kecil yang menyimpan suatu peradaban yang tidak disadari oleh pemilik gedung-gedung pencakar langit.


[1] Apa itu namanya
[2] Mau kita teriakin, mau ada maling, bodo amat, yang penting update
[3] Eh, si ujang (panggilan untuk anak laki-laki dalam sunda) kamu bolos ya hari ini? Itu temen-temen kamu baru pada pulang sekolah
[4] Kenapa kamu bolos?
[5] Abisnya aku kesel banget sama bapak, aku minta dibeliin sepeda motor, pelit banget. Pacar aku minta diantar jemput pake sepedah motor
[6] Oh gitu ya, kamu tuh anaknya Mang Asep kan?
[7] Cepetan pulang ke rumah, nanti dimarahin sama Bapak. Jadi anak tuh yang berbakti, rajin belajar, nih contoh si Hasim, udah ganteng, pinter, rajin pula