“Hai, cewek aneh!” sapanya.
“Kamu lagi,” jawabku dengan tatapan tetap lurus kepada novel
yang sedang kubaca.
“Haha, memang benar-benar cewek aneh. Seharusnya sebagai
cewek normal kamu merasa berterima kasih sudah ditemani oleh pria tampan selain
saya.”
“Kalau kamu memang ingin bersantai di cafe ini, saya saranin
kamu cari tempat duduk lain.”
Dia tertawa kembali. Aku sedikit risih dengan kehadirannya,
apalagi mendengar rayuannya. Dia memerhatikan sekeliling cafe, lalu menatapku
kembali.
“Kamu sadar tidak bahwa hanya kamu yang tidak berpasangan di
cafe ini? Itu salah satu alasan kamu harus berterima kasih sudah saya temani.”
Spontan aku berdiri dari tempat dudukku, semua mata tertuju
pada kami.
“Iya, iya, saya janji akan diam. Tetapi bolehkan saya tetap
duduk disini?”
Aku hanya terdiam. Lalu melanjutkan bacaan yang sempat
tertunda oleh ulahnya beberapa menit tadi.
Namanya Ega, seorang lelaki berpostur tinggi, tegap,
wajahnya memang lumayan bisa membuat wanita jatuh cinta pada pandangan pertama.
Apalagi dia jago merayu, sudah biasa aku bertemu dengan tipe lelaki seperti
dia.
“Oh iya, nama saya Ega, namamu siapa?” tanyanya pada
pertemuan pertama.
Aku terdiam.
“Saya janji tidak akan menggangumu,” ujarnya lagi.
“Rey,” jawabku singkat.
Setelah itu memang dia tidak menggangguku, karena sibuk
merijek panggilan masuk yang akhirnya ia terima. Ternyata dari kekasihnya, ia
hanya menjawab dingin. Terdengar sayup-sayup suara tangisan manja dari handphone
miliknya, ternyata mereka sedang bertengkar. Hari ini mungkin ia sedang
bertengkar kembali dengan kekasihnya, lalu mencari wanita lain untuk
menghiburnya.
“Rey, bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanyanya setelah lima
menit kami saling terdiam.
“Kamu memang benar-benar tidak bisa menepati janji,” ujarku.
“Haha, ada wanita cantik di hadapan saya dan saya rasa
sayang untuk didiamkan.”
“Tadi kamu ingin bertanya apa?”
“Kenapa kamu lebih suka menyendiri membaca novel di cafe?
Setahu saya, wanita lebih suka pergi ke mall bersama teman-temannya. Ya intinya
wanita itu kemana-mana selalu bersama-sama, tetapi kenapa saya menemukan
seorang wanita yang berbeda?”
“Berbeda? Haha, ternyata itu yang membuatmu menjuluki saya
aneh. Ya itulah wanita, selalu bersama-sama, cenderung tidak percaya diri jika
berjalan sendirian. Menurut mereka berjalan sendirian atau menyendiri adalah
orang yang tidak mempunyai teman.”
“Berarti kamu tidak mempunyai teman?”
“Haha, punyalah, tetapi bukan lantas tidak boleh menyendiri
kan? Mereka saja yang manja, kemana-mana harus ditemani, gengsi berjalan sendirian.
Jika kita berpikir lebih panjang lagi, masih banyak yang harus dilakukan selain
menghabiskan waktu bersama teman. Contohnya, jika saya mengajak teman, novel
yang saya baca tidak akan selesai, padahal harus dibalikkan ke perpustakaan
lusa. Pasti kami akan berbicara panjang lebar.”
“Ternyata ini alasanmu menyendiri selama berhari-hari.”
“Bukan juga sih, saya pikir bersenang-senang bersama teman
itu waktu zaman-zaman sekolah. Kalau sudah masuk kuliah banyak yang harus
dipikirkan untuk ke depan, ya bolehlah sesekali bersenang-senang.”
Akhirnya dengan pertanyaannya tadi, kami pun berbincang
panjang lebar. Tidak kusangka ia mempunyai pikiran yang sama denganku. Aku
pikir ia sama seperti lelaki tampan lainnya yang suka merayu wanita dengan
gombalan murahan.
“Saya pikir kamu aneh, ternyata kamu harus dipancing
terlebih dahulu baru menemukan sosokmu sesungguhnya,” ujarnya.
“Kalau kata ibu saya, Ibaratnya Rey itu tidak akan bersuara
jika tidak disenggol,” kataku sambil tertawa.
“Nah, gini dong dari tadi, diam saja kamu cantik apalagi
kalau tertawa, aduhai.”
“Jika kamu katakan itu sekali lagi, lebih baik kamu pindah
ke tempat lain”.
“Kamu itu aneh, dipuji malah marah-marah.”
Setelah percakapan hari itu kami sering bertemu di cafe, ia
sudah putus dengan kekasihnya. Menurutnya aku berbeda dengan wanita kebanyakan,
termasuk mantan kekasihnya yang sangat manja. Hari ini aku ingin memberinya
sebuah novel bagus, cocok sekali untuknya. Ia mengatakan bahwa akan pergi ke
cafe sore hari, tetapi aku merahasiakan kejutan ini.
Sudah satu jam aku menunggu, ia tidak kunjung datang. Hampir
aku menamatkan bacaan, masih belum muncul batang hidungnya. Kuputuskan untuk
pulang dengan kecewa. Ketika keluar pintu cafe, aku menemukan sosoknya sedang
menelpon seseorang.
“Iya bidadariku, aku cuma sebentar kok, ketemu sama temen
abis itu langsung pulang lagi. Nanti sepulang dari cafe aku janji bawain kue
dan bungan kesukaanmu, okeh cinta?”
Mendengar itu semua langsung aku keluar dari cafe, ia tidak
menyadari sosokku. Di hatiku ada sesuatu yang menyayat, perih. Dulu aku
berjanji tidak akan percaya kepada lelaki sembarangan. Aku merasa bodoh bisa
percaya dengan lelaki yang baru kukenal selama 3 minggu. Mungkin benar apa yang
dikatakannya, aku wanita yang berbeda, aneh. Semua lelaki memilih wanita yang
normal, seperti kekasihnya yang ternyata masih dicintainya.
Sampai di perempatan menuju halte bis, ada yang menarik
tanganku.
“Bisa tidak sih bertanya terlebih dahulu sebelum
menyimpulkan sesuatu?” seru Ega.
“Adikku masuk rumah sakit, jadinya hanya bisa sebentar
menemuimu.”
*For you...