Pages

Labels

Minggu, 08 Desember 2013

Wanita Aneh


“Hai, cewek aneh!” sapanya.

“Kamu lagi,” jawabku dengan tatapan tetap lurus kepada novel yang sedang kubaca.

“Haha, memang benar-benar cewek aneh. Seharusnya sebagai cewek normal kamu merasa berterima kasih sudah ditemani oleh pria tampan selain saya.”

“Kalau kamu memang ingin bersantai di cafe ini, saya saranin kamu cari tempat duduk lain.”

Dia tertawa kembali. Aku sedikit risih dengan kehadirannya, apalagi mendengar rayuannya. Dia memerhatikan sekeliling cafe, lalu menatapku kembali.

“Kamu sadar tidak bahwa hanya kamu yang tidak berpasangan di cafe ini? Itu salah satu alasan kamu harus berterima kasih sudah saya temani.”

Spontan aku berdiri dari tempat dudukku, semua mata tertuju pada kami.

“Iya, iya, saya janji akan diam. Tetapi bolehkan saya tetap duduk disini?”

Aku hanya terdiam. Lalu melanjutkan bacaan yang sempat tertunda oleh ulahnya beberapa menit tadi.
Namanya Ega, seorang lelaki berpostur tinggi, tegap, wajahnya memang lumayan bisa membuat wanita jatuh cinta pada pandangan pertama. Apalagi dia jago merayu, sudah biasa aku bertemu dengan tipe lelaki seperti dia.

“Oh iya, nama saya Ega, namamu siapa?” tanyanya pada pertemuan pertama.

Aku terdiam.

“Saya janji tidak akan menggangumu,” ujarnya lagi.

“Rey,” jawabku singkat.

Setelah itu memang dia tidak menggangguku, karena sibuk merijek panggilan masuk yang akhirnya ia terima. Ternyata dari kekasihnya, ia hanya menjawab dingin. Terdengar sayup-sayup suara tangisan manja dari handphone miliknya, ternyata mereka sedang bertengkar. Hari ini mungkin ia sedang bertengkar kembali dengan kekasihnya, lalu mencari wanita lain untuk menghiburnya.

“Rey, bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanyanya setelah lima menit kami saling terdiam.

“Kamu memang benar-benar tidak bisa menepati janji,” ujarku.

“Haha, ada wanita cantik di hadapan saya dan saya rasa sayang untuk didiamkan.”

“Tadi kamu ingin bertanya apa?”

“Kenapa kamu lebih suka menyendiri membaca novel di cafe? Setahu saya, wanita lebih suka pergi ke mall bersama teman-temannya. Ya intinya wanita itu kemana-mana selalu bersama-sama, tetapi kenapa saya menemukan seorang wanita yang berbeda?”

“Berbeda? Haha, ternyata itu yang membuatmu menjuluki saya aneh. Ya itulah wanita, selalu bersama-sama, cenderung tidak percaya diri jika berjalan sendirian. Menurut mereka berjalan sendirian atau menyendiri adalah orang yang tidak mempunyai teman.”

“Berarti kamu tidak mempunyai teman?”

“Haha, punyalah, tetapi bukan lantas tidak boleh menyendiri kan? Mereka saja yang manja, kemana-mana harus ditemani, gengsi berjalan sendirian. Jika kita berpikir lebih panjang lagi, masih banyak yang harus dilakukan selain menghabiskan waktu bersama teman. Contohnya, jika saya mengajak teman, novel yang saya baca tidak akan selesai, padahal harus dibalikkan ke perpustakaan lusa. Pasti kami akan berbicara panjang lebar.”

“Ternyata ini alasanmu menyendiri selama berhari-hari.”

“Bukan juga sih, saya pikir bersenang-senang bersama teman itu waktu zaman-zaman sekolah. Kalau sudah masuk kuliah banyak yang harus dipikirkan untuk ke depan, ya bolehlah sesekali bersenang-senang.”

Akhirnya dengan pertanyaannya tadi, kami pun berbincang panjang lebar. Tidak kusangka ia mempunyai pikiran yang sama denganku. Aku pikir ia sama seperti lelaki tampan lainnya yang suka merayu wanita dengan gombalan murahan.

“Saya pikir kamu aneh, ternyata kamu harus dipancing terlebih dahulu baru menemukan sosokmu sesungguhnya,” ujarnya.

“Kalau kata ibu saya, Ibaratnya Rey itu tidak akan bersuara jika tidak disenggol,” kataku sambil tertawa.

“Nah, gini dong dari tadi, diam saja kamu cantik apalagi kalau tertawa, aduhai.”

“Jika kamu katakan itu sekali lagi, lebih baik kamu pindah ke tempat lain”.

“Kamu itu aneh, dipuji malah marah-marah.”

Setelah percakapan hari itu kami sering bertemu di cafe, ia sudah putus dengan kekasihnya. Menurutnya aku berbeda dengan wanita kebanyakan, termasuk mantan kekasihnya yang sangat manja. Hari ini aku ingin memberinya sebuah novel bagus, cocok sekali untuknya. Ia mengatakan bahwa akan pergi ke cafe sore hari, tetapi aku merahasiakan kejutan ini.

Sudah satu jam aku menunggu, ia tidak kunjung datang. Hampir aku menamatkan bacaan, masih belum muncul batang hidungnya. Kuputuskan untuk pulang dengan kecewa. Ketika keluar pintu cafe, aku menemukan sosoknya sedang menelpon seseorang.

“Iya bidadariku, aku cuma sebentar kok, ketemu sama temen abis itu langsung pulang lagi. Nanti sepulang dari cafe aku janji bawain kue dan bungan kesukaanmu, okeh cinta?” 

Mendengar itu semua langsung aku keluar dari cafe, ia tidak menyadari sosokku. Di hatiku ada sesuatu yang menyayat, perih. Dulu aku berjanji tidak akan percaya kepada lelaki sembarangan. Aku merasa bodoh bisa percaya dengan lelaki yang baru kukenal selama 3 minggu. Mungkin benar apa yang dikatakannya, aku wanita yang berbeda, aneh. Semua lelaki memilih wanita yang normal, seperti kekasihnya yang ternyata masih dicintainya.

Sampai di perempatan menuju halte bis, ada yang menarik tanganku.

“Bisa tidak sih bertanya terlebih dahulu sebelum menyimpulkan sesuatu?” seru Ega.

“Adikku masuk rumah sakit, jadinya hanya bisa sebentar menemuimu.”

*For you...

Minggu, 24 November 2013

Karamel Madu


“Lagi-lagi gagal!” seru Billy sambil membuang adonan karamel yang setengah jadi.

“Jangan putus asa Bil, masih ada waktu seminggu lagi,” ujar Shila, temannya.

“Aku sudah bertahun-tahun membuat kue dan semua rakyat desa ini tahu bahwa kue buatanku paling lezat, tetapi untuk membuat adonan karamel saja gagal.”

“Ya sudahlah kamu bikin karamelnya dari gula saja, kan lebih mudah ketimbang dari madu.”

“Justru desa kita terkenal dengan karamel yang terbuat dari madu, karena madu makanan pokok kita.”

Seminggu lagi akan diadakan lomba masak kue antar desa dan Billy merupakan utusan Desa Beruang. Kali ini ia ingin membuat kue jeruk yang dilapisi oleh karamel yang terbuat dari madu. Memang sudah terkenal dengan kelezatan karamel madu, maka dari itu Billy bertekad untuk membuatnya. Billy merupakan beruang pembuat kue terlezat di desanya, tetapi baru kali ini ia membuat karamel dari madu. Jadi ia memang sedikit kesusahan untuk meracik adonannya.

Padahal Shila sudah meminta resep karamel madu dari Nenek Carol, tetapi Billy mengabaikannya, karena menurutnya resep buatannya jauh lebih lezat. Akhirnya dari dua hari yang lalu Billy mengeluh atas kegagalannya, sampai-sampai Shila menyuruhnya untuk membuat karamel dari gula.

“Bisa jatuh nama baikku sebagai pembuat kue yang handal,” cetus Billy.

Begitulah Billy, ia terlalu angkuh sampai-sampai ia tak mau menerima bantuan dari orang lain. Memang sejak dahulu belum ada yang berhasil membuat resep karamel madu selain Nenek Carol. Semua penghuni desa ini memakai resepnya. Hanya Billy satu-satunya beruang yang menolak resep darinya hanya karena takut terkalahkan kelezatan kuenya. Menurutnya, lebih baik ia gagal membuat kue daripada mendapat resep dari orang lain.

Shila sebagai teman baiknya, rela meminjam kembali resep dari Nenek Carol, karena ia tak tega melihat Billy berhari-hari tidak tidur demi memikirkan resep. Akan tetapi keangkuhannya telah merasuki hatinya. 

“Aku salut sama kamu atas usaha keras selama berhari-hari, tetapi kan nggak ada salahnya menerima bantuan dari orang lain. Kamu kan lomba demi mengangkat nama baik desa ini bukan namamu saja, jadi wajar kalau orang lain ingin membantumu,” ujar Shila.

Nihil, Billy tetap bersikeras menolak pertolongan dari yang lain. Akhirnya Shila merasa putus asa meyakinkannya, lalu membiarkannya berjuang sendiri. Billy tidak peduli, yang penting ia bisa menciptakan kue jeruk karamel madu terlezat, pasti namanya akan melambung ke seluruh desa-desa. Banyak yang akan memujinya dan ia akan menjual resepnya dengan harga tinggi. Apalagi hadiah lombanya adalah sebuah toko kue bertingkat dua, siapa yang tidak tergiur.

Setelah hampir lima hari, Billy belum juga berhasil membuat karamel madu, ia bingung, kenapa Nenek Carol berhasil membuatnya. Kebetulan siang itu Billy ingin membeli telur di toko seberang rumahnya. Ketika disana tidak sengaja ia mendengar pembicaraan dua beruang dekat toko tersebut. Ternyata di resep Nenek Carol terdapat ramuan khusus dan hanya ia yang mempunyainya. Setiap yang meminta resep darinya pasti akan diberikan ramuan tersebut, karena Billy menolaknya makaia tidak mendapatkannya.

Billy mencari cara bagaimana ia bisa mendapatkan ramuan tersebut. Dengar-dengar Nenek Carol hari ini akan menginap di desa seberang untuk persiapan lomba memasak kue yang diadakan lusa, karena ia merupakan juri pada lomba tersebut. Billy mendapat cara bahwa ia akan menyelinap masuk ke rumah Nenek Carol pada malam hari. Kebetulan Shila yang dititipi kunci rumahnya.

Pada sore hari, ia menuju rumah Shila dan memintanya untuk mengantar kue pesanan, rumahnya agak jauh dari sana. Memang biasanya jika Billy mendapat pesanan kue, Shila yang mengantarkannya. Ketika Shila pergi, Billy mencari kunci rumah Nenek Carol. Ia pun berhasil menemukannya. Di malam hari ia berhasil menyelinap masuk ke rumah Nenek Carol, katanya ramuan tersebut ditaruh di dapur. Ketika di dapur Billy kebingungan, karena banyak ramuan yang ditaruh di botol-botol. Akhirnya Billy mengambil ramuan yang tidak ada tulisannya.

Sesampainya di rumah Billy mencoba membuat karamel madu dan ternyata berhasil, tetapi ia belum mencoba menuangkannya di atas kue jeruk. Biar nanti menjadi kejutan ketika lomba.

Hari yang ditunggu-tunggu pun datang, Billy merasa yakin bahwa ia yang akan menjadi pemenangnya. Lomba berlangsung selama satu jam. Di menit-menit terakhir Billy sudah berhasil membuat kue jeruk dan karamel madunya. Setelah itu ia akan menuangkan karamel dan menghiasnya dengan taburan coklat crispy. Ketika menuangkan karamel madu, tiba-tiba kue jeruk yang sudah jadi meleleh, Billy menjadi panik dan semua peserta lomba terkejut.

Waktu untuk membuat kue pun habis, tidak ada kesempatan untuk memperbaiki kue buatan Billy. Ternyata Nenek Carol mengetahui bahwa Billy berusaha mencuri ramuan miliknya, karena Billy lupa menaruh kembali kunci rumah pada Shila. Billy mengambil ramuan yang salah. Dari sinilah Billy menyadari akan keserakahannya, ketamakannya. Semuanya membuat ia angkuh dan menolak pertolongan dari orang lain. Bukan menjadi yang terbaik malah kue buatannya yang hancur.

Tiga Pesan Singkat


Ibu masuk rumah sakit tadi sore, doakan supaya cepat sembuh.

Pesan singkat kuterima beberapa menit yang lalu dari ayah. Tiba-tiba kakiku lemas, sekujur tubuhku kaku. Untuk kesekian kalinya ibu dirawat di rumah sakit dan lagi-lagi aku hanya mendapat kabar dari sms, sama sekali tidak bisa menemaninya. Bahkan aku pernah mendapat kabar setelah ibu keluar dari rumah sakit. Jika seperti ini, rasanya aku ingin cepat-cepat lulus kuliah dan lekas pulang dari perantauan untuk merawat ibu. 

Kasian ayah, hanya ia yang merawat ibu selama sakit. Berbelanja ke pasar membeli makanan, bolak-balik mengurusi registrasi rumah sakit. Tiba-tiba aku membayangkan jika ibu tidak ada, lalu siapa yang menemani ayah? Siapa yang mengurusi ayah? Tidak terasa air mataku jatuh satu persatu. Pernah suatu hari kedua orang tuaku sakit, mereka berdua terbaring lemas berdua di rumah. Aku menangis sesak mendengarnya, seandainya ketika itu aku berada di rumah pasti tidak akan seperti ini.

Ibu sakit apa yah? Kok sampai dirawat di rumah sakit? Semoga mama cepat sembuh, semoga ibu dan ayah bisa sehat selalu.

Kutekan tombol send, beberapa saat kemudian pesanku terkirim. Pasti jawaban ayah bahwa ibu baik-baik saja, hanya kurang istrirahat.

Ibu cuma kecapean, asam lambungnya naik, insyaallah besok lusa sudah pulang ke rumah.

Waktu ibu masuk rumah sakit sebelum ini, jawaban ayah sama persis seperti ini. Akan tetapi ketika ku menanyakan kepada sepupuku via telepon, “Pertamanya emang uwak kecapaian, terus kan toko abis di cat jadinya bau gitu, bikin sesak nafas. Makanya pas di Karawang udah masuk klinik pas sesak nafas, eh pas pulang ke Jakarta teh kambuh deui. Juga faktor ada kiriman dari tetangga.”

“Kiriman apa Ri?” tanyaku.

“Kiriman ghaib lah teh Lia, guna-guna dari tetangga seberang toko, kan emang suka gitu.”

Tetangga depan toko keluargaku di Karawang memang bermasalah. Padahal keluargaku tidak pernah membuat masalah dengan mereka. Memang di Karawang soal ilmu hitam seperti itu sudah biasa, dengki sedikit langsung diguna-guna. Akan tetapi di samping itu ibu memang sudah tua, sering kecapaian, makannya pun sedikit. Ibu jarang makan nasi, cenderung lebih suka makan makanan ringan, seperti siomay, bakso, dan lainnya. Beda denganku yang jika lapar harus makan nasi. 

Jadi teringat, dulu ketika kecil aku sering sakit-sakitan. Ibu selalu khawatir dengan kesehatanku, padahal sekarang aku lebih sehat ketimbang dahulu. Apalagi semenjak aku tinggal di pesantren, terbiasa dengan banyaknya kegiatan, makan apa adanya, semuanya diurus sendiri. Porsi makanku pun lebih banyak, dulu waktu kecil susah sekali disuruh makan, maka dari itu sering sakit-sakitan.

Pernah suatu hari ketika itu aku sedang berlibur di rumah, aku terkena demam. Malamnya aku ketiduran di depan televisi, ibu memegang keningku. Ketika menyadari aku terkena demam ibu menyelimutiku dan tidur di sampingku sampai pagi hari. Padahal aku cuma sakit demam, maka dari itu setiap sakit aku tidak pernah mengabarinya, takut membuatnya khawatir. Memang ibu selalu khawatir denganku, mengingat fisikku yang lemah, bahkan ketika ia kelelahan tetap tidak ingin menyerahkan pekerjaannya kepadaku.

Ibu selalu berpesan kepada kakak untuk menjagaku, mengurusiku selama jauh dari orang tua, karena menurutnya melihatku tumbuh besar sebuah anugrah baginya. Kakak pun berkata seperti itu, aku bisa hidup sampai sekarang pun sudah bersyukur sekali, karena melihat masa kecilku yang dihabiskan di rumah sakit. Maka dari itu aku ingin sekali menamani ibu di kala sakit, sebagaimana ibu merawatku dulu.

Mengingat semua pengorbanan ibu, aku merasa malu belum bisa membalas secuil pun. Walaupun aku mengumpulkan berkarung-karung emas, rasanya belum seimbang dengan apa yang diberikan ibu kepada anak-anaknya. Aku hanya bisa memberikan doa kepadanya, menjadi anak yang baik, belajar dengan baik supaya kedua orang tuaku bangga atas buah didikannya.

Ibu sudah pulang dari rumah sakit, tapi masih harus banyak istirahat.

Pesan singkat yang kuterima setelah dua hari mendapat kabar ibu sakit. Terima kasih ya Allah telah mengabulkan doa-doaku untuknya. Semoga kedua orang tuaku sehat selalu.

Ayah, bilang sama ibu istirahat yang banyak, makan yang banyak juga. Ayah juga jaga kesehatan, semoga ayah dan ibu selalu sehat.

Kristal Pelangi


“Shanty, habiskan bubur gandummu!” seru Mom.

“Tapi mom kan tahu kalau aku tidak suka,” bantahku.

“Ini demi kesehatanmu sayang, pokoknya kalau buburnya masih utuh ketika mom pulang, buku-buku dongengmu akan mom sita.”

Aku mencibir mendengar ancaman mom barusan. Kenapa mom suka sekali menyuruhku menghabiskan bubur gandum. Padahal jelas-jelas aku benci dengan makanan tersebut. Mom tetap saja bersikeras memaksaku untuk menghabiskannya setiap hari. Aku lebih suka pancake buatan mom atau roti croissant yang diolesi keju untuk sarapan, tetapi mom tidak akan membiarkanku menyentuh kedua makanan tersebut sebelum kuhabiskan bubur gandum.

Mom sengaja mengancamku akan menyita buku-buku dongeng yang kini tengah berserakan di hadapanku. Baru saja kemarin Paman Leigh datang ke rumah dan membawakan satu tas penuh dengan buku-buku dongeng kesukaanku. Aku terlalu asik dengan barang baruku sehingga membiarkan bubur gandum di hadapanku dingin. Tentu saja itu membuat mom jengkel, aku berniat akan membuat bubur tersebut setelah mom pergi dari rumah.

Mataku sedari tadi terpaku dengan sebuah judul yang sangat unik diantara judul-judul buku di hadapanku. Judulnya adalah Kristal Pelangi. Unik dan cukup berhasil mengalihkan perhatianku kepadanya. Disitu menceritakan tentang seorang penyihir yang mempunyai kristal pelangi dan hanya dia satu-satunya yang mempunyai benda hebat tersebut. 

Kristal pelangi bukan sembarang kristal, bentuknya seperti dua peluru kembar, disebut pelangi karna benda tersebut mengeluarkan beberapa warna. Jika menyebutkan keinginan kita di hadapan benda itu, maka akan terkabul setelah 10 menit. Aku sangat berharap kristal pelangi menjadi kenyataan dan akan memintanya supaya mom berhenti memaksaku menghabiskan bubur gandum.

Kulirik jam dinding di hadapanku, menunjukkan pukul 1 siang, bentar lagi mom akan datang. Oh iya, aku lupa belum membuang bubur gandum sebelum mom datang. Di saat aku kebingungan mencari tempat pembuangan yang aman,tiba-tiba bel rumah berdering. Aku panik, pasti itu mom. Kubuang ke luar jendela dan berniat sehabis ini akan membersihkannya sebelum mom menyadarinya. Ketika pintu dibuka ternyata bukan mom, seorang wanita muda mirip penyihir yang ada di buku dongeng. Aku tercengang beberapa saat, sampai akhirnya dia menyapaku.

“Hai, aku Emily! Kebetulan aku lewat depan rumahmu dan ingin meminta izinmu untuk meminjam toiletmu sebentar,” ujarnya dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

“Oh i..i..iyaa, silahkaan masuk,” jawabku dengan terbata-bata.

Berkali-kali kucubit kedua belah pipi, terasa sakit. Aku sedang tidak bermimpi. Setelah ia selesai memakai toilet, aku mempersilahkannya duduk dan memberikan segelas lemon hangat. Ternyata orangnya sangat ramah, kami berbincang-bincang dan sepertinya ia mulai menyukaiku.

“Kau anak yang baik Shanty, sebagai hadiah kamu boleh mengatakan satu permintaan yang nanti akan kukabulkan.”

Tidak lama kemudian ia mengeluarkan sebuah kristal berbentuk dua peluru kembar yang memancarkan beberapa warna. Kristal pelangi!

“I..ini kristal pelangi?”

“Yup, kamu benar. Ayo, katakan permintaanmu sekarang.”

Tanpa pikir panjang langsung kukatan pemintaan yang sedari tadi menggelayut di pikiranku, “Aku ingin mom berhenti memaksaku untuk menghabiskan bubur gandum.”

“Permintaanmu akan terkabulkan setelah 10 menit. Baiklah sepertinya aku harus pamit anak manis, terima kasih atas jamuannya.”

“Emily, bolehkah kau memberi tahuku dimana aku bisa menemuimu?”

“Pergilah ke bukit kembar di ujung sana ketika matahari tepat di atas kepalamu.”

Setelah 10 menit kepergian Emily, mom pulang. Mom hanya tersenyum melihat mangkuk bubur kosong, untungnya tadi sepeninggal Emily aku sempat membersihkan bubur yang berserakan di luar jendela. Keesokan harinya aku tidak mendapati semangkuk bubur gandum di meja makan ketika sarapan, hanya ada roti croissant dan pancake buatan mom. Hatiku menjerit bahagia, aku harus berterima kasih kepada Emily. Akhirnya hidupku bebas dari bubur gandum.

Ternyata sampai beberapa hari selanjutnya semangkuk bubur gandum tetap tidak tersaji di meja makan. Aku bebas menyantap pancake dan roti croissant sesukaku. Sampai pada suatu hari aku merasakan perih pada lambungku. Lama-kelamaan semakin menusuk-nusuk lambungku. Sambil menahan sakit, aku berjalan menuju kamar mom memintanya obat. Ternyata mom tidak ada di kamar, lalu aku pergi ke dapur mengobrak-abrik kotak obat-obatan, mungkin ada yang bisa mengurangi rasa sakitku.

Tiba-tiba sebuah kertas jatuh, sepertinya resep dari dokter. Disitu tertera namaku, juga tertulis bahwa ada infeksi di lambungku. Obatnya adalah mengkonsumsi bubur gandum setiap pagi. Aku terkejut, selama ini mom menyembunyikannya. Selama ini mom hanya mengatakan bahwa bubur gandum baik untuk kesehatan. Aku melihat mom sedang duduk terdiam di ruang keluarga.

“Mom, kenapa harus merahasiakan semua ini kepadaku?” tanyaku.

Mom hanya terdiam dan tidak bergeming. Pandangannya lurus ke arah televisi. Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya, tetap saja mom terdiam. Kuperiksa detak jantungnya dan ternyata normal. Keringat dingin membasahi pelipisku, aku baru ingat di buku dongeng tertulis bahwa sihir dari kristal pelangi ada efek sampingnya. Mungkin inilah efek samping dari sihir tersebut. Aku panik bukan main. Akhirnya dengan keadaan lambung yang semakin parah, aku berniat pergi menuju bukit kembar menemui Emily sebelum matahari berjalan melewati kepalaku. 

Dengan terseok-seok akhirnya aku sampai di bukit kembar. Aku ragu bisa mendakinya dengan keadaan seperti ini. Kucoba mendaki bukit tersebut pelan-pelan, langkah demi langkah menuju puncak. Beberapa saat kemudian tiba-tiba lambungku seperti ditusuk sembilu, badanku oleng dan akhirnya terperosok jatuh.

“Shanty, bangun sayang. Kenapa buburnya masih utuh?”

Kubuka kedua kelopak mataku, ternyata mom. Aku menatap kikuk sekelilingku, mangkuk berisi bubur gandum masih utuh di hadapanku. Buku dongeng berjudul Kristal Pelangi pun menjadi alas tidurku. Ternyata semuanya hanya mimpi.

“Maaf mom, tadi ketiduran tapi aku akan menghabiskannya sekarang,” seruku.

Kali ini aku berjanji akan menghabiskan bubur gandum setiap pagi dan tidak akan menyisakannya sedikit pun. Tanpa kusadari ada yang memperhatikanku di balik jendela.