Pages

Labels

Jumat, 09 Mei 2014

Sudut Lain dari Seorang Lelaki


Entah mengapa kumerasakan kehangatan menjalari tubuhku secara tiba-tiba. Lama kelamaan bukan hangat lagi, melainkan panas. Sebelum kumenemukan penyebab itu semua ada suara teriakan tepat di telingaku, “Woy, bangun! Ada kebakaran!”

“Ya, ampun! Mana kebakarannya? Mana?” teriakku panik.

“Hahaha.”

Bukannya menemukan tempat kebakaran, malahan aku melihat seorang perempuan mirip denganku sedang tertawa mengejek melihat tingkahku barusan. Rupanya ada yang sedang mengerjaiku. Aku mendengus kesal. Kulihat jendela kamar yang tepat di atas tempat tidur terbuka, sinar matahari masuk menyinari sebagian besar kasur. Ternyata ini yang membuatku terasa terbakar dan manusia yang sedang terpingkal-pingkal ini yang melakukannya.

“Stop Kak Helen, ini sama sekali tidak lucu!” seruku sambil melempar bantal ke wajahnya.

“Ampun putri tidur, abisnya kamu susah sekali untuk dibangunkan Key,” jawabnya masih dengan sisa-sisa tawanya.

“Ngomong-ngomong kok bisa kamu ada disini? Bukannya kamu masuk kantor jam segini?”

“Kamu lupa ya? Besok kan ada nikahannya Ila sepupu kita. Sengaja aku berangkat dari Jakarta pagi-pagi biar siangnya kamu bisa ajak aku jalan-jalan di Bandung.”

“Ah, tapi aku ngantuk, kamu jalan-jalan berdua aja sama Kak Dani,” ujarku sambil menarik kembali selimut.

Kak Helen membuka selimutku dengan paksa, “Aku ke Bandung sendirian, ayo cepat mandi.”

Aku terkejut. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.

Setelah puas mengitari Cihampelas Walk, akhirnya kami mampir di salah satu cafe.

“Ada apa sih yang terjadi sama Kak Dani?” tanyaku.

“Kok kamu langsung nembak kakak dengan pertanyaan itu, Key?” tanya Kak Helen balik.

“Abisnya tumben-tumbennya nafsu shopping kakak hilang, daritadi muter-muter nggak ada satu toko yang dimasukkin.”

“Sebenernya aku lagi nggak berantem sama Dani, cuma ya lagi capek aja sama dia.”

“Lagian sih senengnya pacaran sama Bad boy, itu resikonya kak.”

“Ih, siapa yang suka sama Bad Boy, namanya suka sama orang ya nggak bisa dipilih-pilih.”

“Ya keliatan kali kak, dari semua cowok yang kakak taksir.”

Jika sudah berkumpul, kami berdua suka asik sendiri. Terutama berbicara tentang lelaki. Sebelumnya Kak Helen janji akan datang ke Bandung bersama Kak Dani sekalian memperkenalkan dengan orang tua kami, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Sudah hampir setahun Kak Helen berhubungan dengan Kak Dani, tetapi ia tetap merasa asing dengan sosok pria tersebut. Seperti ada suatu ruang yang tidak bisa dimasuki, bahkan siapapun tidak akan diizinkan untuk melangkahkan kaki ke dalamnya.

“Ya, kadang-kadang dia tuh romantis, perhatian, terkadang juga dia menghilang, sering mendapatkan telepon dari wanita yang katanya teman kantornya,” ujar Kak Helen.

“Kan sudah aku bilang, Kak Dani itu tipe lelaki yang tidak bisa ditebak, kayak ada bagian dirinya yang tidak bisa kita sentuh. Bisa dibilang cowo misterius,” kataku.

“Tetapi menurutku semua lelaki itu pasti memiliki ruang di dalam hatinya yang tidak bisa disentuh oleh orang lain. Pernah kan ada yang bilang kalau hati perempuan itu abstrak dan menurutku ruangan tersebut itu lebih abstrak dari seluruh keabstrakan di muka bumi ini,” lanjutku lagi.

“Ih, lebay kamu.”

“Loh, serius kak, trust me.”

Lalu kami terdiam, kami berdua hanyut dalam pikiran masing-masing sambil menikmati udara sore hari yang khas. Kami berdua selalu suka momen-momen seperti ini. Duduk di teras cafe, memesan satu coklat panas dan satu capucino. Menghirup dalam-dalam bau angin semilir di sore hari sambil merenung dan berbagi cerita.

“Jadi sebenarnya kakak lagi nggak marahan sama Kak Dani?”

“Enggak Key, cuma aku masih menangkap keraguan dari dia.”

“Jangan suka menyimpulkan dulu kak, belum tentu seperti itu.”

“Entahlah, Key. Aku memang pernah berbuat salah sama dia, tapi aku sudah minta maaf dan dia memaafkannya. Tiba-tiba ia bersikap dingin sekali terhadapku setelah itu, kepalaku hampir pecah mengingat-ingat, mungkin ada sikapku yang salah. Well, akhirnya aku menyerah dan berangkat ke Bandung sendirian tanpa memintanya ikut pergi bersama.”

“Itulah lelaki. Kelihatannya wanita yang paling pintar menyembunyikan perasaan kan? Juga bahwa perasaan perempuan itu abstrak, tidak bisa ditebak. Tetapi menurutku ruang kecil itu lebih abstrak. Walaupun terlihat dia begitu mencintai kita, dengan sejelas-jelasnya perasaan tersebut, akan tetapi kita masih belum bisa menebak isi ruang kecil tersebut.”

Beberapa menit kemudian, handphone Kak Helen berdering.

“Dani menelpon,” ujarnya.

See, lelaki itu memang abstrak,” jawabku.