Entah mengapa kumerasakan kehangatan menjalari tubuhku
secara tiba-tiba. Lama kelamaan bukan hangat lagi, melainkan panas. Sebelum
kumenemukan penyebab itu semua ada suara teriakan tepat di telingaku, “Woy,
bangun! Ada kebakaran!”
“Ya, ampun! Mana kebakarannya? Mana?” teriakku panik.
“Hahaha.”
Bukannya menemukan tempat kebakaran, malahan aku melihat
seorang perempuan mirip denganku sedang tertawa mengejek melihat tingkahku
barusan. Rupanya ada yang sedang mengerjaiku. Aku mendengus kesal. Kulihat
jendela kamar yang tepat di atas tempat tidur terbuka, sinar matahari masuk
menyinari sebagian besar kasur. Ternyata ini yang membuatku terasa terbakar dan
manusia yang sedang terpingkal-pingkal ini yang melakukannya.
“Stop Kak Helen, ini sama sekali tidak lucu!” seruku sambil
melempar bantal ke wajahnya.
“Ampun putri tidur, abisnya kamu susah sekali untuk
dibangunkan Key,” jawabnya masih dengan sisa-sisa tawanya.
“Ngomong-ngomong kok bisa kamu ada disini? Bukannya kamu
masuk kantor jam segini?”
“Kamu lupa ya? Besok kan ada nikahannya Ila sepupu kita.
Sengaja aku berangkat dari Jakarta pagi-pagi biar siangnya kamu bisa ajak aku
jalan-jalan di Bandung.”
“Ah, tapi aku ngantuk, kamu jalan-jalan berdua aja sama Kak
Dani,” ujarku sambil menarik kembali selimut.
Kak Helen membuka selimutku dengan paksa, “Aku ke Bandung
sendirian, ayo cepat mandi.”
Aku terkejut. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.
Setelah puas mengitari Cihampelas Walk, akhirnya kami mampir
di salah satu cafe.
“Ada apa sih yang terjadi sama Kak Dani?” tanyaku.
“Kok kamu langsung nembak kakak dengan pertanyaan itu, Key?”
tanya Kak Helen balik.
“Abisnya tumben-tumbennya nafsu shopping kakak
hilang, daritadi muter-muter nggak ada satu toko yang dimasukkin.”
“Sebenernya aku lagi nggak berantem sama Dani, cuma ya lagi
capek aja sama dia.”
“Lagian sih senengnya pacaran sama Bad boy, itu
resikonya kak.”
“Ih, siapa yang suka sama Bad Boy, namanya suka sama
orang ya nggak bisa dipilih-pilih.”
“Ya keliatan kali kak, dari semua cowok yang kakak taksir.”
Jika sudah berkumpul, kami berdua suka asik sendiri.
Terutama berbicara tentang lelaki. Sebelumnya Kak Helen janji akan datang ke
Bandung bersama Kak Dani sekalian memperkenalkan dengan orang tua kami, tetapi
yang terjadi malah sebaliknya. Sudah hampir setahun Kak Helen berhubungan
dengan Kak Dani, tetapi ia tetap merasa asing dengan sosok pria tersebut.
Seperti ada suatu ruang yang tidak bisa dimasuki, bahkan siapapun tidak akan
diizinkan untuk melangkahkan kaki ke dalamnya.
“Ya, kadang-kadang dia tuh romantis, perhatian, terkadang
juga dia menghilang, sering mendapatkan telepon dari wanita yang katanya teman
kantornya,” ujar Kak Helen.
“Kan sudah aku bilang, Kak Dani itu tipe lelaki yang tidak
bisa ditebak, kayak ada bagian dirinya yang tidak bisa kita sentuh. Bisa
dibilang cowo misterius,” kataku.
“Tetapi menurutku semua lelaki itu pasti memiliki ruang di
dalam hatinya yang tidak bisa disentuh oleh orang lain. Pernah kan ada yang
bilang kalau hati perempuan itu abstrak dan menurutku ruangan tersebut itu
lebih abstrak dari seluruh keabstrakan di muka bumi ini,” lanjutku lagi.
“Ih, lebay kamu.”
“Loh, serius kak, trust me.”
Lalu kami terdiam, kami berdua hanyut dalam pikiran
masing-masing sambil menikmati udara sore hari yang khas. Kami berdua selalu
suka momen-momen seperti ini. Duduk di teras cafe, memesan satu coklat panas
dan satu capucino. Menghirup dalam-dalam bau angin semilir di sore hari sambil
merenung dan berbagi cerita.
“Jadi sebenarnya kakak lagi nggak marahan sama Kak Dani?”
“Enggak Key, cuma aku masih menangkap keraguan dari dia.”
“Jangan suka menyimpulkan dulu kak, belum tentu seperti
itu.”
“Entahlah, Key. Aku memang pernah berbuat salah sama dia,
tapi aku sudah minta maaf dan dia memaafkannya. Tiba-tiba ia bersikap dingin sekali
terhadapku setelah itu, kepalaku hampir pecah mengingat-ingat, mungkin ada
sikapku yang salah. Well, akhirnya aku menyerah dan berangkat ke Bandung
sendirian tanpa memintanya ikut pergi bersama.”
“Itulah lelaki. Kelihatannya wanita yang paling pintar
menyembunyikan perasaan kan? Juga bahwa perasaan perempuan itu abstrak, tidak
bisa ditebak. Tetapi menurutku ruang kecil itu lebih abstrak. Walaupun terlihat
dia begitu mencintai kita, dengan sejelas-jelasnya perasaan tersebut, akan
tetapi kita masih belum bisa menebak isi ruang kecil tersebut.”
Beberapa menit kemudian, handphone Kak Helen
berdering.
“Dani menelpon,” ujarnya.
“See, lelaki itu memang abstrak,” jawabku.