Pages

Labels

Rabu, 28 Agustus 2013

Buku Dongeng untuk Zaky



Tiba-tiba aku geram  melihat tingkah Zaky, anakku sendiri. Bagaimana tidak, setiap hari bahkan menit dia terus merengek kepadaku. Dia meminta handphone touch screen atau yang berbentuk tablet seperti yang sedang marak sekarang. Tetangga samping rumahku baru saja membeli tablet, Zaky sering main kesana karena anaknya, Adit teman bermain anakku. Juga anaknya yang paling besar, teman-temannya suka berdatangan membawa handphone touch screen
 
Zaky sering dipinjami untuk bermain game, macam-macam game seru tersedia. Memang handphone touch screen memudahkan kita dalam bermain game, cukup dengan setuhan layar bisa menggerakan benda yang ada di dalamnya, tidak perlu sibuk menekan-nekan tombol. Akibatnya, Zaky selalu tidak mau disuruh pulang, ketika berhasil kupaksa pulang, dia merengek sepanjang hari.

“Pokoknya Zaky mau hape yang kayak punya Adit!” teriak Zaky.

“Maen gamenya pake handphone Ayah aja ya sayang,” bujukku.

“Nggak mau! Mau yang layarnya bisa disentuh,” rengeknya.

“Ibu nggak punya duit buat beli sayang”.

“Pokoknya mau yang kayak punya Adit ibuuuuu!”.

Kalau sudah begini kuacuhkan tangisannya, pandangan tetap fokus dengan acara gosip di televisi. Zaky menarik-narik lenganku, sebenarnya aku tidak tega. Akan tetapi, mau diapakan lagi. Rumah saja masih kontrakan, makan seadanya. Suamiku hanya bekerja sebagai guru honor yang gajinya tidak seberapa. Aku hanya menerima cathering kue-kue, itu pun kalau banyak pesanan. Uang hanya cukup untuk makan, bayar kontrakan dan segala kebutuhan seperti sabun dan lain-lain.

Zaky tertidur setelah kecapaian menangis seharian. Kuangkat tubuhnya yang mungil ke atas kasur. Lalu bergegas memasak air panas, suamiku bentar lagi pulang kerja. Aku terkadang kasihan dengannya, sepulang mengajar dia bekerja di tempat lain untuk cari tambahan. Susah mencari pekerjaan zaman sekarang, apalagi aku yang hanya lulusan SMA. Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu diketuk.

“Mau makan atau mandi dulu mas?” tawarku.

“Makan aja deh, Zaky mana?” tanyanya.

“Udah tidur mas,” jawabku sambil mengambilkan piring untuknya.

“Mas, si Zaky akhir-akhir ini suka ngerengek minta dibelikan handphone touch screen, aku bingung mas jawabnya, dia nangis terus seharian”.

“Ya kamu jelasinlah Ira, kalau aku nggak bisa membelikannya”.

“Udah mas, namanya anak kecil mana paham. Disuruh pulang dari rumah Adit dia berontak nggak mau pulang sebelum dibeliin hape kayak punya temannya, aku malu mas diliatin tetangga”.

“Nanti biar aku yang bilangin Zaky”.

Aku sedikit kesal dengan suamiku, dia tidak merasakan bagaimana mendengar rengekan Zaky setiap waktu. Ya, memang tugas dia lebih berat mencari nafkah, tetapi aku tidak kuat. Lama-lama aku bisa gila, terkadang aku menyesali kecerobohanku, kenapa ku izinkan Zaky bermain dengan Adit. Adit anak seorang yang kaya raya, dulu Zaky pernah merengek minta dibelikan robot-robotan mahal seperti punya Adit. Akhirnya kubelikan robot plastik murahan yang ada di pasar. Dia marah, lalu membuangnya.

                                                                     ***
Hari ini aku sudah bertekad untuk mengajak Zaky jalan-jalan ke pasar, membelikannya kue-kue kesukaannya supaya dia tidak bermain ke rumah Adit. Akan tetapi rencanaku gagal total, karena Zaky keluar rumah tanpa sepengetahuanku. Segera ku berlari ke rumah sebelah. Benar, Zaky sedang bermain game disana. Ku tarik tangannya, dia berontak. Langsung kuambil tubuh mungilnya, kugendong ke rumah. Sesampai di rumah, Zaky tidak mau makan dan terus menangis.

“Zaky sayang, makan ya,” bujukku.

Dia menggeleng.

“Makan! Kamu tuh belum makan dari pagi!” bentakku sambil menjejali nasi ke mulutnya.

Dia memuntahkan nasi yang ku sumpalkan ke mulutnya. Kukunci rapat pintu rumah dan masuk ke kamar, ku biarkan Zaky menangis di ruang tamu. Tidak terasa air mata jatuh bercucuran, menyesali sudah membentak anakku sendiri. Aku terbawa emosi. Ku buka pintu kamar sedikit, ku lihat Zaky sudah tertidur di lantai. Ku bopong dia ke kamar, berkali-kali aku menciumnya dan meminta maaf.

                                                                       ***
“Ira, jam berapa kamu mau kesini?” Tanya Hanum, temanku di telepon.

“Ini aku sudah siap, baru selesai pakaikan baju Zaky,” jawabku.

“Okeh kalau begitu, sudah ku sms alamatku”.

Hari ini aku dan Zaky berencana mengunjungi rumah Hanum, dia temanku ketika SMA. Rumahnya tidak jauh dari sini, hanya mengendarai angkutan umum sekali saja. Tumben sekali Zaky tidak merengek atau kabur ke rumah Adit hari ini, karena sejak semalam sudah ku beritahu bahwa aku akan mengajaknya jalan-jalan.

“Ya ampun kangeeeenn! Kamu masih cantik seperti dulu Ra, kayak belum punya anak,” seru Hanum sambil memelukku.

“Ah, bisa aja kamu Hanum,” ujarku sambil melepas pelukannya.

“Ini pasti Zaky, gantengnya,” sapanya sambil mencubit pipinya.

“Ini Rara anakku, seumuran juga sama Zaky”.

“Mirip banget sama suami kamu”.

“Hahaha kamu sama aja kayak orang-orang”.

Hanum beruntung sekali, mendapat suami seorang pengusaha, wajar rumahnya besar tidak seperti kontrakanku. Dia juga sekarang sibuk menulis-nulis artikel di berbagai media sambil menjadi ibu rumah tangga. Memang sih aku lebih cantik darinya, tetapi dia lebih pintar dari aku. Dia meneruskan kuliah hingga ke jenjang S2, sedangkan aku saja malas untuk kuliah. Sibuk pacaran dan akhirnya memutuskan untuk menikah, terpaksa karena janin Zaky sudah berada di perutku.

Ada tempat bermain sendiri untuk anaknya, kulihat banyak buku dongeng anak-anak, mainan bongkar pasang dan sebagainya. Menonton televisi juga diporsi, sehari hanya dua jam, selebihnya tidak diperbolehkan. Beda dengan Zaky, bisa seharian dia menonton kalau tidak kupaksa tidur malam hari. Tidak ku lihat Rara bermain gadget seperti apa yang direngekan Zaky.

“Aku kebingungan nih, gara-gara si Zaky sering main ke tetangga sebelah, dia sering merengek minta dibelikan tablet. Aku kebingungan, buat sehari-hari saja pas-pasan,” keluhku.

“Anak kecil itu tergantung lingkungan Ra, kalau lingkungannya pada suka main gadget dia akan terpengaruh, maka dari itu sejak kecil Rara sudah ku jejalkan buku-buku cerita supaya dia suka membaca dari kecil,” jelasnya.

Aku jadi menyesali kebodohanku sebagai seorang ibu, baru menyadari betapa pentingnya pengetahuan untuk seorang ibu. Menjadi seorang ibu tidak hanya berkutat dengan urusan dapur, mencuci popok anak, tetapi juga mengatur pendidikan anak. Aku juga menyesal mengapa aku tidak melanjutkan kuliah, padahal keluargaku mampu membiayaiku.

Sepulang dari sini aku berniat mampir ke toko buku bekas, disana banyak buku-buku dongeng anak-anak. Aku bertekad jika punya uang lebih akan kubelikan buku dongeng baru untuk Zaky.

Senin, 26 Agustus 2013

Sepucuk Surat dari Reina



“Kak Bila, pulang lah ke rumah, bunda nanyain terus,” kata Reina.
 
“Pasti bunda mencari teman buat ngebela dirinya, udah deh Rei, kamu konsen aja sama pelajaran kamu, bentar lagi ujian kan?” jawabku.

“Bunda nggak nyuruh Rei bujuk kakak kok, ini inisiatif Rei sendiri, kan aku lagi jauh dari keluarga jadi khawatir sama Bunda dan Kak Bila”.

“Memang kamu pikir kakak nggak tau sifat bunda? Sudahlah Rei”.

Percakapan telepon dengan Reina tadi siang masih saja terngiang-ngiang. Kuperiksa handphoneku, sudah berpuluh-puluh missed call dari bunda. Semenjak dua hari yang lalu handphoneku tidak aktif, baru hari ini ku aktifkan. Langsung Reina dan bunda menelpon, bedanya aku tidak menjawab satu panggilan pun dari bunda.

Matahari sudah mulai beranjak meninggalkan ufuk, taman komplek sudah mulai terasa sepi. Ku lirik jam di pergelangan tanganku, sudah hampir maghrib. Segera ku beranjak dari tempat dudukku. Untung saja di komplek perumahan ini masih ada taman, bisa untuk jalan-jalan sore. Susah sekali mencari tempat sejuk di Jakarta, ingin rasanya pulang ke Malang, jalan-jalan sore bersama teman-teman kampus. Atau menjenguk Reina di pesantren, daripada aku membusuk di Jakarta.

“Darimana saja kamu sayang? Tante cari kemana-mana,” Tanya Tante Risna ketika baru saja aku tiba di rumah.

“Jalan-jalan di taman komplek aja tante, nyari angin hehe,” jawabku sekenanya.
“Tadi bundamu menelpon tante”.

“Semuanya aja ditelpon sama dia, tapi tante nggak keberatan kan selama liburan aku disini?”.

“Enggak sayangku, cuma tante kasian kamu kesepian sering ditinggal tante kerja”.
“Enggak apa-apa kok tante”.

Ku rebahkan tubuh ringkih ini di kasur, sudah berhari-hari aku jarang memasukkan makanan ke dalam tubuh ini. Berkali-kali Tante Risna menyuruhku makan, tetapi hanya beberapa sendok ku masukkan ke dalam mulut, itu  saja sehari sekali sudah untung. Biasa, penyakit stresku sedang kumat, setiap aku pulang ke Jakarta pasti berakhir seperti ini. Setiap orang pulang ke rumahnya masing-masing pasti merasa senang, tetapi sebaliknya denganku. Sengaja ku percepat kepulanganku dari Malang, tetapi malah mendapat terror ketika sampai di rumah.

Sudah tiga hari ini aku kabur dari rumah, baru sehari aku menginjakkan kaki di rumah, besoknya langsung tancap gas ke rumah Tante Risna. Ada saja ulah bunda, terlalu mengekang putri-putrinya. Aku jadi rindu ayah, semenjak meninggalnya ayah, bunda terlalu keras kepada anak-anaknya. Jika kami tidak menuruti kemauannya pasti akan mengomel sepanjang waktu. 

Jadi ceritanya bunda menyuruhku berhenti kuliah dan mengikuti bisnis bunda. Bunda mati-matian bisnis kesana-kemari, karena gaji dari rumah sakit tidak mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. Akan tetapi aku bersikeras ingin tetap melanjutkan kuliah. Tanggung, satu semester lagi, sehabis itu skripsi lalu lulus. Lagipula aku masih terlalu muda untuk menjalankan bisnis.

“Bisnis itu gampang, kamu kan nurun bunda, cukup pintar berbicara dan menarik produk bisnis kita. Nanti kamu ditempatkan di cabang Bandung. Semua di fasilitasi, gaji setiap seminggu,” ujar bunda panjang lebar.

“Tapi bunda, kuliahku tinggal satu semester lagi, setelah skripsi aku lulus,” kataku membela diri.

“Memang kamu yakin selepas kuliah bisa dapat pekerjaan? Kamu kan jurusan farmasi, paling-paling kerja di rumah sakit kayak bunda, gajinya kecil, mending kamu ikut bisnis bunda”.

Perdebatan semakin sengit, apalagi aku dan bunda sama-sama keras kepala. Akhirnya, karena tidak tahan, aku kabur ke rumah Tante Risna. Setelah itu bunda mengadu kepada Reina. Biasanya jika salah satu dari kita bertengkar dengan bunda, pasti ia akan mengadu kepada yang satunya lagi. 

                                                                    ***
Keadaan semakin memburuk, tadi pagi bunda kembali menelpon Tante Risna. Tetapi kali ini bunda marah besar. Semua omelan yang ada di pikirannya dikeluarkannya. Tante Risna sampai membujukku untuk pulang ke rumah. Dengan kemarahan bunda seperti itu malah membulatkan niatku untuk tidak menginjakkan kaki lagi di rumah. Siapa yang ingin pulang ke rumah disambut oleh sekarung omelan?.

Aku mengurung seharian di kamar, handphone ku matikan. Mataku sembab, seharian itu juga aku menangis terus menerus. Keluar hanya ingin ke kamar mandi saja, tidak makan, hanya air putih yang membasahi tenggorokan dan lambungku.

                                                                  ***
Tumben-tumben sepagi ini tukang pos menaruh sepucuk surat di teras rumah, biasanya hanya tukang koran yang menaruh pesanan. Kupercepat langkahku kembali ke kamar takut tertangkap oleh tante. Bisa-bisa diintrogasi kemana-mana, apalagi dengan keadaan mata membengkak. Beberapa menit kemudian ada yang mengetuk pintu kamarku, dari suaranya seperti tante.

“Masuk aja tante,” seruku.

“Ini ada surat buat kamu dari Reina,” kata tante.

“Rei? Surat buat aku?”.

Tante hanya menganggukkan kepala. Penasaran, langsung kubaca surat tersebut setelah tante meninggalkan kamar.

Surabaya, 10 Juni 2013
Dear kakakku tersayang. Gimana kabarnya? Reina kangen banget sama Kak Bila. Sebenarnya Reina pengen banget ada disana, nemenin Kak Bila. Kakak tahu? Sebelum Rei telepon kakak, bunda memang menceritakan semuanya sama Rei. Kakak, cobalah buka sedikit hati kakak, jangan terlalu emosi. Kita sama-sama tau kalau bunda sudah punya keinginan harus diturutin, tetapi kalau kita tidak mau ya bukan lantas kita membantahnya secara mentah-mentah, apalagi sampai kabur ke rumah tante. Dulu juga Rei pernah seperti kakak dipaksa oleh bunda, tetapi Rei mencoba bicara kepada bunda baik-baik. Buktinya bunda mengerti dan enggak pernah maksa Rei lagi. Sekali-kali lah kak kita mengalah dengan bunda, mungkin bunda sedang bingung aja. Ya kakak tau kalau keuangan di keluarga kita semakin menurun, wajar bunda sampai memaksa kakak ikut bisnisnya. Kakak tau? Bunda sangat sayang sama Kak Bila. Dulu sewaktu kakak di pesantren, selepas gajian bunda langsung cepat-cepat pergi ke bank untuk mengirim uang buat kakak. Padahal waktu itu Rei juga belum bayar sekolah. Kakak sering dapat paket dari bunda kan? Sekarang Rei dapat paket jarang, paling-paling cuma beberapa produk dari bisnis bunda. Mungkin bunda sedang kesepian sekarang, harusnya kita sebagai anak bisa mengerti posisi bunda. Kakak janji sama Rei ya, jangan kabur dari rumah lagi. Rei sayang banget sama Kak Bila dan bunda. Sebisa mungkin kita bisa jaga bunda, satu-satunya orang tua yang kita miliki sekarang. Semoga Kak Bila dan bunda bisa akur lagi, Rei juga bisa tenang ujiannya. Love you all!
                                                                                                                                                                              Reina

Kertas surat yang ku genggam sudah basah kuyup oleh air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya. Merasa menyesal, sedih, rindu, semuanya campur aduk. Setelah waktu yang lama aku menangis, aku pun menghampiri Tante Risna.

“Tante, aku ingin pulang”.

                                                                        ***
“Kak Bilaaaa…aku bisa ujiannya! Mana hadiahnya?” teriak Reina setibanya di rumah.

“Sebelum ngasih hadiah mau baca surat dari seseorang ah,” ujarku menggodanya.

“Ih, Kak Bila, nggak usah dibaca ah!”.

“Ah, mau baca ah”.

Reina memukuliku.

Minggu, 11 Agustus 2013

Hadiah untuk Si Bungsu




Siapa bilang jabatan seorang adik bak tuan putri di dalam rumah? Di cerita mana pun pasti menceritakan bahwa kakak adalah orang yang paling sengsara semenjak kedatangan orang yang  bernama adik. Buktinya justru aku si bungsu yang paling sengsara di rumah ini. Aku mempunyai 4 kakak perempuan, mungkin jika mereka semua laki-laki nasibku akan happy ending seperti cerita Aisyah Putri, beruntung sekali dia. Jelas sekali, jika mempunyai 4 kakak laki-laki aku akan menjadi tuan putri kesayangan mereka, dikawal kemana-mana. Berbeda dengan kakak-kakakku, mereka semua lebih mirip Pipiyot, nenek sihir di cerita Nirmala.

“Kaylaaaa…! Kamu ya yang make lotion kakak ya? Dibilangin itu tuh mahal, kamu masih kecil, nggak usah make gituan, kecentilan!” teriak kakakku nomer satu. Belum sempat ku jawab, ada teriakan tukang pecel.

“Eh, kuncrit! Kamu ya yang ngambil gelang kakak di atas kulkas? Itu tuh gelang dari pacar baru aku tau!” seru kakak nomer dua. Masa bodoh! Mau dari pacarnya, tukang ojek, satpam, memangnya urusanku! Dia sepertinya bakat menggantikan tukang pecel yang biasanya keliling di komplek ini. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang.

“Heh! Kembaliin buku novel yang di atas meja belajar kakak,” pinta kakak nomer tiga dengan jutek. Ketika kakak nomer empat ingin menghampiriku,

“Aaaaaaaaaaaa….!” Teriakku memenuhi rumah ini.

“Ada apa Kayla teriak-teriak?” Tanya Ibu.

“Di rumah ini banyak kuntilanak bu,” seruku sambil berlari menuju ke kamar dan langsung mengunci pintu rapat-rapat sebelum kuntilanak-kuntilanak mengamuk.

Kalian liat sendiri kan kelakuan 4 kakakku tadi? Wajar aku merasa paling sengsara di rumah ini. Kejadian seperti tadi hampir terjadi setiap hari. Mereka selalu menuduhku mengambil barang-barang mereka, belum sempat kujawab yang satu, yang lain berteriak. Coba mereka meminta baik-baik, aku akan menjawab semuanya, kalau seperti tadi namanya menuduh dan bisa dibilang suudzon

Lebih kesalnya, setiap ku adukan kepada ibu, dia hanya menjawab,

“Kalau kamu merasa meminjam barang-barang kakakmu ya kembalikan, kalau tidak ya bantu kakakmu mencarikan barangnya, mungkin mereka memang benar-benar butuh”.

Siapa yang sudi membantu orang yang berteriak bak cacing kepanasan sambil menuduh yang bukan-bukan? Aku yakin hanya orang yang tingkat kesabarannya 100 % dan aku belum yakin banyak orang yang seperti itu. Seharusnya ibu membelaku, menegur mereka  seperti, jangan nuduh sembarangan adikmu atau apa lah. Rasanya aku ingin mengecil seperti Thumbelina lalu menyusup keluar rumah, tetapi itu hanya khayalan konyol.

Jika saja ayah tidak sering ke luar kota, pastinya ada yang membelaku setiap saat.
“Coba kamu cari dulu barangnya, mungkin jatuh atau terselip, jangan langsung menuduh adikmu,” ujarnya pada saat itu. Hatiku langsung menari-nari dan memamerkan senyum kemenangan di hadapan mereka.

                                                                      ***
“Dor..dor..dor!” suara pintu kamarku, seperti orang kesurupan menggedor pintu.

“Kayla…bukaaa!” seru orang di luar sana, dari suaranya seperti nenek sihir penghuni rumah ini. Ku lirik jam di pergelangan tangan, masih jam 4 pagi. Apa-apaan sih mereka! Subuh aja belum, sudah ribut seperti orang ronda. Dengan nyawaku yang masih belum terkumpul kubuka pintu kamar, di balik pintu sudah ada drakula-drakula yang haus darah.

“Ada apaan sih teriak-teriak kayak kemalingan? Belum subuh tau!” seruku.

Mereka tidak memperdulikan ocehanku barusan, malah menerobosku memasuki kamar. Mengobrak-abrik lemariku, semuanya dibongkar oleh mereka seperti kesurupan. Jadi lah kamarku seperti tempat sampah.

“Apa-apaan ini! Maen berantakin kamar orang!” teriakku. Mereka tidak peduli.

“Ini dia ketemu!” seru kakak nomer satu.

“Sekarang si kucrit nggak bisa ngeles lagi,” ujar kakak nomer dua.

Mataku tertuju kepada kotak berwarna pink yang sedang dikuasai oleh kakakku nomer satu. Memang apa artinya kotak tersebut? Setahuku itu merupakan kotak kosong yang sengaja ku simpan di bawah tempat tidurku. Lalu mereka membuka kotak pink itu, di dalamnya ada lotion, gelang, novel, dan masih banyak lagi.

“Ini kan punyaku!” seru kakak nomer tiga.

“Ih, iya ketemu! Dasar klepto!” tuduh kakak nomer empat.

Kenapa bisa barang-barang mereka ada di kotak pink itu? Aku tidak pernah merasa menaruh barang-barang itu semua di dalamnya. Jangankan menaruh di dalamnya, menyentuh barang-barang mereka saja tidak pernah. Tiba-tiba kepalaku seperti ditusuk ribuan jarum, hampir saja tubuhku limbung. Belum sempat aku membela diri, ayah dan ibu memasuki ruangan dan ikut menghakimiku. 

“Ayah sama ibu percaya Kayla kan? Demi Allah, Kayla nggak pernah mengambil barang-barang kakak,” ucapku sambil mengelap keringat dingin yang bercucuran sejak tadi.

“Ayah tidak menyangka kamu melakukan ini semua, maaf ayah tidak bisa membelamu, karena kamu yang salah,” ujar ayah. Ibu hanya terdiam. Semua tatapan benci menghujamiku. Aku berharap hanya mimpi, ku cubit kedua pipi, sakit. 

“Ini fitnah! Kayla nggak pernah ngambil barang-barang itu! Pasti ada yang sengaja nuduh Kayla!” teriakku membabi buta. Ku cubit kedua pipi sekali lagi, kali ini keras sekali dan terasa sakit.

“Bangun kucrit, susah banget dibangunin,” ujar seseorang di telingaku. Dari suaranya seperti kakakku nomer dua. Ku buka kedua mataku perlahan, ternyata benar dia yang membangunkanku sambil mencubit kedua pipiku keras sekali.

“Selamat ulang tahun si bontot!” seru kakak nomer satu.

“Happy birthday to you, happy birthday to you,” kakak nomer tiga dan empat menyanyikannya.

Ada ayah dan ibu, mereka berdua membawa kue ulang tahun ke dalam kamar. Aku masih heran, ku lirik jendela kamarku, terang di luar sana. Jam di pergelangan tanganku menunjukan pukul 4 sore, ternyata tadi mimpi buruk di siang hari. Aku baru ingat, tadi sepulang sekolah kecapaian lalu tertidur.

“Abis mimpi apaan sih? Kok tadi teriak fitnah-fitnah gitu? Pasti nggak baca doa sebelum tidur,” Tanya kakakku nomer satu bertubi-tubi.

Aku hanya bisa tertawa, semuanya terheran-heran melihatku cekikikan. Baru sadar bahwa hari ini ulang tahunku, aku pikir mereka lupa. Jangankan hari ulang tahunku, barang-barang mereka sendiri saja lupa. Setelah bernyanyi-nyanyi, aku meniup lilin dan memotong kue ulang tahun. Sambil makan kue, satu-persatu mereka berempat meminta maaf kepadaku atas tuduhan-tuduhan selama ini.

“Maafin kita ya kecil, besok-besok kita janji deh nggak teriak-teriak nuduh kamu lagi,” ujar kakak nomer satu.

“Iya, Kayla maafin kok,” jawabku sambil tersenyum.

                                                                         ***
Keesokan harinya.

“Kaylaaaa…rok baru kakak kamu pinjam ya? Nggak ada di lemari tau!” seru kakak nomer satu.

“Nggak denger!” teriakku.

Jumat, 09 Agustus 2013

Seikat Mawar Putih di Sore Hari




“Kamu jahat!” seruku sambil memukul lengan Dani. Dia hanya tersenyum kepadaku.

“Berbulan-bulan aku di Bandung kamu diam saja, tau-tau sekarang sudah pergi ke Jakarta”.

“Kan ini udah ketemu, ya udah aku pergi dulu ya Linda, maaf nggak bisa nganter kamu ke Australia. Kamu baik-baik ya nanti disana, jangan nangis lagi,” ujarnya lembut sambil menyodorkan tisu untuk air mataku yang sudah meluber sedari tadi.

Feri menepuk pundakku, sedari tadi dia terdiam menyaksikan dua sahabatnya yang berpisah. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang tegap, khas seorang pendaki gunung. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba dia menoleh ke arahku.

“Lin, perempuan-perempuan yang sering komen di facebook itu temen semua, bukan siapa-siapa Dani”.

                                                                    ***
Kata-kata terakhir Dani terngiang-ngiang di telingaku, apa maksudnya dia berkata seperti itu kepadaku? Tiba-tiba aku membenci stasiun, dulu waktu aku dan Dani masih pacaran ini menjadi tempat perpisahan kami pertama kali. Ketika itu aku bersikeras ingin menaiki kereta pergi ke Jakarta, karena sudah lama tidak merasakannya. Aku menunggunya resah, karena sampai keretaku mulai melaju dia belum datang. Tiba-tiba handphoneku berdering.

“Lin, nengok ke Jendela ya,” perintah Dani.

Aku melihat dia melambaikan tangannya dengan senyuman yang khas.

“Hati-hati ya neng geulis, belajar yang baik,” ujarnya.

Begitulah sosok Dani, dia mempunyai kepribadian yang cuek, tetapi terkadang dia begitu romantis. Sayangnya itu dulu, karena sekarang aku sudah mempunyai seorang kekasih di Australia. Ah, sudahlah aku ingin pulang  saja ke rumah. Kasian Feri, dia menawarkan mampir ke rumah makan, beli es krim, tetapi ku tolak semuanya, aku ingin menenangkan diri di rumah. Dia memang teman terbaikku semenjak Sekolah Dasar. Aku, Dani, dan Feri akrab sejak Sekolah Dasar, kami berteman baik sampai sekarang. Feri orang yang selalu mendukung hubunganku dengan Dani.

“Ya udah aku pulang dulu ya, jangan nangis lagi nanti Dani makin sedih kalau liat kamu begini,” kata Dani.

“Hati-hati Dan, makasih udah dianterin”.

Aku berlari menuju kamarku dengan sesegukan. Neva, adikku yang sedang menonton kartun di ruang tamu terkejut dan langsung menuju kamarku. Dia menghampiriku.

“Kak Linda kenapa? Mulai deh mendramatisir kayak sinetron,” ujarnya.

“Po..pokoknya… kamu jangan pacaran sebelum nemu orang yang bener-bener kamu sayang,” isakku.

“Iya kak, iya,” jawab Neva sambil memelukku.

                                                                  ***
Sudah sebulan aku di Australia semenjak kedatanganku dari Bandung. Penyesalan menggerogoti pikiranku semenjak kejadian di stasiun bulan lalu. Sore ini, seperti kebiasaanku yang sudah-sudah, menyusuri pinggiran sungai favoritku. Cuma ini yang menenangkanku, cukup angin yang menjadi saksi bisu penyesalanku. Handphoneku kembali bergetar, pasti Ferdy, pacarku. Sudah ada 30 missed call dari dia. Aku sedang malas mengangkatnya.

“Eh Lin, tadi Ferdy nelpon aku nanyain kamu, katanya kok telponnya ga diangkat,” sapa Audi ketika sampai di apartemen.

“Oh iya tadi lagi di jalan, ribet ngangkat,” jawabku singkat, lalu berlalu menuju kamar.

Audi langsung membuntutiku menuju kamar, “Sebenernya kamu lagi kenapa Lin?” tanyanya lembut.

Dia memang teman terbaikku. Aku hanya tersenyum.

“Ya udah deh kalau nggak mau cerita,” ujarnya. Aku menarik tangannya.

“Duduk sini”.

“Ada apa sayang?” tanyanya kembali sambil memegang pundakku.

Akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi kepadanya, dari mulai kisahku dengan Dani sampai kejadian stasiun bulan lalu. Dulu aku masih egois, minta diperhatikan, sedangkan Dani mempunyai kepribadian yang cuek. Dia memang dingin kepada wanita, ini lah yang membuat aku meminta putus darinya, karena aku menganggap dia belum sepenuhnya memahamiku.

“Wajarlah Lin kalau dia belum mengerti kamu sepenuhnya, nggak ada hubungan yang pasangannya langsung bisa saling memahami, apalagi kamu dan Dani sama-sama pertama kali pacaran. Belum mengerti bagaimana sifat wanita begitu juga kamu sebaliknya,” ujar Audi panjang lebar.

Aku hanya terdiam. Benar apa yang dia katakannya, penyesalan semakin menusuki tubuhku. 

“Memang bagaimana perasaanmu sebenarnya sama Ferdy?”.

“Dia itu bisa bikin aku nyaman, sabar, pengertian”.

“Nah, berarti kamu lebih cocok sama Ferdy, karena kamu tipe orang yang ingin diperhatikan”.

“Tapi aku nggak cinta Di sama dia, karena aku suka sama dia setelah dia melakukan banyak hal untukku. Sebaliknya kalau Dani, tanpa dia melakukan banyak hal, aku sudah suka sama dia. Kamu ngerti kan?”

Audi mengangguk sambil mengerutkan keningnya, tanda berpikir.

“Ya udah kamu istirahat dulu, pikirin baik-baik. Inget, jangan sedikit-sedikit minta putus, nggak baik”.

Aku tersenyum hambar, karena Audi sering mendengarku meminta putus kepada Ferdy.

                                                                       ***
“Di, kalau misalkan tiba-tiba kakak senior yang kamu fans-in nembak kamu, gimana?” Tanyaku.

“Ya aku tolak lah, kan aku udah punya Leo,” jawabnya dan tetap fokus ke majalah yang ia baca.

“Kan kamu nge-fans banget sama dia dulu, kenapa ditolak?”.

“Karena aku cinta sama Leo, plis deh ah”.

“Kalau kamu jadi aku, tega nggak mutusin Ferdy?”.

“Ya nggak lah Linda. Itu resiko yang sudah kamu pilih, berani memilih harus berani bertanggung jawab, okeh sayang?”.

                                                                  ***
Seperti yang sudah-sudah, aku menyusuri pinggiran sungai favoritku, menghirup udara sore hari yang sangat khas baunya. Tiba-tiba lelaki yang sudah sangat kukenal menghampiriku membawa satu ikat bunga mawar putih kesukaanku, Ferdy.

“Kita pergi makan yuk Lin, kamu kurusan sekarang, harus makan yang banyak,” ujarnya.

Ah, sepertinya aku lebih memilih menikmati sore ini dengannya, begitu pula sore-sore berikutnya. Ku raih satu ikat bunga mawar putih dengan senyuman manis.

Rabu, 07 Agustus 2013

Double T, Tidur dan Tempe



 “Ayo Lia, sekarang giliran kamu yang cerita kebiasaan konyol kamu,” seru Wiwi.

“Bentar..bentar, gue mau mengheningkan cipta semenit,” ujarku.

“Halah, banyak gaya! Bilang aja mau kentut!” ujar Cici.

“Ih, iya tau, bau comberan nih,” tukas Leni.

Kita tergelak, ada-ada saja ulah kami berempat. Begini lah kalau sudah berkumpul, apalagi ketika mengadakan ritual mingguan ini. Jadi, kita mempunyai ritual mingguan setiap libur kuliah. Kita  berkumpul membentuk lingkaran sambil bercerita cerita-cerita konyol sambil memakan tempe goreng makanan favorit. Maka dari itu, kita berempat dijuluki sebagai pendekar tempe. Pemenang cerita terkonyol akan mendapatkan hadiah sebaskom tempe goreng, memang benar-benar pendekar tempe.

“Dengerin! Jadi gini..,” kataku memulai cerita. Kali ini aku akan menceritakan kebiasaan konyolku, yaitu tidur. Ketika aku di pesantren dulu, waktu itu aku duduk di kelas satu Tsanawiyah. Setiap satu bulan diadakan Sima’an Alquran, jadi per-rayon dibagi perjuz dipimpin dengan ustdzah. Kebetulan ketika itu aku pengurus anak baru, jadi rayonnya dekat dengan masjid dan mendapat giliran pertama.

Biasanya dimulai selepas salat shubuh, sima’an dilakukan serempak baru setelah itu per-rayon. Kebiasaan burukku setelah salat shubuh berjamaah aku tidur dengan posisi seperti orang mengaji supaya tidak terlihat oleh Bagian Pengajaran. Ketika itu aku berada di barisan kedua dari depan, ketika orang-orang bubar dan rayonku mendapat giliran sima’an biasanya orang-orang menyebar dekat jendela mencari tempat senderan. Hanya beberapa orang yang di depan dekat ustadzah.

Aku yang tertidur tidak sadar jika orang-orang sudah bubar, ditambah teman-temanku yang pengurus kamar juga sengaja tidak membangunkanku. Ketika bangun aku tercengang karena depanku tepat ustadzah yang memimpin sima’an, yang lebih menjengkelkan aku melihat teman-temanku pura-pura melihat Alquran sambil cekikikan. Akan tetapi karna aku memiliki muka tembok, dengan santai aku pindah dekat jendela dan melanjutkan tidur kembali.

Heran juga, mengapa semenjak aku masuk pesantren bakat tidurku melaju pesat. Sampai-sampai ustadz yang mengajar muthala’ah berkata di depan kelas, “Lia ini emang suka tidur dari kelas satu ya?”. Satu kelas menertawakanku dan lebih konyolnya waktu itu aku sedang tidur, lalu terbangun dan menanyakan kepada teman sebangkuku, “Ngetawain apaan sih?”.
Bisa tidur dimana saja dan dalam keadaan apa pun, itu lah kehebatanku. Biasanya waktu pelajaran computer para santriwati semangat, karena tidak membosankan. “Orang yang aneh kalau tidur waktu pelajaran computer,” kata salah satu teman sekelas. Aku merasa tersinggung, karena aku satu-satunya santriwati yang bisa tidur ketika pelajaran komputer. Jelas saja, ruangan ber-AC ditambah kursi yang empuk, nyaman sekali untuk tidur. Biasanya aku berpura-pura menyandarkan kepala di kepalan tanganku sambil menghadap komputer, supaya tidak terdeteksi keanehanku ini.

Ketika pelajaran yang tidak ada gurunya, biasanya anak-anak kelas hobi menonton film di Laboratorium Bahasa, karena disana ada televise besar. Akan tetapi aku lebih memilih tidur sendirian di kelas. Lebih aneh lagi, masuk akal tidak kalau bisa tidur di waktu kegiatan baris berbaris? Aku saja ingin tertawa jika ingat kejadian tersebut. Waktu itu aku sedang mengikuti KMD (Kursus Mahir Dasar), padahal aku paling bersemangat ketika itu, karena pramuka adalah kegiatan yang paling ku gemari di pesantren.

Kebetulan aku mengantuk sekali, karena di malam hari kita tidak tidur mencari baju di tempat-tempat gelap ditemani hantu-hantu konyol. Matahari terik sekali membuat sedikit lemas untuk baris berbaris, apalagi yang mengajar kakak-kakak dari Saka Bayangkara. Ketika praktek, mataku terpejam lalu terbuka sambil kepalaku naik-turun. “Ulangi lagi! Ada yang ngantuk tadi!” teriak kakak yang sedang mengkomando. Semua sibuk mencari-cari dan terheran-heran, masak sih ada yang bisa tidur. Aku memasang muka innocent dan tidak mengantuk lagi setelah mendengar gertakan kakak tadi. 

Gara-gara hobi tidur, aku sering telat ke masjid ketika salat shubuh, dan beruntungnya aku tidak pernah tertangkap basah oleh Bagian Keamanan. Biasanya aku menaruh sajadah di pinggang dan tertutup mukena, lalu keluar  dari tempat wudlu ketika orang-orang berwudlu. Mencari celah ketika kakak Bagian Keamanan lengah, lalu dengan cepat aku menyusup masuk masjid, karena tubuhku kecil jadinya tidak terlalu terlihat apalagi banyak orang yang keluar masjid. 

Sampai sekarang pun masih berlanjut, jadi pernah ketika itu aku baru tidur dua jamdi malam hari dikarenakan mengerjakan tugas kuliah. Di bus aku tidak mendapatkan tempat duduk, tiba-tiba mataku terpejam sambil kepalaku naik-turun dalam keadaan berdiri. Tiba-tiba seorang ibu menepuk pundakku dan memberikan jatah tempat duduk yang harusnya jadi miliknya. Aku malu sekali, tetapi karena rasa kantukku lebih dari rasa malu, aku mengambil jatah tempat duduknya.

“Udah selesaaiiiii…..!” seruku mengakhiri cerita. 

“Sebenernya gue nggak heran kalau si Lia nih ratu tidur, cuma yang konyol kok ada orang yang tidur pas baris berbaris,” ujar Leni yang masih cekikikan sedari tadi.

“Nih, tempenya, selamat buat ratu tidur!” teriak Wiwi.

“Hahaha, double T, tempe sama tidur,” kata Cici.

Seketika tiga buah jitakan mendarat di kepala para pendekar tempe.