Tiba-tiba aku geram melihat tingkah Zaky, anakku sendiri. Bagaimana tidak, setiap hari bahkan menit dia terus merengek kepadaku. Dia meminta handphone touch screen atau yang berbentuk tablet seperti yang sedang marak sekarang. Tetangga samping rumahku baru saja membeli tablet, Zaky sering main kesana karena anaknya, Adit teman bermain anakku. Juga anaknya yang paling besar, teman-temannya suka berdatangan membawa handphone touch screen.
Zaky sering dipinjami
untuk bermain game, macam-macam game seru tersedia. Memang handphone touch screen
memudahkan kita dalam bermain game, cukup dengan setuhan layar bisa
menggerakan benda yang ada di dalamnya, tidak perlu sibuk menekan-nekan tombol.
Akibatnya, Zaky selalu tidak mau disuruh pulang, ketika berhasil kupaksa
pulang, dia merengek sepanjang hari.
“Pokoknya Zaky mau hape
yang kayak punya Adit!” teriak Zaky.
“Maen gamenya pake handphone
Ayah aja ya sayang,” bujukku.
“Nggak mau! Mau yang
layarnya bisa disentuh,” rengeknya.
“Ibu nggak punya duit
buat beli sayang”.
“Pokoknya mau yang
kayak punya Adit ibuuuuu!”.
Kalau sudah begini kuacuhkan tangisannya, pandangan tetap fokus dengan acara gosip di televisi.
Zaky menarik-narik lenganku, sebenarnya aku tidak tega. Akan tetapi, mau
diapakan lagi. Rumah saja masih kontrakan, makan seadanya. Suamiku hanya
bekerja sebagai guru honor yang gajinya tidak seberapa. Aku hanya menerima cathering
kue-kue, itu pun kalau banyak pesanan. Uang hanya cukup untuk makan, bayar
kontrakan dan segala kebutuhan seperti sabun dan lain-lain.
Zaky tertidur setelah
kecapaian menangis seharian. Kuangkat tubuhnya yang mungil ke atas kasur. Lalu
bergegas memasak air panas, suamiku bentar lagi pulang kerja. Aku terkadang
kasihan dengannya, sepulang mengajar dia bekerja di tempat lain untuk cari
tambahan. Susah mencari pekerjaan zaman sekarang, apalagi aku yang hanya
lulusan SMA. Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu diketuk.
“Mau makan atau mandi
dulu mas?” tawarku.
“Makan aja deh, Zaky
mana?” tanyanya.
“Udah tidur mas,”
jawabku sambil mengambilkan piring untuknya.
“Mas, si Zaky
akhir-akhir ini suka ngerengek minta dibelikan handphone touch screen,
aku bingung mas jawabnya, dia nangis terus seharian”.
“Ya kamu jelasinlah Ira,
kalau aku nggak bisa membelikannya”.
“Udah mas, namanya
anak kecil mana paham. Disuruh pulang dari rumah Adit dia berontak nggak mau
pulang sebelum dibeliin hape kayak punya temannya, aku malu mas diliatin
tetangga”.
“Nanti biar aku yang
bilangin Zaky”.
Aku sedikit kesal
dengan suamiku, dia tidak merasakan bagaimana mendengar rengekan Zaky setiap
waktu. Ya, memang tugas dia lebih berat mencari nafkah, tetapi aku tidak kuat.
Lama-lama aku bisa gila, terkadang aku menyesali kecerobohanku, kenapa ku
izinkan Zaky bermain dengan Adit. Adit anak seorang yang kaya raya, dulu Zaky
pernah merengek minta dibelikan robot-robotan mahal seperti punya Adit.
Akhirnya kubelikan robot plastik murahan yang ada di pasar. Dia marah, lalu
membuangnya.
***
Hari ini aku sudah
bertekad untuk mengajak Zaky jalan-jalan ke pasar, membelikannya kue-kue
kesukaannya supaya dia tidak bermain ke rumah Adit. Akan tetapi rencanaku gagal
total, karena Zaky keluar rumah tanpa sepengetahuanku. Segera ku berlari ke
rumah sebelah. Benar, Zaky sedang bermain game disana. Ku tarik tangannya, dia
berontak. Langsung kuambil tubuh mungilnya, kugendong ke rumah. Sesampai di
rumah, Zaky tidak mau makan dan terus menangis.
“Zaky sayang, makan
ya,” bujukku.
Dia menggeleng.
“Makan! Kamu tuh belum
makan dari pagi!” bentakku sambil menjejali nasi ke mulutnya.
Dia memuntahkan nasi
yang ku sumpalkan ke mulutnya. Kukunci rapat pintu rumah dan masuk ke kamar, ku
biarkan Zaky menangis di ruang tamu. Tidak terasa air mata jatuh bercucuran,
menyesali sudah membentak anakku sendiri. Aku terbawa emosi. Ku buka pintu
kamar sedikit, ku lihat Zaky sudah tertidur di lantai. Ku bopong dia ke kamar,
berkali-kali aku menciumnya dan meminta maaf.
***
“Ira, jam berapa kamu
mau kesini?” Tanya Hanum, temanku di telepon.
“Ini aku sudah siap,
baru selesai pakaikan baju Zaky,”
jawabku.
“Okeh kalau begitu,
sudah ku sms alamatku”.
Hari ini aku dan Zaky
berencana mengunjungi rumah Hanum, dia temanku ketika SMA. Rumahnya tidak jauh
dari sini, hanya mengendarai angkutan umum sekali saja. Tumben sekali Zaky
tidak merengek atau kabur ke rumah Adit hari ini, karena sejak semalam sudah ku
beritahu bahwa aku akan mengajaknya jalan-jalan.
“Ya ampun kangeeeenn!
Kamu masih cantik seperti dulu Ra, kayak belum punya anak,” seru Hanum sambil
memelukku.
“Ah, bisa aja kamu
Hanum,” ujarku sambil melepas pelukannya.
“Ini pasti Zaky,
gantengnya,” sapanya sambil mencubit pipinya.
“Ini Rara anakku,
seumuran juga sama Zaky”.
“Mirip banget sama
suami kamu”.
“Hahaha kamu sama aja
kayak orang-orang”.
Hanum beruntung
sekali, mendapat suami seorang pengusaha, wajar rumahnya besar tidak seperti
kontrakanku. Dia juga sekarang sibuk menulis-nulis artikel di berbagai media
sambil menjadi ibu rumah tangga. Memang sih aku lebih cantik darinya, tetapi
dia lebih pintar dari aku. Dia meneruskan kuliah hingga ke jenjang S2,
sedangkan aku saja malas untuk kuliah. Sibuk pacaran dan akhirnya memutuskan
untuk menikah, terpaksa karena janin Zaky sudah berada di perutku.
Ada tempat bermain
sendiri untuk anaknya, kulihat banyak buku dongeng anak-anak, mainan bongkar
pasang dan sebagainya. Menonton televisi juga diporsi, sehari hanya dua jam,
selebihnya tidak diperbolehkan. Beda dengan Zaky, bisa seharian dia menonton
kalau tidak kupaksa tidur malam hari. Tidak ku lihat Rara bermain gadget
seperti apa yang direngekan Zaky.
“Aku kebingungan nih,
gara-gara si Zaky sering main ke tetangga sebelah, dia sering merengek minta
dibelikan tablet. Aku kebingungan, buat sehari-hari saja pas-pasan,” keluhku.
“Anak kecil itu
tergantung lingkungan Ra, kalau lingkungannya pada suka main gadget dia
akan terpengaruh, maka dari itu sejak kecil Rara sudah ku jejalkan buku-buku
cerita supaya dia suka membaca dari kecil,” jelasnya.
Aku jadi menyesali
kebodohanku sebagai seorang ibu, baru menyadari betapa pentingnya pengetahuan
untuk seorang ibu. Menjadi seorang ibu tidak hanya berkutat dengan urusan
dapur, mencuci popok anak, tetapi juga mengatur pendidikan anak. Aku juga
menyesal mengapa aku tidak melanjutkan kuliah, padahal keluargaku mampu
membiayaiku.
Sepulang dari sini aku
berniat mampir ke toko buku bekas, disana banyak buku-buku dongeng anak-anak.
Aku bertekad jika punya uang lebih akan kubelikan buku dongeng baru untuk
Zaky.