Pages

Labels

Senin, 26 Agustus 2013

Sepucuk Surat dari Reina



“Kak Bila, pulang lah ke rumah, bunda nanyain terus,” kata Reina.
 
“Pasti bunda mencari teman buat ngebela dirinya, udah deh Rei, kamu konsen aja sama pelajaran kamu, bentar lagi ujian kan?” jawabku.

“Bunda nggak nyuruh Rei bujuk kakak kok, ini inisiatif Rei sendiri, kan aku lagi jauh dari keluarga jadi khawatir sama Bunda dan Kak Bila”.

“Memang kamu pikir kakak nggak tau sifat bunda? Sudahlah Rei”.

Percakapan telepon dengan Reina tadi siang masih saja terngiang-ngiang. Kuperiksa handphoneku, sudah berpuluh-puluh missed call dari bunda. Semenjak dua hari yang lalu handphoneku tidak aktif, baru hari ini ku aktifkan. Langsung Reina dan bunda menelpon, bedanya aku tidak menjawab satu panggilan pun dari bunda.

Matahari sudah mulai beranjak meninggalkan ufuk, taman komplek sudah mulai terasa sepi. Ku lirik jam di pergelangan tanganku, sudah hampir maghrib. Segera ku beranjak dari tempat dudukku. Untung saja di komplek perumahan ini masih ada taman, bisa untuk jalan-jalan sore. Susah sekali mencari tempat sejuk di Jakarta, ingin rasanya pulang ke Malang, jalan-jalan sore bersama teman-teman kampus. Atau menjenguk Reina di pesantren, daripada aku membusuk di Jakarta.

“Darimana saja kamu sayang? Tante cari kemana-mana,” Tanya Tante Risna ketika baru saja aku tiba di rumah.

“Jalan-jalan di taman komplek aja tante, nyari angin hehe,” jawabku sekenanya.
“Tadi bundamu menelpon tante”.

“Semuanya aja ditelpon sama dia, tapi tante nggak keberatan kan selama liburan aku disini?”.

“Enggak sayangku, cuma tante kasian kamu kesepian sering ditinggal tante kerja”.
“Enggak apa-apa kok tante”.

Ku rebahkan tubuh ringkih ini di kasur, sudah berhari-hari aku jarang memasukkan makanan ke dalam tubuh ini. Berkali-kali Tante Risna menyuruhku makan, tetapi hanya beberapa sendok ku masukkan ke dalam mulut, itu  saja sehari sekali sudah untung. Biasa, penyakit stresku sedang kumat, setiap aku pulang ke Jakarta pasti berakhir seperti ini. Setiap orang pulang ke rumahnya masing-masing pasti merasa senang, tetapi sebaliknya denganku. Sengaja ku percepat kepulanganku dari Malang, tetapi malah mendapat terror ketika sampai di rumah.

Sudah tiga hari ini aku kabur dari rumah, baru sehari aku menginjakkan kaki di rumah, besoknya langsung tancap gas ke rumah Tante Risna. Ada saja ulah bunda, terlalu mengekang putri-putrinya. Aku jadi rindu ayah, semenjak meninggalnya ayah, bunda terlalu keras kepada anak-anaknya. Jika kami tidak menuruti kemauannya pasti akan mengomel sepanjang waktu. 

Jadi ceritanya bunda menyuruhku berhenti kuliah dan mengikuti bisnis bunda. Bunda mati-matian bisnis kesana-kemari, karena gaji dari rumah sakit tidak mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. Akan tetapi aku bersikeras ingin tetap melanjutkan kuliah. Tanggung, satu semester lagi, sehabis itu skripsi lalu lulus. Lagipula aku masih terlalu muda untuk menjalankan bisnis.

“Bisnis itu gampang, kamu kan nurun bunda, cukup pintar berbicara dan menarik produk bisnis kita. Nanti kamu ditempatkan di cabang Bandung. Semua di fasilitasi, gaji setiap seminggu,” ujar bunda panjang lebar.

“Tapi bunda, kuliahku tinggal satu semester lagi, setelah skripsi aku lulus,” kataku membela diri.

“Memang kamu yakin selepas kuliah bisa dapat pekerjaan? Kamu kan jurusan farmasi, paling-paling kerja di rumah sakit kayak bunda, gajinya kecil, mending kamu ikut bisnis bunda”.

Perdebatan semakin sengit, apalagi aku dan bunda sama-sama keras kepala. Akhirnya, karena tidak tahan, aku kabur ke rumah Tante Risna. Setelah itu bunda mengadu kepada Reina. Biasanya jika salah satu dari kita bertengkar dengan bunda, pasti ia akan mengadu kepada yang satunya lagi. 

                                                                    ***
Keadaan semakin memburuk, tadi pagi bunda kembali menelpon Tante Risna. Tetapi kali ini bunda marah besar. Semua omelan yang ada di pikirannya dikeluarkannya. Tante Risna sampai membujukku untuk pulang ke rumah. Dengan kemarahan bunda seperti itu malah membulatkan niatku untuk tidak menginjakkan kaki lagi di rumah. Siapa yang ingin pulang ke rumah disambut oleh sekarung omelan?.

Aku mengurung seharian di kamar, handphone ku matikan. Mataku sembab, seharian itu juga aku menangis terus menerus. Keluar hanya ingin ke kamar mandi saja, tidak makan, hanya air putih yang membasahi tenggorokan dan lambungku.

                                                                  ***
Tumben-tumben sepagi ini tukang pos menaruh sepucuk surat di teras rumah, biasanya hanya tukang koran yang menaruh pesanan. Kupercepat langkahku kembali ke kamar takut tertangkap oleh tante. Bisa-bisa diintrogasi kemana-mana, apalagi dengan keadaan mata membengkak. Beberapa menit kemudian ada yang mengetuk pintu kamarku, dari suaranya seperti tante.

“Masuk aja tante,” seruku.

“Ini ada surat buat kamu dari Reina,” kata tante.

“Rei? Surat buat aku?”.

Tante hanya menganggukkan kepala. Penasaran, langsung kubaca surat tersebut setelah tante meninggalkan kamar.

Surabaya, 10 Juni 2013
Dear kakakku tersayang. Gimana kabarnya? Reina kangen banget sama Kak Bila. Sebenarnya Reina pengen banget ada disana, nemenin Kak Bila. Kakak tahu? Sebelum Rei telepon kakak, bunda memang menceritakan semuanya sama Rei. Kakak, cobalah buka sedikit hati kakak, jangan terlalu emosi. Kita sama-sama tau kalau bunda sudah punya keinginan harus diturutin, tetapi kalau kita tidak mau ya bukan lantas kita membantahnya secara mentah-mentah, apalagi sampai kabur ke rumah tante. Dulu juga Rei pernah seperti kakak dipaksa oleh bunda, tetapi Rei mencoba bicara kepada bunda baik-baik. Buktinya bunda mengerti dan enggak pernah maksa Rei lagi. Sekali-kali lah kak kita mengalah dengan bunda, mungkin bunda sedang bingung aja. Ya kakak tau kalau keuangan di keluarga kita semakin menurun, wajar bunda sampai memaksa kakak ikut bisnisnya. Kakak tau? Bunda sangat sayang sama Kak Bila. Dulu sewaktu kakak di pesantren, selepas gajian bunda langsung cepat-cepat pergi ke bank untuk mengirim uang buat kakak. Padahal waktu itu Rei juga belum bayar sekolah. Kakak sering dapat paket dari bunda kan? Sekarang Rei dapat paket jarang, paling-paling cuma beberapa produk dari bisnis bunda. Mungkin bunda sedang kesepian sekarang, harusnya kita sebagai anak bisa mengerti posisi bunda. Kakak janji sama Rei ya, jangan kabur dari rumah lagi. Rei sayang banget sama Kak Bila dan bunda. Sebisa mungkin kita bisa jaga bunda, satu-satunya orang tua yang kita miliki sekarang. Semoga Kak Bila dan bunda bisa akur lagi, Rei juga bisa tenang ujiannya. Love you all!
                                                                                                                                                                              Reina

Kertas surat yang ku genggam sudah basah kuyup oleh air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya. Merasa menyesal, sedih, rindu, semuanya campur aduk. Setelah waktu yang lama aku menangis, aku pun menghampiri Tante Risna.

“Tante, aku ingin pulang”.

                                                                        ***
“Kak Bilaaaa…aku bisa ujiannya! Mana hadiahnya?” teriak Reina setibanya di rumah.

“Sebelum ngasih hadiah mau baca surat dari seseorang ah,” ujarku menggodanya.

“Ih, Kak Bila, nggak usah dibaca ah!”.

“Ah, mau baca ah”.

Reina memukuliku.

2 komentar:

  1. aseek, cerpenis kta berkarya lg :D masukan, kt Ku- sbgai imbuhan, disambung bkn dipisah deh. eh is, udh dkasih tau sm si wahid blm?

    BalasHapus
  2. wah ada pak editor haha
    dikasih tau apa kak?

    BalasHapus