“Kak Bila, pulang lah ke rumah, bunda nanyain terus,” kata Reina.
“Pasti bunda mencari
teman buat ngebela dirinya, udah deh Rei, kamu konsen aja sama pelajaran kamu,
bentar lagi ujian kan?” jawabku.
“Bunda nggak nyuruh
Rei bujuk kakak kok, ini inisiatif Rei sendiri, kan aku lagi jauh dari keluarga
jadi khawatir sama Bunda dan Kak Bila”.
“Memang kamu pikir
kakak nggak tau sifat bunda? Sudahlah Rei”.
Percakapan telepon
dengan Reina tadi siang masih saja terngiang-ngiang. Kuperiksa handphoneku,
sudah berpuluh-puluh missed call dari bunda. Semenjak dua hari yang lalu
handphoneku tidak aktif, baru hari ini ku aktifkan. Langsung Reina dan
bunda menelpon, bedanya aku tidak menjawab satu panggilan pun dari bunda.
Matahari sudah mulai
beranjak meninggalkan ufuk, taman komplek sudah mulai terasa sepi. Ku lirik jam
di pergelangan tanganku, sudah hampir maghrib. Segera ku beranjak dari tempat
dudukku. Untung saja di komplek perumahan ini masih ada taman, bisa untuk
jalan-jalan sore. Susah sekali mencari tempat sejuk di Jakarta, ingin rasanya
pulang ke Malang, jalan-jalan sore bersama teman-teman kampus. Atau menjenguk
Reina di pesantren, daripada aku membusuk di Jakarta.
“Darimana saja kamu
sayang? Tante cari kemana-mana,” Tanya Tante Risna ketika baru saja aku tiba di
rumah.
“Jalan-jalan di taman
komplek aja tante, nyari angin hehe,” jawabku sekenanya.
“Tadi bundamu menelpon
tante”.
“Semuanya aja ditelpon
sama dia, tapi tante nggak keberatan kan selama liburan aku disini?”.
“Enggak sayangku, cuma
tante kasian kamu kesepian sering ditinggal tante kerja”.
“Enggak apa-apa kok
tante”.
Ku rebahkan tubuh
ringkih ini di kasur, sudah berhari-hari aku jarang memasukkan makanan ke dalam
tubuh ini. Berkali-kali Tante Risna menyuruhku makan, tetapi hanya beberapa
sendok ku masukkan ke dalam mulut, itu
saja sehari sekali sudah untung. Biasa, penyakit stresku sedang kumat,
setiap aku pulang ke Jakarta pasti berakhir seperti ini. Setiap orang pulang ke
rumahnya masing-masing pasti merasa senang, tetapi sebaliknya denganku. Sengaja
ku percepat kepulanganku dari Malang, tetapi malah mendapat terror ketika
sampai di rumah.
Sudah tiga hari ini
aku kabur dari rumah, baru sehari aku menginjakkan kaki di rumah, besoknya
langsung tancap gas ke rumah Tante Risna. Ada saja ulah bunda, terlalu
mengekang putri-putrinya. Aku jadi rindu ayah, semenjak meninggalnya ayah,
bunda terlalu keras kepada anak-anaknya. Jika kami tidak menuruti kemauannya
pasti akan mengomel sepanjang waktu.
Jadi ceritanya bunda
menyuruhku berhenti kuliah dan mengikuti bisnis bunda. Bunda mati-matian bisnis
kesana-kemari, karena gaji dari rumah sakit tidak mencukupi kebutuhan kami
sekeluarga. Akan tetapi aku bersikeras ingin tetap melanjutkan kuliah.
Tanggung, satu semester lagi, sehabis itu skripsi lalu lulus. Lagipula aku masih
terlalu muda untuk menjalankan bisnis.
“Bisnis itu gampang,
kamu kan nurun bunda, cukup pintar berbicara dan menarik produk bisnis kita.
Nanti kamu ditempatkan di cabang Bandung. Semua di fasilitasi, gaji setiap
seminggu,” ujar bunda panjang lebar.
“Tapi bunda, kuliahku
tinggal satu semester lagi, setelah skripsi aku lulus,” kataku membela diri.
“Memang kamu yakin
selepas kuliah bisa dapat pekerjaan? Kamu kan jurusan farmasi, paling-paling
kerja di rumah sakit kayak bunda, gajinya kecil, mending kamu ikut bisnis
bunda”.
Perdebatan semakin
sengit, apalagi aku dan bunda sama-sama keras kepala. Akhirnya, karena tidak
tahan, aku kabur ke rumah Tante Risna. Setelah itu bunda mengadu kepada Reina.
Biasanya jika salah satu dari kita bertengkar dengan bunda, pasti ia akan
mengadu kepada yang satunya lagi.
***
Keadaan semakin
memburuk, tadi pagi bunda kembali menelpon Tante Risna. Tetapi kali ini bunda
marah besar. Semua omelan yang ada di pikirannya dikeluarkannya. Tante Risna
sampai membujukku untuk pulang ke rumah. Dengan kemarahan bunda seperti itu
malah membulatkan niatku untuk tidak menginjakkan kaki lagi di rumah. Siapa
yang ingin pulang ke rumah disambut oleh sekarung omelan?.
Aku mengurung seharian
di kamar, handphone ku matikan. Mataku sembab, seharian itu juga aku
menangis terus menerus. Keluar hanya ingin ke kamar mandi saja, tidak makan,
hanya air putih yang membasahi tenggorokan dan lambungku.
***
Tumben-tumben sepagi
ini tukang pos menaruh sepucuk surat di teras rumah, biasanya hanya tukang koran yang menaruh pesanan. Kupercepat langkahku kembali ke kamar takut
tertangkap oleh tante. Bisa-bisa diintrogasi kemana-mana, apalagi dengan
keadaan mata membengkak. Beberapa menit kemudian ada yang mengetuk pintu kamarku,
dari suaranya seperti tante.
“Masuk aja tante,”
seruku.
“Ini ada surat buat
kamu dari Reina,” kata tante.
“Rei? Surat buat
aku?”.
Tante hanya
menganggukkan kepala. Penasaran, langsung kubaca surat tersebut setelah tante
meninggalkan kamar.
Surabaya, 10 Juni
2013
Dear kakakku
tersayang. Gimana kabarnya? Reina kangen banget sama Kak Bila. Sebenarnya Reina
pengen banget ada disana, nemenin Kak Bila. Kakak tahu? Sebelum Rei telepon
kakak, bunda memang menceritakan semuanya sama Rei. Kakak, cobalah buka sedikit
hati kakak, jangan terlalu emosi. Kita sama-sama tau kalau bunda sudah punya
keinginan harus diturutin, tetapi kalau kita tidak mau ya bukan lantas kita
membantahnya secara mentah-mentah, apalagi sampai kabur ke rumah tante. Dulu
juga Rei pernah seperti kakak dipaksa oleh bunda, tetapi Rei mencoba bicara
kepada bunda baik-baik. Buktinya bunda mengerti dan enggak pernah maksa Rei
lagi. Sekali-kali lah kak kita mengalah dengan bunda, mungkin bunda sedang
bingung aja. Ya kakak tau kalau keuangan di keluarga kita semakin menurun,
wajar bunda sampai memaksa kakak ikut bisnisnya. Kakak tau? Bunda sangat sayang
sama Kak Bila. Dulu sewaktu kakak di pesantren, selepas gajian bunda langsung
cepat-cepat pergi ke bank untuk mengirim uang buat kakak. Padahal waktu itu Rei
juga belum bayar sekolah. Kakak sering dapat paket dari bunda kan? Sekarang Rei
dapat paket jarang, paling-paling cuma beberapa produk dari bisnis bunda. Mungkin
bunda sedang kesepian sekarang, harusnya kita sebagai anak bisa mengerti posisi
bunda. Kakak janji sama Rei ya, jangan kabur dari rumah lagi. Rei sayang banget
sama Kak Bila dan bunda. Sebisa mungkin kita bisa jaga bunda, satu-satunya
orang tua yang kita miliki sekarang. Semoga Kak Bila dan bunda bisa akur lagi,
Rei juga bisa tenang ujiannya. Love you all!
Reina
Kertas surat yang ku
genggam sudah basah kuyup oleh air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya. Merasa
menyesal, sedih, rindu, semuanya campur aduk. Setelah waktu yang lama aku
menangis, aku pun menghampiri Tante Risna.
“Tante, aku ingin
pulang”.
***
“Kak Bilaaaa…aku bisa
ujiannya! Mana hadiahnya?” teriak Reina setibanya di rumah.
“Sebelum ngasih hadiah
mau baca surat dari seseorang ah,” ujarku menggodanya.
“Ih, Kak Bila, nggak
usah dibaca ah!”.
“Ah, mau baca ah”.
Reina memukuliku.
aseek, cerpenis kta berkarya lg :D masukan, kt Ku- sbgai imbuhan, disambung bkn dipisah deh. eh is, udh dkasih tau sm si wahid blm?
BalasHapuswah ada pak editor haha
BalasHapusdikasih tau apa kak?