Pages

Labels

Rabu, 28 Agustus 2013

Buku Dongeng untuk Zaky



Tiba-tiba aku geram  melihat tingkah Zaky, anakku sendiri. Bagaimana tidak, setiap hari bahkan menit dia terus merengek kepadaku. Dia meminta handphone touch screen atau yang berbentuk tablet seperti yang sedang marak sekarang. Tetangga samping rumahku baru saja membeli tablet, Zaky sering main kesana karena anaknya, Adit teman bermain anakku. Juga anaknya yang paling besar, teman-temannya suka berdatangan membawa handphone touch screen
 
Zaky sering dipinjami untuk bermain game, macam-macam game seru tersedia. Memang handphone touch screen memudahkan kita dalam bermain game, cukup dengan setuhan layar bisa menggerakan benda yang ada di dalamnya, tidak perlu sibuk menekan-nekan tombol. Akibatnya, Zaky selalu tidak mau disuruh pulang, ketika berhasil kupaksa pulang, dia merengek sepanjang hari.

“Pokoknya Zaky mau hape yang kayak punya Adit!” teriak Zaky.

“Maen gamenya pake handphone Ayah aja ya sayang,” bujukku.

“Nggak mau! Mau yang layarnya bisa disentuh,” rengeknya.

“Ibu nggak punya duit buat beli sayang”.

“Pokoknya mau yang kayak punya Adit ibuuuuu!”.

Kalau sudah begini kuacuhkan tangisannya, pandangan tetap fokus dengan acara gosip di televisi. Zaky menarik-narik lenganku, sebenarnya aku tidak tega. Akan tetapi, mau diapakan lagi. Rumah saja masih kontrakan, makan seadanya. Suamiku hanya bekerja sebagai guru honor yang gajinya tidak seberapa. Aku hanya menerima cathering kue-kue, itu pun kalau banyak pesanan. Uang hanya cukup untuk makan, bayar kontrakan dan segala kebutuhan seperti sabun dan lain-lain.

Zaky tertidur setelah kecapaian menangis seharian. Kuangkat tubuhnya yang mungil ke atas kasur. Lalu bergegas memasak air panas, suamiku bentar lagi pulang kerja. Aku terkadang kasihan dengannya, sepulang mengajar dia bekerja di tempat lain untuk cari tambahan. Susah mencari pekerjaan zaman sekarang, apalagi aku yang hanya lulusan SMA. Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu diketuk.

“Mau makan atau mandi dulu mas?” tawarku.

“Makan aja deh, Zaky mana?” tanyanya.

“Udah tidur mas,” jawabku sambil mengambilkan piring untuknya.

“Mas, si Zaky akhir-akhir ini suka ngerengek minta dibelikan handphone touch screen, aku bingung mas jawabnya, dia nangis terus seharian”.

“Ya kamu jelasinlah Ira, kalau aku nggak bisa membelikannya”.

“Udah mas, namanya anak kecil mana paham. Disuruh pulang dari rumah Adit dia berontak nggak mau pulang sebelum dibeliin hape kayak punya temannya, aku malu mas diliatin tetangga”.

“Nanti biar aku yang bilangin Zaky”.

Aku sedikit kesal dengan suamiku, dia tidak merasakan bagaimana mendengar rengekan Zaky setiap waktu. Ya, memang tugas dia lebih berat mencari nafkah, tetapi aku tidak kuat. Lama-lama aku bisa gila, terkadang aku menyesali kecerobohanku, kenapa ku izinkan Zaky bermain dengan Adit. Adit anak seorang yang kaya raya, dulu Zaky pernah merengek minta dibelikan robot-robotan mahal seperti punya Adit. Akhirnya kubelikan robot plastik murahan yang ada di pasar. Dia marah, lalu membuangnya.

                                                                     ***
Hari ini aku sudah bertekad untuk mengajak Zaky jalan-jalan ke pasar, membelikannya kue-kue kesukaannya supaya dia tidak bermain ke rumah Adit. Akan tetapi rencanaku gagal total, karena Zaky keluar rumah tanpa sepengetahuanku. Segera ku berlari ke rumah sebelah. Benar, Zaky sedang bermain game disana. Ku tarik tangannya, dia berontak. Langsung kuambil tubuh mungilnya, kugendong ke rumah. Sesampai di rumah, Zaky tidak mau makan dan terus menangis.

“Zaky sayang, makan ya,” bujukku.

Dia menggeleng.

“Makan! Kamu tuh belum makan dari pagi!” bentakku sambil menjejali nasi ke mulutnya.

Dia memuntahkan nasi yang ku sumpalkan ke mulutnya. Kukunci rapat pintu rumah dan masuk ke kamar, ku biarkan Zaky menangis di ruang tamu. Tidak terasa air mata jatuh bercucuran, menyesali sudah membentak anakku sendiri. Aku terbawa emosi. Ku buka pintu kamar sedikit, ku lihat Zaky sudah tertidur di lantai. Ku bopong dia ke kamar, berkali-kali aku menciumnya dan meminta maaf.

                                                                       ***
“Ira, jam berapa kamu mau kesini?” Tanya Hanum, temanku di telepon.

“Ini aku sudah siap, baru selesai pakaikan baju Zaky,” jawabku.

“Okeh kalau begitu, sudah ku sms alamatku”.

Hari ini aku dan Zaky berencana mengunjungi rumah Hanum, dia temanku ketika SMA. Rumahnya tidak jauh dari sini, hanya mengendarai angkutan umum sekali saja. Tumben sekali Zaky tidak merengek atau kabur ke rumah Adit hari ini, karena sejak semalam sudah ku beritahu bahwa aku akan mengajaknya jalan-jalan.

“Ya ampun kangeeeenn! Kamu masih cantik seperti dulu Ra, kayak belum punya anak,” seru Hanum sambil memelukku.

“Ah, bisa aja kamu Hanum,” ujarku sambil melepas pelukannya.

“Ini pasti Zaky, gantengnya,” sapanya sambil mencubit pipinya.

“Ini Rara anakku, seumuran juga sama Zaky”.

“Mirip banget sama suami kamu”.

“Hahaha kamu sama aja kayak orang-orang”.

Hanum beruntung sekali, mendapat suami seorang pengusaha, wajar rumahnya besar tidak seperti kontrakanku. Dia juga sekarang sibuk menulis-nulis artikel di berbagai media sambil menjadi ibu rumah tangga. Memang sih aku lebih cantik darinya, tetapi dia lebih pintar dari aku. Dia meneruskan kuliah hingga ke jenjang S2, sedangkan aku saja malas untuk kuliah. Sibuk pacaran dan akhirnya memutuskan untuk menikah, terpaksa karena janin Zaky sudah berada di perutku.

Ada tempat bermain sendiri untuk anaknya, kulihat banyak buku dongeng anak-anak, mainan bongkar pasang dan sebagainya. Menonton televisi juga diporsi, sehari hanya dua jam, selebihnya tidak diperbolehkan. Beda dengan Zaky, bisa seharian dia menonton kalau tidak kupaksa tidur malam hari. Tidak ku lihat Rara bermain gadget seperti apa yang direngekan Zaky.

“Aku kebingungan nih, gara-gara si Zaky sering main ke tetangga sebelah, dia sering merengek minta dibelikan tablet. Aku kebingungan, buat sehari-hari saja pas-pasan,” keluhku.

“Anak kecil itu tergantung lingkungan Ra, kalau lingkungannya pada suka main gadget dia akan terpengaruh, maka dari itu sejak kecil Rara sudah ku jejalkan buku-buku cerita supaya dia suka membaca dari kecil,” jelasnya.

Aku jadi menyesali kebodohanku sebagai seorang ibu, baru menyadari betapa pentingnya pengetahuan untuk seorang ibu. Menjadi seorang ibu tidak hanya berkutat dengan urusan dapur, mencuci popok anak, tetapi juga mengatur pendidikan anak. Aku juga menyesal mengapa aku tidak melanjutkan kuliah, padahal keluargaku mampu membiayaiku.

Sepulang dari sini aku berniat mampir ke toko buku bekas, disana banyak buku-buku dongeng anak-anak. Aku bertekad jika punya uang lebih akan kubelikan buku dongeng baru untuk Zaky.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar