“Kamu jahat!” seruku
sambil memukul lengan Dani. Dia hanya tersenyum kepadaku.
“Berbulan-bulan aku di
Bandung kamu diam saja, tau-tau sekarang sudah pergi ke Jakarta”.
“Kan ini udah ketemu,
ya udah aku pergi dulu ya Linda, maaf nggak bisa nganter kamu ke Australia.
Kamu baik-baik ya nanti disana, jangan nangis lagi,” ujarnya lembut sambil
menyodorkan tisu untuk air mataku yang sudah meluber sedari tadi.
Feri menepuk pundakku,
sedari tadi dia terdiam menyaksikan dua sahabatnya yang berpisah. Aku hanya
bisa melihat punggungnya yang tegap, khas seorang pendaki gunung. Setelah
beberapa langkah, tiba-tiba dia menoleh ke arahku.
“Lin,
perempuan-perempuan yang sering komen di facebook itu temen semua, bukan
siapa-siapa Dani”.
***
Kata-kata terakhir
Dani terngiang-ngiang di telingaku, apa maksudnya dia berkata seperti itu
kepadaku? Tiba-tiba aku membenci stasiun, dulu waktu aku dan Dani
masih pacaran ini menjadi tempat perpisahan kami pertama kali. Ketika itu aku bersikeras ingin menaiki kereta pergi ke Jakarta, karena sudah lama tidak merasakannya. Aku
menunggunya resah, karena sampai keretaku mulai melaju dia belum datang.
Tiba-tiba handphoneku berdering.
“Lin, nengok ke
Jendela ya,” perintah Dani.
Aku melihat dia
melambaikan tangannya dengan senyuman yang khas.
“Hati-hati ya neng geulis,
belajar yang baik,” ujarnya.
Begitulah sosok Dani,
dia mempunyai kepribadian yang cuek, tetapi terkadang dia begitu romantis. Sayangnya itu dulu, karena sekarang aku sudah mempunyai seorang kekasih di
Australia. Ah, sudahlah aku ingin pulang
saja ke rumah. Kasian Feri, dia menawarkan mampir ke rumah makan, beli es
krim, tetapi ku tolak semuanya, aku ingin menenangkan diri di rumah. Dia memang
teman terbaikku semenjak Sekolah Dasar. Aku, Dani, dan Feri akrab sejak Sekolah
Dasar, kami berteman baik sampai sekarang. Feri orang yang selalu mendukung
hubunganku dengan Dani.
“Ya udah aku pulang
dulu ya, jangan nangis lagi nanti Dani makin sedih kalau liat kamu begini,”
kata Dani.
“Hati-hati Dan,
makasih udah dianterin”.
Aku berlari menuju
kamarku dengan sesegukan. Neva, adikku yang sedang menonton kartun di ruang
tamu terkejut dan langsung menuju kamarku. Dia menghampiriku.
“Kak Linda kenapa? Mulai
deh mendramatisir kayak sinetron,” ujarnya.
“Po..pokoknya… kamu
jangan pacaran sebelum nemu orang yang bener-bener kamu sayang,” isakku.
“Iya kak, iya,” jawab
Neva sambil memelukku.
***
Sudah sebulan aku di
Australia semenjak kedatanganku dari Bandung. Penyesalan menggerogoti pikiranku
semenjak kejadian di stasiun bulan lalu. Sore ini, seperti kebiasaanku yang
sudah-sudah, menyusuri pinggiran sungai favoritku. Cuma ini yang menenangkanku,
cukup angin yang menjadi saksi bisu penyesalanku. Handphoneku kembali
bergetar, pasti Ferdy, pacarku. Sudah ada 30 missed call dari dia. Aku
sedang malas mengangkatnya.
“Eh Lin, tadi Ferdy
nelpon aku nanyain kamu, katanya kok telponnya ga diangkat,” sapa Audi ketika
sampai di apartemen.
“Oh iya tadi lagi di
jalan, ribet ngangkat,” jawabku singkat, lalu berlalu menuju kamar.
Audi langsung
membuntutiku menuju kamar, “Sebenernya kamu lagi kenapa Lin?” tanyanya lembut.
Dia memang teman
terbaikku. Aku hanya tersenyum.
“Ya udah deh kalau
nggak mau cerita,” ujarnya. Aku menarik tangannya.
“Duduk sini”.
“Ada apa sayang?”
tanyanya kembali sambil memegang pundakku.
Akhirnya aku
menceritakan semua yang terjadi kepadanya, dari mulai kisahku dengan Dani sampai
kejadian stasiun bulan lalu. Dulu aku masih egois, minta diperhatikan,
sedangkan Dani mempunyai kepribadian yang cuek. Dia memang dingin kepada
wanita, ini lah yang membuat aku meminta putus darinya, karena aku menganggap
dia belum sepenuhnya memahamiku.
“Wajarlah Lin kalau
dia belum mengerti kamu sepenuhnya, nggak ada hubungan yang pasangannya
langsung bisa saling memahami, apalagi kamu dan Dani sama-sama pertama kali
pacaran. Belum mengerti bagaimana sifat wanita begitu juga kamu sebaliknya,”
ujar Audi panjang lebar.
Aku hanya terdiam. Benar
apa yang dia katakannya, penyesalan semakin menusuki tubuhku.
“Memang bagaimana
perasaanmu sebenarnya sama Ferdy?”.
“Dia itu bisa bikin
aku nyaman, sabar, pengertian”.
“Nah, berarti kamu
lebih cocok sama Ferdy, karena kamu tipe orang yang ingin diperhatikan”.
“Tapi aku nggak cinta
Di sama dia, karena aku suka sama dia setelah dia melakukan banyak hal untukku.
Sebaliknya kalau Dani, tanpa dia melakukan banyak hal, aku sudah suka sama dia.
Kamu ngerti kan?”
Audi mengangguk sambil
mengerutkan keningnya, tanda berpikir.
“Ya udah kamu
istirahat dulu, pikirin baik-baik. Inget, jangan sedikit-sedikit minta putus,
nggak baik”.
Aku tersenyum hambar,
karena Audi sering mendengarku meminta putus kepada Ferdy.
***
“Di, kalau misalkan
tiba-tiba kakak senior yang kamu fans-in nembak kamu, gimana?” Tanyaku.
“Ya aku tolak lah, kan
aku udah punya Leo,” jawabnya dan tetap fokus ke majalah yang ia baca.
“Kan kamu nge-fans
banget sama dia dulu, kenapa ditolak?”.
“Karena aku cinta sama
Leo, plis deh ah”.
“Kalau kamu jadi aku,
tega nggak mutusin Ferdy?”.
“Ya nggak lah Linda.
Itu resiko yang sudah kamu pilih, berani memilih harus berani bertanggung
jawab, okeh sayang?”.
***
Seperti yang
sudah-sudah, aku menyusuri pinggiran sungai favoritku, menghirup udara sore
hari yang sangat khas baunya. Tiba-tiba lelaki yang sudah sangat kukenal menghampiriku
membawa satu ikat bunga mawar putih kesukaanku, Ferdy.
“Kita pergi makan yuk
Lin, kamu kurusan sekarang, harus makan yang banyak,” ujarnya.
Ah, sepertinya aku
lebih memilih menikmati sore ini dengannya, begitu pula sore-sore berikutnya. Ku
raih satu ikat bunga mawar putih dengan senyuman manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar