Pages

Labels

Jumat, 09 Agustus 2013

Seikat Mawar Putih di Sore Hari




“Kamu jahat!” seruku sambil memukul lengan Dani. Dia hanya tersenyum kepadaku.

“Berbulan-bulan aku di Bandung kamu diam saja, tau-tau sekarang sudah pergi ke Jakarta”.

“Kan ini udah ketemu, ya udah aku pergi dulu ya Linda, maaf nggak bisa nganter kamu ke Australia. Kamu baik-baik ya nanti disana, jangan nangis lagi,” ujarnya lembut sambil menyodorkan tisu untuk air mataku yang sudah meluber sedari tadi.

Feri menepuk pundakku, sedari tadi dia terdiam menyaksikan dua sahabatnya yang berpisah. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang tegap, khas seorang pendaki gunung. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba dia menoleh ke arahku.

“Lin, perempuan-perempuan yang sering komen di facebook itu temen semua, bukan siapa-siapa Dani”.

                                                                    ***
Kata-kata terakhir Dani terngiang-ngiang di telingaku, apa maksudnya dia berkata seperti itu kepadaku? Tiba-tiba aku membenci stasiun, dulu waktu aku dan Dani masih pacaran ini menjadi tempat perpisahan kami pertama kali. Ketika itu aku bersikeras ingin menaiki kereta pergi ke Jakarta, karena sudah lama tidak merasakannya. Aku menunggunya resah, karena sampai keretaku mulai melaju dia belum datang. Tiba-tiba handphoneku berdering.

“Lin, nengok ke Jendela ya,” perintah Dani.

Aku melihat dia melambaikan tangannya dengan senyuman yang khas.

“Hati-hati ya neng geulis, belajar yang baik,” ujarnya.

Begitulah sosok Dani, dia mempunyai kepribadian yang cuek, tetapi terkadang dia begitu romantis. Sayangnya itu dulu, karena sekarang aku sudah mempunyai seorang kekasih di Australia. Ah, sudahlah aku ingin pulang  saja ke rumah. Kasian Feri, dia menawarkan mampir ke rumah makan, beli es krim, tetapi ku tolak semuanya, aku ingin menenangkan diri di rumah. Dia memang teman terbaikku semenjak Sekolah Dasar. Aku, Dani, dan Feri akrab sejak Sekolah Dasar, kami berteman baik sampai sekarang. Feri orang yang selalu mendukung hubunganku dengan Dani.

“Ya udah aku pulang dulu ya, jangan nangis lagi nanti Dani makin sedih kalau liat kamu begini,” kata Dani.

“Hati-hati Dan, makasih udah dianterin”.

Aku berlari menuju kamarku dengan sesegukan. Neva, adikku yang sedang menonton kartun di ruang tamu terkejut dan langsung menuju kamarku. Dia menghampiriku.

“Kak Linda kenapa? Mulai deh mendramatisir kayak sinetron,” ujarnya.

“Po..pokoknya… kamu jangan pacaran sebelum nemu orang yang bener-bener kamu sayang,” isakku.

“Iya kak, iya,” jawab Neva sambil memelukku.

                                                                  ***
Sudah sebulan aku di Australia semenjak kedatanganku dari Bandung. Penyesalan menggerogoti pikiranku semenjak kejadian di stasiun bulan lalu. Sore ini, seperti kebiasaanku yang sudah-sudah, menyusuri pinggiran sungai favoritku. Cuma ini yang menenangkanku, cukup angin yang menjadi saksi bisu penyesalanku. Handphoneku kembali bergetar, pasti Ferdy, pacarku. Sudah ada 30 missed call dari dia. Aku sedang malas mengangkatnya.

“Eh Lin, tadi Ferdy nelpon aku nanyain kamu, katanya kok telponnya ga diangkat,” sapa Audi ketika sampai di apartemen.

“Oh iya tadi lagi di jalan, ribet ngangkat,” jawabku singkat, lalu berlalu menuju kamar.

Audi langsung membuntutiku menuju kamar, “Sebenernya kamu lagi kenapa Lin?” tanyanya lembut.

Dia memang teman terbaikku. Aku hanya tersenyum.

“Ya udah deh kalau nggak mau cerita,” ujarnya. Aku menarik tangannya.

“Duduk sini”.

“Ada apa sayang?” tanyanya kembali sambil memegang pundakku.

Akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi kepadanya, dari mulai kisahku dengan Dani sampai kejadian stasiun bulan lalu. Dulu aku masih egois, minta diperhatikan, sedangkan Dani mempunyai kepribadian yang cuek. Dia memang dingin kepada wanita, ini lah yang membuat aku meminta putus darinya, karena aku menganggap dia belum sepenuhnya memahamiku.

“Wajarlah Lin kalau dia belum mengerti kamu sepenuhnya, nggak ada hubungan yang pasangannya langsung bisa saling memahami, apalagi kamu dan Dani sama-sama pertama kali pacaran. Belum mengerti bagaimana sifat wanita begitu juga kamu sebaliknya,” ujar Audi panjang lebar.

Aku hanya terdiam. Benar apa yang dia katakannya, penyesalan semakin menusuki tubuhku. 

“Memang bagaimana perasaanmu sebenarnya sama Ferdy?”.

“Dia itu bisa bikin aku nyaman, sabar, pengertian”.

“Nah, berarti kamu lebih cocok sama Ferdy, karena kamu tipe orang yang ingin diperhatikan”.

“Tapi aku nggak cinta Di sama dia, karena aku suka sama dia setelah dia melakukan banyak hal untukku. Sebaliknya kalau Dani, tanpa dia melakukan banyak hal, aku sudah suka sama dia. Kamu ngerti kan?”

Audi mengangguk sambil mengerutkan keningnya, tanda berpikir.

“Ya udah kamu istirahat dulu, pikirin baik-baik. Inget, jangan sedikit-sedikit minta putus, nggak baik”.

Aku tersenyum hambar, karena Audi sering mendengarku meminta putus kepada Ferdy.

                                                                       ***
“Di, kalau misalkan tiba-tiba kakak senior yang kamu fans-in nembak kamu, gimana?” Tanyaku.

“Ya aku tolak lah, kan aku udah punya Leo,” jawabnya dan tetap fokus ke majalah yang ia baca.

“Kan kamu nge-fans banget sama dia dulu, kenapa ditolak?”.

“Karena aku cinta sama Leo, plis deh ah”.

“Kalau kamu jadi aku, tega nggak mutusin Ferdy?”.

“Ya nggak lah Linda. Itu resiko yang sudah kamu pilih, berani memilih harus berani bertanggung jawab, okeh sayang?”.

                                                                  ***
Seperti yang sudah-sudah, aku menyusuri pinggiran sungai favoritku, menghirup udara sore hari yang sangat khas baunya. Tiba-tiba lelaki yang sudah sangat kukenal menghampiriku membawa satu ikat bunga mawar putih kesukaanku, Ferdy.

“Kita pergi makan yuk Lin, kamu kurusan sekarang, harus makan yang banyak,” ujarnya.

Ah, sepertinya aku lebih memilih menikmati sore ini dengannya, begitu pula sore-sore berikutnya. Ku raih satu ikat bunga mawar putih dengan senyuman manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar