Siapa bilang jabatan seorang adik bak tuan putri di dalam rumah? Di cerita mana pun pasti menceritakan bahwa kakak adalah orang yang paling sengsara semenjak kedatangan orang yang bernama adik. Buktinya justru aku si bungsu yang paling sengsara di rumah ini. Aku mempunyai 4 kakak perempuan, mungkin jika mereka semua laki-laki nasibku akan happy ending seperti cerita Aisyah Putri, beruntung sekali dia. Jelas sekali, jika mempunyai 4 kakak laki-laki aku akan menjadi tuan putri kesayangan mereka, dikawal kemana-mana. Berbeda dengan kakak-kakakku, mereka semua lebih mirip Pipiyot, nenek sihir di cerita Nirmala.
“Kaylaaaa…! Kamu ya yang make lotion kakak ya? Dibilangin itu tuh mahal, kamu masih kecil, nggak usah make gituan, kecentilan!” teriak kakakku nomer satu. Belum sempat ku jawab, ada teriakan tukang pecel.
“Eh, kuncrit! Kamu ya
yang ngambil gelang kakak di atas kulkas? Itu tuh gelang dari pacar baru aku
tau!” seru kakak nomer dua. Masa bodoh! Mau dari pacarnya, tukang ojek, satpam,
memangnya urusanku! Dia sepertinya bakat menggantikan tukang pecel yang
biasanya keliling di komplek ini. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari
belakang.
“Heh! Kembaliin buku
novel yang di atas meja belajar kakak,” pinta kakak nomer tiga dengan jutek.
Ketika kakak nomer empat ingin menghampiriku,
“Aaaaaaaaaaaa….!”
Teriakku memenuhi rumah ini.
“Ada apa Kayla
teriak-teriak?” Tanya Ibu.
“Di rumah ini banyak
kuntilanak bu,” seruku sambil berlari menuju ke kamar dan langsung mengunci
pintu rapat-rapat sebelum kuntilanak-kuntilanak mengamuk.
Kalian liat sendiri
kan kelakuan 4 kakakku tadi? Wajar aku merasa paling sengsara di rumah ini.
Kejadian seperti tadi hampir terjadi setiap hari. Mereka selalu menuduhku
mengambil barang-barang mereka, belum sempat kujawab yang satu, yang lain
berteriak. Coba mereka meminta baik-baik, aku akan menjawab semuanya, kalau
seperti tadi namanya menuduh dan bisa dibilang suudzon.
Lebih kesalnya, setiap
ku adukan kepada ibu, dia hanya menjawab,
“Kalau kamu merasa
meminjam barang-barang kakakmu ya kembalikan, kalau tidak ya bantu kakakmu
mencarikan barangnya, mungkin mereka memang benar-benar butuh”.
Siapa yang sudi
membantu orang yang berteriak bak cacing kepanasan sambil menuduh yang
bukan-bukan? Aku yakin hanya orang yang tingkat kesabarannya 100 % dan aku
belum yakin banyak orang yang seperti itu. Seharusnya ibu membelaku, menegur
mereka seperti, jangan nuduh
sembarangan adikmu atau apa lah. Rasanya aku ingin mengecil seperti
Thumbelina lalu menyusup keluar rumah, tetapi itu hanya khayalan konyol.
Jika saja ayah tidak
sering ke luar kota, pastinya ada yang membelaku setiap saat.
“Coba kamu cari dulu
barangnya, mungkin jatuh atau terselip, jangan langsung menuduh adikmu,”
ujarnya pada saat itu. Hatiku langsung menari-nari dan memamerkan senyum
kemenangan di hadapan mereka.
***
“Dor..dor..dor!” suara
pintu kamarku, seperti orang kesurupan menggedor pintu.
“Kayla…bukaaa!” seru
orang di luar sana, dari suaranya seperti nenek sihir penghuni rumah ini. Ku
lirik jam di pergelangan tangan, masih jam 4 pagi. Apa-apaan sih mereka! Subuh
aja belum, sudah ribut seperti orang ronda. Dengan nyawaku yang masih belum
terkumpul kubuka pintu kamar, di balik pintu sudah ada drakula-drakula yang
haus darah.
“Ada apaan sih teriak-teriak
kayak kemalingan? Belum subuh tau!” seruku.
Mereka tidak
memperdulikan ocehanku barusan, malah menerobosku memasuki kamar.
Mengobrak-abrik lemariku, semuanya dibongkar oleh mereka seperti kesurupan.
Jadi lah kamarku seperti tempat sampah.
“Apa-apaan ini! Maen berantakin
kamar orang!” teriakku. Mereka tidak peduli.
“Ini dia ketemu!” seru
kakak nomer satu.
“Sekarang si kucrit
nggak bisa ngeles lagi,” ujar kakak nomer dua.
Mataku tertuju kepada
kotak berwarna pink yang sedang dikuasai oleh kakakku nomer satu. Memang apa
artinya kotak tersebut? Setahuku itu merupakan kotak kosong yang sengaja ku
simpan di bawah tempat tidurku. Lalu mereka membuka kotak pink itu, di dalamnya
ada lotion, gelang, novel, dan masih banyak lagi.
“Ini kan punyaku!”
seru kakak nomer tiga.
“Ih, iya ketemu! Dasar
klepto!” tuduh kakak nomer empat.
Kenapa bisa
barang-barang mereka ada di kotak pink itu? Aku tidak pernah merasa menaruh
barang-barang itu semua di dalamnya. Jangankan menaruh di dalamnya, menyentuh
barang-barang mereka saja tidak pernah. Tiba-tiba kepalaku seperti ditusuk
ribuan jarum, hampir saja tubuhku limbung. Belum sempat aku membela diri, ayah
dan ibu memasuki ruangan dan ikut menghakimiku.
“Ayah sama ibu percaya
Kayla kan? Demi Allah, Kayla nggak pernah mengambil barang-barang kakak,”
ucapku sambil mengelap keringat dingin yang bercucuran sejak tadi.
“Ayah tidak menyangka
kamu melakukan ini semua, maaf ayah tidak bisa membelamu, karena kamu yang
salah,” ujar ayah. Ibu hanya terdiam. Semua tatapan benci menghujamiku. Aku
berharap hanya mimpi, ku cubit kedua pipi, sakit.
“Ini fitnah! Kayla
nggak pernah ngambil barang-barang itu! Pasti ada yang sengaja nuduh Kayla!”
teriakku membabi buta. Ku cubit kedua pipi sekali lagi, kali ini keras sekali
dan terasa sakit.
“Bangun kucrit, susah
banget dibangunin,” ujar seseorang di telingaku. Dari suaranya seperti kakakku
nomer dua. Ku buka kedua mataku perlahan, ternyata benar dia yang
membangunkanku sambil mencubit kedua pipiku keras sekali.
“Selamat ulang tahun
si bontot!” seru kakak nomer satu.
“Happy birthday to
you, happy birthday to you,” kakak nomer tiga dan empat menyanyikannya.
Ada ayah dan ibu,
mereka berdua membawa kue ulang tahun ke dalam kamar. Aku masih heran, ku lirik
jendela kamarku, terang di luar sana. Jam di pergelangan tanganku menunjukan
pukul 4 sore, ternyata tadi mimpi buruk di siang hari. Aku baru ingat, tadi
sepulang sekolah kecapaian lalu tertidur.
“Abis mimpi apaan sih?
Kok tadi teriak fitnah-fitnah gitu? Pasti nggak baca doa sebelum tidur,” Tanya
kakakku nomer satu bertubi-tubi.
Aku hanya bisa
tertawa, semuanya terheran-heran melihatku cekikikan. Baru sadar bahwa hari ini
ulang tahunku, aku pikir mereka lupa. Jangankan hari ulang tahunku,
barang-barang mereka sendiri saja lupa. Setelah bernyanyi-nyanyi, aku meniup
lilin dan memotong kue ulang tahun. Sambil makan kue, satu-persatu mereka
berempat meminta maaf kepadaku atas tuduhan-tuduhan selama ini.
“Maafin kita ya kecil,
besok-besok kita janji deh nggak teriak-teriak nuduh kamu lagi,” ujar kakak
nomer satu.
“Iya, Kayla maafin
kok,” jawabku sambil tersenyum.
***
Keesokan harinya.
“Kaylaaaa…rok baru
kakak kamu pinjam ya? Nggak ada di lemari tau!” seru kakak nomer satu.
“Nggak denger!”
teriakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar