Pages

Labels

Minggu, 11 Agustus 2013

Hadiah untuk Si Bungsu




Siapa bilang jabatan seorang adik bak tuan putri di dalam rumah? Di cerita mana pun pasti menceritakan bahwa kakak adalah orang yang paling sengsara semenjak kedatangan orang yang  bernama adik. Buktinya justru aku si bungsu yang paling sengsara di rumah ini. Aku mempunyai 4 kakak perempuan, mungkin jika mereka semua laki-laki nasibku akan happy ending seperti cerita Aisyah Putri, beruntung sekali dia. Jelas sekali, jika mempunyai 4 kakak laki-laki aku akan menjadi tuan putri kesayangan mereka, dikawal kemana-mana. Berbeda dengan kakak-kakakku, mereka semua lebih mirip Pipiyot, nenek sihir di cerita Nirmala.

“Kaylaaaa…! Kamu ya yang make lotion kakak ya? Dibilangin itu tuh mahal, kamu masih kecil, nggak usah make gituan, kecentilan!” teriak kakakku nomer satu. Belum sempat ku jawab, ada teriakan tukang pecel.

“Eh, kuncrit! Kamu ya yang ngambil gelang kakak di atas kulkas? Itu tuh gelang dari pacar baru aku tau!” seru kakak nomer dua. Masa bodoh! Mau dari pacarnya, tukang ojek, satpam, memangnya urusanku! Dia sepertinya bakat menggantikan tukang pecel yang biasanya keliling di komplek ini. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang.

“Heh! Kembaliin buku novel yang di atas meja belajar kakak,” pinta kakak nomer tiga dengan jutek. Ketika kakak nomer empat ingin menghampiriku,

“Aaaaaaaaaaaa….!” Teriakku memenuhi rumah ini.

“Ada apa Kayla teriak-teriak?” Tanya Ibu.

“Di rumah ini banyak kuntilanak bu,” seruku sambil berlari menuju ke kamar dan langsung mengunci pintu rapat-rapat sebelum kuntilanak-kuntilanak mengamuk.

Kalian liat sendiri kan kelakuan 4 kakakku tadi? Wajar aku merasa paling sengsara di rumah ini. Kejadian seperti tadi hampir terjadi setiap hari. Mereka selalu menuduhku mengambil barang-barang mereka, belum sempat kujawab yang satu, yang lain berteriak. Coba mereka meminta baik-baik, aku akan menjawab semuanya, kalau seperti tadi namanya menuduh dan bisa dibilang suudzon

Lebih kesalnya, setiap ku adukan kepada ibu, dia hanya menjawab,

“Kalau kamu merasa meminjam barang-barang kakakmu ya kembalikan, kalau tidak ya bantu kakakmu mencarikan barangnya, mungkin mereka memang benar-benar butuh”.

Siapa yang sudi membantu orang yang berteriak bak cacing kepanasan sambil menuduh yang bukan-bukan? Aku yakin hanya orang yang tingkat kesabarannya 100 % dan aku belum yakin banyak orang yang seperti itu. Seharusnya ibu membelaku, menegur mereka  seperti, jangan nuduh sembarangan adikmu atau apa lah. Rasanya aku ingin mengecil seperti Thumbelina lalu menyusup keluar rumah, tetapi itu hanya khayalan konyol.

Jika saja ayah tidak sering ke luar kota, pastinya ada yang membelaku setiap saat.
“Coba kamu cari dulu barangnya, mungkin jatuh atau terselip, jangan langsung menuduh adikmu,” ujarnya pada saat itu. Hatiku langsung menari-nari dan memamerkan senyum kemenangan di hadapan mereka.

                                                                      ***
“Dor..dor..dor!” suara pintu kamarku, seperti orang kesurupan menggedor pintu.

“Kayla…bukaaa!” seru orang di luar sana, dari suaranya seperti nenek sihir penghuni rumah ini. Ku lirik jam di pergelangan tangan, masih jam 4 pagi. Apa-apaan sih mereka! Subuh aja belum, sudah ribut seperti orang ronda. Dengan nyawaku yang masih belum terkumpul kubuka pintu kamar, di balik pintu sudah ada drakula-drakula yang haus darah.

“Ada apaan sih teriak-teriak kayak kemalingan? Belum subuh tau!” seruku.

Mereka tidak memperdulikan ocehanku barusan, malah menerobosku memasuki kamar. Mengobrak-abrik lemariku, semuanya dibongkar oleh mereka seperti kesurupan. Jadi lah kamarku seperti tempat sampah.

“Apa-apaan ini! Maen berantakin kamar orang!” teriakku. Mereka tidak peduli.

“Ini dia ketemu!” seru kakak nomer satu.

“Sekarang si kucrit nggak bisa ngeles lagi,” ujar kakak nomer dua.

Mataku tertuju kepada kotak berwarna pink yang sedang dikuasai oleh kakakku nomer satu. Memang apa artinya kotak tersebut? Setahuku itu merupakan kotak kosong yang sengaja ku simpan di bawah tempat tidurku. Lalu mereka membuka kotak pink itu, di dalamnya ada lotion, gelang, novel, dan masih banyak lagi.

“Ini kan punyaku!” seru kakak nomer tiga.

“Ih, iya ketemu! Dasar klepto!” tuduh kakak nomer empat.

Kenapa bisa barang-barang mereka ada di kotak pink itu? Aku tidak pernah merasa menaruh barang-barang itu semua di dalamnya. Jangankan menaruh di dalamnya, menyentuh barang-barang mereka saja tidak pernah. Tiba-tiba kepalaku seperti ditusuk ribuan jarum, hampir saja tubuhku limbung. Belum sempat aku membela diri, ayah dan ibu memasuki ruangan dan ikut menghakimiku. 

“Ayah sama ibu percaya Kayla kan? Demi Allah, Kayla nggak pernah mengambil barang-barang kakak,” ucapku sambil mengelap keringat dingin yang bercucuran sejak tadi.

“Ayah tidak menyangka kamu melakukan ini semua, maaf ayah tidak bisa membelamu, karena kamu yang salah,” ujar ayah. Ibu hanya terdiam. Semua tatapan benci menghujamiku. Aku berharap hanya mimpi, ku cubit kedua pipi, sakit. 

“Ini fitnah! Kayla nggak pernah ngambil barang-barang itu! Pasti ada yang sengaja nuduh Kayla!” teriakku membabi buta. Ku cubit kedua pipi sekali lagi, kali ini keras sekali dan terasa sakit.

“Bangun kucrit, susah banget dibangunin,” ujar seseorang di telingaku. Dari suaranya seperti kakakku nomer dua. Ku buka kedua mataku perlahan, ternyata benar dia yang membangunkanku sambil mencubit kedua pipiku keras sekali.

“Selamat ulang tahun si bontot!” seru kakak nomer satu.

“Happy birthday to you, happy birthday to you,” kakak nomer tiga dan empat menyanyikannya.

Ada ayah dan ibu, mereka berdua membawa kue ulang tahun ke dalam kamar. Aku masih heran, ku lirik jendela kamarku, terang di luar sana. Jam di pergelangan tanganku menunjukan pukul 4 sore, ternyata tadi mimpi buruk di siang hari. Aku baru ingat, tadi sepulang sekolah kecapaian lalu tertidur.

“Abis mimpi apaan sih? Kok tadi teriak fitnah-fitnah gitu? Pasti nggak baca doa sebelum tidur,” Tanya kakakku nomer satu bertubi-tubi.

Aku hanya bisa tertawa, semuanya terheran-heran melihatku cekikikan. Baru sadar bahwa hari ini ulang tahunku, aku pikir mereka lupa. Jangankan hari ulang tahunku, barang-barang mereka sendiri saja lupa. Setelah bernyanyi-nyanyi, aku meniup lilin dan memotong kue ulang tahun. Sambil makan kue, satu-persatu mereka berempat meminta maaf kepadaku atas tuduhan-tuduhan selama ini.

“Maafin kita ya kecil, besok-besok kita janji deh nggak teriak-teriak nuduh kamu lagi,” ujar kakak nomer satu.

“Iya, Kayla maafin kok,” jawabku sambil tersenyum.

                                                                         ***
Keesokan harinya.

“Kaylaaaa…rok baru kakak kamu pinjam ya? Nggak ada di lemari tau!” seru kakak nomer satu.

“Nggak denger!” teriakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar