Pages

Labels

Rabu, 10 Agustus 2016

Dialog Senja Diantara Gerbong Kereta






“Kamu itu aneh, mana ada orang kerja karena cinta pada pekerjaannya di zaman sekarang,” ujarku kepada wanita cantik di hadapanku.

“Ada, buktinya banyak perawan tua di kantorku yang lupa menikah. Mereka berniat menikahi pekerjaannya,” tukasnya sambil menyelipkan beberapa helai rambutnya di belakang telinga.

Aku hanya tertawa sambil menggeleng-geleng kepala.

“Kenapa sedari tadi kamu hanya menertawakanku, emang apanya yang aneh? Apa yang ku ceritakan semuanya berdasarkan fakta.”

“Sebenarnya untuk pernyataan kamu yang terakhir ada benarnya 50%, tetapi soal lelaki lebih sulit dimengerti dari wanita aku kurang setuju…”

“Loh, memang benar kan…”

“Tunggu, aku belum selesai. Masih banyak yang aku tidak setuju dari pernyataanmu.”

Selalu ada saja yang menarik dari wanita di hadapanku. Ia wanita yang cerdas, ambisius, soal paras jangan ditanyakan lagi. Setiap orang pasti tidak bosan memandangnya berkali-kali. Lesung pipinya yang membuat senyumannya semakin menawan, akan tetapi matanya paling kusuka. Tatapannya yang tajam dan penuh selidik, tetapi dibalik itu aku tahu ada kesedihan yang mendalam. Sampai sekarang aku belum tahu apa yang menyebabkan kesenduan dibalik mata elangnya.

Tidak banyak yang kutahu tentangnya. Kami hanya berkenalan 3 hari yang lalu di salah satu gerbong kereta jurusan Jatinegara-Bogor. Ketika itu ia masuk dari stasiun Kemayoran, rambut indahnya basah akibat hujan pada sore hari itu. Aku memberikan tempat dudukku kepadanya. Ketika duduk, ia membuka tasnya dan mengeluarkan novel Sherlock Holmes.

“Penggemar Sherlock Holmes juga?” tanyaku spontan.

Ia hanya menatapku tajam. Aku tersenyum kepadanya. Ia terlihat semakin sebal.

Sampai stasiun Manggarai, kereta mulai sepi dan aku pun duduk di sebelahnya.

“Kenalkan Adi. Kalau udah kenalan kan enak ngobrolnya,” kataku sambil mengulurkan tangan.

“Kirana. Memangnya mahu interview saya tentang apa?” jawabnya dengan tidak menjawab uluran tanganku.

“Hahaha kan saya bilang ngobrol bukan interview. Jarang-jarang saya menemukan teman ngobrol sesama penggemar Sherlock Holmes.”

“Memang kamu ngoleksi semua novel Conan Arthur Doyle?”

“Iya, dari semua serial Sherlock Holmes. Hobi ngoleksi dari semenjak SMP.”

“Ngoleksi aja atau dibaca juga?”

“Hahaha, kamu itu bisa nggak sinis sebentar aja.”

“Daripada kamu selalu tertawa pada hal yang nggak lucu.”

“Kamu itu aneh dan lucu. Itu yang membuatku tertawa.”

                                                                                  ***
Dialog sore hari di gerbong kereta Jatinegara-Bogor selalu menjadi momen yang kutunggu. Selalu kunanti wajah cantiknya mucul diantara kerumunan orang masuk dari stasiun Kemayoran. Dia langsung tersenyum melihatku. Hari ini aku mempunyai kejutan untuknya. Biasanya sesampai di stasiun Bogor kami berpisah, namun aku menarik lengannya.

“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Aku bawa motor di parkiran. Sebentar saja, besok libur kan?”

“Tapi Di... aku harus pulang,” ujarnya gelisah.

“Kenapa? Kamu ada acara?”

“Bukan... aku...”

Aku tidak memperdulikan kelanjutan ucapannya, kutarik lengannya menuju tempat parkiran. Aku sudah mempersiapkan helm untuknya. 

“Tenang saja, pasti ku antar sampai rumahmu nanti,” ujarku sambil tersenyum.

Kami sampai pada daerah puncak. Aku membawanya ke tempat favoritku, tidak banyak orang yang tahu tempat ini. Hanya ada beberapa orang dan tukang jagung bakar ditemani segelas bandrek. Sepertinya Kirana menyukai tempat ini.

“Gimana, bagus kan tempatnya? Kalau lagi suntuk, aku sering ke tempat ini sepulang kerja,” ujarku.

“Sendirian?” tanyanya.


“Kamu orang pertama yang aku bawa kesini.”
Ia tersenyum. Tiba-tiba ponselnya berdering dan terlihat kegelisahan pada raut wajahnya. Ia meminta ijin kepadaku untuk mengangkatnya. Aku tidak bisa mendengar percakapannya, karena ia menjauh, mungkin orang tuanya khawatir.

“Kenapa? Kamu kelihatan gelisah?”

“Nggak apa-apa. Jam 9 kita pulang ya, gimana?”

Aku menganggukkan kepala. 

Kami berbincang-bincang banyak hal sambil menikmati jagung bakar dan bandrek. Semakin lama aku mengenalnya, ia berubah menjadi wanita manis. Malam ini merupakan momen terindah. Seakan-akan kami adalah pasangan yang paling bahagia, walaupun aku tidak tahu perasaannya yang sebenarnya. Akan tetapi aku bisa membaca kebahagiaan dari raut wajahnya. 

Kebahagiaan itu sirna ketika sampai depan rumahnya ada seorang lelaki menunggunya. Di dalam rumahnya pun ramai oleh orang. Ia belum sempat menjelaskan, tangannya sudah ditarik oleh lelaki itu. Wajahnya menyiratkan kata maaf kepadaku. 

                                                                               ***
Ia menyodorkan sebuah amplop bertuliskan namaku. Aku tahu isinya. Ya, isinya yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.

“Maafkan kejadian malam itu. Aku mengharapkan kedatanganmu,” ujarnya.

Aku hanya diam dan tidak menatapnya. Selama perjalanan sampai stasiun Bogor pun tak ada kata-kata yang terucap. Setelah ia pergi, aku membuang undangan pernikahan itu.

                                                                                   ***
Sudah hampir seminggu aku tidak pernah melihat wajah cantiknya muncul diantara kerumunan orang yang masuk dari stasiun Kemayoran. Mungkin ia sedang mempersiapkan acaranya. Tidak ada lagi dialog sore hari yang menemaniku sepanjang perjalanan. Semua memori berputar dari awal pertemuan seperti roll film yang diputar.

Aku memutuskan untuk pergi ke tempat favoritku untuk melepaskan kegundahan. Sesampai disana aku melihat wajah yang selama ini ku rindukan. Matanya sembab sambil memegang segelas teh hangat. Di jarinya tidak ada cincin tersemat. Dongengku ternyata belum berakhir. 

Jumat, 31 Juli 2015

Kopi dan Angin Malam Terakhir



Ah, aku benci dengan keadaan ini! Sudah sejam lebih aku melamun di kafe ini, sudah dua gelas Latte kuhabiskan. Perutku penuh dengan kafein dan angin malam. Kulempar buku yang sedari tadi kupelototi namun tidak dibaca satu huruf pun. Akan tetapi setidaknya buku ini telah melindungiku dari pemandangan orang-orang pacaran yang sedang bermesraan, hanya membuat perutku mual.


Memang hidup tidak seindah skenario film-film romantis. Biasanya jika ada seorang gadis melamun sendirian di kafe pasti ada seorang lelaki ganteng menghampirinya. Well, jangankan ganteng, tak satu pun ada yang peduli kecuali aku berteriak atau menari-nari depan mereka. Kulihat pantulan wajahku di kaca beranda kafe, jelas tidak ada yang mahu mendekati wanita bertampang lusuh seperti ini. 

Biasanya yang bertengkar dengan kekasihnya, tidak disangka sang pujaan hati menghampirinya dan meminta maaf dengan romantis. Hah, mungkin tidak terbesit dalam pikiran Bara untuk menjemputku di kafe ini, jangan bermimpi Aileen! Sudah tiga hari aku datang ke kafe ini untuk melamun, tidak ada tanda-tanda Bara mencariku. Jelas saja dia tak mencariku, bukannya tidak mencari tetapi tidak bisa dicari. Sudah tiga hari aku menon-aktifkan handphone, bagaimana dia bisa tahu aku sedang dimana?

Sudah lah, aku hanya bisa pasrah. Kubenamkan wajahku pada sudut meja, lalu kulihat di bawah meja ada sepasang sepatu. Mungkin salah satu pelayan berniat mengusirku, karena sudah berjam-jam aku melamun disini. 

“Bara?!” seruku ketika mengangkat kepala dan melihat siapa di depanku.

“Ayo pulang!” serunya sambil menarik tanganku.

Aku hanya diam dan menarik tanganku,lalu membenamkan kembali kepalaku di atas meja.

“Leen, mau sampai kapan kamu kekanak-kanakan seperti ini? Sudahlah jangan mendramatisir, jangan ngambekan”.

Memang seperti di film-film, tetapi dia datang untuk memarahiku, benci!

“Iya aku minta maaf sama kamu, kita pulang ya. Kata Lily sudah tiga hari kamu makannya sedikit, nggak tidur malam, nongkrong di kafe sampai larut malam. Kamu bisa sakit Leen, perut kosong kamu isi sama kopi”.

“Tahu nggak Bar, kesalahan kedua kamu apa? Kalau kita lagi marahan bukannya membujukku malah menceramahiku, coba ngertiin perasaan aku”.

“Leen, coba belajar lebih dewasa, kalau ada masalah bilang baik-baik sama aku terus diselesaiin sama-sama, bukannya menangis lalu malas makan, nongkrong di kafe sampai malam, itu salah Leen”.

“Tapi kamu tuh nggak peka, kalau aku lagi butuh kamu dan kamu lagi sibuk pasti semau kamu. Sedangkan giliran kamu lagi butuh aku, walaupun aku sibuk ya Bar, aku nggak pernah cuekin kamu. Meski tugas kuliah banyak, buat nemenin kamu pasti ada waktu, sedangkan kamu lagi sibuk kerja aku manja dikit dibilang kekanak-kanakan. Aku pusing Bar”.

“Iya iya, aku minta maaf Aileen. Lain kali aku perbaiki kesalahanku, sekarang kita cari tempat makan ya. Please, aku nggak mau kamu sakit”.

Aku menganggukkan kepala. Setelah membayar, Bara langsung membawaku ke restoran terdekat.

“Kamu makan yang banyak, besok-besok kalau ada masalah kamu cerita ke aku ya. Jangan kabur-kaburan lagi,” ujar Bara.

“Aku udah sering kabur tapi kamu jemput aku cuma sekali ini,” ujarku sambil memajukan bibir.

“Ya udah ah jangan ngambek lagi, makan yang banyak”.

“Ayam bakar yang aku pesen kurang enak nih”.

“Nih cobain punya aku”.

“Ih enak punya kamu, ya lagi nggak beruntung”.

“Ya udah mau tukeran?”

“Nggak usah ah, itu kan kesukaan kamu”.

“Nggak apa-apa Leen, yang penting kamu makan yang banyak”.

Ini yang aku suka dari Bara, dia rela mengorbankan apa yang dia suka asal orang yang dicintainya senang. Aku jadi merasa bersalah, sepulang kerja dia harus menjemput seorang bayi yang lagi ngambek. Aku tahu dia pasti lelah sekali. Maafkan aku Bar! Aku janji ini kopi dan angin malam terakhir.

“Jangan-jangan selama tiga hari selain nggak makan dan tidur, kamu nggak mandi ya Leen?” Tanya Bara ketika mengendarai motornya di perjalanan pulang.

“Lily bilang gitu sama kamu? Dasar mulut ember nih,” gerutuku.

“Dia sih nggak bilang, tapi dari tadi ada angin nggak enak dari belakang, haha”.

Spontan aku mencubitnya keras.

Gumpalan Perasaan



“Hey!” seorang gadis berambut sebahu menepuk pundakku, Reni namanya.


Aku membalikkan badan dan tersenyum kepadanya.

“Kemana aja lu, reuni nggak pernah datang,” ujarnya kepadaku.

“Kebetulan aja Ren gue lagi nggak di Jakarta, buktinya gue dateng nih sekarang,” jawabku sambil tersenyum.

Sebenarnya bukan itu saja alasanku tidak pernah datang ke acara reuni sekolah dasarku. Kebetulan reuni tahun ini bertempat di salah satu rumah temanku. Rumahnya terletak di dalam sekolah, karena oranng tuanya yang memiliki sekolah ini. Biasanya reuni bertempat di kafe-kafe dan acara berlangsung sampai jam 2-3 pagi, isinya menari-nari hingga pagi. Mana mungkin orang tuaku mengizinkan, karena sekarang di rumah pasti tidak sampai larut malam dan isi acaranya hanya kumpul lalu makan. 

Aku sebenarnya malas datang ke reuni, pasalnya kehidupanku pada masa SD tidak begitu menyenangkan. Hidup di kota besar seperti Jakarta bukan hal yang mudah. Anak SD saja gayanya sudah seperti artis ibukota. Memakai pernak-pernik yang mahal, alat-alat tulis yang bagus, belum uang jajan dalam jumlah besar. Rata-rata murid-murid di sekolah diberikan uang saku oleh orang tuanya sebesar sepuluh ribu rupiah dan itu pun paling kecil, ada yang dua puluh ribu dan lebih banyak lagi. Sedangkan aku hanya diberikan uang saku sejumlah lima ribu rupiah, cukup untuk naik angkot pulang-pergi dan semangkuk bakso yang hanya tiga biji dan sejumput mie. Untuk menambah kerupuk saja tidak cukup, biasanya temanku yang menambahkan. Itu terjadi di tahun 2003-2003, tidak bisa dibayangkan anak SD pada tahun sekarang.

Pernah berkhayal, andai saja aku bisa masuk sekolah negeri yang tidak terlalu mahal, sehingga standar kehidupan murid-muridnya pun tidak terlalu tinggi. Aku dibesarkan oleh orang tua yang berprinsip untuk hidup hemat, aku tidak pernah dimanjakan dengan bergelimang harta. Ya memang ekonomi keluargaku waktu dulu belum sebaik sekarang. Hanya orang berduit dan berparas cantik yang banyak temannya. Sebagian murid yang ekonomi kelarganya pas-pasan pun memaksa mengikuti gaya murid-murid yang kaya raya. Sedangkan aku tetap dengan gayaku yang sederhana dan apa adanya, ya mungkin karena itu aku memiliki sedikit teman dan didukung oleh sifat pendiamku. Namun tidak banyak teman-teman SD ku sekarang yang menjadi sok akrab, mungkin setelah tahu aku lulusan luar negeri jadinya aku dianggap selevel dengan mereka, itu hanya pikiran burukku.

“Hey, kamu Gadis kan?” Tanya seorang lelaki memakai topi biru, kebetulan dia sedang mengambil pudding dimana aku sedang melamun di depannya.

“Iya, kamu Bagas bukan?” tanyaku balik.

Dia menggangguk tersenyum. Masih sama seperti yang dulu, manis dan lembut.

“Kok sendirian aja, nggak gabung sama yang lain?” tanyanya.

“Iya nih, masih kikuk aja soalnya udah lama nggak dateng reuni, agak lupa-lupa gitu nama-namanya”.

“Aku juga sih, dari pertama kali reuni baru kali ini dateng”.

“Iya aku tahu kok kamu nggak pernah dateng”.

Bagas terdiam, lalu mengalihkan pembicaraan.

“Oh iya, gimana pengalaman kamu selama di Belanda? Seru banget kayaknya”.

“Ah seru banget Gas, kayaknya  4 tahun nggak cukup buat menikmati keindahan seluruh negara-negara di Eropa, kamu harus kesana”.

“Hahaha kayaknya butuh gaji aku 10 tahun baru bisa keliling Eropa, emang kamu udah kemana aja?”

“Ya banyak Gas, setiap liburan akhir semester aku sama teman-teman backpacker ngunjungin beberapa negara. Jadinya setiap dapat beasiswa kita kumpulin buat jalan-jalan, gila kan? Hahaha” 

“Wah seru banget tuh, jadi pengen kesana”.

“Nanti kalo kesana gue siap jadi guide lu”.

“Bisa aja lu, terus kuliah udah selesei nih? Rencana selanjutnya gimana?”

“Ini gue lagi nyari-nyari kerja, ya nanti kalau ada kesempatan mau nerusin sekolah lagi”.

“Gila, sukses deh buat lu”

“Lu masih kerja di restoran yang dulu?”

“Ya masih, gini-gini aja hidup gue mah”.

Di sela-sela percakapan seru kami, pembawa acara menyuruh semuanya berkumpul untuk acara doorprize. Akhirnya aku bangkit dari tempat duduk tadi menuju tempat pembagian doorprize. Ternyata Bagas mengikutiku, lalu dia mengambil tempat duduk di sampingku lagi.

“Dis, gue mau ngomong sesuatu,” ujarnya.

“Apa Gas?”

“Maafin sifat gue yang dulu, nggak pernah balas telpon dari lu, sms juga. Kan lu tau kehidupan gue berantakan semenjak lulus SD, jadinya gue menghindar dari semua teman SD, termasuk lu”.

“Iya gue ngerti kok Gas. Waktu itu gue cuma pengen tau kabar-kabar teman dekat gue, ya secara kita berdua pernah duduk sebangku dulu. Si Aldo juga udah cerita, semuanya dan segalanya”.

Bagas terdiam sejenak, lalu lagi-lagi ia mengalihkan pembicaraan.

“Jadi kangen masa-masa SD dulu, inget nggak dulu si Angel pernah jodoh-jodohin kita berdua gara-gara kita duduk sebangku”.

Aku hanya tersenyum kecut. Bagas terus saja berceloteh tentang kenangan masa lalu, aku malas mendengarnya. Kulirik jam di pergelangan tanganku, oh tidak aku harus pulang sekarang juga.

“Gas, kayaknya gue duluan deh, udah malem nih,” kataku.

“Kok buru-buru banget, ya udah gue anterin ya, kasian lu pulang malem sendirian,” tawarnya.

“Nggak usah repot-repot Gas, udah ada yang….”

Tiba-tiba Reni memotong perkataanku, “Kok udah pulang sih, ciee udah dijemput sama Indra yaa”.

“Indra siapa?” Tanya Bagas terkejut.

“Lah lu nggak tau? Si Gadis ini langsung nikah sepulang dari Belanda, nama suaminya Indra, lu sih keluar dari grup facebook jadi nggak tau undangannya”.

Setelah berpamitan dengan Reni, Bagas menghampiriku.

“Maaf aku nggak tahu kamu sudah menikah”.

“Nggak apa-apa Gas. Oh iya Gas, aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Memang dulu aku punya perasaan terhadap kamu, tetapi telpon, sms dariku semata-mata hanya bentuk perhatian dari seorang teman. Kita pernah dekat, bercanda bareng dan itu sebuah kenangan yang manis. Sayangnya, nggak semua orang bisa berpikiran sama dengan apa yang kupikirkan. Aku mungkin suka denganmu, tetapi aku punya harga diri, aku bukan cewe yang agresif. Maafin aku Gas, aku permisi pulang dulu”.

Akhirnya semua perasaan yang menggumpal di hatiku telah pecah, air mata menggenang di pelupuk mataku. Ketika Indra menghampiriku, langsung kuhapus lalu tersenyum kepadanya. Buat apa menangisi masa lalu yang pahit sedangkan di depanku ada masa depan yang sangat manis.

Kamis, 02 Juli 2015

Ikan Asin Mamak Ina



Dulu aku tidak terlalu peduli dengan isu tentang Mamak Ina, tetapi semenjak ia pergi meninggalkan gubuknya menuju rumah kontrakan tepat di depan rumahku, aku mulai terusik. Mungkin dulu aku belum pernah bertatap muka sedekat ini dengannya. Benar kata orang, Mamak Ina sosok yang cukup membuat bulu kuduk anak-anak kecil seumuranku merinding. Tubuhnya yang besar dan kekar, kulitnya yang kecoklatan selalu dilapisi keringat, gigi kekuning-kuning, rambut ikal digerai. Pernah suatu hari aku bertatap muka dengannya, ia tiba-tiba muncul di ambang pintu rumahku.

“Mana Mamakmu?” tanyanya datar.

“Di..di..sumur belakang Mak,” jawabku ketakutan.

“Panggilkan Mamakmu, bilang kalau ikan asin pesanannya datang”.

Tanpa berkata-kata, aku langsung berlari ke belakang memanggil Mamakku. Setiap anak kecil pasti ketakutan bertemu dengannya. Pasalnya, tersebar isu bahwa para anak kecil yang masih bermain ketika maghrib akan diculik olehnya, lalu dikutuk menjadi ikan dan dijadikan ikan asin untuk dijual.  Itu rahasia kelezatan ikan asin Mamak Ina, karena ikannya berasal dari anak-anak kecil yang tidak pulang ke rumah. 

Setiap malam pasti terdengar suara anak kecil menjerit dan menangis dari dalam rumah Mamak Ina. Memang belum pernah satu orang pun dari warga desa ini yang mencari tahu, siapakah yang menjerit di rumahnya? Setahu warga, Mamak Ina tidak mempunyai anak, dia hanya tinggal sebatang kara. Konon, dia sudah hidup puluhan tahun disini semenjak suaminya pergi meninggalkannya ketika ia berumur 35 tahun. Maka dari itu, Mamak Ina tidak sempat mempunyai anak. Dari situlah tersebar isu bahwa suara jeritan dari dalam rumahnya adalah anak kecil yang sedang dikutuk menjadi ikan.

“Kau lihat Topan, tangannya yang besar itu biasanya dibuat untuk mencekik anak yang diculiknya. Rambutnya yang lebat dipakai untuk menyumpal mulut anak tersebut,” ujar Kak Lingga ketika Mamak Ina sedang menyapu halaman rumahnya. Biasanya aku tidak pernah percaya apa yang dikatakannya, karena dia sering berbual, tetapi untuk masalah Mamak Ina aku sedikit percaya dengannya.

“Tetapi kalau mulutnya disumpal pakai rambut, kenapa kita masih mendengar jeritan anak kecil dari rumahnya?” tanyaku semakin penasaran.

“Di rambutnya itu terdapat bius tidur, jadi siapa saja yang disumpal mulutnya dengan rambut Mamak Ina pasti dia akan pingsan. Mengapa masih menjerit? Karena mantra kutukannya lebih kuat dari kekuatan biusnya sehingga kita mendengar suara jeritan yang sangat hebat”.

Aku menggangguk-anggukan kepala. Tak terasa bulu kudukku naik.

“Makanya, sebelum maghrib kau harus pulang, mandi lalu pergi ke surau untuk mengaji,” kata Kak Lingga kembali.

                                                                        ***
Hari ini aku berniat untuk menyelidiki rumah Mamak Ina. Aku ingin membuktikan, benarkah yang dikatakan warga tentangnya. Sebelum maghrib aku pulang, mandi lalu berpakaian rapi seperti hendak pergi ke surau. Aku berbohong kepada Mamak bahwa sepulang dari surau akan menginap di rumah Pandu. Kukayuh sepeda menuju jalan ke surau, seharusnya setelah jalan lurus ini belok ke kanan, tetapi aku memutar arah lewat belakang menuju rumah Mamak Ina. 

Adzan magrib berkumandang, kebetulan aku sudah sampai di halaman belakang rumah Mamak Ina.  Terlihat sepi, hanya suara pohon bambu di belakangku yang meramaikan. Aku bersembunyi diantara pohon-pohon pisang yang tumbuh di halaman belakang. Lalu terdengar suara gemercik air,ternyata Mamak Ina berwudhu di keran belakang rumah. Aku tidak menyangka Mamak Ina yang taat beribadah menggunakan sihir, seharusnya dia tahu bahwa yang dilakukannya adalah dosa.

Langit mulai gelap, tidak ada tanda-tanda Mamak Ina keluar ke halaman belakang. Konon, ia melakukan ritualnya di halaman belakang ketika malam hari. Mungkin karena masih jam 8, warga desa pun masih banyak yang berlalu lalang di sekitarnya. Lama-lama aku tidak betah bersembunyi, apalagi semua tangan dan kakiku habis digigiti oleh nyamuk-nyamuk besar. 

Akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri persembunyianku. Aku berniat akan pulang ke rumah, lalu merangkai cerita buatanku, alasan kenapa aku tidak jadi menginap di rumah Pandu. Ketika mengangkat sepedaku, stirnya menyangkut diantara pagar bambu milik Mamak Ina. Aku berusaha menariknya pelan-pelan, tetapi tidak berhasil. Secara paksa kutarik sepeda milikku, tiba-tiba, “Bruuuk!” pagar bambu ambruk. Aku panik. Terdengar derap langkah dari dalam rumah, Mamak Ina!
“Siapa kau?!” teriak Mamak Ina sambil mengacungkan pisau besar miliknya.

Aku ketakutan setengah mati, dengan tubuh yang menggigil kuangkat sepeda tersebut lalu mengkayuhnya dengan cepat. Sebelum pergi aku mendengar Mamak Ina berkata, “Kujadikan ikan asin baru tahu rasa!”. Membuatku semakin percaya isu tentang kutukan tersebut. Ketika Mamak Ina keluar rumahnya, aku melihat seseorang duduk di belakangnya, mukanya tidak terlihat jelas, hanya matanya yang tajam terlihat dari jauh membuatku hampir mati berdiri. Kukayuh sepedaku sekuat tenaga, lalu berjanji tidak akan mendekati rumah itu lagi.

                                                                        ***
Setelah itu aku menceritakan apa yang kualami kepada Kak Lingga.

“Untung saja kau tidak ditangkap olehnya, bisa-bisa kau sudah menjadi ikan asin siap untuk digoreng,” ujar Kak Lingga.

“Tapi kakak jangan bilang-bilang Mamak kalau aku tidak pergi ke surau,” pintaku dengan wajah memelas.

“Asalkan kau mau membelikanku es cendol Mamak Lina”.

Aku mendengus kesal. Selain tukang bual, Kak Lingga juga tukang palak.

                                                                        ***
“Antarkan nasi kebuli ini ke rumah Mamak Ina, sekarang, mumpung masih panas,” perintah Mamak yang membuat jantungku hampir jatuh.

“Kak Lingga sajalah Mak, aku sudah ditunggu Pandu di rumahnya,” ujarku beralasan.

“Kakakmu mengantarkan nasi kebuli juga ke desa sebelah pakai motor, kau tidak bisa mengendarai motor, jadi sebelum ke rumah pandu mampirlah sebentar ke depan rumah”.

Tidak tega menolak kembali perintah Mamak, kuiya-kan saja meski keringat dingin mulai bercucuran mengingat apa yang kualami dua hari yang lalu. Kulambat-lambatkan langkah kakiku. Sampai di depan pintunya, bulu kudukku spontan berdiri, keringat dingin semakin deras mengucur. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengetukkan pintu. Terdengar suara derap langkah berat dari dalam, derap langkah milik Mamak Ina yang khas.

“Kau lagi, mau mengintip rumahku lagi?” ujarnya dengan kedua bola matanya yang hampir keluar.

Aku terkejut, berarti dia tahu bahwa aku pelakunya?

“I..i..ini ada nasi kebuli dari Mamak,” jawabku gemetaran.

“Masuklah ke dalam”.

Sebenarnya aku enggan menanggapi ajakannya, khawatir akan dikutuk olehnya di dalam rumah. Akan tetapi mendengar ajakannya yang tulus dan wajahnya berubah tidak segarang ketika membukakan pintu, akhirnya aku memasuki rumahnya. Mamak Ina menyuruhku duduk di sofa usang yang ada di ruang tamu. Lalu terdengar seperti suara kursi roda berjalan menuju ruang tamu. Muncullah seorang anak kecil di atas kursi roda, tubuhnya dipenuhi oleh balutan perban putih. 

Ternyata dia adalah anaknya Mamak Ina. Aku terkejut bukan main. Namanya Sekar, aku melihat poto yang diberikan oleh Mamak Ina, dia cantik dan beda sekali dengan ibunya. Rupanya dulu sebelum Mamak Ina tinggal di desa ini, ia tinggal di kota. Lalu suatu hari rumahnya mengalami kebakaran disebabkan gas di dapurnya meledak. Suaminya meninggal dan Sekar terkena luka bakar yang parah. Ketika itu Mamak Ina sedang berbelanja ke pasar.

Setelah itu, Mamak Ina dan Sekar pindah ke desa dan tinggal di gubuk, karena tidak mampu menyewa kontrakan yang layak. Semua hartanya habis dilalap oleh api, gubuk itu pun pemberian dari Pak tua yang tinggal di desa ini. Maka dari itu, Mamak Ina berjualan ikan asin untuk membiayai pengobatan anaknya dan makan sehari-hari.Ternyata hasil penjualan ikan asin tidak mencukupi biaya pengobatan, Mamak Ina memutuskan meracik obat-obatan dari tumbuhan. Setiap malam hari dibalurkan ke seluruh tubuh Sekar, ternyata suara jeritan tersebut adalah suaranya. 

Mamak Ina memang merahasiakan keberadaan Sekar, karena Sekar malu dengan keadaannya sekarang. Setiap hari ia menjajakan ikan-ikan asin buatannya dari pintu ke pintu. Sehingga ia dan Sekar bisa pindah ke rumah kontrakan yang layak. Sebenarnya Mamak Ina mengetahui isu negatif tentangnya, tetapi dia biarkan saja, karena dengan itu jarang ada anak kecil yang berkeliaran ketika magrib. Juga menghindari orang-orang dari rumahnya sehingga keberadaan Sekar tidak diketahui oleh orang-orang.

Setelah mendapat cerita panjang dari Mamak Ina, aku berpamitan juga tidak lupa meminta maaf kepadanya atas kejadian dua hari yang lalu.

“Tidak apa-apa Topan. Lain kali main-mainlah kesini, temani Sekar,” ujar Mamak Ina masih dengan ekspresinya yang datar.

Aku tersenyum tanda menyetujui undangannya. Dari peristiwa Mamak Ina, aku mendapat pelajaran bahwa kita tidak bisa menilai orang lain hanya dengan apa yang kita lihat. Mamak Ina yang terlihat menyeramkan, ternyata memiliki hati lembut. Akan tetapi, anggapanku yang tadi tiba-tiba buyar mendengar teriakan milik Mamak Ina.

“Topaan, kau menginjak tanaman depan rumahku, awas, lain kali kau akan kujadikan ikan asin betulan!”

Tidak Perlu Menunggu Pagi


Pasti semuanya pernah merasakan nikmatnya berlibur setelah dirundung berhari-hari oleh tugas kantor. Setelah menyelesaikan semua naskah liputan, akhirnya aku bisa ke tempat wisata untuk berlibur. “Welcome The Paradise of Java, finally I made it!” seruku dalam hati. Tidak heran pulau Karimun Jawa mendapat julukan The Paradise of Java, sangat eksotis, udaranya pun sangat segar dan jauh dari polusi. Terdapat banyak wisata alam, apalagi bagi pengemar pantai dan laut, tempat ini sangat cocok untuk liburan. Seperti aku yang gila pantai, melihat air biru yang jernih pasti sangat menggoda untuk berenang dan menikmati kesegaran air laut. Sayangnya, berkali-kali aku menginjakan kaki di tempat wisata, baru kali ini bisa berenang sepuasnya.


Kebanyakan orang pasti senang mendapatkan pekerjaan sesuai hobinya. Ya, seharusnya aku banyak bersyukur mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bakatku. Aku menjadi wartawan khusus meliput tempat-tempat pariwisata di majalah ternama di Jakarta. Aku yang mempunyai hobi traveling, fotografi dan menulis, pekerjaan ini sangat cocok untukku. Akan tetapi tidak seindah yang kubayangkan. Ternyata berbeda ketika mengunjungi tempat wisata untuk bekerja dan liburan. Ah, sudahlah karena akhirnya aku bisa mendapatkan liburan panjang sebagai ganti hari-hari penat yang kulalui.
                                                                                ***
Ah, senangnya hari ini bisa berenang sepuasnya, snorkeling, melihat keindahan wisata bawah laut. Sore ini aku akan berjalan-jalan di pantai dekat resort. Sudah lama aku tidak memosting blog yang sudah jamuran akibat deadline yang tidak pernah habis.

Rasanya aku ingin tersenyum lebar, indah sekali pulau ini. Hampir di setiap tempat yang aku lewati berhasil kuabadikan. Aku duduk di atas pasir halus pinggiran pantai, sambil melihat hasil jepretanku. Tunggu, sepertinya tidak asing orang ini. Kutekan tombol zoom, dugaanku tidak meleset. Kenapa orang itu ada disini? Jangan bilang dia sengaja mengikutiku, oh please Bunga jangan ge-er

“Ih, kenapa sih manusia yang paling nggak penting itu ada disini?” gerutuku.

“Memangnya siapa yang tidak penting?”.

Tiba-tiba seorang lelaki duduk di sampingku, ingin kuberanjak dari tempat duduk tetapi egoku menahan. Jika aku pergi, dia akan merasa menang.

“Kok nggak dijawab? Beneran nggak penting?”.

Aku kembali diam, pura-pura tidak mendengar.

“Woy, ada orang loh disini! Masak dicuekin?” serunya sambil melambaikan tangan di depan wajahku.

"Kamu tahu dari mana aku disini? Setahuku tidak ada yang tahu," tanyaku

Bodoh, seharusnya pertanyaan tadi tidak keluar dari mulutku. Akan tetapi aku benar-benar ingin tahu. 
"Hahaha gimana nggak tahu, kamu kan update di Path kalau lagi di Karimun Jawa".

“Maaf saya sedang liburan dan orang yang tidak berkepentingan dilarang menggangu”.

“Tetapi aku punya urusan penting sama kamu”.

“Dan saya tidak merasa punya urusan dengan anda, saya permisi dulu”.

Aku pun beranjak meninggalkannya, dia terus membuntutiku. Sepertinya aku harus tegas, kalau tidak dia tahu dimana tempat aku menginap.

“Saya rasa anda berhenti mengikuti saya”.

“Aku cuma minta waktu sebentar saja”.

“Kan sudah saya bilang, saya tidak punya urusan dengan anda”.

“Tetapi aku merasa punya urusan, ya sudah nanti malam aku jemput kamu”.

Silahkan saja, pasti kamu tidak tahu dimana aku tinggal, batinku.

                                                                                                ***
Perutku daritadi berteriak minta diisi, aku tidak berani keluar karena pasti pria itu menungguku. Ah, lagipula dia tidak tahu dimana aku tinggal, dan aku sudah bertekad untuk pergi ke rumah makan yang sudah aku idam-idamkan sejak kemarin. Aku memakai topi dan rambutku yang panjang dimasukkan ke dalamnya, lalu memakai kacamata hitam. Berhasil, tidak ada tanda-tanda manusia pengacau itu datang. Aku pun melenggang dengan bebas sambil bersiul bahagia. Kamu hebat Bunga, dengan seperti pasti tidak ada yang mengenalimu.

“Hai, cewek bertopi!”

Ah, sial! Aku berfirasat buruk saat mendengar suara tadi.

“Kamu mau nyamar kayak gimana pun aku masih mengenalimu. Lagian kamu aneh malam-malam pakai kacamata hitam, nggak takut kesandung batu?” ujarnya sambil tertawa mengejek.

Kubuka kacamata bodoh ini, lalu menatapnya tajam.

“Iya maaf, maaf, ayo kita mau makan dimana?”

“Gilang, aku mohon tinggalin aku sendirian,” ujarku dengan tegas.

“Aku akan tinggalin kamu setelah urusan kita selesai, aku hanya minta 15 menit untuk bicara, Bunga”.

“Oke, kita bicara disini saja”.

“Aku nggak bisa ngebiarin kamu kelaparan, pasti kamu menahan lapar gara-gara takut ketemu aku kan? Kita makan lalu cari kafe untuk bicara, oke?”

Akhirnya aku menyetujuinya. Ah, Gilang ternyata kamu belum berubah. Kamu selalu tahu cara menghadapi sifat keras kepalaku. Aku lupa satu hal bahwa kamu satu-satunya orang yang tidak bisa kubohongi. 

“Kan enak ngobrol kalau sudah kenyang,” ujarnya setibanya di kafe tak jauh dari restaurant tadi.

“Langsung aja ke inti pembicaraan, urusan penting apa yang ingin anda sampaikan?”

“Hahaha ternyata aku salah punya musuh si Ratu Es, tetapi tenang saja aku tetap suka karena semakin dingin semakin menantang”.

Aku menatapnya dengan tajam, lalu ia berhenti menertawakanku.

“Oke, oke, kali ini aku serius. Aku hanya ingin minta maaf kepadamu,” ujarnya tulus.

“Minta maaf untuk apa?” tanyaku dingin.

“Karena telah menyia-nyiakanmu tiga bulan yang lalu, aku benar-benar minta maaf”. 

“Kamu nggak salah, itu hak kamu untuk sibuk dengan pekerjaan, dan hey itu hidup kamu, aku ini siapa sok mengatur hidup orang lain”.

“Ini salah aku Bunga, tidak seharusnya aku mengedepankan pekerjaan daripada kamu. Ingat, kamu itu masa depanku, bukan orang lain”.

“Ya mungkin aku yang egois minta dinomor satukan. Sebenarnya itu pilihan kamu, aku tidak punya hak memaksamu untuk memilih pernikahan daripada pekerjaan. Meraih prestasi yang hebat dalam karir di usia muda pasti sangat menggiurkan, bukan salahmu jika kamu lebih memilih karir ketimbang aku”.

“Tetapi aku yang keterlaluan, kamu membatalkan beasiswa ke luar negri yang susah payah diraih hanya demi menepati janji kita berdua”.

“Mungkin itu bukan rejeki aku, buktinya sekarang diganti dengan pekerjaan idamanku. Dengar ya Gilang, apa pun yang terjadi di masa lalu tidak usah dibicarakan lagi. Iya aku maafkan, dan sekarang kita jalani hidup masing-masing,” ujarku dan ketika ingin beranjak pergi, ia menahanku.

“Aku ingin kita membuka lembaran baru. Aku ingin memenuhi janji kita berdua, aku mohon”.

Aku terdiam, sebenarnya aku sangat merindukanmu, tetapi malah sebaliknya yang keluar dari mulut ini.

“Lebih baik kamu cari perempuan yang lebih baik, pasti banyak yang mau. Siapa sih yang menolak menikah dengan pria tampan dan mapan. Aku tidak mau menjanjikan orang tuaku lagi, tidak mau memberi harapan palsu”.

“Sekali lagi aku minta maaf telah menyia-nyiakanmu, aku juga akan meminta maaf ke orang tuamu nanti. Seharusnya tiga bulan yang lalu aku datang melamarmu, maafkan keegoisanku, Bunga”.

“Kamu seharusnya tahu, tidak mungkin orang tua anak perempuan menanyai seorang lelaki, kapan kamu melamar anakku? Itu harus inisiatif dari kamu, Gilang. Sudah malam, aku harus kembali ke penginapan, sampai jumpa,” ujarku. Akan tetapi lagi-lagi ia menghalangiku.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku, aku tidak yakin kalau kamu sudah tidak cinta denganku”.

“Jangan pede, kamu tidak tahu apa-apa, jadi jangan sok tahu”.

“Kamu tidak usah menutupi, terlihat jelas di matamu bahwa kamu masih mencintaiku”.

Kamu benar Gilang, ya aku memang tidak akan pernah bisa berbohong kepadamu. Aku tidak menghiraukannya, lalu pergi ke kasir untuk membayar dan meninggalkannya.

“Aku akan meminta jawabannya besok pagi, seberapa lama pun akan kutunggu jawabanmu,” serunya ketika aku meninggalkannya.

Aku pun tersenyum lebar dan tertawa. Entah sehebat apa seorang Gilang Prasetya bisa menghancurkan batu es dalam hitungan menit. Ah, Gilang, kamu tidak perlu menunggu pagi untuk menunggu jawaban. Sebelum meninggalkan kafe, aku menitipkan secarik kertas kepada pelayan untuk diberikan kepadanya. Secarik kertas bertuliskan, “Iya”. Tentu kalian heran kenapa aku berubah pikiran hanya dalam hitungan menit. Aku tidak berminat untuk menuliskan cerita cinta tak sampai, kandas karena hanya mengedepankan ego. Aku belajar bahwa kita harus jujur dengan perasaan.

Aku pun berlari menuju resort karena pasti Gilang mengejarku dan membalas apa yang sudah kuperbuat.