Pages

Labels

Kamis, 02 Juli 2015

Ikan Asin Mamak Ina



Dulu aku tidak terlalu peduli dengan isu tentang Mamak Ina, tetapi semenjak ia pergi meninggalkan gubuknya menuju rumah kontrakan tepat di depan rumahku, aku mulai terusik. Mungkin dulu aku belum pernah bertatap muka sedekat ini dengannya. Benar kata orang, Mamak Ina sosok yang cukup membuat bulu kuduk anak-anak kecil seumuranku merinding. Tubuhnya yang besar dan kekar, kulitnya yang kecoklatan selalu dilapisi keringat, gigi kekuning-kuning, rambut ikal digerai. Pernah suatu hari aku bertatap muka dengannya, ia tiba-tiba muncul di ambang pintu rumahku.

“Mana Mamakmu?” tanyanya datar.

“Di..di..sumur belakang Mak,” jawabku ketakutan.

“Panggilkan Mamakmu, bilang kalau ikan asin pesanannya datang”.

Tanpa berkata-kata, aku langsung berlari ke belakang memanggil Mamakku. Setiap anak kecil pasti ketakutan bertemu dengannya. Pasalnya, tersebar isu bahwa para anak kecil yang masih bermain ketika maghrib akan diculik olehnya, lalu dikutuk menjadi ikan dan dijadikan ikan asin untuk dijual.  Itu rahasia kelezatan ikan asin Mamak Ina, karena ikannya berasal dari anak-anak kecil yang tidak pulang ke rumah. 

Setiap malam pasti terdengar suara anak kecil menjerit dan menangis dari dalam rumah Mamak Ina. Memang belum pernah satu orang pun dari warga desa ini yang mencari tahu, siapakah yang menjerit di rumahnya? Setahu warga, Mamak Ina tidak mempunyai anak, dia hanya tinggal sebatang kara. Konon, dia sudah hidup puluhan tahun disini semenjak suaminya pergi meninggalkannya ketika ia berumur 35 tahun. Maka dari itu, Mamak Ina tidak sempat mempunyai anak. Dari situlah tersebar isu bahwa suara jeritan dari dalam rumahnya adalah anak kecil yang sedang dikutuk menjadi ikan.

“Kau lihat Topan, tangannya yang besar itu biasanya dibuat untuk mencekik anak yang diculiknya. Rambutnya yang lebat dipakai untuk menyumpal mulut anak tersebut,” ujar Kak Lingga ketika Mamak Ina sedang menyapu halaman rumahnya. Biasanya aku tidak pernah percaya apa yang dikatakannya, karena dia sering berbual, tetapi untuk masalah Mamak Ina aku sedikit percaya dengannya.

“Tetapi kalau mulutnya disumpal pakai rambut, kenapa kita masih mendengar jeritan anak kecil dari rumahnya?” tanyaku semakin penasaran.

“Di rambutnya itu terdapat bius tidur, jadi siapa saja yang disumpal mulutnya dengan rambut Mamak Ina pasti dia akan pingsan. Mengapa masih menjerit? Karena mantra kutukannya lebih kuat dari kekuatan biusnya sehingga kita mendengar suara jeritan yang sangat hebat”.

Aku menggangguk-anggukan kepala. Tak terasa bulu kudukku naik.

“Makanya, sebelum maghrib kau harus pulang, mandi lalu pergi ke surau untuk mengaji,” kata Kak Lingga kembali.

                                                                        ***
Hari ini aku berniat untuk menyelidiki rumah Mamak Ina. Aku ingin membuktikan, benarkah yang dikatakan warga tentangnya. Sebelum maghrib aku pulang, mandi lalu berpakaian rapi seperti hendak pergi ke surau. Aku berbohong kepada Mamak bahwa sepulang dari surau akan menginap di rumah Pandu. Kukayuh sepeda menuju jalan ke surau, seharusnya setelah jalan lurus ini belok ke kanan, tetapi aku memutar arah lewat belakang menuju rumah Mamak Ina. 

Adzan magrib berkumandang, kebetulan aku sudah sampai di halaman belakang rumah Mamak Ina.  Terlihat sepi, hanya suara pohon bambu di belakangku yang meramaikan. Aku bersembunyi diantara pohon-pohon pisang yang tumbuh di halaman belakang. Lalu terdengar suara gemercik air,ternyata Mamak Ina berwudhu di keran belakang rumah. Aku tidak menyangka Mamak Ina yang taat beribadah menggunakan sihir, seharusnya dia tahu bahwa yang dilakukannya adalah dosa.

Langit mulai gelap, tidak ada tanda-tanda Mamak Ina keluar ke halaman belakang. Konon, ia melakukan ritualnya di halaman belakang ketika malam hari. Mungkin karena masih jam 8, warga desa pun masih banyak yang berlalu lalang di sekitarnya. Lama-lama aku tidak betah bersembunyi, apalagi semua tangan dan kakiku habis digigiti oleh nyamuk-nyamuk besar. 

Akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri persembunyianku. Aku berniat akan pulang ke rumah, lalu merangkai cerita buatanku, alasan kenapa aku tidak jadi menginap di rumah Pandu. Ketika mengangkat sepedaku, stirnya menyangkut diantara pagar bambu milik Mamak Ina. Aku berusaha menariknya pelan-pelan, tetapi tidak berhasil. Secara paksa kutarik sepeda milikku, tiba-tiba, “Bruuuk!” pagar bambu ambruk. Aku panik. Terdengar derap langkah dari dalam rumah, Mamak Ina!
“Siapa kau?!” teriak Mamak Ina sambil mengacungkan pisau besar miliknya.

Aku ketakutan setengah mati, dengan tubuh yang menggigil kuangkat sepeda tersebut lalu mengkayuhnya dengan cepat. Sebelum pergi aku mendengar Mamak Ina berkata, “Kujadikan ikan asin baru tahu rasa!”. Membuatku semakin percaya isu tentang kutukan tersebut. Ketika Mamak Ina keluar rumahnya, aku melihat seseorang duduk di belakangnya, mukanya tidak terlihat jelas, hanya matanya yang tajam terlihat dari jauh membuatku hampir mati berdiri. Kukayuh sepedaku sekuat tenaga, lalu berjanji tidak akan mendekati rumah itu lagi.

                                                                        ***
Setelah itu aku menceritakan apa yang kualami kepada Kak Lingga.

“Untung saja kau tidak ditangkap olehnya, bisa-bisa kau sudah menjadi ikan asin siap untuk digoreng,” ujar Kak Lingga.

“Tapi kakak jangan bilang-bilang Mamak kalau aku tidak pergi ke surau,” pintaku dengan wajah memelas.

“Asalkan kau mau membelikanku es cendol Mamak Lina”.

Aku mendengus kesal. Selain tukang bual, Kak Lingga juga tukang palak.

                                                                        ***
“Antarkan nasi kebuli ini ke rumah Mamak Ina, sekarang, mumpung masih panas,” perintah Mamak yang membuat jantungku hampir jatuh.

“Kak Lingga sajalah Mak, aku sudah ditunggu Pandu di rumahnya,” ujarku beralasan.

“Kakakmu mengantarkan nasi kebuli juga ke desa sebelah pakai motor, kau tidak bisa mengendarai motor, jadi sebelum ke rumah pandu mampirlah sebentar ke depan rumah”.

Tidak tega menolak kembali perintah Mamak, kuiya-kan saja meski keringat dingin mulai bercucuran mengingat apa yang kualami dua hari yang lalu. Kulambat-lambatkan langkah kakiku. Sampai di depan pintunya, bulu kudukku spontan berdiri, keringat dingin semakin deras mengucur. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengetukkan pintu. Terdengar suara derap langkah berat dari dalam, derap langkah milik Mamak Ina yang khas.

“Kau lagi, mau mengintip rumahku lagi?” ujarnya dengan kedua bola matanya yang hampir keluar.

Aku terkejut, berarti dia tahu bahwa aku pelakunya?

“I..i..ini ada nasi kebuli dari Mamak,” jawabku gemetaran.

“Masuklah ke dalam”.

Sebenarnya aku enggan menanggapi ajakannya, khawatir akan dikutuk olehnya di dalam rumah. Akan tetapi mendengar ajakannya yang tulus dan wajahnya berubah tidak segarang ketika membukakan pintu, akhirnya aku memasuki rumahnya. Mamak Ina menyuruhku duduk di sofa usang yang ada di ruang tamu. Lalu terdengar seperti suara kursi roda berjalan menuju ruang tamu. Muncullah seorang anak kecil di atas kursi roda, tubuhnya dipenuhi oleh balutan perban putih. 

Ternyata dia adalah anaknya Mamak Ina. Aku terkejut bukan main. Namanya Sekar, aku melihat poto yang diberikan oleh Mamak Ina, dia cantik dan beda sekali dengan ibunya. Rupanya dulu sebelum Mamak Ina tinggal di desa ini, ia tinggal di kota. Lalu suatu hari rumahnya mengalami kebakaran disebabkan gas di dapurnya meledak. Suaminya meninggal dan Sekar terkena luka bakar yang parah. Ketika itu Mamak Ina sedang berbelanja ke pasar.

Setelah itu, Mamak Ina dan Sekar pindah ke desa dan tinggal di gubuk, karena tidak mampu menyewa kontrakan yang layak. Semua hartanya habis dilalap oleh api, gubuk itu pun pemberian dari Pak tua yang tinggal di desa ini. Maka dari itu, Mamak Ina berjualan ikan asin untuk membiayai pengobatan anaknya dan makan sehari-hari.Ternyata hasil penjualan ikan asin tidak mencukupi biaya pengobatan, Mamak Ina memutuskan meracik obat-obatan dari tumbuhan. Setiap malam hari dibalurkan ke seluruh tubuh Sekar, ternyata suara jeritan tersebut adalah suaranya. 

Mamak Ina memang merahasiakan keberadaan Sekar, karena Sekar malu dengan keadaannya sekarang. Setiap hari ia menjajakan ikan-ikan asin buatannya dari pintu ke pintu. Sehingga ia dan Sekar bisa pindah ke rumah kontrakan yang layak. Sebenarnya Mamak Ina mengetahui isu negatif tentangnya, tetapi dia biarkan saja, karena dengan itu jarang ada anak kecil yang berkeliaran ketika magrib. Juga menghindari orang-orang dari rumahnya sehingga keberadaan Sekar tidak diketahui oleh orang-orang.

Setelah mendapat cerita panjang dari Mamak Ina, aku berpamitan juga tidak lupa meminta maaf kepadanya atas kejadian dua hari yang lalu.

“Tidak apa-apa Topan. Lain kali main-mainlah kesini, temani Sekar,” ujar Mamak Ina masih dengan ekspresinya yang datar.

Aku tersenyum tanda menyetujui undangannya. Dari peristiwa Mamak Ina, aku mendapat pelajaran bahwa kita tidak bisa menilai orang lain hanya dengan apa yang kita lihat. Mamak Ina yang terlihat menyeramkan, ternyata memiliki hati lembut. Akan tetapi, anggapanku yang tadi tiba-tiba buyar mendengar teriakan milik Mamak Ina.

“Topaan, kau menginjak tanaman depan rumahku, awas, lain kali kau akan kujadikan ikan asin betulan!”

2 komentar: