Dulu aku tidak terlalu peduli dengan
isu tentang Mamak Ina, tetapi semenjak ia pergi meninggalkan gubuknya menuju
rumah kontrakan tepat di depan rumahku, aku mulai terusik. Mungkin dulu aku
belum pernah bertatap muka sedekat ini dengannya. Benar kata orang, Mamak Ina
sosok yang cukup membuat bulu kuduk anak-anak kecil seumuranku merinding.
Tubuhnya yang besar dan kekar, kulitnya yang kecoklatan selalu dilapisi
keringat, gigi kekuning-kuning, rambut ikal digerai. Pernah suatu hari aku
bertatap muka dengannya, ia tiba-tiba muncul di ambang pintu rumahku.
“Mana Mamakmu?” tanyanya datar.
“Di..di..sumur belakang Mak,” jawabku
ketakutan.
“Panggilkan Mamakmu, bilang kalau
ikan asin pesanannya datang”.
Tanpa berkata-kata, aku langsung berlari
ke belakang memanggil Mamakku. Setiap anak kecil pasti ketakutan bertemu
dengannya. Pasalnya, tersebar isu bahwa para anak kecil yang masih bermain
ketika maghrib akan diculik olehnya, lalu dikutuk menjadi ikan dan dijadikan
ikan asin untuk dijual. Itu rahasia
kelezatan ikan asin Mamak Ina, karena ikannya berasal dari anak-anak kecil yang
tidak pulang ke rumah.
Setiap malam pasti terdengar suara
anak kecil menjerit dan menangis dari dalam rumah Mamak Ina. Memang belum
pernah satu orang pun dari warga desa ini yang mencari tahu, siapakah yang
menjerit di rumahnya? Setahu warga, Mamak Ina tidak mempunyai anak, dia hanya
tinggal sebatang kara. Konon, dia sudah hidup puluhan tahun disini semenjak
suaminya pergi meninggalkannya ketika ia berumur 35 tahun. Maka dari itu, Mamak
Ina tidak sempat mempunyai anak. Dari situlah tersebar isu bahwa suara jeritan
dari dalam rumahnya adalah anak kecil yang sedang dikutuk menjadi ikan.
“Kau lihat Topan, tangannya yang
besar itu biasanya dibuat untuk mencekik anak yang diculiknya. Rambutnya yang
lebat dipakai untuk menyumpal mulut anak tersebut,” ujar Kak Lingga ketika
Mamak Ina sedang menyapu halaman rumahnya. Biasanya aku tidak pernah percaya
apa yang dikatakannya, karena dia sering berbual, tetapi untuk masalah Mamak Ina
aku sedikit percaya dengannya.
“Tetapi kalau mulutnya disumpal pakai
rambut, kenapa kita masih mendengar jeritan anak kecil dari rumahnya?” tanyaku
semakin penasaran.
“Di rambutnya itu terdapat bius
tidur, jadi siapa saja yang disumpal mulutnya dengan rambut Mamak Ina pasti dia
akan pingsan. Mengapa masih menjerit? Karena mantra kutukannya lebih kuat dari
kekuatan biusnya sehingga kita mendengar suara jeritan yang sangat hebat”.
Aku menggangguk-anggukan kepala. Tak
terasa bulu kudukku naik.
“Makanya, sebelum maghrib kau harus
pulang, mandi lalu pergi ke surau untuk mengaji,” kata Kak Lingga kembali.
***
Hari ini aku berniat untuk
menyelidiki rumah Mamak Ina. Aku ingin membuktikan, benarkah yang dikatakan
warga tentangnya. Sebelum maghrib aku pulang, mandi lalu berpakaian rapi
seperti hendak pergi ke surau. Aku berbohong kepada Mamak bahwa sepulang dari
surau akan menginap di rumah Pandu. Kukayuh sepeda menuju jalan ke surau,
seharusnya setelah jalan lurus ini belok ke kanan, tetapi aku memutar arah lewat
belakang menuju rumah Mamak Ina.
Adzan magrib berkumandang, kebetulan
aku sudah sampai di halaman belakang rumah Mamak Ina. Terlihat sepi, hanya suara pohon bambu di
belakangku yang meramaikan. Aku bersembunyi diantara pohon-pohon pisang yang
tumbuh di halaman belakang. Lalu terdengar suara gemercik air,ternyata Mamak
Ina berwudhu di keran belakang rumah. Aku tidak menyangka Mamak Ina yang taat
beribadah menggunakan sihir, seharusnya dia tahu bahwa yang dilakukannya adalah
dosa.
Langit mulai gelap, tidak ada
tanda-tanda Mamak Ina keluar ke halaman belakang. Konon, ia melakukan ritualnya
di halaman belakang ketika malam hari. Mungkin karena masih jam 8, warga desa
pun masih banyak yang berlalu lalang di sekitarnya. Lama-lama aku tidak betah
bersembunyi, apalagi semua tangan dan kakiku habis digigiti oleh nyamuk-nyamuk
besar.
Akhirnya aku memutuskan untuk
mengakhiri persembunyianku. Aku berniat akan pulang ke rumah, lalu merangkai
cerita buatanku, alasan kenapa aku tidak jadi menginap di rumah Pandu. Ketika mengangkat
sepedaku, stirnya menyangkut diantara pagar bambu milik Mamak Ina. Aku berusaha
menariknya pelan-pelan, tetapi tidak berhasil. Secara paksa kutarik sepeda
milikku, tiba-tiba, “Bruuuk!” pagar bambu ambruk. Aku panik. Terdengar derap
langkah dari dalam rumah, Mamak Ina!
“Siapa kau?!” teriak Mamak Ina sambil
mengacungkan pisau besar miliknya.
Aku ketakutan setengah mati, dengan
tubuh yang menggigil kuangkat sepeda tersebut lalu mengkayuhnya dengan cepat.
Sebelum pergi aku mendengar Mamak Ina berkata, “Kujadikan ikan asin baru tahu
rasa!”. Membuatku semakin percaya isu tentang kutukan tersebut. Ketika Mamak
Ina keluar rumahnya, aku melihat seseorang duduk di belakangnya, mukanya tidak
terlihat jelas, hanya matanya yang tajam terlihat dari jauh membuatku hampir
mati berdiri. Kukayuh sepedaku sekuat tenaga, lalu berjanji tidak akan
mendekati rumah itu lagi.
***
Setelah itu aku menceritakan apa yang
kualami kepada Kak Lingga.
“Untung saja kau tidak ditangkap
olehnya, bisa-bisa kau sudah menjadi ikan asin siap untuk digoreng,” ujar Kak
Lingga.
“Tapi kakak jangan bilang-bilang
Mamak kalau aku tidak pergi ke surau,” pintaku dengan wajah memelas.
“Asalkan kau mau membelikanku es
cendol Mamak Lina”.
Aku mendengus kesal. Selain tukang
bual, Kak Lingga juga tukang palak.
***
“Antarkan nasi kebuli ini ke rumah
Mamak Ina, sekarang, mumpung masih panas,” perintah Mamak yang membuat
jantungku hampir jatuh.
“Kak Lingga sajalah Mak, aku sudah
ditunggu Pandu di rumahnya,” ujarku beralasan.
“Kakakmu mengantarkan nasi kebuli
juga ke desa sebelah pakai motor, kau tidak bisa mengendarai motor, jadi
sebelum ke rumah pandu mampirlah sebentar ke depan rumah”.
Tidak tega menolak kembali perintah
Mamak, kuiya-kan saja meski keringat dingin mulai bercucuran mengingat apa yang
kualami dua hari yang lalu. Kulambat-lambatkan langkah kakiku. Sampai di depan
pintunya, bulu kudukku spontan berdiri, keringat dingin semakin deras mengucur.
Akhirnya kuberanikan diri untuk mengetukkan pintu. Terdengar suara derap
langkah berat dari dalam, derap langkah milik Mamak Ina yang khas.
“Kau lagi, mau mengintip rumahku
lagi?” ujarnya dengan kedua bola matanya yang hampir keluar.
Aku terkejut, berarti dia tahu bahwa
aku pelakunya?
“I..i..ini ada nasi kebuli dari
Mamak,” jawabku gemetaran.
“Masuklah ke dalam”.
Sebenarnya aku enggan menanggapi
ajakannya, khawatir akan dikutuk olehnya di dalam rumah. Akan tetapi mendengar
ajakannya yang tulus dan wajahnya berubah tidak segarang ketika membukakan
pintu, akhirnya aku memasuki rumahnya. Mamak Ina menyuruhku duduk di sofa usang
yang ada di ruang tamu. Lalu terdengar seperti suara kursi roda berjalan menuju
ruang tamu. Muncullah seorang anak kecil di atas kursi roda, tubuhnya dipenuhi
oleh balutan perban putih.
Ternyata dia adalah anaknya Mamak
Ina. Aku terkejut bukan main. Namanya Sekar, aku melihat poto yang diberikan
oleh Mamak Ina, dia cantik dan beda sekali dengan ibunya. Rupanya dulu sebelum
Mamak Ina tinggal di desa ini, ia tinggal di kota. Lalu suatu hari rumahnya
mengalami kebakaran disebabkan gas di dapurnya meledak. Suaminya meninggal dan
Sekar terkena luka bakar yang parah. Ketika itu Mamak Ina sedang berbelanja ke
pasar.
Setelah itu, Mamak Ina dan Sekar
pindah ke desa dan tinggal di gubuk, karena tidak mampu menyewa kontrakan yang
layak. Semua hartanya habis dilalap oleh api, gubuk itu pun pemberian dari Pak
tua yang tinggal di desa ini. Maka dari itu, Mamak Ina berjualan ikan asin
untuk membiayai pengobatan anaknya dan makan sehari-hari.Ternyata hasil
penjualan ikan asin tidak mencukupi biaya pengobatan, Mamak Ina memutuskan
meracik obat-obatan dari tumbuhan. Setiap malam hari dibalurkan ke seluruh
tubuh Sekar, ternyata suara jeritan tersebut adalah suaranya.
Mamak Ina memang merahasiakan
keberadaan Sekar, karena Sekar malu dengan keadaannya sekarang. Setiap hari ia
menjajakan ikan-ikan asin buatannya dari pintu ke pintu. Sehingga ia dan Sekar
bisa pindah ke rumah kontrakan yang layak. Sebenarnya Mamak Ina mengetahui isu
negatif tentangnya, tetapi dia biarkan saja, karena dengan itu jarang ada anak
kecil yang berkeliaran ketika magrib. Juga menghindari orang-orang dari
rumahnya sehingga keberadaan Sekar tidak diketahui oleh orang-orang.
Setelah mendapat cerita panjang dari
Mamak Ina, aku berpamitan juga tidak lupa meminta maaf kepadanya atas kejadian
dua hari yang lalu.
“Tidak apa-apa Topan. Lain kali
main-mainlah kesini, temani Sekar,” ujar Mamak Ina masih dengan ekspresinya
yang datar.
Aku tersenyum tanda menyetujui
undangannya. Dari peristiwa Mamak Ina, aku mendapat pelajaran bahwa kita tidak
bisa menilai orang lain hanya dengan apa yang kita lihat. Mamak Ina yang
terlihat menyeramkan, ternyata memiliki hati lembut. Akan tetapi, anggapanku
yang tadi tiba-tiba buyar mendengar teriakan milik Mamak Ina.
“Topaan, kau menginjak tanaman depan
rumahku, awas, lain kali kau akan kujadikan ikan asin betulan!”
Cerpen lama bersemi kembali :v
BalasHapushahaha baru sempet posting :p
BalasHapus