Pages

Labels

Jumat, 31 Juli 2015

Gumpalan Perasaan



“Hey!” seorang gadis berambut sebahu menepuk pundakku, Reni namanya.


Aku membalikkan badan dan tersenyum kepadanya.

“Kemana aja lu, reuni nggak pernah datang,” ujarnya kepadaku.

“Kebetulan aja Ren gue lagi nggak di Jakarta, buktinya gue dateng nih sekarang,” jawabku sambil tersenyum.

Sebenarnya bukan itu saja alasanku tidak pernah datang ke acara reuni sekolah dasarku. Kebetulan reuni tahun ini bertempat di salah satu rumah temanku. Rumahnya terletak di dalam sekolah, karena oranng tuanya yang memiliki sekolah ini. Biasanya reuni bertempat di kafe-kafe dan acara berlangsung sampai jam 2-3 pagi, isinya menari-nari hingga pagi. Mana mungkin orang tuaku mengizinkan, karena sekarang di rumah pasti tidak sampai larut malam dan isi acaranya hanya kumpul lalu makan. 

Aku sebenarnya malas datang ke reuni, pasalnya kehidupanku pada masa SD tidak begitu menyenangkan. Hidup di kota besar seperti Jakarta bukan hal yang mudah. Anak SD saja gayanya sudah seperti artis ibukota. Memakai pernak-pernik yang mahal, alat-alat tulis yang bagus, belum uang jajan dalam jumlah besar. Rata-rata murid-murid di sekolah diberikan uang saku oleh orang tuanya sebesar sepuluh ribu rupiah dan itu pun paling kecil, ada yang dua puluh ribu dan lebih banyak lagi. Sedangkan aku hanya diberikan uang saku sejumlah lima ribu rupiah, cukup untuk naik angkot pulang-pergi dan semangkuk bakso yang hanya tiga biji dan sejumput mie. Untuk menambah kerupuk saja tidak cukup, biasanya temanku yang menambahkan. Itu terjadi di tahun 2003-2003, tidak bisa dibayangkan anak SD pada tahun sekarang.

Pernah berkhayal, andai saja aku bisa masuk sekolah negeri yang tidak terlalu mahal, sehingga standar kehidupan murid-muridnya pun tidak terlalu tinggi. Aku dibesarkan oleh orang tua yang berprinsip untuk hidup hemat, aku tidak pernah dimanjakan dengan bergelimang harta. Ya memang ekonomi keluargaku waktu dulu belum sebaik sekarang. Hanya orang berduit dan berparas cantik yang banyak temannya. Sebagian murid yang ekonomi kelarganya pas-pasan pun memaksa mengikuti gaya murid-murid yang kaya raya. Sedangkan aku tetap dengan gayaku yang sederhana dan apa adanya, ya mungkin karena itu aku memiliki sedikit teman dan didukung oleh sifat pendiamku. Namun tidak banyak teman-teman SD ku sekarang yang menjadi sok akrab, mungkin setelah tahu aku lulusan luar negeri jadinya aku dianggap selevel dengan mereka, itu hanya pikiran burukku.

“Hey, kamu Gadis kan?” Tanya seorang lelaki memakai topi biru, kebetulan dia sedang mengambil pudding dimana aku sedang melamun di depannya.

“Iya, kamu Bagas bukan?” tanyaku balik.

Dia menggangguk tersenyum. Masih sama seperti yang dulu, manis dan lembut.

“Kok sendirian aja, nggak gabung sama yang lain?” tanyanya.

“Iya nih, masih kikuk aja soalnya udah lama nggak dateng reuni, agak lupa-lupa gitu nama-namanya”.

“Aku juga sih, dari pertama kali reuni baru kali ini dateng”.

“Iya aku tahu kok kamu nggak pernah dateng”.

Bagas terdiam, lalu mengalihkan pembicaraan.

“Oh iya, gimana pengalaman kamu selama di Belanda? Seru banget kayaknya”.

“Ah seru banget Gas, kayaknya  4 tahun nggak cukup buat menikmati keindahan seluruh negara-negara di Eropa, kamu harus kesana”.

“Hahaha kayaknya butuh gaji aku 10 tahun baru bisa keliling Eropa, emang kamu udah kemana aja?”

“Ya banyak Gas, setiap liburan akhir semester aku sama teman-teman backpacker ngunjungin beberapa negara. Jadinya setiap dapat beasiswa kita kumpulin buat jalan-jalan, gila kan? Hahaha” 

“Wah seru banget tuh, jadi pengen kesana”.

“Nanti kalo kesana gue siap jadi guide lu”.

“Bisa aja lu, terus kuliah udah selesei nih? Rencana selanjutnya gimana?”

“Ini gue lagi nyari-nyari kerja, ya nanti kalau ada kesempatan mau nerusin sekolah lagi”.

“Gila, sukses deh buat lu”

“Lu masih kerja di restoran yang dulu?”

“Ya masih, gini-gini aja hidup gue mah”.

Di sela-sela percakapan seru kami, pembawa acara menyuruh semuanya berkumpul untuk acara doorprize. Akhirnya aku bangkit dari tempat duduk tadi menuju tempat pembagian doorprize. Ternyata Bagas mengikutiku, lalu dia mengambil tempat duduk di sampingku lagi.

“Dis, gue mau ngomong sesuatu,” ujarnya.

“Apa Gas?”

“Maafin sifat gue yang dulu, nggak pernah balas telpon dari lu, sms juga. Kan lu tau kehidupan gue berantakan semenjak lulus SD, jadinya gue menghindar dari semua teman SD, termasuk lu”.

“Iya gue ngerti kok Gas. Waktu itu gue cuma pengen tau kabar-kabar teman dekat gue, ya secara kita berdua pernah duduk sebangku dulu. Si Aldo juga udah cerita, semuanya dan segalanya”.

Bagas terdiam sejenak, lalu lagi-lagi ia mengalihkan pembicaraan.

“Jadi kangen masa-masa SD dulu, inget nggak dulu si Angel pernah jodoh-jodohin kita berdua gara-gara kita duduk sebangku”.

Aku hanya tersenyum kecut. Bagas terus saja berceloteh tentang kenangan masa lalu, aku malas mendengarnya. Kulirik jam di pergelangan tanganku, oh tidak aku harus pulang sekarang juga.

“Gas, kayaknya gue duluan deh, udah malem nih,” kataku.

“Kok buru-buru banget, ya udah gue anterin ya, kasian lu pulang malem sendirian,” tawarnya.

“Nggak usah repot-repot Gas, udah ada yang….”

Tiba-tiba Reni memotong perkataanku, “Kok udah pulang sih, ciee udah dijemput sama Indra yaa”.

“Indra siapa?” Tanya Bagas terkejut.

“Lah lu nggak tau? Si Gadis ini langsung nikah sepulang dari Belanda, nama suaminya Indra, lu sih keluar dari grup facebook jadi nggak tau undangannya”.

Setelah berpamitan dengan Reni, Bagas menghampiriku.

“Maaf aku nggak tahu kamu sudah menikah”.

“Nggak apa-apa Gas. Oh iya Gas, aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Memang dulu aku punya perasaan terhadap kamu, tetapi telpon, sms dariku semata-mata hanya bentuk perhatian dari seorang teman. Kita pernah dekat, bercanda bareng dan itu sebuah kenangan yang manis. Sayangnya, nggak semua orang bisa berpikiran sama dengan apa yang kupikirkan. Aku mungkin suka denganmu, tetapi aku punya harga diri, aku bukan cewe yang agresif. Maafin aku Gas, aku permisi pulang dulu”.

Akhirnya semua perasaan yang menggumpal di hatiku telah pecah, air mata menggenang di pelupuk mataku. Ketika Indra menghampiriku, langsung kuhapus lalu tersenyum kepadanya. Buat apa menangisi masa lalu yang pahit sedangkan di depanku ada masa depan yang sangat manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar