Ah, aku benci dengan keadaan ini! Sudah sejam lebih aku melamun di kafe ini, sudah dua gelas Latte kuhabiskan. Perutku penuh dengan kafein dan angin malam. Kulempar buku yang sedari tadi kupelototi namun tidak dibaca satu huruf pun. Akan tetapi setidaknya buku ini telah melindungiku dari pemandangan orang-orang pacaran yang sedang bermesraan, hanya membuat perutku mual.
Memang hidup tidak seindah skenario film-film romantis.
Biasanya jika ada seorang gadis melamun sendirian di kafe pasti ada seorang
lelaki ganteng menghampirinya. Well, jangankan ganteng, tak satu pun ada
yang peduli kecuali aku berteriak atau menari-nari depan mereka. Kulihat
pantulan wajahku di kaca beranda kafe, jelas tidak ada yang mahu mendekati
wanita bertampang lusuh seperti ini.
Biasanya yang bertengkar dengan kekasihnya, tidak disangka
sang pujaan hati menghampirinya dan meminta maaf dengan romantis. Hah, mungkin
tidak terbesit dalam pikiran Bara untuk menjemputku di kafe ini, jangan
bermimpi Aileen! Sudah tiga hari aku datang ke kafe ini untuk melamun, tidak
ada tanda-tanda Bara mencariku. Jelas saja dia tak mencariku, bukannya tidak
mencari tetapi tidak bisa dicari. Sudah tiga hari aku menon-aktifkan handphone,
bagaimana dia bisa tahu aku sedang dimana?
Sudah lah, aku hanya bisa pasrah. Kubenamkan wajahku pada
sudut meja, lalu kulihat di bawah meja ada sepasang sepatu. Mungkin salah satu
pelayan berniat mengusirku, karena sudah berjam-jam aku melamun disini.
“Bara?!” seruku ketika mengangkat kepala dan melihat siapa
di depanku.
“Ayo pulang!” serunya sambil menarik tanganku.
Aku hanya diam dan menarik tanganku,lalu membenamkan kembali
kepalaku di atas meja.
“Leen, mau sampai kapan kamu kekanak-kanakan seperti ini?
Sudahlah jangan mendramatisir, jangan ngambekan”.
Memang seperti di film-film, tetapi dia datang untuk
memarahiku, benci!
“Iya aku minta maaf sama kamu, kita pulang ya. Kata Lily
sudah tiga hari kamu makannya sedikit, nggak tidur malam, nongkrong di kafe
sampai larut malam. Kamu bisa sakit Leen, perut kosong kamu isi sama kopi”.
“Tahu nggak Bar, kesalahan kedua kamu apa? Kalau kita lagi
marahan bukannya membujukku malah menceramahiku, coba ngertiin perasaan aku”.
“Leen, coba belajar lebih dewasa, kalau ada masalah bilang
baik-baik sama aku terus diselesaiin sama-sama, bukannya menangis lalu malas
makan, nongkrong di kafe sampai malam, itu salah Leen”.
“Tapi kamu tuh nggak peka, kalau aku lagi butuh kamu dan
kamu lagi sibuk pasti semau kamu. Sedangkan giliran kamu lagi butuh aku,
walaupun aku sibuk ya Bar, aku nggak pernah cuekin kamu. Meski tugas kuliah
banyak, buat nemenin kamu pasti ada waktu, sedangkan kamu lagi sibuk kerja aku
manja dikit dibilang kekanak-kanakan. Aku pusing Bar”.
“Iya iya, aku minta maaf Aileen. Lain kali aku perbaiki
kesalahanku, sekarang kita cari tempat makan ya. Please, aku nggak mau
kamu sakit”.
Aku menganggukkan kepala. Setelah membayar, Bara langsung
membawaku ke restoran terdekat.
“Kamu makan yang banyak, besok-besok kalau ada masalah kamu
cerita ke aku ya. Jangan kabur-kaburan lagi,” ujar Bara.
“Aku udah sering kabur tapi kamu jemput aku cuma sekali
ini,” ujarku sambil memajukan bibir.
“Ya udah ah jangan ngambek lagi, makan yang banyak”.
“Ayam bakar yang aku pesen kurang enak nih”.
“Nih cobain punya aku”.
“Ih enak punya kamu, ya lagi nggak beruntung”.
“Ya udah mau tukeran?”
“Nggak usah ah, itu kan kesukaan kamu”.
“Nggak apa-apa Leen, yang penting kamu makan yang banyak”.
Ini yang aku suka dari Bara, dia rela mengorbankan apa yang
dia suka asal orang yang dicintainya senang. Aku jadi merasa bersalah, sepulang
kerja dia harus menjemput seorang bayi yang lagi ngambek. Aku tahu dia pasti
lelah sekali. Maafkan aku Bar! Aku janji ini kopi dan angin malam terakhir.
“Jangan-jangan selama tiga hari selain nggak makan dan
tidur, kamu nggak mandi ya Leen?” Tanya Bara ketika mengendarai motornya di
perjalanan pulang.
“Lily bilang gitu sama kamu? Dasar mulut ember nih,”
gerutuku.
“Dia sih nggak bilang, tapi dari tadi ada angin nggak enak
dari belakang, haha”.
Spontan aku mencubitnya keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar