Pages

Labels

Kamis, 02 Juli 2015

Tidak Perlu Menunggu Pagi


Pasti semuanya pernah merasakan nikmatnya berlibur setelah dirundung berhari-hari oleh tugas kantor. Setelah menyelesaikan semua naskah liputan, akhirnya aku bisa ke tempat wisata untuk berlibur. “Welcome The Paradise of Java, finally I made it!” seruku dalam hati. Tidak heran pulau Karimun Jawa mendapat julukan The Paradise of Java, sangat eksotis, udaranya pun sangat segar dan jauh dari polusi. Terdapat banyak wisata alam, apalagi bagi pengemar pantai dan laut, tempat ini sangat cocok untuk liburan. Seperti aku yang gila pantai, melihat air biru yang jernih pasti sangat menggoda untuk berenang dan menikmati kesegaran air laut. Sayangnya, berkali-kali aku menginjakan kaki di tempat wisata, baru kali ini bisa berenang sepuasnya.


Kebanyakan orang pasti senang mendapatkan pekerjaan sesuai hobinya. Ya, seharusnya aku banyak bersyukur mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bakatku. Aku menjadi wartawan khusus meliput tempat-tempat pariwisata di majalah ternama di Jakarta. Aku yang mempunyai hobi traveling, fotografi dan menulis, pekerjaan ini sangat cocok untukku. Akan tetapi tidak seindah yang kubayangkan. Ternyata berbeda ketika mengunjungi tempat wisata untuk bekerja dan liburan. Ah, sudahlah karena akhirnya aku bisa mendapatkan liburan panjang sebagai ganti hari-hari penat yang kulalui.
                                                                                ***
Ah, senangnya hari ini bisa berenang sepuasnya, snorkeling, melihat keindahan wisata bawah laut. Sore ini aku akan berjalan-jalan di pantai dekat resort. Sudah lama aku tidak memosting blog yang sudah jamuran akibat deadline yang tidak pernah habis.

Rasanya aku ingin tersenyum lebar, indah sekali pulau ini. Hampir di setiap tempat yang aku lewati berhasil kuabadikan. Aku duduk di atas pasir halus pinggiran pantai, sambil melihat hasil jepretanku. Tunggu, sepertinya tidak asing orang ini. Kutekan tombol zoom, dugaanku tidak meleset. Kenapa orang itu ada disini? Jangan bilang dia sengaja mengikutiku, oh please Bunga jangan ge-er

“Ih, kenapa sih manusia yang paling nggak penting itu ada disini?” gerutuku.

“Memangnya siapa yang tidak penting?”.

Tiba-tiba seorang lelaki duduk di sampingku, ingin kuberanjak dari tempat duduk tetapi egoku menahan. Jika aku pergi, dia akan merasa menang.

“Kok nggak dijawab? Beneran nggak penting?”.

Aku kembali diam, pura-pura tidak mendengar.

“Woy, ada orang loh disini! Masak dicuekin?” serunya sambil melambaikan tangan di depan wajahku.

"Kamu tahu dari mana aku disini? Setahuku tidak ada yang tahu," tanyaku

Bodoh, seharusnya pertanyaan tadi tidak keluar dari mulutku. Akan tetapi aku benar-benar ingin tahu. 
"Hahaha gimana nggak tahu, kamu kan update di Path kalau lagi di Karimun Jawa".

“Maaf saya sedang liburan dan orang yang tidak berkepentingan dilarang menggangu”.

“Tetapi aku punya urusan penting sama kamu”.

“Dan saya tidak merasa punya urusan dengan anda, saya permisi dulu”.

Aku pun beranjak meninggalkannya, dia terus membuntutiku. Sepertinya aku harus tegas, kalau tidak dia tahu dimana tempat aku menginap.

“Saya rasa anda berhenti mengikuti saya”.

“Aku cuma minta waktu sebentar saja”.

“Kan sudah saya bilang, saya tidak punya urusan dengan anda”.

“Tetapi aku merasa punya urusan, ya sudah nanti malam aku jemput kamu”.

Silahkan saja, pasti kamu tidak tahu dimana aku tinggal, batinku.

                                                                                                ***
Perutku daritadi berteriak minta diisi, aku tidak berani keluar karena pasti pria itu menungguku. Ah, lagipula dia tidak tahu dimana aku tinggal, dan aku sudah bertekad untuk pergi ke rumah makan yang sudah aku idam-idamkan sejak kemarin. Aku memakai topi dan rambutku yang panjang dimasukkan ke dalamnya, lalu memakai kacamata hitam. Berhasil, tidak ada tanda-tanda manusia pengacau itu datang. Aku pun melenggang dengan bebas sambil bersiul bahagia. Kamu hebat Bunga, dengan seperti pasti tidak ada yang mengenalimu.

“Hai, cewek bertopi!”

Ah, sial! Aku berfirasat buruk saat mendengar suara tadi.

“Kamu mau nyamar kayak gimana pun aku masih mengenalimu. Lagian kamu aneh malam-malam pakai kacamata hitam, nggak takut kesandung batu?” ujarnya sambil tertawa mengejek.

Kubuka kacamata bodoh ini, lalu menatapnya tajam.

“Iya maaf, maaf, ayo kita mau makan dimana?”

“Gilang, aku mohon tinggalin aku sendirian,” ujarku dengan tegas.

“Aku akan tinggalin kamu setelah urusan kita selesai, aku hanya minta 15 menit untuk bicara, Bunga”.

“Oke, kita bicara disini saja”.

“Aku nggak bisa ngebiarin kamu kelaparan, pasti kamu menahan lapar gara-gara takut ketemu aku kan? Kita makan lalu cari kafe untuk bicara, oke?”

Akhirnya aku menyetujuinya. Ah, Gilang ternyata kamu belum berubah. Kamu selalu tahu cara menghadapi sifat keras kepalaku. Aku lupa satu hal bahwa kamu satu-satunya orang yang tidak bisa kubohongi. 

“Kan enak ngobrol kalau sudah kenyang,” ujarnya setibanya di kafe tak jauh dari restaurant tadi.

“Langsung aja ke inti pembicaraan, urusan penting apa yang ingin anda sampaikan?”

“Hahaha ternyata aku salah punya musuh si Ratu Es, tetapi tenang saja aku tetap suka karena semakin dingin semakin menantang”.

Aku menatapnya dengan tajam, lalu ia berhenti menertawakanku.

“Oke, oke, kali ini aku serius. Aku hanya ingin minta maaf kepadamu,” ujarnya tulus.

“Minta maaf untuk apa?” tanyaku dingin.

“Karena telah menyia-nyiakanmu tiga bulan yang lalu, aku benar-benar minta maaf”. 

“Kamu nggak salah, itu hak kamu untuk sibuk dengan pekerjaan, dan hey itu hidup kamu, aku ini siapa sok mengatur hidup orang lain”.

“Ini salah aku Bunga, tidak seharusnya aku mengedepankan pekerjaan daripada kamu. Ingat, kamu itu masa depanku, bukan orang lain”.

“Ya mungkin aku yang egois minta dinomor satukan. Sebenarnya itu pilihan kamu, aku tidak punya hak memaksamu untuk memilih pernikahan daripada pekerjaan. Meraih prestasi yang hebat dalam karir di usia muda pasti sangat menggiurkan, bukan salahmu jika kamu lebih memilih karir ketimbang aku”.

“Tetapi aku yang keterlaluan, kamu membatalkan beasiswa ke luar negri yang susah payah diraih hanya demi menepati janji kita berdua”.

“Mungkin itu bukan rejeki aku, buktinya sekarang diganti dengan pekerjaan idamanku. Dengar ya Gilang, apa pun yang terjadi di masa lalu tidak usah dibicarakan lagi. Iya aku maafkan, dan sekarang kita jalani hidup masing-masing,” ujarku dan ketika ingin beranjak pergi, ia menahanku.

“Aku ingin kita membuka lembaran baru. Aku ingin memenuhi janji kita berdua, aku mohon”.

Aku terdiam, sebenarnya aku sangat merindukanmu, tetapi malah sebaliknya yang keluar dari mulut ini.

“Lebih baik kamu cari perempuan yang lebih baik, pasti banyak yang mau. Siapa sih yang menolak menikah dengan pria tampan dan mapan. Aku tidak mau menjanjikan orang tuaku lagi, tidak mau memberi harapan palsu”.

“Sekali lagi aku minta maaf telah menyia-nyiakanmu, aku juga akan meminta maaf ke orang tuamu nanti. Seharusnya tiga bulan yang lalu aku datang melamarmu, maafkan keegoisanku, Bunga”.

“Kamu seharusnya tahu, tidak mungkin orang tua anak perempuan menanyai seorang lelaki, kapan kamu melamar anakku? Itu harus inisiatif dari kamu, Gilang. Sudah malam, aku harus kembali ke penginapan, sampai jumpa,” ujarku. Akan tetapi lagi-lagi ia menghalangiku.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku, aku tidak yakin kalau kamu sudah tidak cinta denganku”.

“Jangan pede, kamu tidak tahu apa-apa, jadi jangan sok tahu”.

“Kamu tidak usah menutupi, terlihat jelas di matamu bahwa kamu masih mencintaiku”.

Kamu benar Gilang, ya aku memang tidak akan pernah bisa berbohong kepadamu. Aku tidak menghiraukannya, lalu pergi ke kasir untuk membayar dan meninggalkannya.

“Aku akan meminta jawabannya besok pagi, seberapa lama pun akan kutunggu jawabanmu,” serunya ketika aku meninggalkannya.

Aku pun tersenyum lebar dan tertawa. Entah sehebat apa seorang Gilang Prasetya bisa menghancurkan batu es dalam hitungan menit. Ah, Gilang, kamu tidak perlu menunggu pagi untuk menunggu jawaban. Sebelum meninggalkan kafe, aku menitipkan secarik kertas kepada pelayan untuk diberikan kepadanya. Secarik kertas bertuliskan, “Iya”. Tentu kalian heran kenapa aku berubah pikiran hanya dalam hitungan menit. Aku tidak berminat untuk menuliskan cerita cinta tak sampai, kandas karena hanya mengedepankan ego. Aku belajar bahwa kita harus jujur dengan perasaan.

Aku pun berlari menuju resort karena pasti Gilang mengejarku dan membalas apa yang sudah kuperbuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar