Pages

Labels

Jumat, 05 September 2014

Sungai Kerinduan


Di malam yang sunyi, ketika orang-orang terlelap. Hanya ada suara gonggongan anjing dan perutku yang berteriak sedari tadi meminta haknya. Kebiasaan burukku lapar tengah malam, lagi pula malas. Bukan malas untuk memasak atau sekedar menyiduk sayur yang tersisa, tetapi tidak ada yang menemaniku menghabiskan makanan. Di jam-jam seperti ini mana ada yang berpikiran untuk makan, apalagi perempuan yang katanya makan di atas jam tujuh malam itu bisa menumbuhkan lemak-lemak jahat. Kalau menurutku bukan makan nasi yang membuat mereka gemuk, tetapi memakan coklat sebelum tidur. Buktinya tubuhku tetap seperti yang biasanya, padahal hampir setiap hari makan di jam yang hampir terlalu larut.


Aneh, baru kali nafsu makanku hilang ketika sedang dihadapkan oleh makanan. Padahal perutku sudah membuat orkestra bersuara nyaring sekali. Baru kusadari bahwa aku sedang digenangi banjir. Bukan banjir air, apalagi uang, tetapi dibanjirin oleh kerinduan. Radio menyanyikan lagu tentang kerinduan yang membuatku semakin melankolis.

Kubuka sedikit jendela kamar agar tidak terlalu sesak. Ya, kamar ini sedang sesak oleh kerinduan, berharap ada udara masuk sehingga nafasku tidak tercekat dan kembali normal. Ternyata kerinduan terlalu memenuhi ruangan kecil ini sehingga menghalangi udara masuk dan membentuk sungai. Akhirnya aku membuka jendela lebar-lebar dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Kerinduan semakin menguap digantikan oleh udara malam yang memasuki ruangan. Sungai kerinduan lama-lama mengering. Lagu-lagu melankolis dikalahkan oleh suara-suara klakson mobil yang sangat bising. Setidaknya aku bisa terlelap malam ini, karena kerinduan tidak lagi membanjiri kamar ini. Setidaknya ada ruang untuk aku beristirahat dan melupakan sejenak dengan perihnya kerinduan yang semakin hari membuat luka-luka baru di hati ini.

Akan tetapi udara malam semakin menguap dan kerinduan kembali membanjiri ruangan ini ketika aku berusaha memejamkan mata. Ini bahaya! Suara klakson mobil lamat-lamat hilang dari pendengaranku dan radio dengan semangatnya menyanyikan lagu-lagu melankolis yang semakin menusuk-nusuk hati. Tiba ada cahaya putih menyinari dinding kamar dan terlihatlah rentetan memori yang semakin membuatku gila.
Aku rindu melihatmu tersenyum, lalu terlihat jelas lesung pipimu. Rindu menghabiskan sore hari di pinggiran sungai Nil. Rindu menghabiskan makanan bersama dan selalu kau menyisakan untukku lebih banyak padahal kau juga sedang lapar. Rindu kau menenangkanku di kala aku menangis. Ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamamu atau hanya sekedar bersenda gurau lalu bernostalgia. Bercerita tentang masa depan yang hanya kita yang tahu.

Tanpa aku sadari, aku berceloteh tentang itu semua. Aku kalah, tidak bisa mengendalikan perasaan. Membiarkan tubuh ini dibanjiri oleh kerinduan yang semakin merasukin ulu hati. Hatiku luluh mengakui itu semua, air mata meleleh menggenangi pelupuk, dada ini semakin terguncang. Ada guncangan hebat di hati ini yang mampu meluluhkan tubuh ini yang sama kerasnya dengan batu karang. Sepeti diterjang badai kerinduan, akhirnya aku berteriak lantang, “Aku rindu kamu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar