Pages

Labels

Rabu, 26 September 2012

Cinta dari Si Manusia Kertas


"Hei, bujang! Kau pasti sedang membayangkan memakai seragam seperti anak-anak itu kan," ujar Pak Toba sambil menunjuk ke arah gerombolan anak-anak sekolah yang sedang menunggu angkutan umum. Aku pun hanya menggeleng, seperti biasa aku berbohong kepadanya. "Sudahlah, kau tak akan pernah bisa bohong kepada bapak tua ini," ujarnya kembali. "Kau tahu bujang? Kau ini lebih hebat daripada anak sekolahan itu. Di umur yang seharusnya masih adaptasi dengan dunia luar, kau lebih tahu dunia luar ini, kau tahu betapa kotornya politik dan bejatnya para pejabat yang korupsi lewat ini," katanya sambil mengibaskan koran di hadapanku, "Belum tentu anak sekolahan itu membaca koran, lihatlah kemana arah pandangan mereka! Kepada handphone! Kau jauh lebih jenius dibandingkan mereka!".

Aku tahu, lagi-lagi dia menghiburku dengan logatnya yang aneh. Entahlah darimana asalnya, setiap berbicara logatnya seperti orang batak, namanya pun seperti nama danau di Sumatra Utara, tapi wajahnya seperti orang Jawa tulen, aneh bukan?. Walaupun aneh, Pak Toba adalah satu-satunya keluarga yang ku miliki, dia yang selalu bisa membaca pikiranku, apa yang kumahu. Dan setiap dia tidak bisa memenuhi apa yang kuinginkan, dia pasti menghiburku, dan membuktikan pada dunia bahwa aku orang yang hebat.

Bagaimana aku bertemu dengannya? Aku bertemu dengannya di suatu malam hujan deras yang membasahi kota Jakarta ini. Di salah satu sudut kota ini aku bertemu dengannya, ketika itu aku tak tahu kemana aku harus bermalam. Ya, di warung kopi di perempatan jalanan kota aku bertemu dengannya. Ketika itu aku tak punya uang untuk menghangatkan tubuhku yang tersiram hujan ini. Dia menyodorkan teh hangat di hadapanku sambil berkata, "Minumlah kalau kau tidak ingin membeku! Karena kau masih kecil, jadinya minum teh saja ya".

Aku baru saja kabur dari panti asuhan, gara-gara tidak ada lagi yang mempercayaiku disana. Aku selalu dituduh membuat nangis temanku, dituduh mencuri, bahkan ibu panti asuhan yang dulu sangat menyayangiku menikamku dari belakang. Semenjak itu, aku tidak pernah mengenal yang namanya 'cinta', aku dihina sebagai orang yang tak berperasaan, orang yang tidak hangat, dan aku memang berubah menjadi orang yang dingin. Aku saja lupa bagaimana siluet wajah kedua orang tuaku, aku benar-benar orang yang kosong dengan yang namanya cinta.

Setelah Pak Toba menawarkan teh hangat untukku, dia bertanya, "Dimana rumah kau?", aku pun hanya menggeleng. Dia menghembuskan nafasnya sebelum bertanya kembali, "Dimana orangtuamu?", lagi-lagi aku hanya menggeleng. "Baiklah, nanti kalau hujan sudah reda, ikutlah denganku," ujarnya.

Dia menarik tanganku menerobos orang-orang yang berteduh di warung kopi itu, hujan pun sudah reda. Dia membimbingku menuju rumah yang terbuat dari seng di pinggiran kali. "Jangan kaget kalau hujan turun, karena suara hujan yang terdengar dari dalam rumah ini akan menusuk kupingmu," katanya sambil menyeringai. Setelah itu kehidupanku berubah menjadi tukang koran keliling yang siap menjajakannya di salah satu lampu merah kota ini.

Aku senang membaca koran sejak itu, pengetahuanku meluas bahkan lebih luas dibandingkan ketika aku bersekolah di panti asuhan. Aku sering berdiskusi dengannya di sela-sela menjajakan koran, atau di depan rumah kecilnya sambil menikmati makanan hasil jerih payah hari itu. Dia tidak pernah bercerita tentang masa lalunya, tapi selalu bercerita tentang masa depan, "Nanti kalau tabunganku sudah cukup, aku akan menyekolahkanmu, tidak ada yang terlambat dalam menuntut ilmu, bujang".

Setelah beberapa bulan bersamanya, aku mulai bisa tersenyum hangat. Perasaanku kembali, aku mulai mengenal cinta, ya dirinya lah yang mengenalkanku kembali kepada cinta. Dari tukang koran inilah aku mengenal cinta, yang merubahku dari sosok yang dingin ke sosok yang hangat dan bersahabat. "Ternyata kau manis juga kalau tersenyum, nanti kalau kau sudah remaja, para gadis akan mengejar-ngejarmu," katanya sambil meninju pelan bahuku.

                                                                        ***
"Ada lomba cerdas cermat di kota, pokoknya kau harus ikut!," ujarnya dengan nafas yang masih tersengal sambil memamerkan selebaran pengumuman di hadapanku. "Okeh, tapi kau bisa menjamin tidak, kalau aku akan menang?" tanyaku sambil bertolak pinggang di hadapannya, "Aku jamin dengan rumah sengku ini, kau pasti menang!". "Besok aku akan mendaftarkanmu ke kota pagi-pagi, jadinya kau berjualan koran tanpaku," ujarnya lagi.

Esok harinya, Pak Toba sudah menghilang dari rumah. Aku segera mengambil topi dan berangkat untuk menjajakan koran di tempat biasa. Dia janji akan menjemputku di lampu merah selesai mendaftar. Ketika aku sedang asik berjualan, tiba-tiba ada kerumunan orang di seberang jalan tempatku berdiri. "Ada bapak tua yang ketabrak mobil," terdengar salah satu ocehan pedagang asongan yang tidak jauh dariku.

Aku berjalan santai menuju kerumunan orang-orang yang mengelilingi tempat kejadian. Dari sela-sela kerumunan, kaki korban terlihat dan aku mengenali sendal butut tersebut, jangan-jangan..... Benar saja, seketika kepalaku berat, wajah korban sangat ku kenali, yaitu Pak Toba. Aku langsung menyeruak masuk ke dalam dan memeluk badan tua yang sudah bersimbah darah, sebagian orang menatapku iba. Tiba-tiba pandanganku hilang, semua orang di hadapanku lama-lama terlihat buram.

"Hei, bujang! Bisa-bisanya kau tidur di tengah-tengah kerja,ckckck," ujar Pak Toba membangunkanku, aku melihat ke seberang jalan, kerumunan orang-orang tadi hilang. Pedagang asongan yang mengabarkanku tadi masih dengan pekerjaannya. "Hei, apa yang kau lamunkan? Lihatlah, apa yang kubawa! Ini...," belum selesai Pak Toba berbicara aku segera memeluknya. "Kenapa kau ini? Macam anak kecil saja peluk-peluk," teriaknya kepadaku, tapi aku malah memeluknya erat dan tidak memperdulikan kartu peserta cerdas cermat yang dipegangnya.

There are people lose their emotion, not because they dont have love, but they often lose their precious love