Pages

Labels

Rabu, 07 Maret 2012

Tak Harus Sempurna

Yogyakarta, 10 Januari 2011
"BRAAAKK!!!" seperti suara benda yang dilempar dengan kuat dan sumber suara berasal dari halaman belakang rumah, langsung ku bergegas keluar dari ruangan batik untuk menghampiri suamiku. Sudah kuduga lagi-lagi suamiku mencoba meneruskan profesinya sebagai pengrajin kendi dari tanah liat seperti dahulu. Ya sebelum kecelakaan dua bulan lalu yang menghilangkan tangan kanan dan kaki kanan suamiku, dan menyebabkan depresi yang kini dideritanya. Hampir setiap hari dia mencoba membuat kendi-kendi seperti dulu, tapi tidak membuahkan hasil sama sekali.

Kupeluk erat suamiku tercinta sambil menangis, karena tak tahan melihat penderitaan suamiku, "Sudah ya Mas, Mas istirahat saja sekarang, tadi baru kubuatkan bubur kacang hijau kesukaan Mas". "Din, kenapa aku harus cacat?, Aku suami yang tidak berguna, aku tidak bisa lagi mencari nafkah seperti layaknya suami-suami yang lain", tanya suamiku sambil mengeluarkan air mata. "Mas nggak boleh bilang begitu, itu sudah takdir Allah, Mas masih menjadi suami yang terbaik yang pernah kumiliki dan ayah yang baik untuk anak-anak", jawabku dengan lembut sambil menuntun suamiku menuju ruangan tengah.

Setelah beberapa jam suamiku sudah tertidur di kamar tidur, aku menghampiri anak semata wayangku dan memarahinya, "Putri, lain kali kalau habis dari halaman belakang dikunci biar bapak tidak masuk ke sana!, terus sehabis pulang sekolah jaga bapakmu bukan malah tidur-tiduran. Kamu tahu kan ibu sedang membuat batik tidak bisa menjaga bapakmu, seharusnya kamu mengerti! ", Putri pun hanya menundukkan kepalanya mendengar tubian kemarahanku.
Ketika aku keluar dari kamar Putri, aku baru sadar kalau aku terlalu terbawa emosi. Segera ku berbalik ke kamar anakku dan memeluknya, "Maafkan ibu Put, ibu enggak bermaksud memarahimu, ibu cuma ingin kamu mengerti bahwa bapakmu butuh perhatian dari kita semua. Jangan sampai bapak ditinggal sendirian, ibu hanya takut sesuatu yang buruk menimpanya". Putri pun menciumku seraya berkata, "Maafkan aku juga ya bu, karena lalai menjaga Bapak, ibu enggak salah kok. Ya sudah sekarang ibu lanjutkan saja membuat batiknya, nanti biar aku yang menjaga bapak".

5 April 2011
Pagi-pagi setelah anakku berangkat sekolah dan suamiku masih terlelap di atas tempat tidur aku pergi belanja ke pasar untuk membeli bahan makanan yang akan ku masak untuk makan siang nanti. "Bu, tahunya berapa?", tanyaku kepada ibu penjual tahu langgananku, "Tiga ribu aja mbak", jawabnya. Sambil membungkus tahu pesananku, Ibu Tini penjual tahu tersebut menanyakan keadaan suamiku, "Alhamdulillah Bu Tini, sekarang suami saya sudah mulai banyak makan, banyak bicara sama orang lain", jawabku sambil tersenyum renyah. "Oh, syukurlah kalau begitu", ucap Bu Tini, lalu ku mengucapkan terima kasih dan bergegas pulang.

Setelah beberapa langkah dari warung Bu Tini samar-samar kudengar sebuah pembicaraan yang tidak enak didengar, "Kasian ya si Dini, kalau aku jadi dia sudah kuceraikan suamiku". Lalu seorang ibu menambahkan "Iya, lagian capek  dengar tangisannya setiap hari dan teriakkannya. Aku saja yang mendengarnya sesekali sudah malas apalagi mendengar setiap hari". Begitulah celotehan yang kudengar, memang yang dibicarakan mereka benar, kerap kali suamiku terdengar mengamuk dan berteriak-teriak. Tapi aku tidak menghiraukannya, karena memang sudah untuk yang kesekian kali aku mendengar pembicaraan yang seperti itu.

Pernah suatu ketika ketika seorang ibu dari Jakarta yang memang berlangganan batik buatanku selama setahun, datang ke rumahku untuk mengambil batik pesanannya. Sambil menungguku merapihkan batik-batik pesanannya dia berkomentar tentang suamiku, "Kamu sabar ya mengurus suamimu, maaf ya kalau saya sih enggak sabar, apalagi kalau tidak punya pembantu pasti bawaannya capek dan memarahinya setiap hari", begitulah komentar secara blak-blakan yang terlontar darinya. Aku pun menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya sambil mencoba tersenyum, "Namanya berumah tangga harus dijalani dengan sabar bu, tujuan kita menikah kan untuk membina rumah tangga yang baik bersama suami kita, selama kita masih diberi kenikmatan hidup dari Allah swt".
"Tapi sama saja kalau suami kita tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang suami".
"Siapa bilang tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang suami?, bukan hanya orang sempurna yang bisa, tapi orang yang tidak diberi kesempurnaan pun juga bisa melakukannya", jawabku tegas, tetapi sambil menyunggingkan senyuman.
"Contohnya?", tanya ibu itu lagi,
"Contohnya dia masih memberi cinta yang tulus kepada sang istri, dia masih bisa memberi nasihat kepada istri yang merupakan salah satu tugas sang suami".

25 Juni 2011
Siang ini ibuku datang ke rumah bersama bapakku untuk menengok suamiku yang ketiga kalinya. Aku senang suamiku tertawa lebar ketika mendengarkan celotehan dari bapak. Memang bapak seorang yang humoris, tetapi baru kali ini suamiku tertawa lebar semenjak pertama kali orang tuaku menjenguk kami. Aku senang orang tuaku masih bisa menerima suamiku dan tidak pernah jera untuk menjenguknya, karena waktu pertama kali bapak dan ibu menjenguknya di rumah sakit, suamiku sering marah dan menjerit-jerit sambil memaki-maki semua yang ada di sekitarnya. Suamiku mengalami depresi tingkat rendah yang terkadang kambuh dan terkadang juga seperti biasa.

Ketika aku menyiapkan untuk makan malam di dapur ibu menghampiriku, "Suamimu masih sering kambuh lagi?", "Kadang-kadang bu, tapi enggak sesering seperti dulu, emang kenapa bu?", tanyaku balik. "Enggak apa-apa, ibu cuma khawatir, tapi kamu baik-baik saja kan nduk?", "Ibu ini, ya tentu sajalah aku baik-baik saja, toh ibu bisa melihatnya kan?" jawabku tersenyum.
"Ibu mau tanya, tapi kamu jawab yang jujur"
 "Iya bu, mau nanya apa bu?", tanyaku sambil tersenyum.
 "Kamu masih mencintai suamimu kan?",
Aku menghela napas dan kemudian tersenyum, "Ya ampun ibu, tentulah aku masih mencintai suamiku, kalau tidak mana mungkin sekarang aku masih disini". "Pernah terdetik enggak kalau kamu ingin meninggalkan suamimu?", tanya ibuku dengan suara pelan, "Tidak bu, enggak pernah sama sekali. Walau bagaimana pun dia tetap suamiku, kita tidak perlu berusaha mencari sesosok yang sempurna, tetapi kita berusaha mencintai seseorang dengan sempurna”.

13 Agustus 2011
Nafasku seketika berhenti melihat suamiku terbaring berlumuran darah ketika dilarikan ke rumah sakit pukul 12.00 siang hari ini. Kejadian kecelakaan untuk yang kedua kali akibat keteledoranku. Kronologis kejadiannya, dua jam yang lalu suamiku duduk di teras depan rumah dan aku meninggalkannya sebentar untuk membuatkan teh hangat dan cemilan. Ketika itu sebuah bola milik anak-anak yang kebetulan lewat depan rumahku masuk ke dalam teras dan mengenai kepala suamiku. Spontan anak-anak lari dan berteriak, "Awas!orang gila ngamuk!!!".
Memang suamiku kerap kali mendapat ejekan oleh anak-anak kecil dengan sebutan orang gila, karena berkali-kali anak-anak kecil memergoki suamiku sedang mengamuk dan memarahi setiap yang lewat depan rumah. Ketika suamiku mendengar teriakkan anak kecil tersebut, dia mencoba mengejar anak-anak kecil dengan kursi rodanya dan ketika menyeberang jalan besar yang tepat di depan rumahku,  suamiku tertabrak oleh sebuah mobil dan terlempar ke seberang jalan.

Air mataku terus mengalir dan Putri mencoba menenangkanku sambil memelukku, beberapa jam kemudian orang tuaku datang menghampiriku. Orang tua suamiku sudah tidak ada dari sebelum pernikahan kami. "Gimana suamimu nduk?", tanya ibu cemas, "Jangan ditanya dulu toh bu, si Dini masih belum tenang, biarkan dia menangis", ujar bapak. Setelah tenang aku baru menceritakan kejadiannya, "Sudah toh nduk, ini semua bukan salahmu. Memang sudah takdir-Nya begini, lagipula kamu tidak bermaksud untuk meninggalkan suamimu", kata bapak mencoba menenangkanku.



14 Agustus 2011
Orang-orang berpakaian hitam berdatangan ke rumahku, ya tepat hari ini pukul sembilan pagi suamiku meninggal. Luka parah di bagian kepala yang menyebabkannya harus kehilangan nyawanya. Setelah disholatkan jenazah, suamiku siap dibawa ke pemakaman. Air mataku tak kunjung berhenti sampai orang-orang pergi meninggalkan pemakaman, ibu mencoba membujukku untuk pulang, tetapi bapak melarangnya, "Biarkanlah, mungkin Dini masih ingin menemani suaminya".

Kupandangi batu nisan bertuliskan nama suamiku, maafkan aku mas karena aku tak bisa menjagamu, batinku. Ya memang ini sudah menjadi takdir yang kuasa, mungkin ini pilihan terbaik untuk suamiku. Aku harus berlapang dada menerima semua ini, semoga suamiku bisa tenang di sana, dan aku sebagai istri akan selalu mendoakanmu suamiku tercinta, janjiku dalam hati.

*Salah satu cerpen dalam buku Antologi Cerpen dan Puisi yang diterbitkan oleh LSBNU Mesir

Ironis!

“Mbak, masih belum ada kamar kosong ya? “ Tanya seorang wanita berumur sekitar 40-an ke atas, “Maaf bu, belum ada untuk sekarang” jawabku dengan hati-hati, “Ini gimana sih mbak? Sudah tiga malam suami saya menginap di ruang UGD, enggak bisa tidur tiap hari, berisik banyak orang, gimana mau sembuh!” seru ibu itu dengan nada tinggi,

“Jangan protes ke saya bu, kalau semua kamar penuh saya bisa buat apa?” jawabku tak tega

“Selalu begitu jawabannya! Oh, mungkin gara-gara saya pake ASKES kali ya!” sindir Ibu itu sambil berlalu meninggalkanku terpaku.

Ya Allah… Apa yang harus aku perbuat?, tapi mau bagaimana lagi! Aku yang hanya seorang bawahan hanya mendapat amanah dari atasan. Mau berontak? Angkat kaki lah hasilnya, aku tak mau mengulang kebodohanku lagi sehingga keluargaku yang mendapatkan dampak negatifnya.

Seketika kakiku lemas, lunglai, huff… Sudah kesekian kali aku berbohong demi mempertahankan pekerjaanku, teringat kata-kata Ibu dua bulan yang lalu, “Fi, kalau kamu dikasih amanah dari atasanmu ya dikerjakan saja”, “Walaupun itu sebuah kedzaliman bu?” tanyaku dengan amarah yang meluap-luap. “Ya jalankan saja, ini demi Ayahmu juga Fi, siapa lagi yang bisa membiayai Ayahmu” kata Ibu sambil mengelus-elus rambutku.

Sebenarnya ada kamar kosong atau tidak sih?, begitulah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para masyarakat yang protes akan ketidakadilan yang dilakukan pihak Rumah Sakit. Ada saudara-saudara sekalian, ada banyak kamar! Seruku dalam hati, tapi…tapi hanya dalam hati saja karena kalau mulut ini mengeluarkan kata-kata seperti ini, seketika namaku yang tertulis di daftar pegawai resepsionis Rumah Sakit ini terhapus!.


Kebijakan Rumah Sakit inilah yang membuat mereka para pengguna ASKES harus menghabiskan malam-malamnya di ruangan UGD yang ramai dan bising dengan pengunjung rumah sakit. Bukan kebijakan tapi “Penyiksaan” lebih tepatnya, kecuali orang-orang yang bisa membayar tunai administrasi rumah sakit yang akan mendapatkan kamar yang sengaja “Dikosongkan” oleh pihak Rumah Sakit, ironis!.

Faktor yang menyebabkan pihak Rumah Sakit tidak membolehkan para pengguna ASKES mendapatkan kamar adalah dikarenakan pihak ASKES yang selalu menunda pembayaran yang merupakan hak Rumah Sakit dari pemerintah. Walhasil, rakyatlah yang menjadi korban, korban atas orang-orang yang melalaikan hak orang lain. Kalau hal seperti ini terjadi di Rumah Sakit Jakarta mungkin permasalahan ini sudah diusut oleh Menteri Kesehatan atas kejadian ini, tapi sayangnya di Rumah Sakit daerah masih belum berani melaporkan hal-hal dzalim seperti ini.

Ku bereskan barang-barangku, sudah pukul 10.00 malam tandanya jam kerjaku sudah habis, karena aku dapat jatah jaga pagi. Kuserahkan semua data-data kepada pegawai jaga malam. Kakiku lemas sambil berjalan melewati koridor-koridor Rumah Sakit, mungkin karena aku lelah bekerja seharian, atau karena kejadian tadi siang yang membebani pikiranku? Ah sudahlah, aku ingin melupakannya sejenak.

Ah, rupanya adikku sudah menungguku dari tadi, memang dia yang selalu mengantar jemputku dengan motor milik Ayah. Dimas namanya, dia sekarang duduk di kelas 2 SMA, dia juga bekerja di sebuah bengkel sepulang sekolah sampai malam hari lalu baru menjemputku. Begitulah keadaan keluargaku, keluarga yang pas-pasan atau bisa disebut sangat nge-pas sekali. Aku pun hanya menyelesaikan studiku sampai D3 jurusan sekertaris.

Setelah sampai rumah, langsung ku bergegas menuju kamar mandi, mandi memang satu-satunya obat melepaskan penat kali ini. Seusai sholat Isya aku pun merenungi kejadian tadi siang, sebenarnya tubuhku lelah bahkan sangat, tapi pikiranku tak tenang. Aku pun membuka mushaf Al-quran, mungkin bisa menenangkan pikiranku yang sedang kacau ini.

Kututup mushaf milikku, mulailah pikiranku melayang kepada kejadian 2 bulan silam. Dulu aku bekerja menjadi sekretaris di sebuah perusahaan yang tidak begitu besar menurutku, perusahaan itu milik teman Ayahku. Sebulan, dua bulan aku bekerja di perusahaan itu dengan baik, tapi beberapa bulan kemudian terjadi suatu kecurangan yang hanya diketahui oleh pemimpin perusahaan dan sekertaris saja, sedangkan staff pegawai perusahaan yang lain tidak mengetahuinya.

“Maaf pak, saya tidak bisa ikut dalam proyek ini” kataku dengan tegas

“Kenapa? Kita akan mendapat keuntungan banyak Silfi! Kenapa kamu menolaknya?” seru Pak Anton yang memang beliaulah yang menjabat sebagai pemimpin perusahaan.

“Sekali lagi maaf pak, saya tidak bisa. Lebih baik saya keluar dari perusahaan ini daripada saya harus melakukan kecurangan” jawabku dengan yakin.

Akhirnya aku dipecat pada hari itu juga oleh pak Anton yang mengakibatkan terhambatnya biaya pengobatan Ayah, karena kejadian itu sebelum aku mendapatkan gaji ku. “Makanya fi, lain kali sebelum melakukan sesuatu dipikirkan terlebih dahulu, kendalikan emosimu” nasehat Ibu berulang kali terdengar oleh telingaku. Tapi aku bersikukuh tidak mau melakukan kecurangan, itu namanya mendzalimi orang lain!, lagi-lagi Ibuku menasehatiku, “Ini demi Ayahmu fi”.


Ayah mengidap penyakit Gagal Ginjal yang mengharuskan cuci darah setiap 2 minggu sekali, jadi memerlukan biaya yang banyak. Gara-gara aku dipecat pengobatan Ayah harus tertunda, sampai akhirnya tetanggaku yang baik hati menawarkan pekerjaan kepadaku sebagai resepsionis di sebuah Rumah Sakit. Ku kira di Rumah Sakit tidak ada kecurangan, karena Rumah Sakit adalah lembaga yang melayani masyarakat, tidak mungkin ada, pikirku. Ternyata, sangat-sangat ironis sekali! Terdapat kebusukan di dalamnya! Ya Allah…!.

Ku letakkan mushaf milikku dan ku rapihkan mukenaku, aku harus bergegas untuk tidur karena besok aku ada jadwal kerja pagi. Ku rebahkan tubuhku untuk menghilangkan kelelahan menjalankan kehidupan di dunia, berharap malam yang panjang agar aku bermain-main dengan mimpiku dengan jangka waktu yang lama.

                                                                         ***

Dengan langkah yang tergesa-gesa aku melewati koridor-koridor Rumah Sakit, ah aku telat! Gumamku. Untungnya teman partnerku sangat baik sekali, sehingga dia tak memarahiku atau melaporkan pada atasan atas keterlambatanku. Hari ini rupanya banyak sekali pasien yang datang ke Rumah Sakit. Ruang UGD pun semakin penuh, ramai dengan pengunjung, sampai-sampai ada seorang pasien yang memilih dirawat di rumah ketimbang harus berlama-lama di ruang UGD.

Huff…apa yang harus aku perbuat?! Teriakku dalam hati. Aku pun hanya terpaku melihat suster-suster Rumah Sakit kerepotan mengurus pasien-pasien yang berada di ruang UGD. Apa aku harus memindahkan pasien-pasien yang berada di ruang UGD menuju kamar-kamar rawat dengan tanganku sendiri? Pikirku, oh tidak Silfi! Ingat Ayahmu!.

“Mbak, tolong adik saya kecelakaan!” seru seorang laki-laki seumur dengan adikku sambil menggendong seorang anak kecil perempuan berlumuran darah, “Sebent…” belum ku menyelesaikan perkataanku tiba-tiba, “Maaf dek, ruang UGD penuh, sebaiknya kamu cari Rumah Sakit lain saja!” bentak suster yang kebetulan lewat di depan meja resepsionis. “Katanya Rumah Sakit lembaga melayani masyarakat! Apa karena saya hanya orang miskin jadi tidak boleh masuk?!” seru anak laki-laki itu. Spontan saja sang suster pun memanggil satpam untuk mengusir anak tersebut.

“Apa-apaan ini suster? Kan bisa pasien yang lain dipindahkan ke ruang rawat biar anak tadi bisa masuk ruang UGD” kataku dengan nada yang meninggi.

“Kamu yang bodoh! Sudah jelas pihak Rumah Sakit tidak menyediakan Ruang Rawat kecuali orang yang membayar tunai administrasi, kamu mau dipecat? Kalau saya sih enggak!

Seketika kepalaku diserang pusing yang amat sangat, aku bingung! Apa yang harus ku perbuat?. Aku berfikir, jika aku berada di posisi anak laki-laki tersebut dan yang sakit adalah Ayahku pasti sekarang Ayahku sedang mengalami kesakitan yang hebat karena menunda untuk mengobatinya. Sebelum terlambat, aku harus menyelamatkan nyawa anak itu, pasti sekarang masih tak jauh dari Rumah Sakit.

Langsung kupanggil anak laki-laki itu dan aku membantunya membopong adiknya yang mengalami pendarahan yang hebat. Pasien yang seharusnya berada di ruang rawat langsung ku perintahkan suster memindahkan mereka, awalnya mereka enggan, tapi setelah aku berkata, “Kalau kalian tidak mau melakukannya, kalian sama saja sudah menghilangkan satu nyawa, atau sama saja kalian membunuh anak ini secara tidak langsung!”.

Akhirnya anak tersebut bisa tertolong, kakaknya pun berterima kasih kepadaku sampai ingin bersujud kepadaku, tapi aku langsung menyuruhnya untuk berdiri. Tak apa aku dipecat dari pekerjaanku daripada aku harus mengorbankan nyawa orang lain.

                                                                            ***

“Kamu ngapain fi, sepertinya kamu mencari sesuatu?” Tanya Ibu yang heran karena sudah setengah jam aku membuka-buka Koran terbitan hari ini. “Ini bu, aku mau cari lowongan kerja” ujarku. “Loh, buat apa fi? Bukannya kamu tidak jadi dipecat?” Tanya Ibu lagi, tapi kali ini Ibu bertanya sambil tersenyum-senyum. “Kok Ibu malah senyum-senyum? Jadi gini bu ceritanya, kan kemarin aku…”, “Iya Ibu udah tahu ceritanya, tadi sebelum kamu bangun pihak Rumah Sakit menelpon Ibu” jelas Ibu.

“Terus..terus bu?” tanyaku dengan semangat.

“Mereka minta maaf dan berterima kasih sama kamu, karena berkat tindakanmu pihak ASKES jadi mendapat teguran dari Menteri Kesehatan” ujar Ibu.

“Kok bisa bu?” tanyaku lagi, aku pun makin penasaran.

“Iya, soalnya kemarin waktu kamu bolos kerja, para pegawai Rumah Sakit dan suster-suster demo kepada pihak ASKES, dan waktu itu juga wartawan Jawa pos langsung meliput kejadian, demo itu tercetus setelah revolusi yang kamu adakan kemarin”, “Ah Ibu bisa aja” kataku tersipu. “Ibu bangga sama kamu fi, dan kamu tahu sekarang pihak Rumah Sakit menanggung semua biaya pengobatan Ayahmu” seru Ibu dengan tersenyum lebar, ku peluk Ibu dengan erat sambil meneteskan air mata.

Sungguh indah skenarioMu ya Allah, engkau telah membukakan pintu kebenaran dan membongkar kedzaliman bagi hamba-hambaMu. Aku berjanji pada diriku agar tidak membiarkan lagi kedzaliman yang bisa merugikan orang lain.

Mari tegakkan kebenaran!

 posted at: informatika magazine (edisi magang 2011)

Djamil, sang pahlawan dari Senegal

Tidak ada yang istimewa dari seorang anak lelaki bernama Djamil. Ya Djamil, dia baru saja berumur sekitar 10 tahun, berkebangsaan Senegal. Pada umur yang masih belia itu dia sudah menghafal Al-Quran. Dia mengikuti perlombaan Hifzul Quran Internasional pada bulan Ramdhan kemarin di Mesir. Banyak memang yang sudah menghafal Quran di usianya, tapi yang membuatnya istimewa adalah kegigihan dari seorang Djamil.

Dia berangkat ke Mesir sebagai utusan dari Senegal, sebelum berangkat dia mendapat pesan dari Guru yang membimbingnya selama ini, “Kamu akan pergi ke Mesir untuk mewakili Senegal dan seluruh benua Afrika, tapi jangan takut, karena semua orang Arab maupun non Arab mereka menghafal Al-Quran yang sama, dan kamu sudah menghafalnya”. “ Ketika kamu pergi ke Mesir di luar sana terjadi banyak kekacauan, tapi kalau semua Muslim menghafal Quran, kedamaian akan muncul, semua jawaban permasalahan di muka bumi ini ada di Al-Quran”, pesan singkat tapi sangat bermakna dalam dari sang Guru. Bayangkan saja anak sekecil itu sudah diajak untuk berbicara hal yang rumit seperti itu.

Hanya berbekal dengan keberanian dan doa dari orang tua, Djamil pun berangkat ke Mesir seorang diri. Para peserta lomba yang lain didampingi oleh orang tua masing-masing bahkan ada sampai sekeluarga yang mendampinginya, tapi Djamil hanya seorang diri, di usia yang sekecil itu dia harus pergi ke Negri orang tanpa didampingi orang tuanya.

Babak penyisihan berlangsung sampai 3 hari dan 3 malam, para peserta terbagi ke berbagai kategori sesuai dengan hafalan mereka.  Sebelum perlombaan, Djamil mencoba menelpon orang tuanya, tapi sayang koneksinya sedang tidak bagus dan ibunya tidak bisa mendengar suara Djamil. Dia sedih sekali karena tidak bisa menghubungi orang tuanya. Berbeda dengan yang lain, mereka didampingi oleh orang tua mereka masing-masing. Pikiran Djamil menjadi campur aduk, selain takut pada perlombaan dan juga karena rindu kepada orang tuanya.

Ketika namanya dipanggil, Djamil duduk di kursi yang telah disediakan oleh panitia. Soal yang dilontarkan oleh penguji adalah bagian yang banyak muncul di Al-Quran, dan Djamil mulai bingung lalu dia mengucapkan jawaban yang salah. “Ulangi dari pertama”, perintah sang penguji, tapi sayangnya Djamil tidak paham bahasa Arab, walhasil dia terus mengucapkan jawaban yang salah. Dia membaca Al-Quran sambil meneteskan air mata di depan para penguji dan akhirnya salah satu penguji berkata , “Cukup…cukup”.

Penilaian dari penguji langsung pada saat itu juga dan Djamil mendapatkan hasil yang paling rendah, yaitu 22,4 dari nilai 100. Dia menangis di atas bangku peserta sambil memeluk Al-Quran. Karena tersentuh oleh kegigihan Djamil salah satu penguji bernama Judge Sha’aysha memberi penghargaan kepada Djamil untuk membaca Al-Quran di salah satu Masjid terbesar di Cairo selepas sholat berjamaah. Semua yang berada di Masjid tersentuh oleh suara merdu seorang Djamil. Ketika selesai membaca Quran, semua orang menciumi Djamil dan banyak yang minta berfoto dengannya. Walaupun tidak bisa masuk final, tapi dia bangga bisa mendapatkan penghargaan tersebut.

Karena Djamil tidak memasuki final, dia pulang kembali ke Senegal. Semua keluarganya menanyakannya, “Emang kamu salah berapa kali?”, Tanya ayahnya, Djamil hanya tersenyum sambil meneguk susu miliknya. “Dengar semuanya, apa yang sudah dilakukan Djamil, pergi dari Senegal menuju Mesir , bagi semua yang menghafal Quran bisa pergi ke Mesir, maka dari itu kalian semuanya harus menghafal Quran jika ingin pergi ke Mesir”, ujar ayah Djamil. Djamil pun tersenyum bangga dan adik-adiknya pun kelak ingin pergi ke Mesir seperti Djamil.

Beberapa peserta juga ada yang mengesankan, ada Nabiollah si suara malaikat dari Tajikistan dan ada Rifdha sang jenius dari Maldive, tapi menurut si penulis Djamil lah yang paling berkesan. Kegigihan, ketegaran, dan keberanian seorang Djamil yang membuatnya berani meninggalkan Senegal menuju Mesir dengan seorang diri. Dan sekarang Djamil sudah menyempurnakan hafalan Qurannya dan berharap bisa menjadi imam tetap di Masjid daerah setempat seperti ayahnya.

Waktu yang Dinanti

Januari 2011

Ternyata kekhawatiranku selama perjalanan sia-sia, ayah tidak sakit!, itu hanya akal-akalan ibu supaya aku pulang ke Jakarta. Bayangkan selama perjalan Jakarta-Ponorogo aku menangis mengkhawatirkan ayah. Tahukah kalian, kenapa ibu berani bohong kepadaku? Karena berkali-kali aku disuruh pulang ke rumah tapi aku menolaknya, bukan karena aku tak sayang kepada ayah dan ibu, tapi aku tak mau dijodohkan!. Sampai-sampai ibu berani berbohong kepada ustadzah pengasuh di pesantrenku. Awas saja ketahuan kalau ibu berbohong, aku bisa dipecat dari pesantrenku!.

                                                                                        ***
Agustus 2010

"Braakk!," terdengar jelas suara koper yang kuhentakkan ke tanah, kakiku terseok-seok membawa koper ke dalam pesantren. Capek juga perjalanan Jakarta-Ponorogo, sudah lama aku tidak merasakan perjalanan jauh seperti ini selama di Mesir. Ustadzah Indri menyambutku, dia adalah ustadzah pengasuhan di pesantrenku yang juga dulunya kakak kelas satu angkatan di atasku, dia sudah menikah makanya dia tidak menetap di pesantren. Rata-rata ustadzah pengabdian di pesantrenku sekarang adalah adik-adik kelasku yang jauh angkatannya setelahku. Teman-temanku sudah menikah semua, tidak ada yang mengabdi lagi seperti ustadzah Indri.

Lalu kenapa aku berada disini? Aku pun juga heran, memang aku agak sedikit aneh di mata orang-orang. Aku sudah lulus S2 di Universitas Al-Azhar Mesir, tapi kenapa aku malah balik lagi ke pesantren?, mungkin itu yang menjadi pertanyaan orang-orang yang membuatku sedikit aneh di mata mereka. Kan bisa saja aku bekerja di tempat yang lebih banyak menjanjikan uang, toh  aku sudah S2 pasti pekerjaan yang mengejarku bukan aku yang mengejarnya, pikir mereka.

Aku memang bisa seperti apa yang dibicarakan orang-orang, tapi cita-citaku menjadi guru tak bisa dipungkiri, dan tempat yang paling cocok tempatku mengajar adalah pondok pesantren. Soalnya aku muak dengan dunia luar, sudah semakin aneh rasanya. Aku ingin tenang, mengajar di pesantrenku yang kebetulan terletak di pedesaan yang sejuk jauh dari keramaian sambil mengingat kenangan manis selama masih menjadi santriwati. Ibu dan ayah juga memaksaku untuk merintis Majlis Ta'lim milik keluargaku, karena watakku keras maka akhirnya aku berhasil kabur ke pesantren.

November 2010

"Hah? beneran si Farid pulang Din?," teriakku di kamar, sampai-sampai ustadzah-ustadzah yang sekamar denganku menoleh kepadaku semua. Aku hanya tersenyum kepada mereka sambil melanjutkan pembicaraanku dalam telepon. "Iya Haniiii, masak sih aku bohong, tapi emangnya kepulangan dia bisa ngaruh gitu sama kamu?," tanya Dini, temanku yang juga sekolah di Mesir dulunya bersamaku dan dia sekarang sudah berkeluarga. "Ya enggak sih Din, cuma akunya aja yang terlalu expresif kali hehe," ujarku yang hanya mencari-cari alasan saja.

"Kamu masih suka kan sama Farid?," tanya Dini, pelan tapi langsung menohok dadaku
"Maksud kamu apa sih Din? Itu kan cerita lama. Lagian kenapa kamu ngabar-ngabarin aku tentang kepulangan Farid?," tanyaku balik.
"Ya barangkali kamu masih menyimpan hati gitu," canda Dini sambil tertawa mengejek
"Kamu tuh suudzon mulu bawaannya"
"Bukan suudzon, tapi biar kamu tuh nikah jangan nungguin si Farid mulu, bikin orangtuamu khawatir terus. Udah lulus S2 tapi pikiranmu masih childish gitu sih Haann," celoteh Dini dan masih banyak lagi celotehannya, hampir satu buku mungkin kalau bisa dibukukan.

Desember 2010

Hampir setengah tahun rasanya semenjak kembalinya aku ke pesantren tercinta ini, masih teringat di memori ini ketika malam terakhir aku di pesantren, sebelum aku berpisah dengan teman-temanku. Aku memaksa teman-temanku untuk tidak tidur, karena aku khawatir tidak bisa melihat mereka lagi. Seperti orang mau  meninggal saja ujar salah satu temanku ketika melihatku menbangunkan teman-temanku sambil menangis seperti anak kehilangan emaknya.

Masih jam tiga pagi rupanya, aku keluar kamar untuk mengambil air wudlu, jadi ingat ketika aku masih menjadi santriwati aku sering lari terbirit-birit setelah buang air malam-malam sendirian. Sampai sekarang pun aku masih takut ke kamar mandi sendirian, tapi karena gengsi membangunkan ustadzah yang lain untuk mengantarkanku jadi aku berani-beranikan saja. Ketika sampai di Masjid pesantren aku kembali teringat, ketika masa-masa ujian aku tak pernah tidur di kamar dan masjid menjadi kamarku selama ujian, lantaran takut kebablasan tidur sampai shubuh dan belum belajar.

Jam 6 pagi tepatnya ketika aku baru pulang dari masjid, aku mendapat panggilan dari ustadzah Indri, bahwasannya ibuku menelpon mengabarkan kalau ayahku sedang sakit. Lalu aku mendapatkan izin dari pesantren untuk pulang. Aku khawatir sekali, walaupun ayah sudah pensiun tapi setiap hari ada saja yang dikerjakannya dan tidak beristirahat dengan cukup.

Keesokkan harinya aku segera meluncur ke Jakarta, selama perjalanan aku tak henti-hentinya berdzikir dan mendoakan ayah. Aku merasa berdosa telah meninggalkan ayah, dan membiarkan ibu mengurus ayah sendirian. Akan tetapi aku tak akan kabur seperti ini kalau ibu berhenti menyindirku untuk menikah.

                                                                                    ***
Januari 2011

Hatiku berdegup kencang, rasanya tidak ingin keluar dari kamarku. Keluarga yang ingin melamarku sudah datang, aku sengaja tidak berdandan, masa bodoh, pikirku. Tapi kata ibu, "Anak ibu tetep  cantik kok walau tanpa make up," ada saja kata-kata ibu untuk merayuku supaya aku keluar menemui tamu-tamu itu.

Memang sepertinya Allah sudah menggariskan takdir bahwa tahun ini aku akan menikah. Ikhlaskan hatimu Hani! Ini demi ayah dan ibumu!, batinku. Sudah saatnya aku melupakan cinta yang tak ada jawabannya. Benar apa yang dikatakan Dini, aku masih menunggu Farid, sampai detik ini ketika aku dilamar orang lain.

Farid adalah kakak kelas setahun di atasku ketika aku masih di Al-Azhar, aku sering bertemu dengannya di dalam kepanitiaan pada banyak acara. Aku memang dekat dengannya, tapi dekat hanya sebatas kakak kelas dan adik kelas, tidak melampaui sampai sering sms-an atau telpon-telponan. Aku sudah lama suka padanya, dan hanya Dini yang mengetahui hal ini. Apalagi Farid, dia sama sekali tidak menangkap gelagat dariku bahwa aku suka padanya, menurutku. Cinta sebelah pihak, itulah konklusi dari kisahku, karena Farid sama sekali tidak menyalakan sinyal bahwa dia tertarik kepadaku, atau mungkin dia sekarang sedang melamar orang lain untuk dijadikan istrinya.

"Hani, bawa minumannya ke depan sayang," ujar ibu dari ruang tamu yang membuyarkan lamunanku, ternyata sedari tadi aku melamun di dapur dan lupa membuat minuman, astaghfirullah!. Suara gelas bersentuhan terdengar mendekati ruang tamu, "Nah ini yang ditunggu-tunggu dari tadi, ini yang namanya Hani, pasti kalau nak Farid sudah tak asing lagi kan?," ujar ibu sambil tersenyum. Hah? Farid? Kayak kenal!, pikirku. Aku tak berani melihat tamu-tamu ketika aku menaruh minuman ke atas meja. "Kamu sehat Han? Udah lama enggak ketemu," ujar seorang lelaki yang suaranya tak asing bagiku, "Kak Farid?," ujarku sedikit berteriak.