Pages

Labels

Rabu, 07 Maret 2012

Waktu yang Dinanti

Januari 2011

Ternyata kekhawatiranku selama perjalanan sia-sia, ayah tidak sakit!, itu hanya akal-akalan ibu supaya aku pulang ke Jakarta. Bayangkan selama perjalan Jakarta-Ponorogo aku menangis mengkhawatirkan ayah. Tahukah kalian, kenapa ibu berani bohong kepadaku? Karena berkali-kali aku disuruh pulang ke rumah tapi aku menolaknya, bukan karena aku tak sayang kepada ayah dan ibu, tapi aku tak mau dijodohkan!. Sampai-sampai ibu berani berbohong kepada ustadzah pengasuh di pesantrenku. Awas saja ketahuan kalau ibu berbohong, aku bisa dipecat dari pesantrenku!.

                                                                                        ***
Agustus 2010

"Braakk!," terdengar jelas suara koper yang kuhentakkan ke tanah, kakiku terseok-seok membawa koper ke dalam pesantren. Capek juga perjalanan Jakarta-Ponorogo, sudah lama aku tidak merasakan perjalanan jauh seperti ini selama di Mesir. Ustadzah Indri menyambutku, dia adalah ustadzah pengasuhan di pesantrenku yang juga dulunya kakak kelas satu angkatan di atasku, dia sudah menikah makanya dia tidak menetap di pesantren. Rata-rata ustadzah pengabdian di pesantrenku sekarang adalah adik-adik kelasku yang jauh angkatannya setelahku. Teman-temanku sudah menikah semua, tidak ada yang mengabdi lagi seperti ustadzah Indri.

Lalu kenapa aku berada disini? Aku pun juga heran, memang aku agak sedikit aneh di mata orang-orang. Aku sudah lulus S2 di Universitas Al-Azhar Mesir, tapi kenapa aku malah balik lagi ke pesantren?, mungkin itu yang menjadi pertanyaan orang-orang yang membuatku sedikit aneh di mata mereka. Kan bisa saja aku bekerja di tempat yang lebih banyak menjanjikan uang, toh  aku sudah S2 pasti pekerjaan yang mengejarku bukan aku yang mengejarnya, pikir mereka.

Aku memang bisa seperti apa yang dibicarakan orang-orang, tapi cita-citaku menjadi guru tak bisa dipungkiri, dan tempat yang paling cocok tempatku mengajar adalah pondok pesantren. Soalnya aku muak dengan dunia luar, sudah semakin aneh rasanya. Aku ingin tenang, mengajar di pesantrenku yang kebetulan terletak di pedesaan yang sejuk jauh dari keramaian sambil mengingat kenangan manis selama masih menjadi santriwati. Ibu dan ayah juga memaksaku untuk merintis Majlis Ta'lim milik keluargaku, karena watakku keras maka akhirnya aku berhasil kabur ke pesantren.

November 2010

"Hah? beneran si Farid pulang Din?," teriakku di kamar, sampai-sampai ustadzah-ustadzah yang sekamar denganku menoleh kepadaku semua. Aku hanya tersenyum kepada mereka sambil melanjutkan pembicaraanku dalam telepon. "Iya Haniiii, masak sih aku bohong, tapi emangnya kepulangan dia bisa ngaruh gitu sama kamu?," tanya Dini, temanku yang juga sekolah di Mesir dulunya bersamaku dan dia sekarang sudah berkeluarga. "Ya enggak sih Din, cuma akunya aja yang terlalu expresif kali hehe," ujarku yang hanya mencari-cari alasan saja.

"Kamu masih suka kan sama Farid?," tanya Dini, pelan tapi langsung menohok dadaku
"Maksud kamu apa sih Din? Itu kan cerita lama. Lagian kenapa kamu ngabar-ngabarin aku tentang kepulangan Farid?," tanyaku balik.
"Ya barangkali kamu masih menyimpan hati gitu," canda Dini sambil tertawa mengejek
"Kamu tuh suudzon mulu bawaannya"
"Bukan suudzon, tapi biar kamu tuh nikah jangan nungguin si Farid mulu, bikin orangtuamu khawatir terus. Udah lulus S2 tapi pikiranmu masih childish gitu sih Haann," celoteh Dini dan masih banyak lagi celotehannya, hampir satu buku mungkin kalau bisa dibukukan.

Desember 2010

Hampir setengah tahun rasanya semenjak kembalinya aku ke pesantren tercinta ini, masih teringat di memori ini ketika malam terakhir aku di pesantren, sebelum aku berpisah dengan teman-temanku. Aku memaksa teman-temanku untuk tidak tidur, karena aku khawatir tidak bisa melihat mereka lagi. Seperti orang mau  meninggal saja ujar salah satu temanku ketika melihatku menbangunkan teman-temanku sambil menangis seperti anak kehilangan emaknya.

Masih jam tiga pagi rupanya, aku keluar kamar untuk mengambil air wudlu, jadi ingat ketika aku masih menjadi santriwati aku sering lari terbirit-birit setelah buang air malam-malam sendirian. Sampai sekarang pun aku masih takut ke kamar mandi sendirian, tapi karena gengsi membangunkan ustadzah yang lain untuk mengantarkanku jadi aku berani-beranikan saja. Ketika sampai di Masjid pesantren aku kembali teringat, ketika masa-masa ujian aku tak pernah tidur di kamar dan masjid menjadi kamarku selama ujian, lantaran takut kebablasan tidur sampai shubuh dan belum belajar.

Jam 6 pagi tepatnya ketika aku baru pulang dari masjid, aku mendapat panggilan dari ustadzah Indri, bahwasannya ibuku menelpon mengabarkan kalau ayahku sedang sakit. Lalu aku mendapatkan izin dari pesantren untuk pulang. Aku khawatir sekali, walaupun ayah sudah pensiun tapi setiap hari ada saja yang dikerjakannya dan tidak beristirahat dengan cukup.

Keesokkan harinya aku segera meluncur ke Jakarta, selama perjalanan aku tak henti-hentinya berdzikir dan mendoakan ayah. Aku merasa berdosa telah meninggalkan ayah, dan membiarkan ibu mengurus ayah sendirian. Akan tetapi aku tak akan kabur seperti ini kalau ibu berhenti menyindirku untuk menikah.

                                                                                    ***
Januari 2011

Hatiku berdegup kencang, rasanya tidak ingin keluar dari kamarku. Keluarga yang ingin melamarku sudah datang, aku sengaja tidak berdandan, masa bodoh, pikirku. Tapi kata ibu, "Anak ibu tetep  cantik kok walau tanpa make up," ada saja kata-kata ibu untuk merayuku supaya aku keluar menemui tamu-tamu itu.

Memang sepertinya Allah sudah menggariskan takdir bahwa tahun ini aku akan menikah. Ikhlaskan hatimu Hani! Ini demi ayah dan ibumu!, batinku. Sudah saatnya aku melupakan cinta yang tak ada jawabannya. Benar apa yang dikatakan Dini, aku masih menunggu Farid, sampai detik ini ketika aku dilamar orang lain.

Farid adalah kakak kelas setahun di atasku ketika aku masih di Al-Azhar, aku sering bertemu dengannya di dalam kepanitiaan pada banyak acara. Aku memang dekat dengannya, tapi dekat hanya sebatas kakak kelas dan adik kelas, tidak melampaui sampai sering sms-an atau telpon-telponan. Aku sudah lama suka padanya, dan hanya Dini yang mengetahui hal ini. Apalagi Farid, dia sama sekali tidak menangkap gelagat dariku bahwa aku suka padanya, menurutku. Cinta sebelah pihak, itulah konklusi dari kisahku, karena Farid sama sekali tidak menyalakan sinyal bahwa dia tertarik kepadaku, atau mungkin dia sekarang sedang melamar orang lain untuk dijadikan istrinya.

"Hani, bawa minumannya ke depan sayang," ujar ibu dari ruang tamu yang membuyarkan lamunanku, ternyata sedari tadi aku melamun di dapur dan lupa membuat minuman, astaghfirullah!. Suara gelas bersentuhan terdengar mendekati ruang tamu, "Nah ini yang ditunggu-tunggu dari tadi, ini yang namanya Hani, pasti kalau nak Farid sudah tak asing lagi kan?," ujar ibu sambil tersenyum. Hah? Farid? Kayak kenal!, pikirku. Aku tak berani melihat tamu-tamu ketika aku menaruh minuman ke atas meja. "Kamu sehat Han? Udah lama enggak ketemu," ujar seorang lelaki yang suaranya tak asing bagiku, "Kak Farid?," ujarku sedikit berteriak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar