Pages

Labels

Rabu, 07 Maret 2012

Ironis!

“Mbak, masih belum ada kamar kosong ya? “ Tanya seorang wanita berumur sekitar 40-an ke atas, “Maaf bu, belum ada untuk sekarang” jawabku dengan hati-hati, “Ini gimana sih mbak? Sudah tiga malam suami saya menginap di ruang UGD, enggak bisa tidur tiap hari, berisik banyak orang, gimana mau sembuh!” seru ibu itu dengan nada tinggi,

“Jangan protes ke saya bu, kalau semua kamar penuh saya bisa buat apa?” jawabku tak tega

“Selalu begitu jawabannya! Oh, mungkin gara-gara saya pake ASKES kali ya!” sindir Ibu itu sambil berlalu meninggalkanku terpaku.

Ya Allah… Apa yang harus aku perbuat?, tapi mau bagaimana lagi! Aku yang hanya seorang bawahan hanya mendapat amanah dari atasan. Mau berontak? Angkat kaki lah hasilnya, aku tak mau mengulang kebodohanku lagi sehingga keluargaku yang mendapatkan dampak negatifnya.

Seketika kakiku lemas, lunglai, huff… Sudah kesekian kali aku berbohong demi mempertahankan pekerjaanku, teringat kata-kata Ibu dua bulan yang lalu, “Fi, kalau kamu dikasih amanah dari atasanmu ya dikerjakan saja”, “Walaupun itu sebuah kedzaliman bu?” tanyaku dengan amarah yang meluap-luap. “Ya jalankan saja, ini demi Ayahmu juga Fi, siapa lagi yang bisa membiayai Ayahmu” kata Ibu sambil mengelus-elus rambutku.

Sebenarnya ada kamar kosong atau tidak sih?, begitulah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para masyarakat yang protes akan ketidakadilan yang dilakukan pihak Rumah Sakit. Ada saudara-saudara sekalian, ada banyak kamar! Seruku dalam hati, tapi…tapi hanya dalam hati saja karena kalau mulut ini mengeluarkan kata-kata seperti ini, seketika namaku yang tertulis di daftar pegawai resepsionis Rumah Sakit ini terhapus!.


Kebijakan Rumah Sakit inilah yang membuat mereka para pengguna ASKES harus menghabiskan malam-malamnya di ruangan UGD yang ramai dan bising dengan pengunjung rumah sakit. Bukan kebijakan tapi “Penyiksaan” lebih tepatnya, kecuali orang-orang yang bisa membayar tunai administrasi rumah sakit yang akan mendapatkan kamar yang sengaja “Dikosongkan” oleh pihak Rumah Sakit, ironis!.

Faktor yang menyebabkan pihak Rumah Sakit tidak membolehkan para pengguna ASKES mendapatkan kamar adalah dikarenakan pihak ASKES yang selalu menunda pembayaran yang merupakan hak Rumah Sakit dari pemerintah. Walhasil, rakyatlah yang menjadi korban, korban atas orang-orang yang melalaikan hak orang lain. Kalau hal seperti ini terjadi di Rumah Sakit Jakarta mungkin permasalahan ini sudah diusut oleh Menteri Kesehatan atas kejadian ini, tapi sayangnya di Rumah Sakit daerah masih belum berani melaporkan hal-hal dzalim seperti ini.

Ku bereskan barang-barangku, sudah pukul 10.00 malam tandanya jam kerjaku sudah habis, karena aku dapat jatah jaga pagi. Kuserahkan semua data-data kepada pegawai jaga malam. Kakiku lemas sambil berjalan melewati koridor-koridor Rumah Sakit, mungkin karena aku lelah bekerja seharian, atau karena kejadian tadi siang yang membebani pikiranku? Ah sudahlah, aku ingin melupakannya sejenak.

Ah, rupanya adikku sudah menungguku dari tadi, memang dia yang selalu mengantar jemputku dengan motor milik Ayah. Dimas namanya, dia sekarang duduk di kelas 2 SMA, dia juga bekerja di sebuah bengkel sepulang sekolah sampai malam hari lalu baru menjemputku. Begitulah keadaan keluargaku, keluarga yang pas-pasan atau bisa disebut sangat nge-pas sekali. Aku pun hanya menyelesaikan studiku sampai D3 jurusan sekertaris.

Setelah sampai rumah, langsung ku bergegas menuju kamar mandi, mandi memang satu-satunya obat melepaskan penat kali ini. Seusai sholat Isya aku pun merenungi kejadian tadi siang, sebenarnya tubuhku lelah bahkan sangat, tapi pikiranku tak tenang. Aku pun membuka mushaf Al-quran, mungkin bisa menenangkan pikiranku yang sedang kacau ini.

Kututup mushaf milikku, mulailah pikiranku melayang kepada kejadian 2 bulan silam. Dulu aku bekerja menjadi sekretaris di sebuah perusahaan yang tidak begitu besar menurutku, perusahaan itu milik teman Ayahku. Sebulan, dua bulan aku bekerja di perusahaan itu dengan baik, tapi beberapa bulan kemudian terjadi suatu kecurangan yang hanya diketahui oleh pemimpin perusahaan dan sekertaris saja, sedangkan staff pegawai perusahaan yang lain tidak mengetahuinya.

“Maaf pak, saya tidak bisa ikut dalam proyek ini” kataku dengan tegas

“Kenapa? Kita akan mendapat keuntungan banyak Silfi! Kenapa kamu menolaknya?” seru Pak Anton yang memang beliaulah yang menjabat sebagai pemimpin perusahaan.

“Sekali lagi maaf pak, saya tidak bisa. Lebih baik saya keluar dari perusahaan ini daripada saya harus melakukan kecurangan” jawabku dengan yakin.

Akhirnya aku dipecat pada hari itu juga oleh pak Anton yang mengakibatkan terhambatnya biaya pengobatan Ayah, karena kejadian itu sebelum aku mendapatkan gaji ku. “Makanya fi, lain kali sebelum melakukan sesuatu dipikirkan terlebih dahulu, kendalikan emosimu” nasehat Ibu berulang kali terdengar oleh telingaku. Tapi aku bersikukuh tidak mau melakukan kecurangan, itu namanya mendzalimi orang lain!, lagi-lagi Ibuku menasehatiku, “Ini demi Ayahmu fi”.


Ayah mengidap penyakit Gagal Ginjal yang mengharuskan cuci darah setiap 2 minggu sekali, jadi memerlukan biaya yang banyak. Gara-gara aku dipecat pengobatan Ayah harus tertunda, sampai akhirnya tetanggaku yang baik hati menawarkan pekerjaan kepadaku sebagai resepsionis di sebuah Rumah Sakit. Ku kira di Rumah Sakit tidak ada kecurangan, karena Rumah Sakit adalah lembaga yang melayani masyarakat, tidak mungkin ada, pikirku. Ternyata, sangat-sangat ironis sekali! Terdapat kebusukan di dalamnya! Ya Allah…!.

Ku letakkan mushaf milikku dan ku rapihkan mukenaku, aku harus bergegas untuk tidur karena besok aku ada jadwal kerja pagi. Ku rebahkan tubuhku untuk menghilangkan kelelahan menjalankan kehidupan di dunia, berharap malam yang panjang agar aku bermain-main dengan mimpiku dengan jangka waktu yang lama.

                                                                         ***

Dengan langkah yang tergesa-gesa aku melewati koridor-koridor Rumah Sakit, ah aku telat! Gumamku. Untungnya teman partnerku sangat baik sekali, sehingga dia tak memarahiku atau melaporkan pada atasan atas keterlambatanku. Hari ini rupanya banyak sekali pasien yang datang ke Rumah Sakit. Ruang UGD pun semakin penuh, ramai dengan pengunjung, sampai-sampai ada seorang pasien yang memilih dirawat di rumah ketimbang harus berlama-lama di ruang UGD.

Huff…apa yang harus aku perbuat?! Teriakku dalam hati. Aku pun hanya terpaku melihat suster-suster Rumah Sakit kerepotan mengurus pasien-pasien yang berada di ruang UGD. Apa aku harus memindahkan pasien-pasien yang berada di ruang UGD menuju kamar-kamar rawat dengan tanganku sendiri? Pikirku, oh tidak Silfi! Ingat Ayahmu!.

“Mbak, tolong adik saya kecelakaan!” seru seorang laki-laki seumur dengan adikku sambil menggendong seorang anak kecil perempuan berlumuran darah, “Sebent…” belum ku menyelesaikan perkataanku tiba-tiba, “Maaf dek, ruang UGD penuh, sebaiknya kamu cari Rumah Sakit lain saja!” bentak suster yang kebetulan lewat di depan meja resepsionis. “Katanya Rumah Sakit lembaga melayani masyarakat! Apa karena saya hanya orang miskin jadi tidak boleh masuk?!” seru anak laki-laki itu. Spontan saja sang suster pun memanggil satpam untuk mengusir anak tersebut.

“Apa-apaan ini suster? Kan bisa pasien yang lain dipindahkan ke ruang rawat biar anak tadi bisa masuk ruang UGD” kataku dengan nada yang meninggi.

“Kamu yang bodoh! Sudah jelas pihak Rumah Sakit tidak menyediakan Ruang Rawat kecuali orang yang membayar tunai administrasi, kamu mau dipecat? Kalau saya sih enggak!

Seketika kepalaku diserang pusing yang amat sangat, aku bingung! Apa yang harus ku perbuat?. Aku berfikir, jika aku berada di posisi anak laki-laki tersebut dan yang sakit adalah Ayahku pasti sekarang Ayahku sedang mengalami kesakitan yang hebat karena menunda untuk mengobatinya. Sebelum terlambat, aku harus menyelamatkan nyawa anak itu, pasti sekarang masih tak jauh dari Rumah Sakit.

Langsung kupanggil anak laki-laki itu dan aku membantunya membopong adiknya yang mengalami pendarahan yang hebat. Pasien yang seharusnya berada di ruang rawat langsung ku perintahkan suster memindahkan mereka, awalnya mereka enggan, tapi setelah aku berkata, “Kalau kalian tidak mau melakukannya, kalian sama saja sudah menghilangkan satu nyawa, atau sama saja kalian membunuh anak ini secara tidak langsung!”.

Akhirnya anak tersebut bisa tertolong, kakaknya pun berterima kasih kepadaku sampai ingin bersujud kepadaku, tapi aku langsung menyuruhnya untuk berdiri. Tak apa aku dipecat dari pekerjaanku daripada aku harus mengorbankan nyawa orang lain.

                                                                            ***

“Kamu ngapain fi, sepertinya kamu mencari sesuatu?” Tanya Ibu yang heran karena sudah setengah jam aku membuka-buka Koran terbitan hari ini. “Ini bu, aku mau cari lowongan kerja” ujarku. “Loh, buat apa fi? Bukannya kamu tidak jadi dipecat?” Tanya Ibu lagi, tapi kali ini Ibu bertanya sambil tersenyum-senyum. “Kok Ibu malah senyum-senyum? Jadi gini bu ceritanya, kan kemarin aku…”, “Iya Ibu udah tahu ceritanya, tadi sebelum kamu bangun pihak Rumah Sakit menelpon Ibu” jelas Ibu.

“Terus..terus bu?” tanyaku dengan semangat.

“Mereka minta maaf dan berterima kasih sama kamu, karena berkat tindakanmu pihak ASKES jadi mendapat teguran dari Menteri Kesehatan” ujar Ibu.

“Kok bisa bu?” tanyaku lagi, aku pun makin penasaran.

“Iya, soalnya kemarin waktu kamu bolos kerja, para pegawai Rumah Sakit dan suster-suster demo kepada pihak ASKES, dan waktu itu juga wartawan Jawa pos langsung meliput kejadian, demo itu tercetus setelah revolusi yang kamu adakan kemarin”, “Ah Ibu bisa aja” kataku tersipu. “Ibu bangga sama kamu fi, dan kamu tahu sekarang pihak Rumah Sakit menanggung semua biaya pengobatan Ayahmu” seru Ibu dengan tersenyum lebar, ku peluk Ibu dengan erat sambil meneteskan air mata.

Sungguh indah skenarioMu ya Allah, engkau telah membukakan pintu kebenaran dan membongkar kedzaliman bagi hamba-hambaMu. Aku berjanji pada diriku agar tidak membiarkan lagi kedzaliman yang bisa merugikan orang lain.

Mari tegakkan kebenaran!

 posted at: informatika magazine (edisi magang 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar