Pages

Labels

Rabu, 07 Maret 2012

Tak Harus Sempurna

Yogyakarta, 10 Januari 2011
"BRAAAKK!!!" seperti suara benda yang dilempar dengan kuat dan sumber suara berasal dari halaman belakang rumah, langsung ku bergegas keluar dari ruangan batik untuk menghampiri suamiku. Sudah kuduga lagi-lagi suamiku mencoba meneruskan profesinya sebagai pengrajin kendi dari tanah liat seperti dahulu. Ya sebelum kecelakaan dua bulan lalu yang menghilangkan tangan kanan dan kaki kanan suamiku, dan menyebabkan depresi yang kini dideritanya. Hampir setiap hari dia mencoba membuat kendi-kendi seperti dulu, tapi tidak membuahkan hasil sama sekali.

Kupeluk erat suamiku tercinta sambil menangis, karena tak tahan melihat penderitaan suamiku, "Sudah ya Mas, Mas istirahat saja sekarang, tadi baru kubuatkan bubur kacang hijau kesukaan Mas". "Din, kenapa aku harus cacat?, Aku suami yang tidak berguna, aku tidak bisa lagi mencari nafkah seperti layaknya suami-suami yang lain", tanya suamiku sambil mengeluarkan air mata. "Mas nggak boleh bilang begitu, itu sudah takdir Allah, Mas masih menjadi suami yang terbaik yang pernah kumiliki dan ayah yang baik untuk anak-anak", jawabku dengan lembut sambil menuntun suamiku menuju ruangan tengah.

Setelah beberapa jam suamiku sudah tertidur di kamar tidur, aku menghampiri anak semata wayangku dan memarahinya, "Putri, lain kali kalau habis dari halaman belakang dikunci biar bapak tidak masuk ke sana!, terus sehabis pulang sekolah jaga bapakmu bukan malah tidur-tiduran. Kamu tahu kan ibu sedang membuat batik tidak bisa menjaga bapakmu, seharusnya kamu mengerti! ", Putri pun hanya menundukkan kepalanya mendengar tubian kemarahanku.
Ketika aku keluar dari kamar Putri, aku baru sadar kalau aku terlalu terbawa emosi. Segera ku berbalik ke kamar anakku dan memeluknya, "Maafkan ibu Put, ibu enggak bermaksud memarahimu, ibu cuma ingin kamu mengerti bahwa bapakmu butuh perhatian dari kita semua. Jangan sampai bapak ditinggal sendirian, ibu hanya takut sesuatu yang buruk menimpanya". Putri pun menciumku seraya berkata, "Maafkan aku juga ya bu, karena lalai menjaga Bapak, ibu enggak salah kok. Ya sudah sekarang ibu lanjutkan saja membuat batiknya, nanti biar aku yang menjaga bapak".

5 April 2011
Pagi-pagi setelah anakku berangkat sekolah dan suamiku masih terlelap di atas tempat tidur aku pergi belanja ke pasar untuk membeli bahan makanan yang akan ku masak untuk makan siang nanti. "Bu, tahunya berapa?", tanyaku kepada ibu penjual tahu langgananku, "Tiga ribu aja mbak", jawabnya. Sambil membungkus tahu pesananku, Ibu Tini penjual tahu tersebut menanyakan keadaan suamiku, "Alhamdulillah Bu Tini, sekarang suami saya sudah mulai banyak makan, banyak bicara sama orang lain", jawabku sambil tersenyum renyah. "Oh, syukurlah kalau begitu", ucap Bu Tini, lalu ku mengucapkan terima kasih dan bergegas pulang.

Setelah beberapa langkah dari warung Bu Tini samar-samar kudengar sebuah pembicaraan yang tidak enak didengar, "Kasian ya si Dini, kalau aku jadi dia sudah kuceraikan suamiku". Lalu seorang ibu menambahkan "Iya, lagian capek  dengar tangisannya setiap hari dan teriakkannya. Aku saja yang mendengarnya sesekali sudah malas apalagi mendengar setiap hari". Begitulah celotehan yang kudengar, memang yang dibicarakan mereka benar, kerap kali suamiku terdengar mengamuk dan berteriak-teriak. Tapi aku tidak menghiraukannya, karena memang sudah untuk yang kesekian kali aku mendengar pembicaraan yang seperti itu.

Pernah suatu ketika ketika seorang ibu dari Jakarta yang memang berlangganan batik buatanku selama setahun, datang ke rumahku untuk mengambil batik pesanannya. Sambil menungguku merapihkan batik-batik pesanannya dia berkomentar tentang suamiku, "Kamu sabar ya mengurus suamimu, maaf ya kalau saya sih enggak sabar, apalagi kalau tidak punya pembantu pasti bawaannya capek dan memarahinya setiap hari", begitulah komentar secara blak-blakan yang terlontar darinya. Aku pun menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya sambil mencoba tersenyum, "Namanya berumah tangga harus dijalani dengan sabar bu, tujuan kita menikah kan untuk membina rumah tangga yang baik bersama suami kita, selama kita masih diberi kenikmatan hidup dari Allah swt".
"Tapi sama saja kalau suami kita tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang suami".
"Siapa bilang tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang suami?, bukan hanya orang sempurna yang bisa, tapi orang yang tidak diberi kesempurnaan pun juga bisa melakukannya", jawabku tegas, tetapi sambil menyunggingkan senyuman.
"Contohnya?", tanya ibu itu lagi,
"Contohnya dia masih memberi cinta yang tulus kepada sang istri, dia masih bisa memberi nasihat kepada istri yang merupakan salah satu tugas sang suami".

25 Juni 2011
Siang ini ibuku datang ke rumah bersama bapakku untuk menengok suamiku yang ketiga kalinya. Aku senang suamiku tertawa lebar ketika mendengarkan celotehan dari bapak. Memang bapak seorang yang humoris, tetapi baru kali ini suamiku tertawa lebar semenjak pertama kali orang tuaku menjenguk kami. Aku senang orang tuaku masih bisa menerima suamiku dan tidak pernah jera untuk menjenguknya, karena waktu pertama kali bapak dan ibu menjenguknya di rumah sakit, suamiku sering marah dan menjerit-jerit sambil memaki-maki semua yang ada di sekitarnya. Suamiku mengalami depresi tingkat rendah yang terkadang kambuh dan terkadang juga seperti biasa.

Ketika aku menyiapkan untuk makan malam di dapur ibu menghampiriku, "Suamimu masih sering kambuh lagi?", "Kadang-kadang bu, tapi enggak sesering seperti dulu, emang kenapa bu?", tanyaku balik. "Enggak apa-apa, ibu cuma khawatir, tapi kamu baik-baik saja kan nduk?", "Ibu ini, ya tentu sajalah aku baik-baik saja, toh ibu bisa melihatnya kan?" jawabku tersenyum.
"Ibu mau tanya, tapi kamu jawab yang jujur"
 "Iya bu, mau nanya apa bu?", tanyaku sambil tersenyum.
 "Kamu masih mencintai suamimu kan?",
Aku menghela napas dan kemudian tersenyum, "Ya ampun ibu, tentulah aku masih mencintai suamiku, kalau tidak mana mungkin sekarang aku masih disini". "Pernah terdetik enggak kalau kamu ingin meninggalkan suamimu?", tanya ibuku dengan suara pelan, "Tidak bu, enggak pernah sama sekali. Walau bagaimana pun dia tetap suamiku, kita tidak perlu berusaha mencari sesosok yang sempurna, tetapi kita berusaha mencintai seseorang dengan sempurna”.

13 Agustus 2011
Nafasku seketika berhenti melihat suamiku terbaring berlumuran darah ketika dilarikan ke rumah sakit pukul 12.00 siang hari ini. Kejadian kecelakaan untuk yang kedua kali akibat keteledoranku. Kronologis kejadiannya, dua jam yang lalu suamiku duduk di teras depan rumah dan aku meninggalkannya sebentar untuk membuatkan teh hangat dan cemilan. Ketika itu sebuah bola milik anak-anak yang kebetulan lewat depan rumahku masuk ke dalam teras dan mengenai kepala suamiku. Spontan anak-anak lari dan berteriak, "Awas!orang gila ngamuk!!!".
Memang suamiku kerap kali mendapat ejekan oleh anak-anak kecil dengan sebutan orang gila, karena berkali-kali anak-anak kecil memergoki suamiku sedang mengamuk dan memarahi setiap yang lewat depan rumah. Ketika suamiku mendengar teriakkan anak kecil tersebut, dia mencoba mengejar anak-anak kecil dengan kursi rodanya dan ketika menyeberang jalan besar yang tepat di depan rumahku,  suamiku tertabrak oleh sebuah mobil dan terlempar ke seberang jalan.

Air mataku terus mengalir dan Putri mencoba menenangkanku sambil memelukku, beberapa jam kemudian orang tuaku datang menghampiriku. Orang tua suamiku sudah tidak ada dari sebelum pernikahan kami. "Gimana suamimu nduk?", tanya ibu cemas, "Jangan ditanya dulu toh bu, si Dini masih belum tenang, biarkan dia menangis", ujar bapak. Setelah tenang aku baru menceritakan kejadiannya, "Sudah toh nduk, ini semua bukan salahmu. Memang sudah takdir-Nya begini, lagipula kamu tidak bermaksud untuk meninggalkan suamimu", kata bapak mencoba menenangkanku.



14 Agustus 2011
Orang-orang berpakaian hitam berdatangan ke rumahku, ya tepat hari ini pukul sembilan pagi suamiku meninggal. Luka parah di bagian kepala yang menyebabkannya harus kehilangan nyawanya. Setelah disholatkan jenazah, suamiku siap dibawa ke pemakaman. Air mataku tak kunjung berhenti sampai orang-orang pergi meninggalkan pemakaman, ibu mencoba membujukku untuk pulang, tetapi bapak melarangnya, "Biarkanlah, mungkin Dini masih ingin menemani suaminya".

Kupandangi batu nisan bertuliskan nama suamiku, maafkan aku mas karena aku tak bisa menjagamu, batinku. Ya memang ini sudah menjadi takdir yang kuasa, mungkin ini pilihan terbaik untuk suamiku. Aku harus berlapang dada menerima semua ini, semoga suamiku bisa tenang di sana, dan aku sebagai istri akan selalu mendoakanmu suamiku tercinta, janjiku dalam hati.

*Salah satu cerpen dalam buku Antologi Cerpen dan Puisi yang diterbitkan oleh LSBNU Mesir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar