“Kamu itu aneh, mana ada orang kerja karena cinta pada
pekerjaannya di zaman sekarang,” ujarku kepada wanita cantik di hadapanku.
“Ada, buktinya banyak perawan tua di kantorku yang lupa
menikah. Mereka berniat menikahi pekerjaannya,” tukasnya sambil menyelipkan
beberapa helai rambutnya di belakang telinga.
Aku hanya tertawa sambil menggeleng-geleng kepala.
“Kenapa sedari tadi kamu hanya menertawakanku, emang apanya
yang aneh? Apa yang ku ceritakan semuanya berdasarkan fakta.”
“Sebenarnya untuk pernyataan kamu yang terakhir ada benarnya
50%, tetapi soal lelaki lebih sulit dimengerti dari wanita aku kurang setuju…”
“Loh, memang benar kan…”
“Tunggu, aku belum selesai. Masih banyak yang aku tidak
setuju dari pernyataanmu.”
Selalu ada saja yang menarik dari wanita di hadapanku. Ia
wanita yang cerdas, ambisius, soal paras jangan ditanyakan lagi. Setiap orang
pasti tidak bosan memandangnya berkali-kali. Lesung pipinya yang membuat
senyumannya semakin menawan, akan tetapi matanya paling kusuka. Tatapannya yang
tajam dan penuh selidik, tetapi dibalik itu aku tahu ada kesedihan yang
mendalam. Sampai sekarang aku belum tahu apa yang menyebabkan kesenduan dibalik
mata elangnya.
Tidak banyak yang kutahu tentangnya. Kami hanya berkenalan 3
hari yang lalu di salah satu gerbong kereta jurusan Jatinegara-Bogor. Ketika
itu ia masuk dari stasiun Kemayoran, rambut indahnya basah akibat hujan pada
sore hari itu. Aku memberikan tempat dudukku kepadanya. Ketika duduk, ia
membuka tasnya dan mengeluarkan novel Sherlock Holmes.
“Penggemar Sherlock Holmes juga?” tanyaku spontan.
Ia hanya menatapku tajam. Aku tersenyum kepadanya. Ia
terlihat semakin sebal.
Sampai stasiun Manggarai, kereta mulai sepi dan aku pun
duduk di sebelahnya.
“Kenalkan Adi. Kalau udah kenalan kan enak ngobrolnya,”
kataku sambil mengulurkan tangan.
“Kirana. Memangnya mahu interview saya tentang apa?”
jawabnya dengan tidak menjawab uluran tanganku.
“Hahaha kan saya bilang ngobrol bukan interview.
Jarang-jarang saya menemukan teman ngobrol sesama penggemar Sherlock Holmes.”
“Memang kamu ngoleksi semua novel Conan Arthur Doyle?”
“Iya, dari semua serial Sherlock Holmes. Hobi ngoleksi dari
semenjak SMP.”
“Ngoleksi aja atau dibaca juga?”
“Hahaha, kamu itu bisa nggak sinis sebentar aja.”
“Daripada kamu selalu tertawa pada hal yang nggak lucu.”
“Kamu itu aneh dan lucu. Itu yang membuatku tertawa.”
***
Dialog sore hari di gerbong kereta Jatinegara-Bogor selalu
menjadi momen yang kutunggu. Selalu kunanti wajah cantiknya mucul diantara kerumunan
orang masuk dari stasiun Kemayoran. Dia langsung tersenyum melihatku. Hari ini
aku mempunyai kejutan untuknya. Biasanya sesampai di stasiun Bogor kami berpisah, namun aku
menarik lengannya.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Aku bawa motor di parkiran.
Sebentar saja, besok libur kan?”
“Tapi Di... aku harus pulang,” ujarnya gelisah.
“Kenapa? Kamu ada acara?”
“Bukan... aku...”
Aku tidak memperdulikan kelanjutan ucapannya, kutarik
lengannya menuju tempat parkiran. Aku sudah mempersiapkan helm untuknya.
“Tenang saja, pasti ku antar sampai rumahmu nanti,” ujarku
sambil tersenyum.
Kami sampai pada daerah puncak. Aku membawanya ke tempat
favoritku, tidak banyak orang yang tahu tempat ini. Hanya ada beberapa orang
dan tukang jagung bakar ditemani segelas bandrek. Sepertinya Kirana menyukai
tempat ini.
“Gimana, bagus kan tempatnya? Kalau lagi suntuk, aku sering
ke tempat ini sepulang kerja,” ujarku.
“Sendirian?” tanyanya.
“Kamu orang pertama yang aku bawa kesini.”
Ia tersenyum. Tiba-tiba ponselnya berdering dan terlihat
kegelisahan pada raut wajahnya. Ia meminta ijin kepadaku untuk mengangkatnya.
Aku tidak bisa mendengar percakapannya, karena ia menjauh, mungkin orang tuanya
khawatir.
“Kenapa? Kamu kelihatan gelisah?”
“Nggak apa-apa. Jam 9 kita pulang ya, gimana?”
Aku menganggukkan kepala.
Kami berbincang-bincang banyak hal sambil menikmati jagung
bakar dan bandrek. Semakin lama aku mengenalnya, ia berubah menjadi wanita
manis. Malam ini merupakan momen terindah. Seakan-akan kami adalah pasangan
yang paling bahagia, walaupun aku tidak tahu perasaannya yang sebenarnya. Akan
tetapi aku bisa membaca kebahagiaan dari raut wajahnya.
Kebahagiaan itu sirna ketika sampai depan rumahnya ada
seorang lelaki menunggunya. Di dalam rumahnya pun ramai oleh orang. Ia belum
sempat menjelaskan, tangannya sudah ditarik oleh lelaki itu. Wajahnya
menyiratkan kata maaf kepadaku.
***
Ia menyodorkan sebuah amplop bertuliskan namaku. Aku tahu
isinya. Ya, isinya yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.
“Maafkan kejadian malam itu. Aku mengharapkan kedatanganmu,”
ujarnya.
Aku hanya diam dan tidak menatapnya. Selama perjalanan
sampai stasiun Bogor pun tak ada kata-kata yang terucap. Setelah ia pergi, aku
membuang undangan pernikahan itu.
***
Sudah hampir seminggu aku tidak pernah melihat wajah
cantiknya muncul diantara kerumunan orang yang masuk dari stasiun Kemayoran.
Mungkin ia sedang mempersiapkan acaranya. Tidak ada lagi dialog sore hari yang
menemaniku sepanjang perjalanan. Semua memori berputar dari awal pertemuan
seperti roll film yang diputar.
Aku memutuskan untuk pergi ke tempat favoritku untuk
melepaskan kegundahan. Sesampai disana aku melihat wajah yang selama ini ku
rindukan. Matanya sembab sambil memegang segelas teh hangat. Di jarinya tidak
ada cincin tersemat. Dongengku ternyata belum berakhir.