Mungkin jarang sekali orang-orang di zaman modern ini berbicara tentang kesetiaan, karena dimana-mana pengkhiatan menyebar luas yang mengakibatkan perpecahan dimana-mana. Di zaman dahulu saja pengkhianatan sering muncul di tengah-tengah kesetiaan. Padahal orang zaman dahulu terkenal dengan kesetiaannya yang kuat, itu menurut bangsaku. Beda dengan bangsa manusia, sudah terkenal dengan persenan kesetiaan yang paling kecil.
Sebenarnya mau zaman
modern atau tidak tidak ada pengaruhnya dengan bangsaku. Toh, di zaman modern
seperti sekarang ini kami masih bergerombol terbang ke arah timur ketika pagi
hari dan pulang ke barat ketika matahari terbenam. Ya, seperti matahari, kami
memang mengikuti jejaknya lebih tepat kesetiaanya. Matahari selalu setia
menyinari bumi ini walaupun manusia sering mengeluh kepanasan. Sebenarnya itu
ulah mereka yang sering membangun gedung-gedung berkaca atau apa saja yang bisa
mengurangi lapisan yang melindungi bumi dari sengatan langsung matahari.
Kami pun melihat angin
yang selalu setia meniupkan angin segarnya ketika musim semi atau musim gugur.
Akan tetapi akhir-akhir ini manusia sering mengeluh dan mengaku bahwa angin semakin tidak bersahabat,
itu karena ulah mereka yang membuat polusi di udara semakin menjadi-jadi.
Tadinya aku selalu
sinis kepada manusia, mereka tidak pernah menghargai sebuah kesetiaan. Tidak
ada satu pun yang mengamalkan kesetiaan, sudah ku jelajahi bumi ini, tidak ada
satu pun yang tidak melakukan pengkhianatan. Aku miris, beruntung aku hanya
seekor burung, seandainya boleh memilih aku tidak ingin diciptakan menjadi
seorang manusia. Manusia itu perusak, pengkhianat, itu pendapatku sementara
ini.
Setelah beberapa lama
aku menjelajahi bumi, pada suatu hari aku singgah di pedesaan yang sangat
hijau. Sepertinya polusi tidak pernah menjamahi tempat ini, bau anginnya sejuk
sekali. Terdapat sungai-sungai mengalir, di dalam ikan berloncat-loncatan
menyambutku, mereka berkata bahwa aku beruntung bisa singgah di desa ini.
Nyanyian bangsaku semakin terdengar, baru kali ini aku mendengarnya secara
jelas. Aku dan teman-temanku juga kerap kali bernyanyi, tetapi suara kami
tertutup oleh klakson mobil, atau mesin-mesin buatan manusia.
Aku menjadi penasaran
dengan desa ini, sepertinya tidak ada manusia yang bermukim di desa ini.
Mungkin saja rumah-rumah mungil itu kosong tidak berpenghuni. Jelas saja, jika
manusia ada pastinya desa ini sudah kotor, tidak ada ikan berenang, nyanyian
burung, angin sejuk dan sebagainya. Akan tetapi aku salah, ternyata rumah-rumah
tersebut berpenghuni. Kulihat para penduduknya berseri-seri, kerap kali kutemukan
menyapa ikan-ikan di sungai atau ikut bernyanyi bersama bangsaku.
Masih tidak percaya,
mungkin ini mimpi. Akan tetapi ini sama sekali bukan mimpi, semuanya terlihat
jelas. Lalu diam-diam aku mendekati seorang gadis, kutaksir dia sekitar belasan
tahun. Kubertanya mengapa desa ini tentram baik manusia ataupun makhluk
lainnya. Dia menjawab bahwa mereka semua mengamalkan sebuah kesetiaan. Setia
kepada sesama manusia, kepada makhluk lainnya, setia kepada kebaikan, kepada
tuhan hingga diberkahi kehidupan yang sejahtera.
Menurut gadis tersebut
kesetiaan adalah bekal hidup. Dalam hidup ini kita dituntut untuk setia, setia
kepada yang disebutkan yang tadi. Oh iya, juga setia menebarkan cinta kepada sesama
makhluk hidup. Memang aku merasakan cinta tersebar di denyut nadi setiap
penghuni desa ini, aku yang bukan penghuni asli pun turut merasa bahagia.
Ternyata, dulu desa
ini adalah sebuah padang rumput yang gersang, semuanya kering, air di sungai
pun kering. Lalu, datanglah seorang kakek bersama cucu-cucunya yang berjumlah
lima orang ke tempat ini. Mereka membangun rumah, bercocok tanam, menggali
tanah sungai sehingga air memancar kembali.
Disitulah sebuah kesetiaan dibangun, mereka setia merawat padang rumput yang hampir mati,
mengolahnya menjadi desa yang asri. Setia menunggu kapan datangnya hujan untuk
menyirami tanaman mereka juga rumput-rumput ketika kekeringan. Mereka tidak
pernah meninggalkan tempat ini, sampai akhirnya berhasil menjadi sebuah desa
yang indah. Semua orang datang kesini langsung jatuh cinta, akhirnya banyaklah
yang bermukim di desa ini.
Semua penduduk disini
belajar dari kesetiaan kakek dan cucu-cucunya. Semenjak itu semua penduduk
disini mengamalkan kesetiaan dan menjadikan bekal hidup. Hidup tanpa kesetiaan
akan hampa, selalu merasa kehilangan, ketidakpuasan, tetapi dengan setia kita
akan merasa hidup kita bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Lihat saja
kepada orang-orang yang sering berkhianat, mereka selalu pulang dan pergi lalu
bertemu untuk berperang karena merasa saling dikhianati.
Setelah mendengar
kisah desa ini, aku mengajukan permintaan, bolehkah aku menetap disini? Dia
menyambutnya dengan suka cita, apalagi mendengar alasanku bahwa aku ingin
memperdalami makna sebuah kesetiaan. Lalu dia berlari-lari kecil berteriak
kepada penghuni desa ini bahwa mereka kedatangan penghuni baru, mereka
menyambutku dengan hangat.
Ternyata persepsiku
selama ini salah, ada juga kesetiaan di muka bumi ini. Tidak semua manusia itu
perusak atau pengkhianat. Bahkan menurutku penghuni desa ini lebih setia
ketimbang matahari dan angin seperti yang kuceritakan, karena keduanya hanya setia kepada pekerjaan yang diberikan tuhan oleh mereka berdua. Akhirnya
aku bisa menemukan tempat dimana kesetiaan itu merupakan bekal hidup, seperti
yang dikatakan gadis tersebut bahwa hidup tanpa kesetiaan hampa seperti musim
semi tanpa angin sejuk. Terima kasih bagi pencinta kesetiaan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar