Pages

Labels

Selasa, 03 September 2013

Seekor Burung dengan Kesetiaannya



Mungkin jarang sekali orang-orang di zaman modern ini berbicara tentang kesetiaan, karena dimana-mana pengkhiatan menyebar luas yang mengakibatkan perpecahan dimana-mana. Di zaman dahulu saja pengkhianatan sering muncul di tengah-tengah kesetiaan. Padahal orang zaman dahulu terkenal dengan kesetiaannya yang kuat, itu menurut bangsaku. Beda dengan bangsa manusia, sudah terkenal dengan persenan kesetiaan yang paling kecil.
 
Sebenarnya mau zaman modern atau tidak tidak ada pengaruhnya dengan bangsaku. Toh, di zaman modern seperti sekarang ini kami masih bergerombol terbang ke arah timur ketika pagi hari dan pulang ke barat ketika matahari terbenam. Ya, seperti matahari, kami memang mengikuti jejaknya lebih tepat kesetiaanya. Matahari selalu setia menyinari bumi ini walaupun manusia sering mengeluh kepanasan. Sebenarnya itu ulah mereka yang sering membangun gedung-gedung berkaca atau apa saja yang bisa mengurangi lapisan yang melindungi bumi dari sengatan langsung matahari.

Kami pun melihat angin yang selalu setia meniupkan angin segarnya ketika musim semi atau musim gugur. Akan tetapi akhir-akhir ini manusia sering mengeluh dan mengaku bahwa angin semakin tidak bersahabat, itu karena ulah mereka yang membuat polusi di udara semakin menjadi-jadi.
Tadinya aku selalu sinis kepada manusia, mereka tidak pernah menghargai sebuah kesetiaan. Tidak ada satu pun yang mengamalkan kesetiaan, sudah ku jelajahi bumi ini, tidak ada satu pun yang tidak melakukan pengkhianatan. Aku miris, beruntung aku hanya seekor burung, seandainya boleh memilih aku tidak ingin diciptakan menjadi seorang manusia. Manusia itu perusak, pengkhianat, itu pendapatku sementara ini.

Setelah beberapa lama aku menjelajahi bumi, pada suatu hari aku singgah di pedesaan yang sangat hijau. Sepertinya polusi tidak pernah menjamahi tempat ini, bau anginnya sejuk sekali. Terdapat sungai-sungai mengalir, di dalam ikan berloncat-loncatan menyambutku, mereka berkata bahwa aku beruntung bisa singgah di desa ini. Nyanyian bangsaku semakin terdengar, baru kali ini aku mendengarnya secara jelas. Aku dan teman-temanku juga kerap kali bernyanyi, tetapi suara kami tertutup oleh klakson mobil, atau mesin-mesin buatan manusia.

Aku menjadi penasaran dengan desa ini, sepertinya tidak ada manusia yang bermukim di desa ini. Mungkin saja rumah-rumah mungil itu kosong tidak berpenghuni. Jelas saja, jika manusia ada pastinya desa ini sudah kotor, tidak ada ikan berenang, nyanyian burung, angin sejuk dan sebagainya. Akan tetapi aku salah, ternyata rumah-rumah tersebut berpenghuni. Kulihat para penduduknya berseri-seri, kerap kali kutemukan menyapa ikan-ikan di sungai atau ikut bernyanyi bersama bangsaku.

Masih tidak percaya, mungkin ini mimpi. Akan tetapi ini sama sekali bukan mimpi, semuanya terlihat jelas. Lalu diam-diam aku mendekati seorang gadis, kutaksir dia sekitar belasan tahun. Kubertanya mengapa desa ini tentram baik manusia ataupun makhluk lainnya. Dia menjawab bahwa mereka semua mengamalkan sebuah kesetiaan. Setia kepada sesama manusia, kepada makhluk lainnya, setia kepada kebaikan, kepada tuhan hingga diberkahi kehidupan yang sejahtera.

Menurut gadis tersebut kesetiaan adalah bekal hidup. Dalam hidup ini kita dituntut untuk setia, setia kepada yang disebutkan yang tadi. Oh iya, juga setia menebarkan cinta kepada sesama makhluk hidup. Memang aku merasakan cinta tersebar di denyut nadi setiap penghuni desa ini, aku yang bukan penghuni asli pun turut merasa bahagia.

Ternyata, dulu desa ini adalah sebuah padang rumput yang gersang, semuanya kering, air di sungai pun kering. Lalu, datanglah seorang kakek bersama cucu-cucunya yang berjumlah lima orang ke tempat ini. Mereka membangun rumah, bercocok tanam, menggali tanah sungai sehingga air memancar kembali. 

Disitulah sebuah kesetiaan dibangun, mereka setia merawat padang rumput yang hampir mati, mengolahnya menjadi desa yang asri. Setia menunggu kapan datangnya hujan untuk menyirami tanaman mereka juga rumput-rumput ketika kekeringan. Mereka tidak pernah meninggalkan tempat ini, sampai akhirnya berhasil menjadi sebuah desa yang indah. Semua orang datang kesini langsung jatuh cinta, akhirnya banyaklah yang bermukim di desa ini.

Semua penduduk disini belajar dari kesetiaan kakek dan cucu-cucunya. Semenjak itu semua penduduk disini mengamalkan kesetiaan dan menjadikan bekal hidup. Hidup tanpa kesetiaan akan hampa, selalu merasa kehilangan, ketidakpuasan, tetapi dengan setia kita akan merasa hidup kita bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Lihat saja kepada orang-orang yang sering berkhianat, mereka selalu pulang dan pergi lalu bertemu untuk berperang karena merasa saling dikhianati. 

Setelah mendengar kisah desa ini, aku mengajukan permintaan, bolehkah aku menetap disini? Dia menyambutnya dengan suka cita, apalagi mendengar alasanku bahwa aku ingin memperdalami makna sebuah kesetiaan. Lalu dia berlari-lari kecil berteriak kepada penghuni desa ini bahwa mereka kedatangan penghuni baru, mereka menyambutku dengan hangat.

Ternyata persepsiku selama ini salah, ada juga kesetiaan di muka bumi ini. Tidak semua manusia itu perusak atau pengkhianat. Bahkan menurutku penghuni desa ini lebih setia ketimbang matahari dan angin seperti yang kuceritakan, karena keduanya hanya setia kepada pekerjaan yang diberikan tuhan oleh mereka berdua. Akhirnya aku bisa menemukan tempat dimana kesetiaan itu merupakan bekal hidup, seperti yang dikatakan gadis tersebut bahwa hidup tanpa kesetiaan hampa seperti musim semi tanpa angin sejuk. Terima kasih bagi pencinta kesetiaan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar