“Awas,
awas!” ujar lelaki paruh baya kepadaku. Aku terkejut. Ternyata aku hampir
tertabrak oleh sepeda motor yang ditumpanginya. Pikiranku hanya tertuju pada
sebuah warung kecil yang hanya berjarak lima langkah dari tempatku berdiri.
“Assalamualaikum Mang Jali, sehat mang?,”
sapaku
“Waalaikumsalam,
hamdulillah sehat, duduk Sim! Mau minum apa kamu?,” ujarnya sambil mengaduk
kopi pesanan pelanggan.
“Apa aja mang”.
Tepat di
sebelah kananku ada anak lelaki, kutaksir umurnya baru enam belasan tahun
karena dia mengenakan seragam SMA yang masih terlihat baru. Gayanya persis
anak-anak muda jaman sekarang, rambut model artis korea, kacamata besar yang
lagi-lagi meniru artis korea, jam tangan besar, matanya tidak tertuju
kemana-mana kecuali fokus terhadap Blackberry-nya.
Setiap hari
Kamis, aku selalu menyempatkan bersinggah di warung kecilnya Mang Jali.
Kebetulan di hari itu tidak ada jam kuliah sampai sore dan tidak ada kegiatan
kampus lainnya. Hanya berbicara santai saja sebenarnya sambil menikmati udara
sejuk sore hari di Kota Bogor ini. Kami seperti mengadakan kelas mendongeng,
Mang Jali pendongengnya dan aku murid setianya. Berbicara banyak hal, kami
paling senang membicarakan masa depan.
Hari ini
Mang Jali berjanji akan menceritakan sebuah cerita yang menakjubkan, sebuah
peradaban paling hebat yang dimiliki oleh Negara ini. “Kamu pasti pernah
mendengar isu-isu tentang Benua Atlantis yang hilang itu adalah Indonesia.
Cerita tentang Benua Atlantis dipopulerkan oleh Plato, dari kesekian ilmuwan
yang menyebutkan ciri-ciri Benua Atlantis dan semua kriterianya yang cocok itu cuma
Indonesia saja”. Aku semakin antusias mendengarnya.
Jadi menurut
ceritanya, dulu ada yang meneliti Indonesia dan terbukti bahwa Negara ini
adalah Benua Atlantis yang hilang, yang dimana benua tersebut adalah pusat
peradaban manusia. Dulu, pulau Jawa dan Sumatra itu satu pulau dan begitu juga
pulau-pulau lainnya, tapi karena kejadian melelehnya es-es yang berada di kutub
dan meletusnya induk Krakatau jadinya banyak pulau-pulau yang terpisah.
Sambil
menyeruput kopi hangat miliknya, dia melanjutkan ceritanya. Konon, salah satu
gunung yang berada di Garut itu adalah Piramid. Biasanya sebuah gunung itu
strukturnya menyatu dengan tanah dan terlihat ketika dideteksi, tapi ketika
dideteksi oleh alat khusus ternyata gunung tersebut adalah batu-batu yang
disusun dan terlihat seperti Piramid. Ternyata bukan hanya di Garut saja, di
Pulau Sumatra juga terdapat banyak Piramid yang baru ditemukan. Piramid yang
berada di Garut setelah diteliti, ia lebih tua dibandingkan Piramid yang berada
di Mesir.
Sayangnya
semua ini tidak dipublikasikan, karena semuanya hanya akan merusak sejarah. Ya,
karena sejarah yang sudah dikenal adalah Mesir, dimana di sanalah termasuk
pusat peradaban tertua di dunia. Sebenarnya sudah ditemukan oleh Belanda Piramid-piramid
tersebut, tetapi mereka sengaja menimbunnya dengan tanah biar bangsa ini tidak
tahu bahwa negaranya memiliki peradaban yang hebat.
“Konon juga
Nabi Sulaiman dulu hidup di Negara kita ini, karena kalau nggak salah di
Pulau Kalimantan ditemukan bekas pemindahan istana Nabi Sulaiman,” ujarnya
dengan gayanya yang khas. Kalau benar Benua Atlantis adalah Indonesia artinya
peradaban bangsa ini lebih tua daripada Mesir, Yunani, dan lainnya, karena
Benua Atlantis adalah pusat peradaban manusia. Terbukti di salah satu buku yang
ditulis oleh ilmuwan Eropa bahwa banyak istilah-istilah di Eropa yang mengambil
dari peradaban Mesir, dan Mesir mengambilnya dari Indonesia.
“Salah satu
bukti tuanya peradaban bangsa kita. Di Indonesia ini ada berapa bahasa? Coba
kamu hitung,” ujarnya.
“Banyak
banget mang, nggak tau berapa”
“Nah, banyak banget kan? Coba deh kamu cari,
Negara mana yang punya bahasa sebanyak Indonesia”. Aku pun menggeleng.
“Nggak ada
Sim, nggak ada! Bahasa Sunda contohnya, kata mencuci dalam Bahasa Sunda aja
ada dua kata. Kalau nyuci baju namanya nyeuseuh, kalau nyuci piring
berarti dikumbah. Dan proses untuk menjadi bahasa butuh jangka waktu yang
lama. Kebayang kan segimana lamanya peradaban bangsa ini untuk membentuk bahasa
yang banyak sekali jumlahnya”.
Dia memberi
contoh lain, yaitu makanan. “Makanan Indonesia banyak sekali jenisnya, padahal
cuma misalnya yang namanya sayur lodeh itu lengkoasnya dikit, kalau banyak jadi
beda nama, yaitu sayur asem. Dan itu butuh waktu yang lama buat mempopulerkan
makanan-makanan tersebut. Belum tentu kalau kamu bikin Keripik Hasim misalnya,
itu bakal semua orang nyebut keripik itu adalah Keripik Hasim, ya mungkin di
daerah kamu saja, tapi di tempat yang lain kan nggak”. Aku hanya tertawa
mendengar istilah Keripik Hasim, lucu saja kalau namaku dijadikan nama keripik.
Bapak tua
yang ada di sampingku membayar kopi pesanannya, sedangkan bocah SMA yang ada di
sebelahku masih betah dengan gadget-nya itu. Aku heran, padahal aku dan
Mang Jali hampir setengah jam bercerita-cerita dan dia masih dalam posisi yang
sama ketika aku datang ke warung ini. Sepertinya dia sedang ada masalah dengan
kekasihnya, soalnya aku sempat mendengar dia menggerutu sambil menyebut-nyebut
nama seorang gadis.
“Bodohnya,
bangsa ini tidak menyadari bahwa negaranya punya peradaban yang hebat ini.
Sayang sekali, Negara yang kaya ini dihuni oleh orang-orang bodoh, seperti para
koruptur, pecandu narkoba, dan masih banyak lagi. Kamu lihat saja gimana
generasi mudanya, hidupnya sudah dikendalikan oleh teknologi modern, terlalu
meniru gaya hidupnya barat, benar kalau meniru etos kerja dan belajarnya”.
Bocah SMA disampingku hanya melirik, baguslah kalau dia menyadarinya. Akan
tetapi aku salah, dia malah melanjutkan kegiatannya dengan gadget kesayangannya.
“Orang yang
udah megang handphone, naon eta[1]
namanya? Blackberry itu udah lupa sama sampingnya. Mau kita teriakin, mau
ada maling, nya sabodo teuing lah, nu penting update weh[2],”
ujar Mang Jali dengan logat sundanya yang khas. Bocah SMA di sampingku mulai merasa
tersindir oleh ocehannya Mang Jali. Dia langsung memasukkan telepon genggam
miliknya ke dalam saku, dan langsung mengambil headset mendengarkan lagu
dari MP3-nya. Mang Jali tersenyum meledek ke arahnya, dan aku hanya meringis.
Beberapa
menit kemudian, lima orang gadis yang seragamnya sama dengan bocah SMA di
sampingku datang ke warungnya Mang Jali. Sepertinya orang yang di sampingku
bolos di beberapa jam pelajaran terakhir. Gadis-gadis tersebut sebagian
menanyakan harga kepada Mang Jali, sebagiannya lagi fokus dengan aktivitas yang
sama dengan orang di sampingku. Suara centil gadis-gadis SMA memecahkan
suasanaku yang sedang terhanyut dengan indahnya cerita bangsaku. Pandanganku
sama sekali tidak tertuju kepada mereka, aku hanya terdiam dan membaca buku yang
sempat kubaca di perjalanan menuju kesini.
“Eh, si ujang!
Maneh teh ngabolos nya hari ini? Eta babaturan maneh baru
pada pulang sakolah[3],”
ujar Mang Jali kepada bocah di sampingku. Bocah itu pura-pura tidak mendengar,
aku langsung kesal karena teguran Mang Jali tidak digubrisnya. Mang Jali memberi
isyarat kepadaku agar diriku tenang.
“Kunaon
maneh teh ngabolos?[4],”
Tanya Mang Jali dengan suara lebih lembut
“Abisnya urang
meni kesel ku si bapa, urang hayang dipeserkeun sapeda motor,
meuni pelit pisan. Kabogoh urang minta diantar jemput make
sapeda motor mang[5],”
ucapnya panjang lebar
“Oh, kitu
nya, maneh teh putrana[6]
Mang Asep kan? Bapa maneh banting tulang biayain kamu narik becak
sana-sini. Untung-untung si ujang teh masih bisa beli Blackberry, juga
ibu kamu jualan kue buat uang jajan kamu, jangan malah pacaran, belajar yang
rajin biar pengorbanan orang tuamu nggak sia-sia,” ujar Mang Jali
menasehatinya.
“Sok atuh
uwih ka bumi, bade dicarekanan ku si bapa. Jadi anak teh yang
berbakti, rajin belajar, nih contoh si Hasim, udah kasep, pinter, rajin pisan[7],”
Aku tersipu
mendengar pujian yag dilontarkan Mang Jali, bocah itu pun akhirnya pulang
setelah bersalaman dan meminta maaf padaku dan Mang Jali. Aku semakin salut
sama Mang Jali. Pertama kali bertemu ketika aku sedang mencari kos-an yang
dekat dengan kampusku. Kebetulan aku singgah di warungnya dan bertanya-tanya
kepadanya, dan dia yang mencarikan kos-an ku. Dia yang mengajariku bahasa
sunda, karena aku berasal dari Jawa Timur, Lamongan, dan kebetulan aku diterima
menjadi mahasiswa di ITB. Setelah itu kami pun akrab, dan sering bertukar
cerita.
“Oh iya,
gimana kabarnya gadis yang kamu taksir itu? Yang satu fakultas denganmu itu”, Tanya
Mang Jali, aku langsung tersadar dari lamunanku
“Oh itu
mang, saya belum membuat tindakan sama sekali. Nanti saja kalau saya sudah siap
buat segalanya baru saya datangin dia dan orang tuanya. Kalau sekarang-sekarang
nanti malah buat pikirannya terganggu,”
“Kamu ini
ganteng Sim, pintar, banyak gadis-gadis tetangga kosan mu nanyain kamu sama
mamang, karena kamu sering kesini,” ujarnya menggodaku, aku hanya tersenyum.
Mang Jali
menepuk pundakku. “Orang tuamu pasti orang yang hebat, terbukti mempunyai anak
yang hebat sepertimu. Pasti gadis yang kamu taksir juga wanita yang hebat, dia
beruntung disukai oleh pemuda sepertimu”.
Setelah
membayar semuanya, aku berpamitan dengannya. Sebenarnya Mang Jali lebih hebat
dari orang-orang yang ku kenal. Benar apa yang dikatakan Mang Jali, Negara ini
kaya tapi dihuni oleh orang-orang bodoh. Buktinya, mereka menyia-nyiakan orang
sehebat Mang Jali, seorang Sarjana Hukum yang hanya bisa berdagang di warung
kecil lantaran tidak ada satu pun perusahaan yang memberikannya pekerjaan.
Adzan
maghrib terdengar sayup-sayup, mengiringiku menuju rumah kos-an ku. Di
pikiranku sudah tersusun rapi rencana-rencana masa depan, berkat sebuah cerita
tentang peradaban hebat bangsa ini. Berkat cerita itu juga, satu generasi muda
terselamatkan oleh nafsu-nafsu keremajaannya. Warung kecil yang menyimpan suatu
peradaban yang tidak disadari oleh pemilik gedung-gedung pencakar langit.
[3] Eh, si ujang (panggilan
untuk anak laki-laki dalam sunda) kamu bolos ya hari ini? Itu temen-temen kamu
baru pada pulang sekolah
[5] Abisnya aku kesel banget
sama bapak, aku minta dibeliin sepeda motor, pelit banget. Pacar aku minta
diantar jemput pake sepedah motor
[7] Cepetan pulang ke rumah,
nanti dimarahin sama Bapak. Jadi anak tuh yang berbakti, rajin belajar, nih contoh
si Hasim, udah ganteng, pinter, rajin pula
Tidak ada komentar:
Posting Komentar