Pages

Labels

Selasa, 09 Oktober 2012

Peradaban hebat dan Warung Mang Jali



“Awas, awas!” ujar lelaki paruh baya kepadaku. Aku terkejut. Ternyata aku hampir tertabrak oleh sepeda motor yang ditumpanginya. Pikiranku hanya tertuju pada sebuah warung kecil yang hanya berjarak lima langkah dari tempatku berdiri.

 “Assalamualaikum Mang Jali, sehat mang?,” sapaku

“Waalaikumsalam, hamdulillah sehat, duduk Sim! Mau minum apa kamu?,” ujarnya sambil mengaduk kopi pesanan pelanggan.
 “Apa aja mang”. 

Tepat di sebelah kananku ada anak lelaki, kutaksir umurnya baru enam belasan tahun karena dia mengenakan seragam SMA yang masih terlihat baru. Gayanya persis anak-anak muda jaman sekarang, rambut model artis korea, kacamata besar yang lagi-lagi meniru artis korea, jam tangan besar, matanya tidak tertuju kemana-mana kecuali fokus terhadap Blackberry-nya.

Setiap hari Kamis, aku selalu menyempatkan bersinggah di warung kecilnya Mang Jali. Kebetulan di hari itu tidak ada jam kuliah sampai sore dan tidak ada kegiatan kampus lainnya. Hanya berbicara santai saja sebenarnya sambil menikmati udara sejuk sore hari di Kota Bogor ini. Kami seperti mengadakan kelas mendongeng, Mang Jali pendongengnya dan aku murid setianya. Berbicara banyak hal, kami paling senang membicarakan masa depan.

Hari ini Mang Jali berjanji akan menceritakan sebuah cerita yang menakjubkan, sebuah peradaban paling hebat yang dimiliki oleh Negara ini. “Kamu pasti pernah mendengar isu-isu tentang Benua Atlantis yang hilang itu adalah Indonesia. Cerita tentang Benua Atlantis dipopulerkan oleh Plato, dari kesekian ilmuwan yang menyebutkan ciri-ciri Benua Atlantis dan semua kriterianya yang cocok itu cuma Indonesia saja”. Aku semakin antusias mendengarnya.

Jadi menurut ceritanya, dulu ada yang meneliti Indonesia dan terbukti bahwa Negara ini adalah Benua Atlantis yang hilang, yang dimana benua tersebut adalah pusat peradaban manusia. Dulu, pulau Jawa dan Sumatra itu satu pulau dan begitu juga pulau-pulau lainnya, tapi karena kejadian melelehnya es-es yang berada di kutub dan meletusnya induk Krakatau jadinya banyak pulau-pulau yang terpisah.

Sambil menyeruput kopi hangat miliknya, dia melanjutkan ceritanya. Konon, salah satu gunung yang berada di Garut itu adalah Piramid. Biasanya sebuah gunung itu strukturnya menyatu dengan tanah dan terlihat ketika dideteksi, tapi ketika dideteksi oleh alat khusus ternyata gunung tersebut adalah batu-batu yang disusun dan terlihat seperti Piramid. Ternyata bukan hanya di Garut saja, di Pulau Sumatra juga terdapat banyak Piramid yang baru ditemukan. Piramid yang berada di Garut setelah diteliti, ia lebih tua dibandingkan Piramid yang berada di Mesir.

Sayangnya semua ini tidak dipublikasikan, karena semuanya hanya akan merusak sejarah. Ya, karena sejarah yang sudah dikenal adalah Mesir, dimana di sanalah termasuk pusat peradaban tertua di dunia. Sebenarnya sudah ditemukan oleh Belanda Piramid-piramid tersebut, tetapi mereka sengaja menimbunnya dengan tanah biar bangsa ini tidak tahu bahwa negaranya memiliki peradaban yang hebat. 

“Konon juga Nabi Sulaiman dulu hidup di Negara kita ini, karena kalau nggak salah di Pulau Kalimantan ditemukan bekas pemindahan istana Nabi Sulaiman,” ujarnya dengan gayanya yang khas. Kalau benar Benua Atlantis adalah Indonesia artinya peradaban bangsa ini lebih tua daripada Mesir, Yunani, dan lainnya, karena Benua Atlantis adalah pusat peradaban manusia. Terbukti di salah satu buku yang ditulis oleh ilmuwan Eropa bahwa banyak istilah-istilah di Eropa yang mengambil dari peradaban Mesir, dan Mesir mengambilnya dari Indonesia.

“Salah satu bukti tuanya peradaban bangsa kita. Di Indonesia ini ada berapa bahasa? Coba kamu hitung,” ujarnya.

“Banyak banget mang, nggak tau berapa”

 “Nah, banyak banget kan? Coba deh kamu cari, Negara mana yang punya bahasa sebanyak Indonesia”. Aku pun menggeleng.

Nggak ada Sim, nggak ada! Bahasa Sunda contohnya, kata mencuci dalam Bahasa Sunda aja ada dua kata. Kalau nyuci baju namanya nyeuseuh, kalau nyuci piring berarti dikumbah. Dan proses  untuk menjadi bahasa butuh jangka waktu yang lama. Kebayang kan segimana lamanya peradaban bangsa ini untuk membentuk bahasa yang banyak sekali jumlahnya”.

Dia memberi contoh lain, yaitu makanan. “Makanan Indonesia banyak sekali jenisnya, padahal cuma misalnya yang namanya sayur lodeh itu lengkoasnya dikit, kalau banyak jadi beda nama, yaitu sayur asem. Dan itu butuh waktu yang lama buat mempopulerkan makanan-makanan tersebut. Belum tentu kalau kamu bikin Keripik Hasim misalnya, itu bakal semua orang nyebut keripik itu adalah Keripik Hasim, ya mungkin di daerah kamu saja, tapi di tempat yang lain kan nggak”. Aku hanya tertawa mendengar istilah Keripik Hasim, lucu saja kalau namaku dijadikan nama keripik.

Bapak tua yang ada di sampingku membayar kopi pesanannya, sedangkan bocah SMA yang ada di sebelahku masih betah dengan gadget-nya itu. Aku heran, padahal aku dan Mang Jali hampir setengah jam bercerita-cerita dan dia masih dalam posisi yang sama ketika aku datang ke warung ini. Sepertinya dia sedang ada masalah dengan kekasihnya, soalnya aku sempat mendengar dia menggerutu sambil menyebut-nyebut nama seorang gadis.

“Bodohnya, bangsa ini tidak menyadari bahwa negaranya punya peradaban yang hebat ini. Sayang sekali, Negara yang kaya ini dihuni oleh orang-orang bodoh, seperti para koruptur, pecandu narkoba, dan masih banyak lagi. Kamu lihat saja gimana generasi mudanya, hidupnya sudah dikendalikan oleh teknologi modern, terlalu meniru gaya hidupnya barat, benar kalau meniru etos kerja dan belajarnya”. Bocah SMA disampingku hanya melirik, baguslah kalau dia menyadarinya. Akan tetapi aku salah, dia malah melanjutkan kegiatannya dengan gadget kesayangannya.

“Orang yang udah megang handphone, naon eta[1] namanya? Blackberry itu udah lupa sama sampingnya. Mau kita teriakin, mau ada maling, nya sabodo teuing lah, nu penting update weh[2],” ujar Mang Jali dengan logat sundanya yang khas. Bocah SMA di sampingku mulai merasa tersindir oleh ocehannya Mang Jali. Dia langsung memasukkan telepon genggam miliknya ke dalam saku, dan langsung mengambil headset mendengarkan lagu dari MP3-nya. Mang Jali tersenyum meledek ke arahnya, dan aku hanya meringis.

Beberapa menit kemudian, lima orang gadis yang seragamnya sama dengan bocah SMA di sampingku datang ke warungnya Mang Jali. Sepertinya orang yang di sampingku bolos di beberapa jam pelajaran terakhir. Gadis-gadis tersebut sebagian menanyakan harga kepada Mang Jali, sebagiannya lagi fokus dengan aktivitas yang sama dengan orang di sampingku. Suara centil gadis-gadis SMA memecahkan suasanaku yang sedang terhanyut dengan indahnya cerita bangsaku. Pandanganku sama sekali tidak tertuju kepada mereka, aku hanya terdiam dan membaca buku yang sempat kubaca di perjalanan menuju kesini.

“Eh, si ujang! Maneh teh ngabolos nya hari ini? Eta babaturan maneh baru pada pulang sakolah[3],” ujar Mang Jali kepada bocah di sampingku. Bocah itu pura-pura tidak mendengar, aku langsung kesal karena teguran Mang Jali tidak digubrisnya. Mang Jali memberi isyarat kepadaku agar diriku tenang.
Kunaon maneh teh ngabolos?[4],” Tanya Mang Jali dengan suara lebih lembut

“Abisnya urang meni kesel ku si bapa, urang hayang dipeserkeun sapeda motor, meuni pelit pisan. Kabogoh urang minta diantar jemput make sapeda motor mang[5],” ucapnya panjang lebar

“Oh, kitu nya, maneh teh putrana[6] Mang Asep kan? Bapa maneh banting tulang biayain kamu narik becak sana-sini. Untung-untung si ujang teh masih bisa beli Blackberry, juga ibu kamu jualan kue buat uang jajan kamu, jangan malah pacaran, belajar yang rajin biar pengorbanan orang tuamu nggak sia-sia,” ujar Mang Jali menasehatinya.

Sok atuh uwih ka bumi, bade dicarekanan ku si bapa. Jadi anak teh yang berbakti, rajin belajar, nih contoh si Hasim, udah kasep, pinter, rajin pisan[7],”

Aku tersipu mendengar pujian yag dilontarkan Mang Jali, bocah itu pun akhirnya pulang setelah bersalaman dan meminta maaf padaku dan Mang Jali. Aku semakin salut sama Mang Jali. Pertama kali bertemu ketika aku sedang mencari kos-an yang dekat dengan kampusku. Kebetulan aku singgah di warungnya dan bertanya-tanya kepadanya, dan dia yang mencarikan kos-an ku. Dia yang mengajariku bahasa sunda, karena aku berasal dari Jawa Timur, Lamongan, dan kebetulan aku diterima menjadi mahasiswa di ITB. Setelah itu kami pun akrab, dan sering bertukar cerita.

“Oh iya, gimana kabarnya gadis yang kamu taksir itu? Yang satu fakultas denganmu itu”, Tanya Mang Jali, aku langsung tersadar dari lamunanku

“Oh itu mang, saya belum membuat tindakan sama sekali. Nanti saja kalau saya sudah siap buat segalanya baru saya datangin dia dan orang tuanya. Kalau sekarang-sekarang nanti malah buat pikirannya terganggu,” 

“Kamu ini ganteng Sim, pintar, banyak gadis-gadis tetangga kosan mu nanyain kamu sama mamang, karena kamu sering kesini,” ujarnya menggodaku, aku hanya tersenyum.

Mang Jali menepuk pundakku. “Orang tuamu pasti orang yang hebat, terbukti mempunyai anak yang hebat sepertimu. Pasti gadis yang kamu taksir juga wanita yang hebat, dia beruntung disukai oleh pemuda sepertimu”. 

Setelah membayar semuanya, aku berpamitan dengannya. Sebenarnya Mang Jali lebih hebat dari orang-orang yang ku kenal. Benar apa yang dikatakan Mang Jali, Negara ini kaya tapi dihuni oleh orang-orang bodoh. Buktinya, mereka menyia-nyiakan orang sehebat Mang Jali, seorang Sarjana Hukum yang hanya bisa berdagang di warung kecil lantaran tidak ada satu pun perusahaan yang memberikannya pekerjaan.

Adzan maghrib terdengar sayup-sayup, mengiringiku menuju rumah kos-an ku. Di pikiranku sudah tersusun rapi rencana-rencana masa depan, berkat sebuah cerita tentang peradaban hebat bangsa ini. Berkat cerita itu juga, satu generasi muda terselamatkan oleh nafsu-nafsu keremajaannya. Warung kecil yang menyimpan suatu peradaban yang tidak disadari oleh pemilik gedung-gedung pencakar langit.


[1] Apa itu namanya
[2] Mau kita teriakin, mau ada maling, bodo amat, yang penting update
[3] Eh, si ujang (panggilan untuk anak laki-laki dalam sunda) kamu bolos ya hari ini? Itu temen-temen kamu baru pada pulang sekolah
[4] Kenapa kamu bolos?
[5] Abisnya aku kesel banget sama bapak, aku minta dibeliin sepeda motor, pelit banget. Pacar aku minta diantar jemput pake sepedah motor
[6] Oh gitu ya, kamu tuh anaknya Mang Asep kan?
[7] Cepetan pulang ke rumah, nanti dimarahin sama Bapak. Jadi anak tuh yang berbakti, rajin belajar, nih contoh si Hasim, udah ganteng, pinter, rajin pula

Tidak ada komentar:

Posting Komentar