Pages

Labels

Senin, 22 Juli 2013

Pujaanku






“Ibu, aku sedang jatuh cinta!” teriakku pada telepon genggam. Ibu terkaget-kaget. Tidak biasanya ketika menelpon ibu anak bontotnya ini bercerita tentang cinta, karena memang ini pertama kalinya. Hampir ibu tidak percaya, ternyata gadis tomboy yang hobi nonton kartun sepertiku bisa jatuh cinta kepada seorang lelaki. 
 
“Ibu udah liat poto yang Vita kirim ke email?” tanyaku.

“Udah, barusan aja,” jawabnya.

“Gimana bu, gimana?” tanyaku semakin antusias.

“Ibu kaget. Kok bisa orang seganteng dia mau sama kamu,” ulasnya sambil tergelak.

“Ya walaupun aku nggak feminim, tapi kan aku juga nggak kalah cantik sama ibu kan?”.

“Iya sayangku”.

Namanya Airlangga, biasa dipanggil Angga. Tingginya sekitar 170 cm lebih, kulitnya kecoklatan, kurusnya sama denganku cuma aku terlihat lebih ringkih, mungkin karena badanku terlalu mungil. Satu yang aku suka darinya, senyumnya. Manis sekali, lesung pipinya yang membuat senyumnya khas. Aku mengenalnya semenjak kami bekerja bersama dalam satu organisasi.

Tentunya banyak yang tidak suka kabar ‘jadian’ku dengan Angga, jelas saja dia cukup populer di kalangan Mahasiswi. Ditambah aku yang urakan dan mempunyai sifat yang super jutek. Juga banyak yang memendam kekesalan diantara para lelaki, bilang tidak cocok lah, berbeda dunia, memangnya aku berasal dari dunia ghaib. 

Ya mungkin karena dia orang yang sangat realitas, tidak terlalu terkontaminasi oleh khayalan-khayalan konyol. Tidak sepertiku yang hidup dibayang-bayangi oleh imajinasi buatanku sendiri, tak jarang banyak yang menjulukiku aneh karena melihat tingkahku yang tidak masuk akal. Akan tetapi bukannya aku gila, hanya saja aku mempunyai dunia sendiri.

Jelas saja, dari tulisannya dia lebih menyukai menulis artikel-artikel yang kritis, sedangkan aku menyukai cerita-cerita fiksi. Akan tetapi bukan berarti kami tidak saling mengerti, justru kami berkomunikasi dengan cara yang berbeda. Dia mendekatiku justru dengan ejekan-ejekannya yang terkadang terasa pedas, tetapi karena aku mempunyai kepribadian cuek jadinya tidak terlalu ambil hati. 

“Vit, mau dianterin nggak pulangnya?” tanyanya dengan gayanya yang menyebalkan seusai acara di organisasi.

Aku tersenyum sinis sambil berkata dalam hati, menurut lo?.

“Ih si Angga nih, kalau mau nganterin cewek pulang ya langsung diajak bukannya ditawarin,” ujar Rifa temanku.

“Sengaja kok biar ditolak,” jawabnya sambil tertawa yang sangat menyebalkan.

Langsung ku ambil tasku dan berjalan menuju pemberhentian bus dengan kesal. Sampai sekarang pun dia tetap menyebalkan. Di hadapan teman-temannya dia berlagak mempersilahkan orang lain untuk mengantarkanku pulang. Biasanya aku sebal, lalu berjalan cepat berharap seperti di film-film romantis, si cowok mengejarku. Ah, mana mungkin, pikirku. Beberapa detik kemudian handphoneku berdering, dia menelpon dan menyuruhku menunggunya di pemberhentian bus. Ya walaupun berbeda skenario dengan film yang biasa ku tonton, tetapi dia tidak kalah romantisnya.

“Gimana kabarmu dengan Angga?” Tanya Rafi.

“Baik,” jawabku sekenanya.

“Bahagia ya dirimu? Jelas lah, jadian dengan orang populer,” ujarnya sinis.

“Setidaknya aku berani memilih, tidak sepertimu,” sindirku sambil meninggalkannya.

Kenapa lelaki suka sekali menyalahkan perempuan? Seharusnya mereka tahu, bahwa perempuan tidak butuh janji-janji manis. Tidak butuh kepada lelaki yang tidak berani memilih, yang hanya berani menyanjung wanita. Setidaknya Angga sudah berani menyatakan perasaannya, berani untuk memilih. Meski nanti jika cinta kami kandas di tengah jalan, setidaknya kami sudah berusaha untuk bertahan. Juga tidak berakhir seperti cerita-cerita cinta tak tersampaikan.

Ibu pernah menasehatiku, mencari calon suami itu tidak harus satu pikiran dengan kita, tidak melulu sama atau serba sama, tetapi justru dengan perbedaan itu yang bisa melengkapi satu sama lain. Dia yang membawaku kepada dunia realitas yang tidak melulu hidup dalam imajinasi atau khayalan-khayalan konyol. Juga dengan kedewasaannya sabar menghadapiku yang kekanak-kanakan, walaupun terkadang dia juga seperti itu.

Dia yang selalu mengajarkanku bahwa dalam cinta bukan hanya belajar bagaimana mencintai seseorang, tetapi juga belajar bagaimana rasanya kehilangan seseorang. Dia juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh buta terhadap cinta, bisa jadi dia sekarang bersamaku, keesokan harinya bisa berbeda cerita. Supaya suatu saat kita tegar pada waktu kehilangan seseorang yang amat dicintai. Tidak meronta-ronta bahkan meratapinya bertahun-tahun, tetapi dijadikannya sebagai pelajaran.

                                                                    ***
Tidak sadar sudah setengah jam aku melamun, make upku sudah selesai ternyata. Bertahun-tahun mukaku polos tanpa polesan baru kali ini aku melihat wajahku tampil berbeda sekali, bisa dikatakan lumayan cantik. Hari ini aku harus sabar memakai kebaya yang sangat feminim berjam-jam. Ibu sudah memanggilku untuk dibawa keluar, susah payah aku berjalan.

Di luar sana, ruangan sudah dipenuhi oleh para tamu. Mataku tertumbuk oleh seorang pria yang tidak asing bagiku dan dia tersenyum manis sekali kepadaku, Angga.

2 komentar: