Pages

Labels

Selasa, 16 Juli 2013

Senyum Termanis




“Pergi kau!” ujarku sedikit berteriak.
 
“Aku hanya ingin mengunjungi Mamak, tidak boleh?” tanyanya.

“Boleh, dengan syarat tidak mengajakku bicara apalagi mengejekku”.

“Mendiamkan sesama saudara muslim lebih tiga hari itu tidak boleh loh,” ujarnya sambil lari terbirit-birit karena melihat tanganku sudah bersiap-siap melayangkan vas bunga.

Mamak hanya tertawa melihat adegan siang bolong itu sambil menggelengkan kepala, kejadian rutin setiap Dimas datang mengunjunginya. Aku menghela nafas dalam-dalam sambil mengucap istighfar berkali-kali. Pasalnya, setiap lelaki itu datang mengunjungi Mamak, ia tak pernah sekali pun absen untuk mengejekku. Aku meremas botol minuman yang ada di depanku saking kesalnya.

“Jadi anak gadis jangan galak-galak Fan, si Dimas itu cuma iseng aja, nggak usah diambil hati,” ujar Mamak lembut.

“Iya, Fani tau Mak, tapi kalau tiap hari usil juga sebel,” kataku sambil mencibir.

Setelah aku selesai memindahkan makanan dari rantang yang kubawa ke piring, aku bergegas menolong Mamak membersihkan mushola di samping gubuknya. Wanita tua itu biasa dipanggil Mamak, entah siapa nama sebenarnya, yang jelas ia hidup sebatang kara di sebuah gubuk. Di belakang gubuk Mamak ada sepetak tanah yang dibuatnya untuk menanam sayuran. Konon gubuk beserta tanahnya merupakan pemberian Pak Lurah desa ini, dikarenakan Mamak tidak mempunyai tempat tinggal yang layak.

Setiap hari Mamak membersihkan mushola, tanpa digaji sepeser pun, meskipun banyak warga yang memberikan bantuan kepadanya, termasuk aku. Sebelum berangkat kuliah biasanya aku memberikannya sarapan, dan ketika pulang aku memberikannya kue-kue. Ketika libur kuliah, biasanya aku membantu Mamak membersihkan mushola seperti hari ini.
Dimas? Tiba-tiba aku teringat dengan lelaki menyebalkan itu. Sudah seminggu dia datang mengunjungi Mamak. Konon ia anak orang kaya di desa sebelah, ia sering ke desa ini karena bibinya berkediaman disini. Maka dari itu, mungkin dia mendengar cerita Mamak dari bibinya lalu berniat menolongnya. Dari situ lah peperangan mulut antara aku dan dia dimulai, lantaran dia sering mengejekku.

“Mak, kenal Dina nggak?” ujarnya pada suatu hari.

“Kenal, hayo kenapa nak Dimas nanya-nanya?” Mamak menggodanya.

“Cantik ya Mak? Pantesan banyak yang ngejar-ngejar, soalnya dia ramah nggak galak, kan sayang cantik-cantik tapi suka marah-marah,” katanya sambil melirik kepadaku.

Aku langsung pergi ke dapur sebelum emosiku meledak-ledak. Seenaknya membanding-bandingkan orang, di hadapan orangnya pula. Langsung kupakai headset dan menyalakan musik besar-besar supaya tak terdengar lagi ejekannya.

“Jangan salah nak Dimas, si Fani juga banyak yang datengin loh, malah orang-orangnya lebih keren. Si Dina memang cantik, tapi dia ramahnya cuma sama lelaki saja. Berbeda sama Fani, kalau sama perempuan ramah sekali, tapi kalau sama cowok usil kayak nak Dimas dia pasti galak,” ujar Mamak.

“Hahaha, iya Mak, Dimas tau kok”.

“Jangan-jangan kamu suka ya? Biasanya usil itu tanda perhatian loh”.
Dimas hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan.

                                                                       ***
“Nyari Dimas ya Fan?” Tanya Mamak karena melihatku seperti mencari seseorang.

“Ih, siapa lagi yang nyari cowok nyebelin itu, Alhamdulillah deh dia nggak dateng,” kataku.

“Jangan gitu nanti suka beneran loh,” kata Mamak sambil tertawa melihat ekspresi wajahku.
Tiba-tiba benar saja lelaki menyebalkan itu datang,

“Eh, kayaknya ada yang ngomongin orang ganteng deh,” ujarnya sambil mengedipkan mata kepada Mamak.

Mulutku bergumam meniru omongannya dengan nada mengejek. Sebenarnya dibalik itu aku bersyukur, setidaknya Mamak terhibur dengan ulah kami berdua yang kerap kali bertengkar seperti anak kecil. Banyak yang mengira bahwa aku jadi lebih rajin ke rumah Mamak karena Dimas, biasa lah banyak perempuan lain yang iri, apalagi Dimas sering menjadi buah bibir oleh gadis-gadis di desa ini. 

Siapa yang tidak tertarik dengan Dimas? Ganteng, kaya, baik, pintar, ya tapi sekali lagi menurut mereka, bukan menurutku. Yang ada di pikiranku dia itu menyebalkan, sangat menyebalkan. Entah dia suka sekali mengejekku, padahal yang kutahu dia ramah pada setiap orang. Seingatku, aku tidak pernah berbuat salah, entahlah aku juga tidak paham.

“Lagi ngelamunin apa Fan?” Tanya Mamak sambil menepuk pundakku pelan, ikut duduk di sampingku.

“Orang nyebelinnya udah pulang Mak?”.

“Haha, udah. Kamu kenapa Fan, kok kayaknya kesal sekali dengan Dimas?”.

“Itulah Mak, coba Mamak tanya, kenapa Dimas suka ngejek aku? Aku kesal Mak”.

“Kalau ternyata dia suka sama kamu gimana?”.

“Ah, nggak mungkin, jelas-jelas dia sering ngejek aku. Oh iya Mak, emang Dimas kalau sama cewek yang lain gimana sih Mak?”.

“Dimas itu kalau sama cewek memang cuek, ramah tapi sebatasnya saja, cuma kamu satu-satunya gadis yang ia ajak bicara”.

“Masak sih Mak?”.

“Iya, Dimas itu memang cuek sama perempuan, tetapi dua wanita yang sangat dia perhatikan, yaitu ibu dan adik perempuannya. Ibunya meninggal ketika ia duduk di kelas 3 Aliyah, dia sering cerita ke Mamak tentang ibunya. Makanya dia rajin kesini karena kata dia Mamak mirip dengan ibunya. Dari cara dia bercerita tentang ibunya dan memperlakukan Mamak, dia orangnya sangat menghormati wanita. Dia sering mengejekmu karena ia ingin mengajakmu bicara dan tentunya dia mempunyai rencana tersendiri untukmu”.

Aku terdiam mendengar cerita Mamak, mencerna setiap kata yang aku ingat. Apakah benar? Tetapi mana mungkin Mamak berbohong?.

                                                                      ***

Mamak menatapku lekat-lekat, ia menanyakan apakah aku baik-baik saja, karena terlihat cekungan di bawah mataku. Memang akhir-akhir ini aku sering memikirkan sesuatu, sesuatu yang tidak jelas, tentang lelaki menyebalkan itu. Dalam hatiku tersimpan banyak pertanyaan yang tidak bisa ku jawab, terlebih sehabis mendengar cerita Mamak minggu lalu.

Tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing lagi, Dimas! Aku bergegas pergi ke mushola melarikan diri. Aku menyibukkan diri, Mamak menatapku tersenyum dari balik jendela melihat tingkahku, sepertinya ia bisa membaca apa yang ada di pikiranku. 

“Rajin banget pagi-pagi udah nyapu mushola,” kata Dimas yang tiba-tiba muncul di balik tiang mushola.

Aku terperangah, dia tersenyum usil melihatku terkejut.

“Ngapain kamu kesini?”.

“Memang nggak boleh?”.

“Nggak, tumben kamu nggak ngajak berantem”.

“Aku lagi mau serius sekarang, tentunya denganmu,” ujarnya sambil menyerahkan kotak yang entah apa isinya, tetapi aku tau apa yang dimaksud.

Aku hanya bisa mengeluarkan senyum termanisku yang selama ini aku simpan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar