“Aku hanya ingin
mengunjungi Mamak, tidak boleh?” tanyanya.
“Boleh, dengan syarat
tidak mengajakku bicara apalagi mengejekku”.
“Mendiamkan sesama
saudara muslim lebih tiga hari itu tidak boleh loh,” ujarnya sambil lari
terbirit-birit karena melihat tanganku sudah bersiap-siap melayangkan vas
bunga.
Mamak hanya tertawa
melihat adegan siang bolong itu sambil menggelengkan kepala, kejadian rutin
setiap Dimas datang mengunjunginya. Aku menghela nafas dalam-dalam sambil
mengucap istighfar berkali-kali. Pasalnya, setiap lelaki itu datang mengunjungi
Mamak, ia tak pernah sekali pun absen untuk mengejekku. Aku meremas botol
minuman yang ada di depanku saking kesalnya.
“Jadi anak gadis
jangan galak-galak Fan, si Dimas itu cuma iseng aja, nggak usah diambil hati,”
ujar Mamak lembut.
“Iya, Fani tau Mak,
tapi kalau tiap hari usil juga sebel,” kataku sambil mencibir.
Setelah aku selesai
memindahkan makanan dari rantang yang kubawa ke piring, aku bergegas menolong
Mamak membersihkan mushola di samping gubuknya. Wanita tua itu biasa dipanggil
Mamak, entah siapa nama sebenarnya, yang jelas ia hidup sebatang kara di sebuah
gubuk. Di belakang gubuk Mamak ada sepetak tanah yang dibuatnya untuk menanam
sayuran. Konon gubuk beserta tanahnya merupakan pemberian Pak Lurah desa ini,
dikarenakan Mamak tidak mempunyai tempat tinggal yang layak.
Setiap hari Mamak
membersihkan mushola, tanpa digaji sepeser pun, meskipun banyak warga yang
memberikan bantuan kepadanya, termasuk aku. Sebelum berangkat kuliah biasanya
aku memberikannya sarapan, dan ketika pulang aku memberikannya kue-kue. Ketika
libur kuliah, biasanya aku membantu Mamak membersihkan mushola seperti hari
ini.
Dimas? Tiba-tiba aku
teringat dengan lelaki menyebalkan itu. Sudah seminggu dia datang mengunjungi
Mamak. Konon ia anak orang kaya di desa sebelah, ia sering ke desa ini karena
bibinya berkediaman disini. Maka dari itu, mungkin dia mendengar cerita Mamak
dari bibinya lalu berniat menolongnya. Dari situ lah peperangan mulut antara
aku dan dia dimulai, lantaran dia sering mengejekku.
“Mak, kenal Dina
nggak?” ujarnya pada suatu hari.
“Kenal, hayo kenapa
nak Dimas nanya-nanya?” Mamak menggodanya.
“Cantik ya Mak?
Pantesan banyak yang ngejar-ngejar, soalnya dia ramah nggak galak, kan sayang
cantik-cantik tapi suka marah-marah,” katanya sambil melirik kepadaku.
Aku langsung pergi ke
dapur sebelum emosiku meledak-ledak. Seenaknya membanding-bandingkan orang, di
hadapan orangnya pula. Langsung kupakai headset dan menyalakan musik
besar-besar supaya tak terdengar lagi ejekannya.
“Jangan salah nak
Dimas, si Fani juga banyak yang datengin loh, malah orang-orangnya lebih keren.
Si Dina memang cantik, tapi dia ramahnya cuma sama lelaki saja. Berbeda sama
Fani, kalau sama perempuan ramah sekali, tapi kalau sama cowok usil kayak nak
Dimas dia pasti galak,” ujar Mamak.
“Hahaha, iya Mak,
Dimas tau kok”.
“Jangan-jangan kamu
suka ya? Biasanya usil itu tanda perhatian loh”.
Dimas hanya tersenyum
dan mengalihkan pembicaraan.
***
“Nyari Dimas ya Fan?”
Tanya Mamak karena melihatku seperti mencari seseorang.
“Ih, siapa lagi yang
nyari cowok nyebelin itu, Alhamdulillah deh dia nggak dateng,” kataku.
“Jangan gitu nanti
suka beneran loh,” kata Mamak sambil tertawa melihat ekspresi wajahku.
Tiba-tiba benar saja
lelaki menyebalkan itu datang,
“Eh, kayaknya ada yang
ngomongin orang ganteng deh,” ujarnya sambil mengedipkan mata kepada Mamak.
Mulutku bergumam
meniru omongannya dengan nada mengejek. Sebenarnya dibalik itu aku bersyukur,
setidaknya Mamak terhibur dengan ulah kami berdua yang kerap kali bertengkar
seperti anak kecil. Banyak yang mengira bahwa aku jadi lebih rajin ke rumah
Mamak karena Dimas, biasa lah banyak perempuan lain yang iri, apalagi Dimas
sering menjadi buah bibir oleh gadis-gadis di desa ini.
Siapa yang tidak
tertarik dengan Dimas? Ganteng, kaya, baik, pintar, ya tapi sekali lagi menurut
mereka, bukan menurutku. Yang ada di pikiranku dia itu menyebalkan, sangat
menyebalkan. Entah dia suka sekali mengejekku, padahal yang kutahu dia ramah
pada setiap orang. Seingatku, aku tidak pernah berbuat salah, entahlah aku juga
tidak paham.
“Lagi ngelamunin apa
Fan?” Tanya Mamak sambil menepuk pundakku pelan, ikut duduk di sampingku.
“Orang nyebelinnya
udah pulang Mak?”.
“Haha, udah. Kamu kenapa
Fan, kok kayaknya kesal sekali dengan Dimas?”.
“Itulah Mak, coba
Mamak tanya, kenapa Dimas suka ngejek aku? Aku kesal Mak”.
“Kalau ternyata dia
suka sama kamu gimana?”.
“Ah, nggak mungkin,
jelas-jelas dia sering ngejek aku. Oh iya Mak, emang Dimas kalau sama cewek
yang lain gimana sih Mak?”.
“Dimas itu kalau sama
cewek memang cuek, ramah tapi sebatasnya saja, cuma kamu satu-satunya gadis
yang ia ajak bicara”.
“Masak sih Mak?”.
“Iya, Dimas itu memang
cuek sama perempuan, tetapi dua wanita yang sangat dia perhatikan, yaitu ibu
dan adik perempuannya. Ibunya meninggal ketika ia duduk di kelas 3 Aliyah, dia
sering cerita ke Mamak tentang ibunya. Makanya dia rajin kesini karena kata dia
Mamak mirip dengan ibunya. Dari cara dia bercerita tentang ibunya dan memperlakukan
Mamak, dia orangnya sangat menghormati wanita. Dia sering mengejekmu karena ia
ingin mengajakmu bicara dan tentunya dia mempunyai rencana tersendiri untukmu”.
Aku terdiam mendengar
cerita Mamak, mencerna setiap kata yang aku ingat. Apakah benar? Tetapi mana
mungkin Mamak berbohong?.
***
Mamak menatapku
lekat-lekat, ia menanyakan apakah aku baik-baik saja, karena terlihat cekungan
di bawah mataku. Memang akhir-akhir ini aku sering memikirkan sesuatu, sesuatu
yang tidak jelas, tentang lelaki menyebalkan itu. Dalam hatiku tersimpan banyak
pertanyaan yang tidak bisa ku jawab, terlebih sehabis mendengar cerita Mamak
minggu lalu.
Tiba-tiba terdengar
suara yang tidak asing lagi, Dimas! Aku bergegas pergi ke mushola melarikan
diri. Aku menyibukkan diri, Mamak menatapku tersenyum dari balik jendela
melihat tingkahku, sepertinya ia bisa membaca apa yang ada di pikiranku.
“Rajin banget
pagi-pagi udah nyapu mushola,” kata Dimas yang tiba-tiba muncul di balik tiang
mushola.
Aku terperangah, dia
tersenyum usil melihatku terkejut.
“Ngapain kamu
kesini?”.
“Memang nggak boleh?”.
“Nggak, tumben kamu
nggak ngajak berantem”.
“Aku lagi mau serius
sekarang, tentunya denganmu,” ujarnya sambil menyerahkan kotak yang entah apa
isinya, tetapi aku tau apa yang dimaksud.
Aku hanya bisa
mengeluarkan senyum termanisku yang selama ini aku simpan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar