Pages

Labels

Rabu, 10 April 2013

Kerikil Kehidupan



Kairo, 20 Maret 2013 
 
Orang yang lalu lalang di taman kota dapat tontonan gratis. Hari itu, di bangku taman, ada seorang gadis manis. Semua yang lewat mencuri pandang. Beberapa pemuda pura-pura mengucek-ucek mata, tapi mata yang satu lagi jelalatan. Ada yang pura-pura memunggut sampah, padahal cuma sehelai daun.

Tapi serta merta para pencuri pandang mengernyitkan dahi, bingung. Kelopak mata wanita itu sembab. Kerudung biru langit yang dikenakannya menggelap, basah. Senguknya lamat-lamat terdengar. Yang sudah-sudah, bangku taman itu sering diduduki orang gila. Barangkali wanita cantik itu salah satunya, pikir mereka
, tetapi gadis jelita itu Ghaida, dan ia tak gila.

“Iya neng Ghaida, Syakila sekarang sakit nginep di rumah Tante Lia, panasnya nggak turun-turun dari semalem, Zidan juga nggak pulang dari kemarin,” ujar Bik Asih, pembantu rumahnya ketika Ghaida menelpon ke rumahnya. Tidak ada orang di rumah kecuali Bik Asih.

Ucapan Bik Asih masih terngiang-ngiang di telinganya, bagai sengatan lebah. Dia masih tak paham, kenapa orang dewasa suka berbuat semau dirinya, egois. Umurnya saja lebih tua, tetapi terkadang pemikirannya seperti anak kecil. Namun ia langsung beristighfar, walau bagaimana pun orang dewasa tersebut adalah ibunya sendiri. 

“Ibumu menikah lagi, sama lelaki yang pernah ke rumahmu dulu itu, menikahnya dua hari yang lalu, maafin tante ya baru bisa bilang ke kamu sekarang,” ujar Tante Lia, setelah basa-basi panjang lebar.

“Sama Om Arif? Yang pernah diusir sama Syakila itu kan?” Tanya Ghaida berusaha setenang mungkin.

“Iya Ghaida sayang”.

Ghaida teringat, dulu Om Arif pernah main ke rumahnya. Syakila sudah mencium gelagat pria berumur hampir 60-an itu, ia tertarik dengan ibu. Ketika itu mereka hendak salat ashar berjamaah di ruang tamu dan ibu masih di kamar mandi. Om Arif melihat foto keluarga berukuran besar, dia tersenyum seraya berkata kepada Syakila, “Itu yang namanya Ghaida ya? Cantik,” ujarnya. Mendengar komentar Om Arif barusan, Syakila langsung naik darah, “Pokoknya om keluar dari rumah ini sekarang juga!” bentaknya. Ibu langsung panik melihat kejadian tersebut, apalagi ia tidak sempat meminta maaf kepada Om Arif karena sudah meninggalkan rumahnya. Ketika itu juga ibu memarahi Syakila dan  ia pun kabur ke rumah Tante Lia.

Syakila memang tipe temperamen, dia marah karena tidak seharusnya Om Arif mengomentari kecantikan Ghaida secara gamblang. Juga ketika itu ibu khilaf ketika memarahinya, mungkin perasaannya ketika itu sedang campur aduk dan terkejut. 

“Kalau begitu kenapa ibu bisa menikah dengannya? Padahal jelas-jelas semenjak kejadian itu Syakila enggak setuju, kalo Syakila udah enggak setuju pasti Zidan juga enggak,” ujar Ghaida terheran-heran.

“Ibu menikah tanpa persetujuan Syakila sama Zidan, juga sama kamu, karena mungkin dia tahu pasti kalian bertiga tidak setuju”.

Rahang Ghaida mengeras, menahan semua perasaan yang kacau balau. Masalah ini lebih rumit ketimbang ketika ibu memutuskan untuk bercerai dengan ayah. Kejadian tersebut 6 tahun yang lalu, ketika Ghaida duduk di kelas 1 Aliyah. Ketika ia sudah di Mesir pun banyak masalah keluarga apalagi pada saat-saat ujian, tetapi memang Allah maha adil, Ghaida diberikan otak yang cerdas jadi dia lulus naik tingkat dengan nilai yang baik.

Ibu menikah tanpa persetujuan anak-anaknya? Ghaida pun tak habis pikir, kenapa ibunya tega berbuat seperti itu. Ibu memang masih cantik, meskipun umurnya sudah mendekati angka 50, tetapi kecantikannya masih terpancar darinya, mungkin itulah sebab Syakila terlalu selektif dalam menerima calon ayah baru. 

Ghaida pun beranjak dari tempat duduknya, dia harus pulang karena azan magrib sudah berkumandang. Lalu ia membersihkan mukanya yang putih bersih dari sisa-sisa air mata yang tertinggal. Ketika sampai di rumah, teman-teman langsung menghamburinya, karena seharian telepon genggamnya tidak aktif. Akan tetapi seperti biasa, Ghaida pintar menyembunyikan perasaannya, namun jika ada orang yang menyadarinya kedua bola matanya tidak pernah berbohong.

Ia menghempaskan tubuh mungilnya ke atas kasur, lalu sejenak menoleh ke arah jadwal kuliah, lupa! Besok tugas bahst dikumpulin lagi, belum ngerjain apa-apa, ujarnya dalam hati. Beruntungnya ia terbiasa memaksakan konsentrasi ketika saat-saat sulit seperti ini, tugasnya pun bisa dalam semalam ia kerjakan, lagi-lagi Allah maha adil.

                                                                     ***
Kairo, 23 Maret 2013

“Tante, Syakila udah sembuh? Zidan udah pulang ke rumah?” tanyaku ketika menelpon ke rumah Tante Lia.

“Alhamdulillah panasnya udah turun, cuma masih anget-anget dikit, Zidan belum pulang juga, tadi siang ayahmu lagi berusaha nyari Zidan, doain aja ya sayang”.

“Komentar ayah gimana?”

“Ya kamu tahu lah ayahmu itu, semenjak mamamu minta bercerai dia udah enggak pernah berkomentar tentang ibumu, cuma dia masih peduli sama anak-anaknya”.

“Komentar keluarga ibu yang lain gimana?”

“Kalau komentar secara langsung ya enggak ada, tetapi enggak tahu gimana di belakang, mungkin mereka udah paham sama watak ibumu, cuma yang bikin Syakila tambah stress komentar-komentar enggak enak dari orang lain,” ujar Tante Lia dengan nada suara semakin memberat.

“Enggak enak gimana tante?” tanyaku penasaran.

“Banyak yang bilang kalau ibumu nikah sama Arif karena harta, ya kamu tahu kalau lelaki itu pengusaha kaya, jadinya mereka beranggapan kalau ibumu mengejar harta sampai lupa sama anak-anaknya”.

Ia pun terdiam, beruntung posisinya sedang terduduk, kalau tidak sudah jatuh tersungkur. Suasana hening, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Ghaida sayang? Kamu baik-baik aja kan?” Tanya tante khawatir.

Mulutnya masih terbungkam.

“Kamu jangan ikut-ikutan stress, justru kamu harus bisa menguatkan adik-adikmu. Doain semuanya baik-baik aja, semoga Zidan cepet pulang, Syakila sembuh, dan ibumu tidak seperti apa yang diomongin sama orang-orang. Enggak usah mikirin yang di Indonesia, kamu belajar yang rajin, baik-baik di Negri orang ya sayang,” nasehat tante.

                                                                 ***
Jakarta, 18 Juli 2013

Ibu mau bicara sama kamu, tunggu ibu di taman kota jam 4 sore.

Pesan singkat dikirim pagi tadi. Sudah 3 hari gadis cantik ini di Jakarta dan belum menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Sebenarnya tahun ini Ghaida tidak ingin pulang, tetapi ibu memaksanya untuk pulang ke Jakarta, sepertinya untuk membicarakan masalah ini. Berkali-kali ia berzikir untuk menenangkan hati dan meredam emosi, ia harus tenang, tekadnya. Tidak beberapa lama, siluet tubuh yang tidak asing datang menghampirinya.

Setelah beberapa menit basa-basi yang agak kaku berlangsung, ibu mulai berbicara serius.

“Maafkan ibu, mungkin kamu sudah mendengar semuanya dari Lia. Maafkan semua yang terjadi terhadap Syakila, Zidan, juga sering mengganggu konsentrasi belajarmu,” ujar ibu lembut.

Ia hanya bisa diam sambil mengedarkan pemandangan.

“Sebenarnya ibu tidak cinta sama Arif, ibu merasa dengan menikahinya kebutuhan kalian bisa tercukupi, ibu tidak punya pilihan lain”.

Kali ini ia benar-benar tidak bisa berkata apa-apa.

“Kamu tahu kan semenjak perceraian dengan ayahmu, ibu ikut bisnis dimana-mana karena gaji dari rumah sakit tidak cukup buat membiayai semuanya. Alasan ibu tidak meminta persetujuan kamu, Syakila, dan Zidan ya karena kalian tentunya tidak setuju”.

“Terserah kamu mau percaya ibu atau orang lain, yang penting ibu sudah menjelaskan. Cuma kamu yang bisa ibu ajak bicara, kamu tahu kedua adikmu itu keras kepala, maafkan ibu ya”.

Tanpa keluar sepatah kata, ia langsung memeluk ibu. Menangis sepuas-puasnya dipelukannya.

                                                                ***
Kairo, 10 Januari 2014

“Syakila, kok kabur ke rumah Tante Lia lagi, berantem lagi sama ibu?” Tanya Ghaida ketika menelpon ke rumah Tante Lia.

“Ibu cerai sama Om Arif!” teriak Syakila.

Pandanganku mengabur.

2 komentar: