Pages

Labels

Rabu, 10 April 2013

Sketsa Pelangi untuk Dira (Episode 3)



*Chapter 3

Episode sebelumnya:
Tiba-tiba dompetku jatuh gara-gara aku berjalan dengan tergesa-gesa. Aduh, mati aku!, jeritku dalam hati. Kalau dompetnya tidak diambil bisa gawat, karena di dalamnya ada duit panitia, tapi kalau diambil aku bisa ditodong sama orang itu. Langsung kuambil keputusan kalau aku harus mengambilnya . Ketika aku ingin menengok ke belakang, aku melihat tangannya meraih dompetku. Spontan aku berbalik ke arahnya sebelum dia mengambil dompetku, dan ternyata…

Cerita selanjutnya:
Lagi-lagi aku menghabiskan malam ini di taman samping sungai Nil, sudah dua malam aku termenung sendirian disini. Sebabnya banyak sekali. Seharusnya hari ini aku senang, karena akhirnya aku lulus naik ke tingkat dua. Pasalnya yang membuatku harus menghabiskan malam di taman ini, karena masalah hati. Ya, seperti yang dialami anak-anak muda seumuranku, kali ini ada yang mengganggu hatiku.

Semenjak Andi mengantarkanku pulang, kami mulai dekat. Dia orang yang mengambil dompetku ketika aku pulang sendirian dari sekretariat KPJ, yang aku sangka maling. Selepas kejadian itu, kami sering mengobrol lewat chat. Pertama-tama berbicara masalah pekerjaan, lama-lama dia sering curhat tentang keluarganya sampai tentang masalah yang termasuk pribadi menurutku. Dia orangnya pendiam, bahkan tidak pernah berbicara terhadap wanita.

Pertama kali aku kenal, sama sekali dia tidak pernah menanyakan namaku, apalagi nomer handphoneku. Ternyata, menurut pengakuan Cicit, Andi sudah lama menaruh perhatian kepadaku, maka dari itu ketika aku pulang sendirian Cicit menyuruh Andi mengantarkanku pulang. Waktu itu kami hanya diam saja, tidak bergeming, dia pun tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Aku hanya mengucapkan terima kasih ketika sampai depan apartemenku.

Pernah, waktu itu aku kebingungan mencari penulis untuk rubrik di buletin KPJ, sebenarnya aku mahu memintanya, tetapi aku ragu. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya aku memintanya lewat telepon. Aku terkejut, ternyata dia mahu. Setelah itu, kami berteman lewat facebook, sering chatting, dan seperti itu sampai sekarang. Kami tidak pernah bertemu secara khusus, karena aku dan dia memang tidak mahu melakukan hal-hal yang umumnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai. Dia pernah bilang kepadaku, bahwa dia ingin maju kepada orang tuaku tahun depan, kebetulan dia sekarang tingkat akhir di fakultas Ushuluddin.

Mungkin kalau diteliti tidak ada masalah yang membuatku harus berdiam diri di taman ini, tetapi ada alasan lain rupanya. Ada hati lain yang muncul, yaitu hati yang sudah lama kulupakan. Dulu, aku pernah suka dengan ustad di pondok pesantrenku, namanya Ustad Faishal, dan dia tahu bahwa aku suka kepadanya. Sayangnya, dia sudah menyukai seseorang terlebih dahulu, aku mati-matian melupakannya. Aku sering menelpon teman-temanku yang masih mengajar di pesantren, biasanya aku berbicara dengan guru-guru yang lain juga, tetapi dia tak pernah berbicara kepadaku.

Seminggu yang lalu, aku menelpon teman-teman dan guru-guruku lagi setelah menelpon orang tuaku. Aku terkejut, ketika itu dia berbicara kepadaku. Setelah itu, aku banyak berkomunikasi dengannya lewat email. Baru kemarin lusa, salah satu temanku di pesantren bilang bahwa Ustad Faishal suka kepadaku. Dan yang paling membuatku pusing adalah Andi dan Ustad Faishal sering mengirimkan pesan kepadaku menanyakan kepastianku. Hampir saja ujianku berantakan hanya gara-gara masalah itu.

Handphoneku bergetar, pasti Tyas menelpon, benar saja karena namanya yang tertera di layar.
“Halo, assalammualaikum, Dir…kok kamu belum pulang sih? Kamu dimana sekarang?,” tanyanya bertubi-tubi
“Aku lagi di Nil Yas, kamu itu udah kayak orang kesurupan aja, orang aku cuma jalan-jalan aja,”
“Tapi kan kamu nggak pernah jam segini belum pulang. Kamu mikirin Andi sama Ustad Faishal lagi ya?,”
Nggak usah sotoy kamu, aku cuma pengen nyari angin aja kok,”
“Bohong! Kamu nggak bakal kayak gini kalau bukan karena mereka, pokoknya pulang sekarang juga!,”
“Iya iya bawel, ini aku lagi jalan mahu ke mahattoh,”

Aku berbohong dua kali dalam satu waktu. Pertama, Tyas benar aku berada disini karena masalah Andi dan Ustad Faishal. Kedua, aku masih terduduk di bangku taman, dan belum beranjak pulang. Setelah 10 menit, aku baru melangkahkan kaki meninggalkan taman ini, bersamaan dengan itu handphoneku bergetar. Tadi Tyas, sekarang Cicit, masih dengan tema pembicaraan yang sama, yaitu agar aku segera pulang.

                                                          ***
Andi Pratama: Salam

Dira Nadzirah: Alaiksalam 

Andi: Sehat?

Dira: Alhamdulillah sehat

Andi: Tadi ane abis dari maktabah, terus ada buku bagus buat ente, kebetulan kan ente lagi nyari referensi buat makalah ente, jadinya ane beliin

Dira: Aduh jadi ngerepotin ente nih :D, jazakallah udah mau beliin

Andi: Waiyyak, tadi bukunya ane titipin ke Cicit, nanti ambil aja ya

Cepat-cepat kuhentikan percakapanku di chat, aku semakin pusing. Ya sudahlah, mana duluan yang maju. Lagi pula aku masih tingkat dua, mana mungkin aku menikah sebelum selesai S1. Lebih baik aku jangan sering-sering berbicara dengan Andi dan menelpon ke pesantren. Jawab message atau email dari mereka sekedarnya saja, aku harus fokus terhadap kuliah.

                                                          ***
“Halo, assalamualaikum, mama, babeh sehat?,” tanyaku. Tiba-tiba orang tuaku mengirim sms supaya aku menelpon mereka, ada hal penting yang ingin dibicarakan.

“Alhamdulillah, sehat neng, gimana kuliahnya?” Tanya mama

“Lancar ma, babeh mana ma?,”

“Nih, sebelah mama, biasa si babeh lagi ngunyem kerjaannya,”

“Hahaha, jadi makin kangen Dira,”

“Neng, kemaren tuh ada yang dateng ke rumah, ustad yang ngajar eneng di pondok ntuh,”

“Hah? Siapa ma? Ngapain?,”

“Ustad Faishal namanya, intinya sih minta si eneng. Mama juga bingung, katanya lusa mau kemari lagi,”

Tiba-tiba kepalaku berkunang-kunang…

bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar