*Chapter 3
Episode sebelumnya:
Tiba-tiba
dompetku jatuh gara-gara aku berjalan dengan tergesa-gesa. Aduh, mati aku!,
jeritku dalam hati. Kalau dompetnya tidak diambil bisa gawat, karena di
dalamnya ada duit panitia, tapi kalau diambil aku bisa ditodong sama orang itu.
Langsung kuambil keputusan kalau aku harus mengambilnya . Ketika aku ingin
menengok ke belakang, aku melihat tangannya meraih dompetku. Spontan aku
berbalik ke arahnya sebelum dia mengambil dompetku, dan ternyata…
Cerita selanjutnya:
Lagi-lagi aku menghabiskan malam
ini di taman samping sungai Nil, sudah dua malam aku termenung sendirian
disini. Sebabnya banyak sekali. Seharusnya hari ini aku senang, karena akhirnya
aku lulus naik ke tingkat dua. Pasalnya yang membuatku harus menghabiskan malam
di taman ini, karena masalah hati. Ya, seperti yang dialami anak-anak muda
seumuranku, kali ini ada yang mengganggu hatiku.
Semenjak Andi mengantarkanku
pulang, kami mulai dekat. Dia orang yang mengambil dompetku ketika aku pulang
sendirian dari sekretariat KPJ, yang aku sangka maling. Selepas kejadian itu,
kami sering mengobrol lewat chat. Pertama-tama berbicara masalah
pekerjaan, lama-lama dia sering curhat tentang keluarganya sampai tentang
masalah yang termasuk pribadi menurutku. Dia orangnya pendiam, bahkan tidak
pernah berbicara terhadap wanita.
Pertama kali aku kenal, sama
sekali dia tidak pernah menanyakan namaku, apalagi nomer handphoneku.
Ternyata, menurut pengakuan Cicit, Andi sudah lama menaruh perhatian kepadaku,
maka dari itu ketika aku pulang sendirian Cicit menyuruh Andi mengantarkanku
pulang. Waktu itu kami hanya diam saja, tidak bergeming, dia pun tidak
mengeluarkan satu patah kata pun. Aku hanya mengucapkan terima kasih ketika
sampai depan apartemenku.
Pernah, waktu itu aku
kebingungan mencari penulis untuk rubrik di buletin KPJ, sebenarnya aku mahu
memintanya, tetapi aku ragu. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya aku
memintanya lewat telepon. Aku terkejut, ternyata dia mahu. Setelah itu, kami
berteman lewat facebook, sering chatting, dan seperti itu sampai
sekarang. Kami tidak pernah bertemu secara khusus, karena aku dan dia memang
tidak mahu melakukan hal-hal yang umumnya dilakukan oleh dua orang yang saling
mencintai. Dia pernah bilang kepadaku, bahwa dia ingin maju kepada orang tuaku
tahun depan, kebetulan dia sekarang tingkat akhir di fakultas Ushuluddin.
Mungkin kalau diteliti tidak ada
masalah yang membuatku harus berdiam diri di taman ini, tetapi ada alasan lain
rupanya. Ada hati lain yang muncul, yaitu hati yang sudah lama kulupakan. Dulu,
aku pernah suka dengan ustad di pondok pesantrenku, namanya Ustad Faishal, dan
dia tahu bahwa aku suka kepadanya. Sayangnya, dia sudah menyukai seseorang
terlebih dahulu, aku mati-matian melupakannya. Aku sering menelpon
teman-temanku yang masih mengajar di pesantren, biasanya aku berbicara dengan
guru-guru yang lain juga, tetapi dia tak pernah berbicara kepadaku.
Seminggu yang lalu, aku menelpon
teman-teman dan guru-guruku lagi setelah menelpon orang tuaku. Aku terkejut,
ketika itu dia berbicara kepadaku. Setelah itu, aku banyak berkomunikasi
dengannya lewat email. Baru kemarin lusa, salah satu temanku di pesantren
bilang bahwa Ustad Faishal suka kepadaku. Dan yang paling membuatku pusing
adalah Andi dan Ustad Faishal sering mengirimkan pesan kepadaku menanyakan
kepastianku. Hampir saja ujianku berantakan hanya gara-gara masalah itu.
Handphoneku bergetar, pasti Tyas menelpon, benar saja karena
namanya yang tertera di layar.
“Halo, assalammualaikum, Dir…kok
kamu belum pulang sih? Kamu dimana sekarang?,” tanyanya bertubi-tubi
“Aku lagi di Nil Yas, kamu itu
udah kayak orang kesurupan aja, orang aku cuma jalan-jalan aja,”
“Tapi kan kamu nggak pernah
jam segini belum pulang. Kamu mikirin Andi sama Ustad Faishal lagi ya?,”
“Nggak usah sotoy kamu,
aku cuma pengen nyari angin aja kok,”
“Bohong! Kamu nggak bakal
kayak gini kalau bukan karena mereka, pokoknya pulang sekarang juga!,”
“Iya iya bawel, ini aku lagi
jalan mahu ke mahattoh,”
Aku berbohong dua kali dalam
satu waktu. Pertama, Tyas benar aku berada disini karena masalah Andi dan Ustad
Faishal. Kedua, aku masih terduduk di bangku taman, dan belum beranjak pulang. Setelah
10 menit, aku baru melangkahkan kaki meninggalkan taman ini, bersamaan dengan
itu handphoneku bergetar. Tadi Tyas, sekarang Cicit, masih dengan tema
pembicaraan yang sama, yaitu agar aku segera pulang.
***
Andi Pratama: Salam
Dira Nadzirah: Alaiksalam
Andi: Sehat?
Dira: Alhamdulillah sehat
Andi: Tadi ane abis dari maktabah,
terus ada buku bagus buat ente, kebetulan kan ente lagi nyari
referensi buat makalah ente, jadinya ane beliin
Dira: Aduh jadi ngerepotin ente
nih :D, jazakallah udah mau beliin
Andi: Waiyyak, tadi
bukunya ane titipin ke Cicit, nanti ambil aja ya
Cepat-cepat kuhentikan percakapanku
di chat, aku semakin pusing. Ya sudahlah, mana duluan yang maju. Lagi
pula aku masih tingkat dua, mana mungkin aku menikah sebelum selesai S1. Lebih
baik aku jangan sering-sering berbicara dengan Andi dan menelpon ke pesantren.
Jawab message atau email dari mereka sekedarnya saja, aku harus fokus
terhadap kuliah.
***
“Halo, assalamualaikum, mama,
babeh sehat?,” tanyaku. Tiba-tiba orang tuaku mengirim sms supaya aku menelpon
mereka, ada hal penting yang ingin dibicarakan.
“Alhamdulillah, sehat neng,
gimana kuliahnya?” Tanya mama
“Lancar ma, babeh mana ma?,”
“Nih, sebelah mama, biasa si
babeh lagi ngunyem kerjaannya,”
“Hahaha, jadi makin kangen
Dira,”
“Neng, kemaren tuh ada
yang dateng ke rumah, ustad yang ngajar eneng di pondok ntuh,”
“Hah? Siapa ma? Ngapain?,”
“Ustad Faishal namanya, intinya sih
minta si eneng. Mama juga bingung, katanya lusa mau kemari lagi,”
Tiba-tiba kepalaku
berkunang-kunang…
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar