Pages

Labels

Rabu, 10 April 2013

Sketsa Pelangi untuk Dira (Episode 5)



*Chapter 5

Cerita Sebelumnya:
“Neng, coba ditelpon Andi-nya, kok udah jam segini belum dating-dateng?,” suruh mama.
“Iya ma, ini lagi mau ditelpon”.
Berkali-kali ku telpon, tapi tidak diangkat. Ah, mungkin lagi di jalan, lagi sibuk siap-siap, batinku menghibur.
“Gimana neng, udah diangkat telponnya?” Tanya mama.
“Belum ma, mungkin masih di jalan, nggak kedengeran kali. Nanti dua menit lagi Dira telpon”.
Belum dua menit ringtone handphoneku berteriak. Tertera di layar nomor yang tidak dikenal.
“Halo…”.

Cerita Selanjutnya:
Tiba-tiba kepalaku berkunang-kunang, kaki ini sepertinya tidak menapak lagi di bumi, gagang telepon pun jatuh sehingga membuat mama dan yang lainnya tersentak. Semuanya pada bertanya kepadaku, yang keluar hanyalah isak tangis dariku. Akhirnya mama membawaku ke kamar, supaya aku tenang dan baru bercerita. 

“Tadi emangnya telepon dari siapa?” Tanya mama setelah tangisku mereda.

Aku masih membisu, mama mengambilkan air putih untukku.

“Andi…andi…ngebatalin semuanya ma…” ujarku mulai membuka mulut meski tersendat-sendat.

Mama langsung paham dan memelukku seketika. Aku terisak kembali. Aku tak menyangka akan berakhir seperti ini. Siapa yang menyangka kalau Andi akan membatalkan acara khitbah yang sudah direncanakan secara matang. Orang yang sudah berbela-bela diri untuk menghadap orang tuaku, yang meyakinkanku, lalu membatalkan semuanya tanpa alasan yang jelas? Aku masih tidak percaya. 

Semua sanak saudaraku membereskan ruang tamu tempat acara khitbah yang direncanakan. Semuanya membisu, tidak ada yang berani bertanya, semuanya paham dengan apa yang terjadi. Sebagian makanan dibagikan ke tetangga-tetangga. Babeh berusaha menenangkan diri, supaya yang lain juga tenang.

                                                          ***
Tyas dan Cicit memelukku erat ketika sampai di Bandara Internasional Kairo, mereka menyambut kedatanganku dari Indonesia. Mereka sangat tahu apa yang baru aku alami dan perasaanku. 

“Kita udah siapin menu kesukaanmu, abis ini kita makan-makan, ketawa-ketawa bareng lagi,” ujar Tyas.

“Kita juga udah download  film kartun kesukaanmu, nanti abis makan kita nonton bareng, okeh saying,” kali ini Cicit yang menghiburku.

Tiba-tiba air mata menyeruak dari kedua sudut mataku, aku terharu. Aku teringat mama menangis ketika melepaskanku berangkat ke Mesir, takut aku frustasi dan segala macam kekhawatiran muncul dibenaknya. Akan tetapi, babeh berusaha meyakinkan mama.
“Pokoknya jangan terlalu dipikirin ya neng, kalau udah waktunya mah pasti entar dateng jodohnya, kaga usah khawatir, pasti nanti ada gantinya, udeh ada yang ngatur sama yang di atas,” nasehat babeh panjang lebar sebelum melepasku.

                                                          ***
Tak terasa pengumuman ujian akhir tahun sudah dipajang di etalase, aku bersama kedua temanku menyeruak kerumunan.

“Kita lulus! Tyas, Cicit, lulus kitaaaa! Alhamdulillaaaahhh!” seruku sambil berjingkrak-jingkarakan.

“Wah, keren kamu Dir, mumtaz! Gila banget! Sumpah, pokoknya abis ini wajib traktir kita berdua!” teriak Tyas.

“Ayo Yas, kita tarik dia langsung ke math’am, nggak afdhol ada orang mumtaz diem aje,” ujar Cicit.

“Iya, iya, emang mahu ditraktir dimana sih?” tanyaku sok-sokan.

Spontan mereka berdua menarikku langsung menuju tempat traktiran. Hatiku tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur kepada Allah, mungkin ini rahasia di balik semua ini, semua kejadian-kejadian yang ku alami. Allah mempunyai kejutan yang lebih indah, lebih indah dari apa pun.

Ketika aku mengabari hasil kelulusanku kepada orang tua, mereka langsung berteriak mengucapkan syukur.

“Alhamdulillah neng, anak mama sama babeh calon ulama yang ditunggu-tunggu sama penduduk Ujung Menteng,” kata mama.

“Tuh kan babeh bilang apa, pasti ada gantinya, babeh salut sama eneng, udeh dewasa dan tidak berlarut-larut dalam masalah, kan jadi bermanfaat,” ujar babeh.

“Iya ma, beh, Alhamdulillah banget akhirnya bisa ngebahagiain orang tua, akhirnya keturutan jadi lulusan azhar yang mabrurah hehe,” ujarku.

“Dira pulangnya abis lebaran kira-kira, soalnya sekalian nunggu ijazah biar kaga bolak-balik, terus juga pengen ngikut acara wisuda disini”.

                                                          ***
Sudah seminggu lebih aku sibuk berbelanja oleh-oleh untuk keluargaku di Indonesia, aku berencana pulang besok lusa. Walhasil, hari kedua sebelum kepulanganku ke tanah air, aku terbaring lemas, badanku panas. 

“Apa lagi sih yang mahu dibeli? Udah nggak usah keluyuran lagi, nanti kalau kamu pingsan pas transit gimana?” ujar Tyas mengkhawatirkanku.

“Kamu sih disuruh pulangnya barengan aku nggak mahu, kan jadi iseng pulang sendirian,” prostesku.

“Ya aku kan masih mahu jalan-jalan dulu mumpung disini, kamu kan udah semuanya dijabanin”.

Lusanya, aku berangkat meninggalkan Negara Seribu Menara ini, tidak terasa sudah lima tahun terlewati. Banyak peristiwa, kenangan yang ku lewati, dari yang manis, pahit, semuanya ada. Berawal dari aku dan Tyas dipekerjakan, lalu tinggal kelas, aku bertemu dengan Andi dan ditinggalkan, namun semuanya berakhir dengan manis. Kado terindah dari Negara Para Nabi.

Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, babeh, mama, Mpok Hani, menjemputku. Akhirnya aku bisa berkumpul kembali dengan keluarga tercinta. Saudara-saudaraku pasti sudah banyak yang menunggu di rumah. Seperti biasa, kalau ada saudara yang datang dari merantau biasanya ada acara keluarga. Kumpul keluarga sering diadakan, karena tetangga-tetangga sekeliling rumah itulah saudara kami.

“Eh, ada tamu  special yang nungguin kamu di rumah,” kata Mpok Hani.

“Siapa Mpok? Si Neli temen SD Dira? Apa anak kampung sebelah?” tanyaku penasaran, takut Mpok Hani mengelabuiku.

“Ih, si Hani kaga seru, malah dibilangin,” ujar mama.

Sepanjang perjalanan aku diliputi dengan rasa penasaran. Ah, palingan dikerjain sama Mpok Hani, batinku. Sesampainya di depan rumah terlihat banyak sandal di depan teras, pastinya semua saudaraku sudah berkumpul. Benar saja, sepupu-sepupuku yang masih kecil keluar rumah dan langsung manodongku oleh-oleh.

“Iya, iya, nanti ya oleh-olehnya, biar Mpok Dira nya masuk dulu, makan-makan dulu,” kata mama.

Ah, benar-benar suasana yang merindukan, semua keluarga berkumpul, banyak kue-kue kering di ruang tamu, dan sudah ada makanan besar di meja makan. Persis kayak lebaran haji, dan anak-anak kecil ini menodongku oleh-oleh seperti meminta uang temple lebaran. Akan tetapi, pandanganku menuju ke salah satu pemandangan, pemandangan yang tidak asing. Satu sosok orang yang sangat-sangat aku kenal.

“Ustad Faishal…?”

Selesai.
                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar