*Chapter 5
Cerita Sebelumnya:
“Neng, coba ditelpon
Andi-nya, kok udah jam segini belum dating-dateng?,” suruh mama.
“Iya ma, ini lagi
mau ditelpon”.
Berkali-kali ku
telpon, tapi tidak diangkat. Ah, mungkin lagi di jalan, lagi sibuk siap-siap,
batinku menghibur.
“Gimana neng, udah
diangkat telponnya?” Tanya mama.
“Belum ma, mungkin
masih di jalan, nggak kedengeran kali. Nanti dua menit lagi Dira telpon”.
Belum dua menit
ringtone handphoneku berteriak. Tertera di layar nomor yang tidak dikenal.
“Halo…”.
Cerita Selanjutnya:
Tiba-tiba kepalaku
berkunang-kunang, kaki ini sepertinya tidak menapak lagi di bumi, gagang
telepon pun jatuh sehingga membuat mama dan yang lainnya tersentak. Semuanya
pada bertanya kepadaku, yang keluar hanyalah isak tangis dariku. Akhirnya mama
membawaku ke kamar, supaya aku tenang dan baru bercerita.
“Tadi emangnya telepon
dari siapa?” Tanya mama setelah tangisku mereda.
Aku masih membisu, mama
mengambilkan air putih untukku.
“Andi…andi…ngebatalin semuanya
ma…” ujarku mulai membuka mulut meski tersendat-sendat.
Mama langsung paham dan
memelukku seketika. Aku terisak kembali. Aku tak menyangka akan berakhir
seperti ini. Siapa yang menyangka kalau Andi akan membatalkan acara khitbah
yang sudah direncanakan secara matang. Orang yang sudah berbela-bela diri untuk
menghadap orang tuaku, yang meyakinkanku, lalu membatalkan semuanya tanpa
alasan yang jelas? Aku masih tidak percaya.
Semua sanak saudaraku
membereskan ruang tamu tempat acara khitbah yang direncanakan. Semuanya
membisu, tidak ada yang berani bertanya, semuanya paham dengan apa yang
terjadi. Sebagian makanan dibagikan ke tetangga-tetangga. Babeh berusaha
menenangkan diri, supaya yang lain juga tenang.
***
Tyas dan Cicit memelukku erat
ketika sampai di Bandara Internasional Kairo, mereka menyambut kedatanganku
dari Indonesia. Mereka sangat tahu apa yang baru aku alami dan perasaanku.
“Kita udah siapin menu
kesukaanmu, abis ini kita makan-makan, ketawa-ketawa bareng lagi,” ujar Tyas.
“Kita juga udah download film kartun kesukaanmu, nanti abis makan kita
nonton bareng, okeh saying,” kali ini Cicit yang menghiburku.
Tiba-tiba air mata menyeruak
dari kedua sudut mataku, aku terharu. Aku teringat mama menangis ketika
melepaskanku berangkat ke Mesir, takut aku frustasi dan segala macam
kekhawatiran muncul dibenaknya. Akan tetapi, babeh berusaha meyakinkan mama.
“Pokoknya jangan terlalu
dipikirin ya neng, kalau udah waktunya mah pasti entar dateng jodohnya,
kaga usah khawatir, pasti nanti ada gantinya, udeh ada yang
ngatur sama yang di atas,” nasehat babeh panjang lebar sebelum melepasku.
***
Tak terasa pengumuman ujian
akhir tahun sudah dipajang di etalase, aku bersama kedua temanku menyeruak
kerumunan.
“Kita lulus! Tyas, Cicit, lulus
kitaaaa! Alhamdulillaaaahhh!” seruku sambil berjingkrak-jingkarakan.
“Wah, keren kamu Dir, mumtaz!
Gila banget! Sumpah, pokoknya abis ini wajib traktir kita berdua!”
teriak Tyas.
“Ayo Yas, kita tarik dia
langsung ke math’am, nggak afdhol ada orang mumtaz diem aje,”
ujar Cicit.
“Iya, iya, emang mahu
ditraktir dimana sih?” tanyaku sok-sokan.
Spontan mereka berdua menarikku
langsung menuju tempat traktiran. Hatiku tak henti-hentinya mengucapkan rasa
syukur kepada Allah, mungkin ini rahasia di balik semua ini, semua kejadian-kejadian
yang ku alami. Allah mempunyai kejutan yang lebih indah, lebih indah dari apa
pun.
Ketika aku mengabari hasil
kelulusanku kepada orang tua, mereka langsung berteriak mengucapkan syukur.
“Alhamdulillah neng, anak mama
sama babeh calon ulama yang ditunggu-tunggu sama penduduk Ujung Menteng,” kata
mama.
“Tuh kan babeh bilang apa, pasti
ada gantinya, babeh salut sama eneng, udeh dewasa dan tidak
berlarut-larut dalam masalah, kan jadi bermanfaat,” ujar babeh.
“Iya ma, beh, Alhamdulillah banget
akhirnya bisa ngebahagiain orang tua, akhirnya keturutan jadi lulusan azhar
yang mabrurah hehe,” ujarku.
“Dira pulangnya abis lebaran
kira-kira, soalnya sekalian nunggu ijazah biar kaga bolak-balik, terus juga pengen
ngikut acara wisuda disini”.
***
Sudah seminggu lebih aku sibuk
berbelanja oleh-oleh untuk keluargaku di Indonesia, aku berencana pulang besok
lusa. Walhasil, hari kedua sebelum kepulanganku ke tanah air, aku terbaring
lemas, badanku panas.
“Apa lagi sih yang mahu
dibeli? Udah nggak usah keluyuran lagi, nanti kalau kamu pingsan pas
transit gimana?” ujar Tyas mengkhawatirkanku.
“Kamu sih disuruh
pulangnya barengan aku nggak mahu, kan jadi iseng pulang sendirian,”
prostesku.
“Ya aku kan masih mahu
jalan-jalan dulu mumpung disini, kamu kan udah semuanya dijabanin”.
Lusanya, aku berangkat
meninggalkan Negara Seribu Menara ini, tidak terasa sudah lima tahun terlewati.
Banyak peristiwa, kenangan yang ku lewati, dari yang manis, pahit, semuanya
ada. Berawal dari aku dan Tyas dipekerjakan, lalu tinggal kelas, aku bertemu
dengan Andi dan ditinggalkan, namun semuanya berakhir dengan manis. Kado
terindah dari Negara Para Nabi.
Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta,
babeh, mama, Mpok Hani, menjemputku. Akhirnya aku bisa berkumpul kembali dengan
keluarga tercinta. Saudara-saudaraku pasti sudah banyak yang menunggu di rumah.
Seperti biasa, kalau ada saudara yang datang dari merantau biasanya ada acara
keluarga. Kumpul keluarga sering diadakan, karena tetangga-tetangga sekeliling
rumah itulah saudara kami.
“Eh, ada tamu special yang nungguin kamu di rumah,” kata
Mpok Hani.
“Siapa Mpok? Si Neli temen
SD Dira? Apa anak kampung sebelah?” tanyaku penasaran, takut Mpok Hani
mengelabuiku.
“Ih, si Hani kaga seru,
malah dibilangin,” ujar mama.
Sepanjang perjalanan aku
diliputi dengan rasa penasaran. Ah, palingan dikerjain sama Mpok Hani, batinku.
Sesampainya di depan rumah terlihat banyak sandal di depan teras, pastinya
semua saudaraku sudah berkumpul. Benar saja, sepupu-sepupuku yang masih kecil
keluar rumah dan langsung manodongku oleh-oleh.
“Iya, iya, nanti ya
oleh-olehnya, biar Mpok Dira nya masuk dulu, makan-makan dulu,” kata mama.
Ah, benar-benar suasana yang
merindukan, semua keluarga berkumpul, banyak kue-kue kering di ruang tamu, dan
sudah ada makanan besar di meja makan. Persis kayak lebaran haji, dan anak-anak
kecil ini menodongku oleh-oleh seperti meminta uang temple lebaran. Akan
tetapi, pandanganku menuju ke salah satu pemandangan, pemandangan yang tidak
asing. Satu sosok orang yang sangat-sangat aku kenal.
“Ustad Faishal…?”
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar