*Chapter 1
Semilir angin yang berhembus dan suara ombak berasal dari Laut
Mediterania berhasil menghiburku sejenak. Ah, rasanya ingin berlama-lama di kota yang indah ini,
melepas segala kepenatan yang ada. Benar apa kata orang, kota Alexandria
ini berhasil memikat hatiku secara spontan. Aku yang baru saja menginjakkan
kaki di kota
yang indah ini, seketika jatuh cinta kepada suasana kota ini, apalagi suasana di pinggir pantai
Laut Mediterania ini.
Sudah empat bulan lebih aku berada di Negara seribu menara ini, ujian
termin satu pun sudah berlalu. Sudahlah aku sedang tidak ingin mengingat
tentang ujian atau apapun, karena aku sekarang sedang berlibur. Aku, Tyas, dan
keluarga Pak Burhan sedang berlibur di Alexandria.
Sisil, anak pertama Pak Burhan yang masih menduduki kelas satu Sekolah Dasar
sedang berenang-renang di laut, lalu Indra sang adik yang masih berusia 5 tahun
sedang bermain-main bersama Bik Asih, pembantu keluarga ini. Pak Burhan dan Bu
Fatimah, istrinya bersiap-siap balik ke apartemen yang disewa untuk liburan
kali ini.
“Dir, pulang yuk, udah sore nih! Bentar lagi maghrib loh!,”
seru Tyas
“Duluan deh yas, aku masih pengen disini. Nanti aku nyusul
kok!,” ujarku kepadanya
“ Bener ya nyusul, nanti pas maghrib pokoknya kamu udah balik”.
Aku pun menganggukkan kepala dengan mata yang masih tertuju kepada laut.
Masih teringat ketika aku berpamitan kepada orang tuaku, “Ati-ati ya neng, jangan macem-macem
di negri orang, kudu nurut sama Pak Burhan juga sama Bu Fatimah ya,
jangan ngerepotin…,” pesan mama yang kalau direkam bisa ngalahin kultum-kultum
yang ada di masjid daerah Ujung Menteng. “Ya udah, mama sama babeh juga kudu
baek-baek ya di rumah, Dira pergi dulu, assalamualaikum,” ujarku sambil
mencium tangan mama dan babeh.
Jika aku boleh meminta, aku ingin liburan kali ini diperpanjang. Disini
aku bebas dari celotehan atau amarah dari ibu kompeni, yaitu Bu Fatimah. Bu
Fatimah adalah istri Pak Burhan, dan Pak Burhan sendiri adalah teman baik
babeh. Beliau seorang pengusaha minyak yang kaya raya di kota Kairo, beliau yang menawarkanku untuk
tinggal bersama keluarganya di daerah Dokki yang masih dalam lingkup Kota
Kairo. Beliau adalah sosok yang sangat baik dan dermawan, jarang-jarang ada
orang kaya sebaiknya. Maka dari itu, aku mengajak Tyas yang merupakan teman
seperjuanganku untuk tinggal bersama di apartemen Pak Burhan ketika tahu bahwa
kami berdua sama-sama lulus tes masuk Universitas Al-Azhar.
Kenapa aku memanggil Bu Fatimah dengan sebutan kompeni? Kalau boleh aku
jujur, dia benar-benar seperti kompeni!. Kau tahu? Aku dan Tyas dipekerjakan
olehnya selama Bik Asih tidak bekerja, dari mulai membersihkan apartemen sampai
mengasuh Indra. Bik Asih bekerja dari jam 10 pagi sampai jam 6 sore, jadi dari
jam 7 pagi sampai Bik Asih datang, kami disuruh membersihkan kamar mandi dan
balkon. Ketika Bik Asih pulang, kamilah yang melanjutkan mengasuh Indra. Selama
ini Pak Burhan tidak mengetahui hal ini, karena beliau berangkat ke kantor jam
6 pagi dan pulang lebih dari jam 10 malam.
“Sholaatu min Allah… wa alfa salam…,” ringtone handphoneku berteriak
membuyarkan lamunanku, terlihat di layar kalau Tyas memanggilku. “Iya, ini lagi
mau pulang yas,” ujarku sambil membersihkan rokku dari pasir-pasir pantai.
***
“Diraaa, baju ibu yang digantung di lemari kamu taruh dimana?,” seru Bu
Fatimah
“Dira nggak ngutak-atik lemari ibu, kemaren cuma bersihin
kasur sama ngepel lantai aja bu,” ujarku sedikit emosi
“Lalu, siapa lagi kalau gitu? Kemaren yang bersihin kamar ini kan kamu bukan si Asih,
masa Indra? Kamu mau nuduh anak saya yang masih kecil?,” amarah Bu Fatimah
semakin menjadi-jadi.
Aku langsung berlari ke kamar, aku terisak di bawah bantal. Tyas
menghampiriku,
“Diirr, udah udah, tenangin hati kamu,”
“Aku udah nggak tahan lagi yas, seharusnya dia tuh nyadar!
Tahu nggak sih dia, kalau kita masuk kuliahnya gantian sampai ujian pun
kita bergantian hadir. Kita tuh disini mau belajar, bukan kerja!,”
ujarku sesegukan
“Udah-udah nggak usah diungkit-ungkit, mungkin dengan ini kita
bisa balas jasa mereka yang udah ngasih kita tempat tinggal sama uang
saku setiap bulan,” ujar Tyas.
Selalu begitu yang diucapkan Tyas, kalau boleh aku pun lebih memilih
untuk tidak tinggal dengan mereka. Mungkin aku sudah pindah rumah kalau tidak
ingat Pak Burhan adalah teman baik babeh. Aku juga takut jika mengadukan hal
ini kepada Pak Burhan atau orang tuaku, bisa-bisa kedua pasangan suami-istri
ini bertengkar gara-gara masalah ini.
Aku hanya geram saja, karena kami harus berangkat kuliah secara
bergantian gara-gara mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Fatimah.
Untungnya kami satu jurusan, jadi bisa saling melengkapi catatan. Belum lagi
jarak dari apartemen ini ke kuliah, bisa satu jam lebih dan kami harus
berangkat jam 7 pagi karena pelajaran dimulai pada jam 9 pagi. Sebenarnya Pak
Burhan menawarkan antar-jemput untuk kami berdua, karena kebetulan akhir-akhir
ini mobil yang biasa dipakai untuk mengantar istrinya berpergian tidak
digunakan. Akan tetapi aku menolaknya, karena aku melihat gelagat dari Bu
Fatimah bahwa ia tak suka kalau mobilnya dipakai oleh kami berdua.
Hal ini berkelanjutan sampai tiba saatnya ujian termin satu, Bu Fatimah
tidak mempunyai toleransi rupanya. Dia tetap mempekerjakan kami selama ujian,
walhasil kami pergi ujian secara bergantian, yaitu jika hari ini aku ujian maka
Tyas bekerja dan sebaliknya.
***
Ternyata kejadian ini berlangsung sampai termin dua, aku dan Tyas masih
kuliah dan ujian secara bergantian. Rasanya ingin kabur dari sini, tapi kabur
kemana? kami tidak mempunyai kenalan sama sekali. Bagaimana bisa mempunyai
kenalan, kuliah saja jarang, apalagi mengikuti organisasi yang ada di Masisir.
Di sekeliling apartemen Pak Burhan pun jarang orang Indonesianya, mahu minta
tolong kepada siapa?. Orang Indonesia
yang kukenal hanya keluarga ini dan Tyas saja.
“Bik Asih, si kompeni kemana?,” tanyaku, Bik Asih pun tertawa mendengar
sebutan ‘kompeni’ yang keluar dari mulutku. “Ibu lagi keluar arisan cah ayu,
sudah sana kamu
sama Tyas belajar aja, biar bibi yang beres-beres,” ujar Bik Asih, “Enggak
apa-apa bi, ujiannya udah selesai kok, sini biar Dira yang cuci
piring,” ucapku sambil mengedipkan mata kepada Bik Asih. Aku kasihan kepada Bik
Asih, Bu Fatimah terlalu membebani banyak pekerjaan kepadanya, padahal sudah
dibagi tugasnya denganku dan Tyas tetapi masih saja pekerjaan Bik Asih
menumpuk.
Wajah Bik Asih sudah tak muda lagi, terdapat banyak kerutan disana-sini.
Ini yang membuat aku dan Tyas tidak tega membiarkan Bik Asih bekerja sendirian.
Dia merupakan TKW yang dikirim dari Indonesia, dia rela bekerja sampai
ke luar negri demi membiayai sekolah anaknya, karena suaminya sudah meninggal.
“Gimana, kemaren ujiannya nduk?, bibi kasian sama kamu dan
Tyas, ujiannya jadi bolong-bolong, juga nggak bisa belajar,” kata Bik
Asih sambil mengelap piring yang sudah kucuci. “Yaaa doanya aja bi, moga
Allah ngasih keajaiban, yaitu lulus ujian. Mungkin ini ujian menuju
kesuksesan,” ujarku, “Amiiinn, bibi selalu berdoa buat Dira sama Tyas semoga
bisa lulus”.
Sebenarnya aku bingung, kalau aku tidak lulus, bagaimana cara aku
mengabarkannya kepada orang tuaku?. Tyas pun sama seperti diriku. Kami
terhimpit oleh problematika dunia yang rumit. Mungkin ini ujian untuk mengetes
kedewasaan kami.
***
“Diraaa! Pengumuman hasil ujian udah turun!, ayo cepetan ganti
baju kita ke kuliah!,” seru Tyas mengejutanku yang sedang asik membaca novel
kesukaanku. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, kedua telapak tanganku
berkeringat dingin. Aku sangat takut jika aku tidak lulus.
Ketika aku memasuki gedung kuliah, etalase tempat dipajangnya pengumuman
hasil ujian dipenuhi oleh para mahasiswi. Tyas memasuki kerumunan orang-orang
yang ada di depan etalase, aku hanya mematung dan membiarkan Tyas yang mencari
namaku. Belum selesai Tyas mencari nama-nama kami, telepon genggamku berbunyi,
di layar muncul nomor telpon tetapi bukan nomor Mesir melainkan nomor dari Indonesia.
“Halo assalmualaikum, Dira ini mpok!,” seru mpok Hani, yang merupakan
kakak kandungku yang pertama
“Oh, mpok Hani! Gimana kabarnya mpok? kok nomernya mpok ganti sih?,”
tanyaku dengan menggebu-gebu
“Diirr…gini..babeh…babeh….,” suara mpok Hani terbata-bata dan tidak
jelas
“Babeh kenape mpok?kenapa? baek-baek aja kan mpok?,” seruku dengan berusaha
menenangkan diri
“Babeh…..”.
Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar