*Chapter 4
Cerita sebelumnya:
“Neng, kemaren tuh ada yang dateng ke rumah,
ustad yang ngajar eneng di pondok ntuh,”
“Hah? Siapa ma?
Ngapain?,”
“Ustad Faishal
namanya, intinya sih minta si eneng. Mama juga bingung, katanya lusa mau kemari
lagi,”
Tiba-tiba kepalaku
berkunang-kunang…
Cerita selanjutnya:
Hatiku berbunga-bunga.
Jantungku, jangan ditanya lagi, yang pastinya seperti mahu jatuh. Hari ini aku
akan pulang ke tanah air, setidaknya penghilang dukaku dikarenakan nilaiku di tingkat
dua ini menurun, dari Jayid Jidan menjadi Jayid dan itu saja karena beberapa
nilaiku dinaikkan. Masalah-masalah hati yang membuat nilaiku turun. Akan tetapi
kesedihanku hilang sementara ini, setelah aku mendapatkan izin dari orang
tuaku.
“Dira!” seru seorang lelaki yang
sudah tak asing lagi.
“Hati-hati di jalan, insyaallah
nanti saya nyusul kamu,” pesannya.
Aku menganggukkan kepala sambil
tersenyum kepadanya.
***
Benar saja, lusanya Ustad
Faishal datang kembali ke rumahku. Mama langsung menyuruhku menentukan pilihan.
Kalau urusan jodoh, Mama dan Babeh menyerahkannya kepadaku, mereka yakin bahwa
anak gadisnya bisa menentukan pilihan yang terbaik. Untuk masalah perasaan,
hatiku lebih memihak kepada Andi.
“Yas, aku nggak konsen nih sama
ujian, aku bingung nentuin pilihan”.
“Udah, nggak usah
dipikirin dulu Dir, kata mama sama babeh kan suruh mikirin ujian dulu, Ustad
Faishal juga pasti ngertiin”.
“Tapi aku nggak bisa bisa
Yas, aku kepikiran mulu”.
“Daripada bawel terus daritadi,
mendingan kamu salat istikharah, nanyanya sama Allah, jangan sama aku”.
Benar juga apa yang dikatakan
Tyas, kenapa aku bisa lupa melaksanakan salat istikharah?. Malah yang terjadi,
aku uring-uring dan tidak lekas menghafal diktat kuliah yang menumpuk. Ujian
hanya berjarak 3 minggu lagi dan persiapanku belum matang.
Setelah, melaksanakan salat
istikharah di beberapa malam dan memantapkan hati, akhirnya aku memutuskan
untuk tidak memilih Ustad Faishal dan memilih Andi. Entah mengapa hatiku malah
memihak kepada Andi bukan Ustad Faishal, apa jangan-jangan karena aku lebih
sering bertemu dengannya? Padahal dulu, aku tergila-gila dengan Ustad Faishal,
memang terkadang hati itu sering berubah-ubah.
Keesokkan harinya, aku langsung
menelpon mama dan babeh bahwa aku tidak menerima lamaran Ustad Faishal. Aku
juga mengirim email kepadanya, agar tidak menyakiti perasaannya, makanya aku
mengirim permintaan maaf. Aku juga menceritakan perihal ini kepada Andi, karena
sudah lama dia menunggu keputusanku.
3 hari kemudian, aku mendapat
balasan email dari Ustad Faishal, yang berisi seperti ini:
Wa’alakummussalam
wr.wb.
Alhamdulillah saya
sehat wal’afiat Dir. Kamu nggak usah khawatir, soal penerimaan lamaran itu kan
memang hakmu. Jangan dibebani, mungkin Dira memang bukan jodoh saya. Saya hanya
berusaha saja, kalau memang tidak diterima ya nggak apa-apa, toh itu resiko
saya sebagai laki-laki. Semoga Dira mendapatkan yang lebih baik, maaf sudah
mengganggu ketenangan Dira.
Faishal
“Tuh kan, apa aku bilang, kamu nggak
usah ngerasa nggak enak. Kecuali kalau Ustad Faishal udah
mengkhitbah kamu terus tiba-tiba kamu cancel gara-gara kamu suka sama
Andi, itu baru nggak boleh,” ujar Tyas setelah membaca email dari Ustad
Faishal.
***
Aku menyempatkan menoleh ke
belakang, sosok Andi terlihat tersenyum kepadaku, seperti isyarat yang berkata,
aku akan segera menyusul. Ketika di pesawat, aku teringat bagaimana
perjuangannya, agar kami bisa menikah sedangkan aku masih di tingkat tiga.
Awalnya babeh tidak setuju, bagaimana pun kuliahku harus selesai baru dibolehkan
menikah.
“Tanya sama mama mu, dulu mama
itu masih kuliah sambil ngurusin kamu, kalau udah berumah tangga itu susah neng
mau belajar itu, apalagi neng kan cewe,” babeh menasehatiku.
“Iya beh, tapi Andi tetep mau
ngomong lagi sama babeh”.
Setelah berulang kali berdebat
dengan babeh dan setelah Andi berbicara berkali-kali, babeh mengijinkan Andi
untuk mengkhitbahku, tetapi menikah setelah aku lulus. Andi pun setuju,
walaupun sebenarnya dia menginginkan untuk segera menikah bukan hanya
mengkhitbah saja. Karena kebetulan tahun ini jatahku untuk pulang ke tanah air,
maka acara pengkhitbahan dilaksanakan di rumahku, di Indonesia.
***
“Si eneng makin cantik aja,
apalagi mau dikhitbah,” ujar Bibiku.
Baru saja kemarin aku datang ke
rumah, keesokkannya saudara-saudaraku langsung mengunjungiku. Jelas saja,
tetangga-tetangga di sekitar rumahku itu saudaraku semuanya. Aku kebingungan
menjawab pertanyaan-pertanyaannya, bagaimana kehidupan di Mesir, kuliahku
disana, ditambah aku yang sedang ingin dikhitbah. Yang paling membingungkan,
sepupu-sepupuku yang rewel meminta oleh-oleh khas Mesir, untung saja
oleh-olehnya mencukupi setelah aku bolak-balik berbelanja berhari-hari.
“Ini Dira beliin peci buat
babeh, abisnya pecinya babeh udah bulukan. Dipake ya beh”.
“Kaga bakal dipake neng si babeh
mah, katanya kalau barang lama itu banyak sejarahnya”.
“Ya beh, emang prasasti banyak
sejarahnye, pan ini mah peci”.
Begitulah suasana keluargaku
yang unik, kerinduanku selama tiga tahun terobati. Semuanya belum berubah, cuma
beberapa tanah kosong saja yang sudah disulap menjadi mini market atau
toko-toko lainnya. Jakarta semakin padat penduduknya juga semakin padat
bangunan-bangunannya.
***
Rencananya hari ini Andi dan
keluarganya datang ke rumah, baru kemarin lusa dia datang dari Kairo. Rumahku
ramai dengan persiapan acara pengkhitbahan, padahal aku ingin acaranya
sederhana saja, tetapi ini sudah menjadi tradisi di keluargaku. Mama sibuk di
dapur sedari pagi, bersama bibi-bibiku. Sepupuku sibuk menyiapkan baju untukku,
make-up, dan sebagainya.
“Neng, coba ditelpon Andi-nya, kok
udah jam segini belum dating-dateng?,” suruh mama.
“Iya ma, ini lagi mau ditelpon”.
Berkali-kali ku telpon, tapi
tidak diangkat. Ah, mungkin lagi di jalan, lagi sibuk siap-siap, batinku
menghibur.
“Gimana neng, udah diangkat
telponnya?” Tanya mama.
“Belum ma, mungkin masih di
jalan, nggak kedengeran kali. Nanti dua menit lagi Dira telpon”.
Belum dua menit ringtone
handphoneku berteriak. Tertera di layar nomor yang tidak dikenal.
“Halo…”.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar