Pages

Labels

Rabu, 10 April 2013

Sketsa Pelangi untuk Dira (Episode 4)



*Chapter 4

Cerita sebelumnya:
 “Neng, kemaren tuh ada yang dateng ke rumah, ustad yang ngajar eneng di pondok ntuh,”
“Hah? Siapa ma? Ngapain?,”
“Ustad Faishal namanya, intinya sih minta si eneng. Mama juga bingung, katanya lusa mau kemari lagi,”
Tiba-tiba kepalaku berkunang-kunang…

Cerita selanjutnya:
Hatiku berbunga-bunga. Jantungku, jangan ditanya lagi, yang pastinya seperti mahu jatuh. Hari ini aku akan pulang ke tanah air, setidaknya penghilang dukaku dikarenakan nilaiku di tingkat dua ini menurun, dari Jayid Jidan menjadi Jayid dan itu saja karena beberapa nilaiku dinaikkan. Masalah-masalah hati yang membuat nilaiku turun. Akan tetapi kesedihanku hilang sementara ini, setelah aku mendapatkan izin dari orang tuaku.

“Dira!” seru seorang lelaki yang sudah tak asing lagi.

“Hati-hati di jalan, insyaallah nanti saya nyusul kamu,” pesannya.

Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum kepadanya.

                                                                   ***
Benar saja, lusanya Ustad Faishal datang kembali ke rumahku. Mama langsung menyuruhku menentukan pilihan. Kalau urusan jodoh, Mama dan Babeh menyerahkannya kepadaku, mereka yakin bahwa anak gadisnya bisa menentukan pilihan yang terbaik. Untuk masalah perasaan, hatiku lebih memihak kepada Andi.

 “Yas, aku nggak konsen nih sama ujian, aku bingung nentuin pilihan”.

“Udah, nggak usah dipikirin dulu Dir, kata mama sama babeh kan suruh mikirin ujian dulu, Ustad Faishal juga pasti ngertiin”.

“Tapi aku nggak bisa bisa Yas, aku kepikiran mulu”.

“Daripada bawel terus daritadi, mendingan kamu salat istikharah, nanyanya sama Allah, jangan sama aku”.

Benar juga apa yang dikatakan Tyas, kenapa aku bisa lupa melaksanakan salat istikharah?. Malah yang terjadi, aku uring-uring dan tidak lekas menghafal diktat kuliah yang menumpuk. Ujian hanya berjarak 3 minggu lagi dan persiapanku belum matang.

Setelah, melaksanakan salat istikharah di beberapa malam dan memantapkan hati, akhirnya aku memutuskan untuk tidak memilih Ustad Faishal dan memilih Andi. Entah mengapa hatiku malah memihak kepada Andi bukan Ustad Faishal, apa jangan-jangan karena aku lebih sering bertemu dengannya? Padahal dulu, aku tergila-gila dengan Ustad Faishal, memang terkadang hati itu sering berubah-ubah.

Keesokkan harinya, aku langsung menelpon mama dan babeh bahwa aku tidak menerima lamaran Ustad Faishal. Aku juga mengirim email kepadanya, agar tidak menyakiti perasaannya, makanya aku mengirim permintaan maaf. Aku juga menceritakan perihal ini kepada Andi, karena sudah lama dia menunggu keputusanku.

3 hari kemudian, aku mendapat balasan email dari Ustad Faishal, yang berisi seperti ini:

Wa’alakummussalam wr.wb.
Alhamdulillah saya sehat wal’afiat Dir. Kamu nggak usah khawatir, soal penerimaan lamaran itu kan memang hakmu. Jangan dibebani, mungkin Dira memang bukan jodoh saya. Saya hanya berusaha saja, kalau memang tidak diterima ya nggak apa-apa, toh itu resiko saya sebagai laki-laki. Semoga Dira mendapatkan yang lebih baik, maaf sudah mengganggu ketenangan Dira.
Faishal

“Tuh kan, apa aku bilang, kamu nggak usah ngerasa nggak enak. Kecuali kalau Ustad Faishal udah mengkhitbah kamu terus tiba-tiba kamu cancel gara-gara kamu suka sama Andi, itu baru nggak boleh,” ujar Tyas setelah membaca email dari Ustad Faishal.

                                                ***
Aku menyempatkan menoleh ke belakang, sosok Andi terlihat tersenyum kepadaku, seperti isyarat yang berkata, aku akan segera menyusul. Ketika di pesawat, aku teringat bagaimana perjuangannya, agar kami bisa menikah sedangkan aku masih di tingkat tiga. Awalnya babeh tidak setuju, bagaimana pun kuliahku harus selesai baru dibolehkan menikah.

“Tanya sama mama mu, dulu mama itu masih kuliah sambil ngurusin kamu, kalau udah berumah tangga itu susah neng mau belajar itu, apalagi neng kan cewe,” babeh menasehatiku.

“Iya beh, tapi Andi tetep mau ngomong lagi sama babeh”.

Setelah berulang kali berdebat dengan babeh dan setelah Andi berbicara berkali-kali, babeh mengijinkan Andi untuk mengkhitbahku, tetapi menikah setelah aku lulus. Andi pun setuju, walaupun sebenarnya dia menginginkan untuk segera menikah bukan hanya mengkhitbah saja. Karena kebetulan tahun ini jatahku untuk pulang ke tanah air, maka acara pengkhitbahan dilaksanakan di rumahku, di Indonesia.

                                                          ***
“Si eneng makin cantik aja, apalagi mau dikhitbah,” ujar Bibiku.

Baru saja kemarin aku datang ke rumah, keesokkannya saudara-saudaraku langsung mengunjungiku. Jelas saja, tetangga-tetangga di sekitar rumahku itu saudaraku semuanya. Aku kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaannya, bagaimana kehidupan di Mesir, kuliahku disana, ditambah aku yang sedang ingin dikhitbah. Yang paling membingungkan, sepupu-sepupuku yang rewel meminta oleh-oleh khas Mesir, untung saja oleh-olehnya mencukupi setelah aku bolak-balik berbelanja berhari-hari.

“Ini Dira beliin peci buat babeh, abisnya pecinya babeh udah bulukan. Dipake ya beh”.

“Kaga bakal dipake neng si babeh mah, katanya kalau barang lama itu banyak sejarahnya”.

“Ya beh, emang prasasti banyak sejarahnye, pan ini mah peci”.

Begitulah suasana keluargaku yang unik, kerinduanku selama tiga tahun terobati. Semuanya belum berubah, cuma beberapa tanah kosong saja yang sudah disulap menjadi mini market atau toko-toko lainnya. Jakarta semakin padat penduduknya juga semakin padat bangunan-bangunannya. 

                                                          ***
Rencananya hari ini Andi dan keluarganya datang ke rumah, baru kemarin lusa dia datang dari Kairo. Rumahku ramai dengan persiapan acara pengkhitbahan, padahal aku ingin acaranya sederhana saja, tetapi ini sudah menjadi tradisi di keluargaku. Mama sibuk di dapur sedari pagi, bersama bibi-bibiku. Sepupuku sibuk menyiapkan baju untukku, make-up, dan sebagainya. 

“Neng, coba ditelpon Andi-nya, kok udah jam segini belum dating-dateng?,” suruh mama.

“Iya ma, ini lagi mau ditelpon”.

Berkali-kali ku telpon, tapi tidak diangkat. Ah, mungkin lagi di jalan, lagi sibuk siap-siap, batinku menghibur. 

“Gimana neng, udah diangkat telponnya?” Tanya mama.

“Belum ma, mungkin masih di jalan, nggak kedengeran kali. Nanti dua menit lagi Dira telpon”.

Belum dua menit ringtone handphoneku berteriak. Tertera di layar nomor yang tidak dikenal.

“Halo…”.

Bersambung.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar