Pages

Labels

Sabtu, 19 Oktober 2013

Hati yang Terlupakan

Pasti semua lelaki ingin sekali menyongkel mataku. Aku yakin mereka merasa risih dengan mataku, terlebih sorotannya. Pertama kali aku tidak percaya, kupikir mereka saja berlebihan. Ternyata aku salah, yang jadi korban tidak hanya satu lelaki. Hampir semua lelaki yang mengenalku, bahkan baru saja kenal merasa tertipu.

Aku mempunyai masalah dengan sorotan mataku. Sebenarnya aku sendiri tidak mempermasalahkan, tetapi para lelaki selalu meributkan akan hal itu. Menurutku terlalu berlebihan. Aku memang sesosok gadis yang pendiam, memang sorot mataku tajam jika melihat orang apalagi jika sudah memperhatikan yang lain. Mungkin karena aku tidak suka banyak bicara, apalagi bertanya tentang hal sepele. Aku lebih suka membaca karakter seseorang, arah pikirannya, membaca suasana ketimbang banyak bicara. Biasanya jika di suatu perkumpulan aku selalu memperhatikan apa yang dibicarakan orang lain, pendapat yang dikemukakannya, jadi aku bisa menangkap arah pikirannya.

Para lelaki selalu salah sangka dengan tatapan mataku ini. Mereka menyangka jika aku tertarik dengan mereka. Aku pikir hanya wanita yang mempunyai hobi menarik kesimpulan terlalu cepat, tenyata para lelaki juga berpikir pendek. Walaupun tidak secara langsung mendengar dari yang bersangkutan, tetapi gosipnya sudah menyebar. Biasanya mereka yang kepedean cerita kepada orang-orang bahwa aku menyukainya.

“Ya wajarlah Mel, kamu itu cantik. Itu cuma alasan mereka menuduh kamu yang naksir, padahal sebenarnya mereka yang tergila-gila sama kamu,” ujar Lani.

“Tetapi mereka seperti itu gara-gara sorotan mataku Lan, itu yang bikin mereka salah paham!,” seruku.

“Melatiii… udah aku bilang itu cuma alasan mereka, mungkin mereka kesal karena semua cinta mereka kamu tolak. Siapa sih cowo yang nggak grogi diliatin sama kamu? Apalagi dengan sorot matamu”.

Aku terdiam. Ada benarnya apa yang dikatakan Viona. Aku saja yang bodoh terlalu memakan mentah-mentah apa yang dikatakan pria-pria hidung belang itu.

                                                                       ***
“Sini aku mau bicara!” seru Sekar sambil menarik lenganku dengan kasar. Aku menarik lenganku kembali dengan kencang, sambil menatapnya sinis.

“Semua orang tau kalau kamu itu cewek tercantik di kampus ini, tetapi bukan berarti bisa seenaknya mendekati pacar orang,” ujarnya sinis.

“Maksudnya?” tanyaku tak paham.

“Nggak usah berlaga bodoh deh, sok-sokan ngajarin si Bima akutansi, bilang aja biar makin deket. Kamu udah lama kan suka sama Bima? Kata orang-orang juga kamu sering merhatiin dia”.

Aku menghela napas. Kupandangi lekat-lekat gadis bermuka merah padam di hadapanku. Seorang gadis posesif, pengatur, manja. Kerjaannya bersolek, terlihat dari make up nya yang tebal, skripsi pun tidak kelar-kelar. Pantas saja pacarnya tidak betah.

“Abis berapa jam dandan? Mending waktunya buat belajar biar skripsinya nggak berjamur, supaya bisa ngajarin pacarnya juga terus nggak nanya-nanya akutansi ke saya lagi,” kataku sambil berlalu meninggalkannya.

                                                                        ***
Kulirik jam di pergelangan tanganku, menunjukkan pukul satu siang. Masih tersisa banyak waktu untuk kuhabiskan di perpustakaan. Langsung ku menuju perpustakaan langgananku, tidak jauh dari kampus. 

“Eh, neng Melati, gimana kabarnya? Udah lama nggak kesini,” sapa Mas Aryo, penjaga perpustakaan tersebut.

“Iya Mas Aryo, lagi banyak tugas kuliah nih mas,” jawabku dibarengin dengan senyum simpulku.

“Kemaren ada mas-mas ganteng yang nanyain neng Melati”.

“Siapa mas?”

“Kurang tahu, namanya Gading, kenal?”

“Nggak mas, emang dia nanyain apa?”

“Nanyain kok eneng udah jarang kesini. Kirain saya itu temen si eneng”.

“Saya nggak kenal mas, ya sudah saya liat-liat ke dalam dulu ya mas”.

Aku tidak terlalu memperdulikan lelaki yang diceritakan oleh Mas Aryo. Paling-paling lelaki hidung belang seperti yang ada di kampus. Di salah satu rak buku berdiri seorang lelaki, dia menghalangi jalanku. Mataku mengisyaratkannya untuk memberiku jalan, tetapi dia acuhkan.

“Eheemm,” suaraku cukup membuatnya menatapku lama.

“Oh, mau lewat? Bilang dari tadi, orang mana paham pake isyarat mata, kecuali peramal,” ujarnya santai.

Aku hanya menatapnya sinis.

“Nyari buku serial detektif lagi? Karangan Agatha Christie atau Sir Arthur Conan Doyle?” tanyanya sambil matanya tetap menuju buku bacaannya.

“Tapi memang cocok orang yang memiliki mata yang tajam sepertimu membaca serial detektif, karena orang sepertimu lebih suka memperhatikan seseorang dan berpikir ketimbang banyak bertanya, berbicara yang tidak penting,” ujarnya lagi.

Aku berusaha menghindarinya, tetapi apa boleh buat, novel yang kucari berada di deretan tempat ia berdiri. Ia pun berbicara panjang lebar tentang novel serial detektif. Ternyata dia juga penggemar serial detektif. Dari situ aku mulai simpati dengannya dan menimpali pembicaraannya tentang apa yang kubaca. Kuperhatikan dia berbeda dengan para lelaki hidung belang. Terlihat dari gaya bicaranya, ia seorang pemikir yang cerdas.

Mungkin dia salah satu pengunjung tetap perpustakaan ini. Aku baru ingat, setiap datang ke tempat rak novel kesukaanku selalu ada lelaki yang berdiri di sudut tak jauh dari situ. Baru kali ini dia berada diantara sekat-sekat rak buku.

“Loh, ini Mas Gading kan? Ternyata saling kenal toh?” Tanya Mas Aryo ketika kami berpamitan dengannya.

“Enggak mas, malah kita udah ngobrol-ngobrol panjang dari tadi belum kenalan,” ujar Gading.

Setelah keluar dari perpustakaan, kami berpisah, tertapi sebelumnya Gading berkata sesuatu.

“Berinteraksi dengan orang lain tidak hanya dengan mata, tetapi dengan semua panca indera, terutama dengan hati. Gunakan mata untuk mengenalinya, mulut untuk menyapa, telinga untuk mendengarkan ceritanya, hidung untuk kepekaan dan hati untuk merasakan”.
Aku baru menyadari mengapa terjadi banyak kesalah pahaman selama ini. Itu karena aku tidak menggunakan semua panca inderaku seperti apa yang dikatakan oleh Gading, terutama hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar