Sesampainya kami di Terminal Surabaya, disana sudah menunggu seorang wanita modis mirip dengan Liza, yaitu Ibunya. Kami pun bersalaman dengannya. Ibunya pun sudah mengenaliku, kami sering bertemu ketika ia menjenguk Liza di Jogja. Langsung kami menaiki taksi yang sudah dipesan oleh ibunya. Jalanan Kota Surabaya tampak padat oleh kendaraan, macet bertebaran dimana-mana. Kukira rumahnya tidak jauh dari jantung kota, ternyata masih jauh sekali.
Taksi pun masuk ke
dalam gang perumahan, lalu keluar menuju jalan besar. Sampailah kami di
perumahan elit, kupikir bentar lagi sampai. Terlihat pemandangan rumah-rumah
mewah berlantai dua atau tiga. Akan tetapi taksi tidak berhenti, terus melaju.
“Bentar lagi nyampe
Liz?” tanyaku.
“Belum Vi, masih agak
jauh. Sebenernya sih nggak makan waktu lama, tetapi karena macetnya minta ampun
jadinya kerasa jauh banget,” jawab Liza panjangn lebar.
“Sekalian ngenalin
Viona sama Kota Surabaya, disini panas beda sama di Bandung yang dingin,”
sambut Ibu Liza.
“Hehe iya tante, nanti
kapan-kapan tante sama Liza harus main-main ke Bandung. Nanti bakal Viona ajak
keliling Kota Bandung,” ujarku sok mantap.
“Sok iyes kamu,”
timpal Liza sambil menarik jilbabku usil.
Setelah melewati
perumahan elit, taksi keluar menuju jalanan besar, lalu belok ke kiri sedikit
dan sampailah kami di tempat tujuan. Di hadapanku berdiri deretan ruko, ada
bengkel motor, di sampingnya ada tumpukan kayu, kutebak itu sebuah tempat
pembuatan mebel. Kami pun masuk diantara kayu-kayu yang menyesaki halaman
rumah, hampir saja pintu rumah tertutup sehingga rumahnya pun terlihat mungil
sekali. Ibu Liza mengetuk pintu rumah, di dekat pintu ada lorong sempit tempat parker
motor. Pintu pun terbuka, seorang wanita cantik semampai yang membukakannya.
“Ini ya yang namanya
Viona, akhirnya bisa ketemu juga. Ayo masuk,” sapanya ramah.
“Kalau ini yang
namanya Mbak Laras atau Mbak Linda?” tanyaku menerka-nerka.
“Yang ini Mbak Linda,
kalau yang sudah menikah itu Mbak Laras,” ujar Liza menjelaskan.
Kami pun melewati
ruang tamu yang super mungil lalu ada pintu masuk, belok kanan ada tangga kayu
menuju loteng, di bawahnya ruang keluarga, belok kiri kamar orang tuanya dan
Mbak Linda. Setelahnya ada pintu kecil,
disana ada ruang makan, dapur, kamar mandi. Di halaman belakang ada tempat
mencuci dan ada kandang ayam yang agak jauh dari sana. Lalu ada tangga kayu
sama seperti sebelumnya menuju jemuran. Ternyata kamar Liza terletak di loteng.
Mbak Linda membantu kami mengangkat barang-barang ke atas.
Rumahnya unik memang,
kecil minimalis.memang pertama kali aku sempat terkejut. Ya itu karena Liza
terlihat modis dan cantik ketika di kampus. Penampilannya seperti anak-anak
orang kaya yang lainnya. Wajar semua orang menyangkanya anak seorang
konglomerat, ibunya pun berpakaian modis juga. Kedua kakaknya pun cantik-cantik
dan modis seperti Liza. Padahal bapaknya hanya seorang pegawai negri yang
setiap harinya pulang pergi mengendarain sepeda motor. Ibunya pun hanya seorang
ibu rumah tangga yang terkadang menerima pesana cathering kue-kue
kering.
Dalam gambaran semua
orang, rumah Liza mewah seperti yang ada di perumahan elit yang kami lewati.
Pertama kali aku menyangka rumah Liza di sekitar sana, ternyata bukan. Malah
aku miris ketika tahu yang sebenarnya. Kami mendarat di depan sebuah ruko,
pintu rumah yang tertutup oleh kayu-kayu yang berserakan. Ternyata tempat mebel
kecil di sebelahnya milik saudaranya.
“Gimana rumahnya Liza?
Gede ya? Ada kolam renangnya?” ujar salah satu temanku.
“Pasti kemana-mana
diantar sopir kan? Enak banget,” celetuk satunya lagi.
“Enggak, rumahnya Liza
biasa aja sama kayak rumah kita-kita,” jawabku santai.
“Masak sih? Yang bener?”.
Pertanyaan seperti
tadi menghujamku terus menerus semenjak memasuki kampus. Aku sempat kesal,
kenapa orang-orang sibuk mengurusi orang lain? Apalagi masalah harta. Padahal
harta yang kita dapat saat ini dari orang tua, bukan milik kita. Sebenarnya aku pun bingung apa yang harus
kukatakan, apakah aku harus berbohong bahwa rumahnya mewah? Oh, aku tidak ingin
melakukannya. Berkata yang sebenarnya? Takut membuat isu negatif tentang Liza.
Dari sini aku
menyadari bahwa kita tidak bisa menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang
tampak oleh mata. Sekali pun teman kita sendiri. Bertahun-tahun berteman dengan
Liza, baru setelah mengunjungi rumahnya aku mengetahui latar belakangnya.
Selama ini aku hanya menanyakan tempat tinggalnya, berapa bersaudara, bagaimana
keadaan keluarganya, ya hanya itu saja. Menurutku menanyakan keadaannya dan
keluarganya itu cukup, memastikan bahwa dia tidak sedang sedih atau mengalami
kesusahan. Itu karena aku tulus berteman dengannya tanpa melihat harta dan
jabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar