Pages

Labels

Sabtu, 19 Oktober 2013

Apa yang Tampak Oleh Mata

Sebenarnya aku tidak bermaksud ingin menjelekkan teman sendiri, apalagi masalah harta. Aku hanya menceritakan apa yang kulihat. Orang-orang saja yang terlalu berlebihan menggambarkannya. Aku berteman dengannya tidak melihat dari harta dan martabat. Hina sekali berteman dengannya hanya karena dia terlihat kaya raya. Ini bermula ketika aku mengunjungi rumahnya pada liburan semester. Biasanya aku pulang ke rumah orang tuaku di Bandung, tetapi Liza mengajakku untuk berlibur di rumahnya, Surabaya. Ku-iyakan saja, kebetulan aku ingin sekali menghabiskan liburan di kota lain, selain Jogja dan Bandung. Akhirnya kami pun berangkat bersama-sama dari Jogja menuju Surabaya.

Sesampainya kami di Terminal Surabaya, disana sudah menunggu seorang wanita modis mirip dengan Liza, yaitu Ibunya. Kami pun bersalaman dengannya. Ibunya pun sudah mengenaliku, kami sering bertemu ketika ia menjenguk Liza di Jogja. Langsung kami menaiki taksi yang sudah dipesan oleh ibunya. Jalanan Kota Surabaya tampak padat oleh kendaraan, macet bertebaran dimana-mana. Kukira rumahnya tidak jauh dari jantung kota, ternyata masih jauh sekali. 

Taksi pun masuk ke dalam gang perumahan, lalu keluar menuju jalan besar. Sampailah kami di perumahan elit, kupikir bentar lagi sampai. Terlihat pemandangan rumah-rumah mewah berlantai dua atau tiga. Akan tetapi taksi tidak berhenti, terus melaju.

“Bentar lagi nyampe Liz?” tanyaku.

“Belum Vi, masih agak jauh. Sebenernya sih nggak makan waktu lama, tetapi karena macetnya minta ampun jadinya kerasa jauh banget,” jawab Liza panjangn lebar.

“Sekalian ngenalin Viona sama Kota Surabaya, disini panas beda sama di Bandung yang dingin,” sambut Ibu Liza.

“Hehe iya tante, nanti kapan-kapan tante sama Liza harus main-main ke Bandung. Nanti bakal Viona ajak keliling Kota Bandung,” ujarku sok mantap.

“Sok iyes kamu,” timpal Liza sambil menarik jilbabku usil.

Setelah melewati perumahan elit, taksi keluar menuju jalanan besar, lalu belok ke kiri sedikit dan sampailah kami di tempat tujuan. Di hadapanku berdiri deretan ruko, ada bengkel motor, di sampingnya ada tumpukan kayu, kutebak itu sebuah tempat pembuatan mebel. Kami pun masuk diantara kayu-kayu yang menyesaki halaman rumah, hampir saja pintu rumah tertutup sehingga rumahnya pun terlihat mungil sekali. Ibu Liza mengetuk pintu rumah, di dekat pintu ada lorong sempit tempat parker motor. Pintu pun terbuka, seorang wanita cantik semampai yang membukakannya.

“Ini ya yang namanya Viona, akhirnya bisa ketemu juga. Ayo masuk,” sapanya ramah.

“Kalau ini yang namanya Mbak Laras atau Mbak Linda?” tanyaku menerka-nerka.

“Yang ini Mbak Linda, kalau yang sudah menikah itu Mbak Laras,” ujar Liza menjelaskan.

Kami pun melewati ruang tamu yang super mungil lalu ada pintu masuk, belok kanan ada tangga kayu menuju loteng, di bawahnya ruang keluarga, belok kiri kamar orang tuanya dan Mbak Linda. Setelahnya ada  pintu kecil, disana ada ruang makan, dapur, kamar mandi. Di halaman belakang ada tempat mencuci dan ada kandang ayam yang agak jauh dari sana. Lalu ada tangga kayu sama seperti sebelumnya menuju jemuran. Ternyata kamar Liza terletak di loteng. Mbak Linda membantu kami mengangkat barang-barang ke atas.

Rumahnya unik memang, kecil minimalis.memang pertama kali aku sempat terkejut. Ya itu karena Liza terlihat modis dan cantik ketika di kampus. Penampilannya seperti anak-anak orang kaya yang lainnya. Wajar semua orang menyangkanya anak seorang konglomerat, ibunya pun berpakaian modis juga. Kedua kakaknya pun cantik-cantik dan modis seperti Liza. Padahal bapaknya hanya seorang pegawai negri yang setiap harinya pulang pergi mengendarain sepeda motor. Ibunya pun hanya seorang ibu rumah tangga yang terkadang menerima pesana cathering kue-kue kering.

Dalam gambaran semua orang, rumah Liza mewah seperti yang ada di perumahan elit yang kami lewati. Pertama kali aku menyangka rumah Liza di sekitar sana, ternyata bukan. Malah aku miris ketika tahu yang sebenarnya. Kami mendarat di depan sebuah ruko, pintu rumah yang tertutup oleh kayu-kayu yang berserakan. Ternyata tempat mebel kecil di sebelahnya milik saudaranya. 

“Gimana rumahnya Liza? Gede ya? Ada kolam renangnya?” ujar salah satu temanku.

“Pasti kemana-mana diantar sopir kan? Enak banget,” celetuk satunya lagi.

“Enggak, rumahnya Liza biasa aja sama kayak rumah kita-kita,” jawabku santai.

“Masak sih? Yang bener?”.

Pertanyaan seperti tadi menghujamku terus menerus semenjak memasuki kampus. Aku sempat kesal, kenapa orang-orang sibuk mengurusi orang lain? Apalagi masalah harta. Padahal harta yang kita dapat saat ini dari orang tua, bukan milik kita.  Sebenarnya aku pun bingung apa yang harus kukatakan, apakah aku harus berbohong bahwa rumahnya mewah? Oh, aku tidak ingin melakukannya. Berkata yang sebenarnya? Takut membuat isu negatif tentang Liza. 

Dari sini aku menyadari bahwa kita tidak bisa menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang tampak oleh mata. Sekali pun teman kita sendiri. Bertahun-tahun berteman dengan Liza, baru setelah mengunjungi rumahnya aku mengetahui latar belakangnya. Selama ini aku hanya menanyakan tempat tinggalnya, berapa bersaudara, bagaimana keadaan keluarganya, ya hanya itu saja. Menurutku menanyakan keadaannya dan keluarganya itu cukup, memastikan bahwa dia tidak sedang sedih atau mengalami kesusahan. Itu karena aku tulus berteman dengannya tanpa melihat harta dan jabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar