Aku tumbuh di atas kolam yang terletak tepat sebelah kiri ruang keluarga. Keluarga ini merawatku dengan baik dan tentu saja merupakan keluarga yang kaya raya, karena merawatku membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tepat di atas kolam, sebagian atap rumah dibuat transparan agar sinar matahari masuk dan menyinariku. Di tengah kolam terdapat air mancur, ikan-ikan kecil menari-nari di bawahku. Suara gemericik air menambah kenyamanan ketika bersantai di ruang keluarga.
Setiap orang yang berkunjung, pasti terpesona oleh
pemandangan ini, terutama dengan sosokku. Ruang keluarga yang didesain lebih
tinggi dari ruang tamu dan di kelilingi oleh pintu dan jendela kaca besar
membuat setiap orang menatap iri. Rumah besar keluarga besar Soedibyo ini
memang luar biasa, semuanya terlihat eksotis, tetapi memang yang paling menarik
perhatian ya ruang keluarga tersebut.
“Ih, kok bisa melihara bunga teratai di dalam rumah? Cantik
banget,” ucap salah satu teman istri Pak Soedibyo ketika acara arisan.
“Jadi keliatan sejuk di dalam rumah, saya jadi kepikiran mau
bikin kolam di dalam rumah,” celetuk ibu-ibu di sampingnya.
Ibu Soedibyo hanya tertawa anggun menanggapi setiap
komentar-komentar para tamu arisan. Memang Bu Soedibyo terlihat anggun dimana
pun ia berada, selalu ramah dan tersenyum. Akan tetapi itu dulu, sekarang bukan
senyuman lagi yang menghiasi wajahnya, namun hanya tatapan kosong dan dingin.
Suasana rumah ini pun semakin tidak hangat. Tiada lagi canda tawa yang kudengar
di ruang keluarga ini, biasa ramai sekali apalagi ketika hari libur.
Ya, tepat sebulan yang lalu Pak Soedibyo meninggal terkena
serangan stroke. Setelah kepergiannya banyak sekali ketidakharmonisan di
keluarga ini. Terutama masalah hak waris di antara kelima anaknya dan keluarga besarnya
juga.
“Kenapa mama diam saja? Papa yang mendirikan perusahaan ini,
memang punya keluarga besar kita, tapi kenapa justru kita diusir dari sana?
Mama terima diperlakukan oleh mereka seperti ini?!” teriak Shaien anak
ketiganya setelah pertemuan keluarga besar.
Bu Soedibyo tidak menatapnya, malah menatap kosong ke arah
televisi yang tidak menyala. Membuat Shaien semakin kesal.
“Mama selalu diam saja, lihatlah keluarga kita bangkrut
gara-gara Bang Rama korupsi uang perusahaan demi membangun rumah besarnya,
belum seminggu yang lalu kena tipu, total semuanya sepuluh miliar Ma! Mama
masih belain si sulung yang tak tahu diri itu?” teriak Panji anak keduanya yang
tak kalah liar dari adiknya.
Aku tidak tega melihat keluarga yang dulu harmonis menjadi
berantakan seperti ini, semenjak pasca pengusiran dari perusahaan oleh keluarga
besar, anak-anaknya jarang pulang ke rumah kecuali anak perempuannya Ishana.
Akan tetapi Ishana juga kelihatannya lebih senang menghabiskan waktunya di
kampus ketimbang di rumah. Hanya Dimas, anak bungsunya yang berusaha merukunkan
kakak-kakaknya yang semenjak peristiwa tersebut saling tidak bicara.
“Ma, cobalah bersikap adil, jangan terlalu memanjakan Bang
Rama. Apa yang dibilang oleh Bang Shaien dan Bang Panji itu benar. Mama boleh
menyayangi anak mama, tetapi jika berbuat salah bukan lantas ditutupi, yang
benar mama harus mengingatkannya,” ujar Dimas lembut.
Wanita anggun itu hanya menoleh dan menatap dingin ke arah
anak bungsunya, lalu kembali menghadap tembok. Semua bertanya-tanya, apa
sebenarnya dibalik ini semua. Tidak ada satu pun penghuni rumah ini yang tahu,
sampai akhirnya terbuka kebusukan yang di kubur dalam-dalam oleh salah satu
dari mereka, yaitu aku.
“Sudah mama transfer uang hasil jual perusahaan ke rekening
kamu, langsung lunasi cicilan rumahmu, mobil dan semua kebutuhanmu,” ujar
wanita anggun itu.
“Pasti ma, nanti biar Rama yang urus. Akan tetapi perusahaan masih atas nama keluarga besar
kita kan ma, bukan si pembeli?” tanya Rama.
“Tenang saja Rama, adik-adik papa kamu juga sudah mama kasih
uang diam. Soal kecil itu, mereka hanya butuh duit, bukan perusahaan. Tahu apa
mereka soal perusahaan.”
Rama hanya tertawa.
“Apa mama sebaiknya membeli mobil lagi? Kan dua mobil kita
sudah dijual untuk menebus hutang 10 Miliar, nanti mama nggak bisa ganti mobil
kalau cuma satu.”
“Biarkan saja, toh hanya mama dan Ishana yang tinggal di
rumah. Ishana juga biasa pakai taksi ke kuliah.”
Nafasku seperti tercekat, seandainya bahasaku bisa dipahami
oleh mereka, pasti sudah kubocorkan kebusukan itu kepada seluruh penghuni rumah
ini. Namun aku hanya bisa diam, karena tidak ada yang akan mendengarkanku dan
memahamiku. Diam yang sangat menyakitkan. Ternyata bukan aku saja yang
merasakan itu, ada sosok seorang perempuan
di sudut ruangan yang ikut mendengarkan. Ya, anak perempuan satu-satunya
di rumah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar