Pages

Labels

Kamis, 21 Agustus 2014

Prasangka


“Aku nggak mau tahu, pokoknya jam 2 siang kamu sudah datang di kafe biasa tempat kita bertemu,” ujar Adit.


“Dit, sumpah aku lagi cape banget, lagian sih kamu dadakan,” jawabku.

Please, Adelia Putri, this is emergency.”

Jika Adit sudah memohon, apalagi sampai menyebut nama lengkapku itu tanda ia benar-benar sedang kesulitan.

Okey Mr. Aditya Pahlevi! Eit, tapi nggak gratis, setelah itu kamu harus menemaniku berbelanja.”

With pleasure miss.”

Kucoba perlahan bangun dari posisiku yang masih berbaring di atas kasur, badanku masih terasa remuk. Mungkin jika Adit tidak menelponku, pasti aku masih terlelap. Kemarin seharian aku menemani mama belanja buat arisan besok, lalu membereskan rumah secara besar-besaran. Kalau saja Adit bukan sahabatku sejak kecil, mungkin aku tidak akan rela jatah tidurku diambil hanya demi mendengar curhatan.

Memang sudah kebiasaan, jika Adit sedang ada masalah dia akan memanggilku di cafe favoritnya. Sambil menikmati kopi hitam pekat kesukaannya dia bercerita perlahan apa yang sedang ia resahkan. Menurutnya, kopi dan bercerita denganku merupakan obat manjur menghilangkan masalah yang ada. Aku sering merasa heran dengannya, hanya untuk menyesap kopi saja harus di cafe yang mahal. 

“Dit, kenapa sih cuma minum kopi harus di cafe semahal ini? Tahu nggak, ini kopi sama kue yang cuma nyelip di gigi bisa dapat dua porsi bakso dan es campur Mang Dadang,” protesku suatu hari.

“Yee, jangan samain dong, ya jelas beda. Ini kopi ternikmat di dunia, kuenya juga enak kan? Kamunya aja kalau makan sebakul,” elak Adit.

Akan tetapi setelah bersantai-santai di cafe Adit selalu bersedia menemaniku berbelanja. Dia sangat sabar sekali meski harus berkeliling swalayan berkali-kali.

“Katanya cuma beli sabun sama sampo, kok sampe sekeranjang penuh gini?”

“Hehe, habisnya banyak yang murah, kayak beli sampo gratis conditioner.”

“Dibilang jangan suka beli dua gratis satu, kebiasaan, terlalu terpengaruh iklan.”

Aku tak percaya, sudah 17 tahun kami berteman. Keluarga kami pun sudah mengenal satu sama lain. Sampai-sampai satu sekolah mengira kami berpacaran, mungkin karena kami terlalu sering menghabiskan waktu bersama.

“Kayaknya si Grace and the gank pada nggak suka banget deh sama kamu Del,” ujar Desi, teman sekelasku.

“Iya ya? Emang mereka curhat sama kamu.”

“Ya ampun Del, polos banget sih kamu. Ya jelas nggak lah, keliatan kali kalau mereka nggak suka sama kamu, soalnya kamu kan deket sama Adit.”

So, apa hubungannya?”

“Aduh please deh Adelia, karena mereka ngefans berat sama Adit. Kamu tahu sendiri kan kalau Adit itu idola cewe-cewe.”

Aku hanya mengangkat bahu.

“Eh, kenapa sih kalian nggak jadian aja?” bisik Desi.

“Ngawur kamu, kita tuh sahabatan dari kecil, nggak mungkinlah pacaran.”

“Loh, justru biasanya karena sahabatan dari kecil itu akhirnya pacaran. Inget ya Del, cewe sama cowo itu nggak bisa benar-benar temenan apalagi selama itu.”

“Tapi kita beda Des, jangan dipukul rata dong kan nggak semuanya seperti itu. Aku nggak mau menodai persahabatan kami, dan aku yakin Adit sepertiku.”

Ini sudah yang kesekian kali Desi seperti itu, tidak hanya dia teman yang lain pun berpendapat yang sama. Aku heran, memangnya tidak bisa mereka berpikir positif? Semua perempuan dan pria yang berteman selalu dituduh berpacaran.

Aduh, aku lupa harus bersiap-siap, malah melamunkan hal yang tidak penting. Janji yang penting malah kulupakan.

                                                                                                ***
“Bunda baik-baik aja kan? Udah baikan sama Ayah?” tanyaku.

Adit hanya menganggukan kepala. Sudah hampir setengah jam dia membisu sambil sesekali menyesap kopi favoritnya. Aku mengira ia akan bercerita tentang orang tuanya, karena beberapa minggu yang lalu sempat ada sedikit pertengkaran antara kedua orang tuanya.

“Udah sore Dit, ayo temenin aku belanja.”

Adit menahanku, aku yang hampir berdiri duduk kembali.

“Nanti kemaleman Dit.”

“Bentar, ada yang aku ingin bicarakan.”

“Daritadi kamu diam saja, yauda cepetan sekarang ngomong, jangan panjang-panjang nanti...” belum kuselesaikan kalimatku, Adit memotongnya dengan sebuah pernyataan yang menjatuhkan semua prasangkaku selama ini.

“Aku mencintaimu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar